Tujuanku datang ke Jakarta sebenarnya untuk
merubah nasib. Tapi siapa yang menyangka kalau ternyata kehidupan di kota
besar, justru lebih keras dan pada di desa. Aku sempat terlunta-lunta, tanpa
ada seorangpun yang mau peduli. Selembar ijazah SMP yang kubawa dari desa,
ternyata tidak ada artinya sama sekali di kota ini. Jangankan hanya ijazah SMP,
lulusan sarjana saja masih banyak yang menganggur. Dari pada jadi gelandangan,
aku bekerja apa saja asalkan bisa mendapat uang untuk menyambung hidup.
Sedangkan untuk kembali ke kampung, rasanya malu sekali karena gagal menaklukan
kota metropolitan yang selalu menjadi tumpuan orang-orang kampung sepertiku.
Seperti hari-hari biasanya, siang itu udara di
Jakarta terasa begitu panas sekali. Seharian ini aku kembali mencoba untuk
mencari pekerjaan. Tapi seperti yang selalu terjadi. Tidak ada satupun yang
melirik apa lagi memperhatikan lamaran dan ijazahku. Keputusasaan mulai
menghinggapi diriku. Entah sudah berapa kilometer aku berjalan kaki. Sementara
pakaianku sudah basah oleh keringat. Dan wajahku juga terasa tebal oleh debu.
Aku berteduh di bawah pobon, sambil menghilangkan pegal-pegal di kaki. Setiap
hari aku berjalan. Tidurpun di mana saja. Sementara bekal yang kubawa dari
kampung semakin menipis saja. Tiga atau empat hari lagi, aku pasti sudah tidak
sanggup lagi bertahan. Karena bekal yang kubawa juga tinggal untuk makan
beberapa hari lagi. Itupun hanya sekali saja dalam sehari.
Di bawah kerindangan pepohonan, aku memperhatikan
mobil-mobil yang berlalu lalang. Juga orang-orang yang yang selalu sibuk dengan
urusannya masing-masing. Tidak ada seorangpun yang peduli antara satu dengan
lainnya. Tiba-tiba pandangan mataku tertuju kepada seorang wanita yang tampak
kesal karena mobilnya mogok. Dia ingin meminta bantuan, Tapi orang-orang yang
berlalu lalang dan melewatinya tidak ada yang peduli. Entah kenapa aku jadi
merasa kasihan. Padahal aku sendiri perlu dikasihani. Aku bangkit berdiri dan
melangkah menghampiri.
“Mobilnya mogok, Nyonya..?”, tegurku dengan sikap
ramah.
“Eh, iya. Nggak tahu ya kenapa, tiba-tiba saja
mogok”, sahutnya sambil memandangiku penuh Curiga.
“Boleh saya lihat ” ujarku meminta ijin.
“silakan kalau bisa.”
Waktu di kampung aku sering bantu-bantu paman yang
buka bengkel motor. Terkadang ada juga mobil yang minta diperbaiki. Tapi
namanya di kampung, jarang orang yang punya motor. Apa lagi mobil. Makanya
usaha paman tidak pernah bisa maju. Hanya cukup untuk makan sehari-hari saja.
Seperti seorang ahli mesin saja, aku coba melihat-lihat dan memeriksa segala
kemungkinan yang membuat mesin mobil ini tidak mau hidup. Dan entah mendapat
pertolongan dari mana, aku menemukan juga penyakitnya. Setelah aku perbaiki,
mobil itu akhirnya bisa hidup kembali. Tentu saja wanita pemilik mobil ini jadi
senang. Padahal semula dia sudah putus asa. Dia membuka tasnya dan mengeluarkan
uang lembaran dua puluh ribu. Langsung disodorkan padaku. Tapi aku tersenyum
dan menggelengkan kepala.
“Kenapa? Kurang..?”, tanyanya.
“Tidak, Nyonya. Terima kasih”, ucapku menolak
halus.
“Kalau kurang, nanti saya tambah”, katanya lagi.
“Terima kasih Nyonya. Saya cuma menolong saja.
Saya tidak mengharapkan imbalan”, kataku tetap menolak. Padahal uang itu
nilainya besar sekali bagiku. Tapi aku malah menolaknya.
Wanita yang kuperkirakan berusia sekitar tiga
puluh delapan tahun itu memandangiku dengan kening berkerut. Seakan dia tidak
percaya kalau di kota yang super sibuk dengan orang-orangnya yang selalu
mementingkan diri sendiri, tanpa peduli dengan lingkungan sekitarnya, ternyata
masih ada juga orang yang dengan tanpa pamrih mau menolong dan membantu
sesamanya.
“Maaf, kelihatannya kamu dan kampung..?” ujarnya
bernada bertanya ingin memastikan.
“Iya, Nyonya. Baru seminggu saya datang dari kampung”, sahutku polos.
“Iya, Nyonya. Baru seminggu saya datang dari kampung”, sahutku polos.
“Terus, tujuannya mau kemana?” tanyanya lagi.
“Cari kerja”, sahutku tetap polos.
“Punya ijazah apa?”.
“Cuma SMP.”
“Wah, sulit kalau cuma SMP. Sarjana saja banyak
yang jadi pengangguran kok. Tapi kalau kamu benar-benar mau kerja, kamu bisa
kerja dirumahku”, katanya langsung menawarkan.
“Kerja apa, Nyonya..?” tanyaku langsung semangat.
“Apa saja. Kebetulan aku perlu pembantu laki-laki.
Tapi aku perlu yang bisa setir mobil. Kamu bisa setir mobil apa. Kalau memang
bisa, kebetulan sekali”, sahutnya.
Sesaat aku jadi tertegun. Sungguh aku tidak
menyangka sama sekali Ternyata ijasah yang kubawa dan kampung hanya bisa
dipakai untuk jadi pembantu. Tapi aku memang membutuhkan pekerjaan saat ini.
Daripada jadi gelandangan, tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung menerima
pekerjaan yang ditawarkan wanita itu saat itu juga, detik itu juga aku ikut
bersama wanita ini ke rumahnya.
Ternyata rumahnya besar dan megah sekali. Bagian
dalamnyapun terisi segala macam perabotan yang serba mewah dan lux. Aku sampai
terkagum-kagum, seakan memasuki sebuah istana. Aku merasa seolah-olah sedang
bermimpi. Aku diberi sebuah kamar, lengkap dengan tempat tidur, lemari pakaian
dan meja serta satu kursi. Letaknya bersebelahan dengan dapur. Ada empat kamar
yang berjajar. Dan semuanya sudah terisi oleh pembantu yang bekerja di rumah
ini. Bahkan tiga orang pembantu wanita, menempati satu kamar. Aku hitung, semua
yang bekerja di rumah ini ada tujuh orang. Kalau ditambah denganku, berarti ada
delapan orang. Tapi memang pantas. mengurus rumah sebesar ini, tidak mungkin
bisa dikerjakan oleh satu orang. Apalagi setelah beberapa hari aku bekerja di
rumah ini aku sudah bisa mengetahui kalau majikanku, Nyonya Wulandari selalu
sibuk dan jarang berada di rumah. Juga suaminya yang lebih sering berada di
luar kota atau ke luar negeri. Sedangkan kedua anaknya sekarang ini sekolah di
luar negeri.
Aku jadi heran sendiri. Entah bagaimana cara
mereka mencari uang, hingga bisa kaya raya seperti ini. Tapi memang nasib,
rejeki, maut dan jodoh berada di tangan Tuhan. Begitu juga yang terjadi
denganku. Dari jadi pembantu yang tugasnya membersihkan rumah dan merawat
tanaman, aku diangkat jadi sopir pribadi Nyonya majikan. Bukan hanya jadi
sopir, tapi juga sekaligus jadi pengawalnya. Kemana saja Nyonya Majikan pergi,
aku selalu berada di sampingnya. Karena aku harus selalu mendampinginya, tentu
saja Nyonya membelikan aku beberapa potong pakaian yang pantas. Terus terang,
pada dasarnya memang aku tampan dan memiliki tubuhnya yang tegap, atletis dan
berotot. Makanya Nyonya jadi kesengsem begitu melihat penampilanku, setelah
tiga bulan lamanya bekerja jadi sopir dan pengawal pribadinya.
Aku bisa berkata begitu karena bukan cuma jadi
sopir dan pengawal saja. Tapi juga jadi pendampingnya di ranjang dan menjadi
penghangat tubuhnya. Mengisi kegersangan dan kesunyian hatinya yang selalu
ditinggal suami. Dan aku juga menempati kamar lain yang jauh lebih besar dan
lebih bagus. Tidak lagi menempati kamar yang khusus untuk pembantu. Semua bisa
terjadi ketika malam itu aku baru saja mengantar Nyonya pergi berbelanja.
Setelah memasukkan mobil ke dalam garasi, aku langsung dipanggil untuk
menemuinya. Semula aku ragu dan hampir tidak percaya, karena langsung disuruh
masuk ke dalam kamarnya. Tapi memang Nyonya memintaku untuk masuk ke dalam
kamarnya. Dia menyuruhku untuk menutup pintu, setelah aku berada di dalam kamar
yang besar dan mewah itu.
Aku tertegun, apa lagi saat melihat Nyonya
Majikanku itu hanya mengenakan pakaian tidur yang sangat tipis sekali, sehingga
setiap lekuk bentuk tubuhnya membayang begitu jelas sekali. Dan di balik
pakaiannya yang tipis itu, dia tidak mengenakan apa-apa lagi. Beberapa kali aku
menelan ludah sendiri memandang keindahan tubuhnya. Sekujur tubukku mendadak
saja jadi menggeletar seperti terserang demam, ketika dia menghampiri dan
langsung melingkarkan kedua tangannya ke leherku.
“Nyonya”.
“Malam ini kau tidur di sini bersamaku.”
“Malam ini kau tidur di sini bersamaku.”
“Eh, oh..?!”
Belum lagi aku bisa mengeluarkan kata-kata lebih
banyak, Nyonya Wulandari sudah menyumpal mulutku dengan pagutan bibirnya yang indah
dan hangat menggairahkan. Tentu saja aku jadi gelagapan, kaget setengah mati.
Dadaku berdebar menggemuruh tidak menentu. Bcrbagai macam perasaan herkecamuk
di dalam dada. Ragu-ragu aku memegang pinggangnya. Nyonya Wulandari membawaku
ke pembaringannya yang besar dan empuk Dia melepaskan baju yang kukenakan,
sebelum menanggalkan penutup tubuhnya sendiri. Dan membiarkannya tergeletak di
lantai. Mataku seketika jadi nanar dan berkunang-kunang. Meskipun usia Nyonya
Wulandari sudah hampir berkepala empat, tapi memang dia merawat kecantikan dan
tubuhnya dengan baik. Sehigga tubuhnya tetap ramping, padat dan berisi. Tidak
kalah dengan tubuh gadis-gadis remaja belasan tahun. Bagaimanapun aku lelaki
normal. Aku tahu apa yang diinginkan Nyonya Wulandari. Apa lagi aku tahu kalau
sudah dua minggu ini suaminya berada di luar negeri.
Sudah barang tentu Nyonya Wulandari merasa
kesepian.
“Oh, ah..”
Nyonya Wulandari mendesis dan menggeliat saat
ujung lidahku yang basah kian hangat mulai bermain dan menggelitik bagian ujung
atas dadanya yang membusung dan agak kemerahan. Jari-jari tangankupun tidak
bisa diam. Membelai dan meremas dadanya yang padat dan kenyal dengan penuh
gairah yang membara Bahkan jari-jari tanganku mulai menelusuri setiap bagian
tubuhnya yang membangkitkan gairah. Aku melihat Nyonya Wulandari dan sudah
tidak kuasa lagi menekan gairahnya. Sesekali dia merintih dengan suara tertahan
sambil mendesak-desakkan tubuhnya Mengajakku untuk segera mendaki hingga ke
puncak kenikmatan yang tertinggi. Tapi aku belum ingin membawanya terbang ke
surga dunia yang bergelimang kehangatan dan kenikmatan itu. Aku ingin merasakan
dan menikmati dulu keindahan tubuhnya dan kehalusan kulitnya yang putih bagai
kapas ini.
“Aduh, oh. Ahh.., Cepetan dong, aku sudah nggak tahan nih..”, desah Nyonya Wulandari dengan suara rintihannya yang tertahan. Nyonya Wulandari menjepit pinggangku dengan sepasang pahanya yang putih dan mulus. Tapi aku sudah tidak bisa lagi merasakan kehalusan kulit pahanya itu. Karena sudah basah oleh keringat. Nyonya majikanku itu benar-benar sudah tidak mampu lebih lama lagi bertahan. Dia memaksaku untuk cepat-cepat membawanya mendaki hingga ke puncak kenikmatan. Aku mengangkat tubuhku dengan bertumpu pada kedua tangan. Perlahan namun pasti aku mulai menekan pinggulku ke bawah. Saat itu kedua mata Nyonya Wulandari terpejam. Dan dan bibirnya yang selalu memerah dengan bentuk yang indah dan menawan, mengeluarkan suara desisan panjang, saat merasakan bagian kebanggaan tubuhku kini sudah sangat keras dan berdenyut hangat mulai menyentuh dan menekan, mendobrak benteng pertahanannya yang terakhir. Akhirnya batang penisku menembus masuk sampai ke tempat yang paling dalam divaginanya.
“Okh, aah..!”
Nyonya Wulandari melipat kedua kakinya di belakang
pinggangku. Dan terus menekan pinggulku dengan kakinya hingga batang
kebanggaanku melesak masuk dan terbenam ke dalam telaga hangat yang menjanjikan
berjuta-juta kenikmnatan itu. Perlahan namun pasti aku mulai membuat
gerakan-gerakan yang mengakibatkan Nyonya Wulandari mulai tersentak dalam
pendakiannya menuju puncak kenikmatan yang tertinggi.
Memang pada mulanya gerakan-gerakan tubuhku cukup
lembut dan teratur Namun tidak sampai pada hitungan menit, gerakan-gerakan
tubuhku mulai liar dan tidak terkendali lagi. Beberapa kali Nyonya Wulandari
memekik dan mengejang tubuhnya. Dia menggigiti dada serta bahuku. Bahkan
jari-jari kukunya yang tajam dan runcing mulai mengkoyak kulit punggungku.
Terasa perih, tapi juga sangat nikmat sekali. Bahkan Nyonya Wulandari menjilati
tetesan darah yang ke luar dari luka di bahu dan dadaku, akibat gigitan giginya
yang cukup kuat.
Dan dia jadi semakin liar, hingga pada akhirnya
wanita itu memekik cukup keras dan tertahan dengan sekujur tubuh mengejang saat
mencapai pada titik puncak kenikrnatan yang tertinggi. Dan pada saat yang
hampir bersamaan, sekujur tubuhku juga menegang Dan bibirku keluar suara
rintihan kecil. hanya beberapa detik kemudian aku sudah menggelimpang ke
samping, sambil menghembuskan napas panjang. Nyonya Wulandari langsung memeluk
dan merebahkan kepalanya di dadaku yang basah berkeringat. Aku memeluk
punggungnya yang terbuka, dan merasakan kehalusan kulit punggungnya yang basah
berkeringat. Nyonya Wulandari menarik selimut, menutupi tubuh kami berdua. Aku
sempat memberinya sebuali kecupan kecil dibibirnya, sebelum memejamkan mata.
Membayangkan semua yang baru saja terjadi hingga terbawa ke dalam mimpi yang
indah.
Sejak malam itu aku kerap kali dipanggil ke dalam
kamarnya. Dan kalau sudah begitu, menjelang pagi aku baru keluar dari sana
dengan tubuh letih. Semula aku memang merasa beruntung bisa menikmnati
keindahan dan kehangatan tubuh Nyonya Majikanku. Tapi lama-kelamaan, aku mulai
dihinggapi perasaan takut. Betapa tidak, ternyata Nyonya Wulandari tidak pernah
puas kalau hanya satu atau dua kali bertempur dalam semalam. Aku baru menyadari
kalau ternyata Nyonya Majikanku itu seorang maniak, yang tidak pernah puas
dalam bercinta di atas ranjang.
Bukan hanya malam saja. Pagi, siang sore dan kapan
saja kalau dia menginginkan, aku tidak boleh menolak. Tidak hanya di rumah,
tapi juga di hotel atau tempat-tempat lain yang memungkinkan untuk bercinta dan
mencapai kenikmatan di atas ranjang. Aku sudah mulai kewalahan menghadapinya.
Tapi Nyonya Wulandari selalu memberiku obat perangsang, kalau aku sudah mulai
tidak mampu lagi melayani keinginannya yang selalu berkobar-kobar itu. Aku
tetap jadi supir dan pengawal pribadinya. Tapi juga jadi kekasihnya di atas
ranjang.
Mungkin karena aku sudah mulai loyo, Nyonya
Wulandari membawaku ke sebuah club kesegaran. Orang-orang bilang fitness
centre. Di sana aku dilatih dengan berbagai macam alat agar tubuhku tetap
segar, kekar dan berotot. Dua kali dalam seminggu, aku selalu datang ke club
itu. Memang tidak kecil biayanya. Tapi aku tidak pernah memikirkan biayanya.
Karena ditanggung oleh Nyonya Wulandari. Dan di rumah, menu makanankupun tidak
sama dengan pembantu yang lainnya. Nyonya Wulandari sudah memberikan perintah
pada juru masaknya agar memberikan menu makanan untukku yang bergizi. Bahkan dia
memberikan daftar makanan khusus untukku.
Terus terang, aku merasa tidak enak karena
diperlakukan istimewa. Tapi tampaknya semua pembantu di rumah ini sudah tidak
asing lagi. Bahkan dari Bi Minah, yang tugasnya memasak itu aku baru tahu kalau
bukan hanya aku yang sudah menjadi korban kebuasan nafsu seks Nyonya Wulandari.
Tapi sudah beberapa orang pemuda seusiaku yang jadi korban. Dan mereka
rata-rata melarikan diri, karena tidak tahan dengan perlakuan Nyonya Wulandari.
Aku memang sudah tidak bisa lagi menikmati
indahnya permainan di atas ranjang itu. Apa lagi Nyonya Wulandari sudah mulai
menggunakan cara-cara yang mengerikan, Untuk memuaskan keinginan dan hasrat
biologisnya yang luar biasa dan bisa dikatakan liar. Aku pernah diikat,
dicambuk dan di dera hingga kulit tubuhku terkoyak. Tapi Nyonya Wulandari malah
mendapat kepuasan. Wanita ini benar-benar seorang maniak. Dan aku semakin tidak
tahan dengan perlakuannya yang semakin liar dan brutal. Meskipun kondisi
tubuhku dijaga, dan menu makanankupun terjamin gizinya, tapi batinku semakin
tersiksa. Beberapa orang pembantu sudah menyarankan agar aku pergi saja dan
rumah ini. Rumah yang besar dan megah penuh kemewahan ini ternyata hanya sebuah
neraka bagiku.
Aku memang ingin lari, tapi belum punya kesempatan.
Tapi rupanya Tuhan mengabulkan keinginanku itu. Kebetulan sekali malam itu
suami Nyonya Wulandari datang. Aku sendiri yang menjemputnya di bandara. Dan
tentu tidak sendiri saja, tapi bersama Nyonya Wulandari. Di dalam perjalanan
aku tahu kalau suami Nyonya Majikanku itu hanya semalam saja. Besok pagi dia
sudah harus kembali ke Tokyo. Dari kaca spion aku melihat tidak ada gurat
kekecewaan di wajah Nyonya Wulandari. Padahal sudah hampir sebulan suaminya
pergi Dan kini pulang juga hanya semalam saja. Nyonya Wulandari malah tersenyum
dan mencium pipi suaminya yang kendur dan berkeriput.
Setelah memasukkan mobil ke dalam garasi, aku
bergegas ke kamar. Kesempatan bagiku untuk kabur dan rumah neraka ini. Karena
Nyonya Wulandari sedang sibuk dengan suaminya. Aku langsung mengemasi pakaian
dan apa saja milikku yang bisa termuat ke dalam tas ransel. Saat melihat buku
tabungan, aku tersenyum sendiri. Sejak bekerja di rumahi ini dan menjadi sapi
perahan untuk pemuas nafsu Nyonya Majikan, tabunganku di bank sudah banyak
juga. Karena Nyonya Wulandan memang tidak segan-segan memberiku uang dalam
jumlah yang tidak sedikit. Dan tidak sepeserpun uang yang diberikannya itu aku
gunakan. Semuanya aku simpan di bank. Aku masukan buku tabungan itu ke dalam
tas ransel, diantara tumpukan pakaian. Tidak ada yang tahu kalau aku punya
cukup banyak simpanan di bank. Bahkan Nyonya Wulandari sendiri tidak tahu.
Karena rencananya memang mau kabur, aku tidak perlu lagi berpamitan. Bahkan aku
ke luar lewat jendela.
Malam itu aku berhasil melarikan diri dari rumah
Nyonya Wulandari. Terbebas dari siksaan batin, akibat terus menerus dipaksa dan
didera untuk memuaskan nafsu birahinya yang liar dan brutal. Tapi ketika aku
lewat di depan garasi, ayunan langkah kakiku terhenti. Kulihat Bi Minah ada di
sana, seperti sengaja menunggu. Dadaku jadi berdebar kencang dan menggemuruh.
Aku melangkah menghampiri. Dan Wanita bertubuh gemuk itu mengembangkan
senyumnya.
“Jangan datang lagi ke sini. Cepat pergi, nanti Nyonya keburu tahu..”, kata Bi Minah sambil menepuk pundakku.
“Terima kasih, Bi”, ucapku.
Bi Minah kembali tersenyum. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, aku bergegas meninggalkan rumah itu. Aku langsung mencegat taksi
yang kebetulan lewat, dan meminta untuk membawaku ke sebuah hotel.
Untuk pertama kali, malam itu aku bisa tidur
nyenyak di dalam kamar sebuah hotel. Dan keesokan harinya, setelah mengambil
semua uangku yang ada di bank, aku langsung ke stasiun kereta. Aku memang sudah
bertekad untuk kembali ke desa, dan tidak ingin datang lagi ke Jakarta.
Dari hasil tabunganku selama bekerja dan menjadi
pemuas nafsu Nyonya Wulandari, aku bisa membuka usaha di desa. Bakkan kini aku
sudah punya istri yang cantik dan seorang anak yang lucu. Aku selalu berharap,
apa yang terjadi pada diriku jangan sampai terjadi pada orang lain. Kemewahan
memang tidak selamanya bisa dinikmati. Justru kemewahan bisa menghancurkan diri
jika tidak mampu mengendalikannya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar