Selasa, 02 September 2014

Tante Murni yang seksi



Ibuku adalah 7 bersaudara, dan beliau adalah anak tertua kedua, kemudian adik-adiknya ada 4 orang, berturut-turut perempuan dan yang bungsu laki laki, adik perempuan yang terkecil tinggal bersama kami sejak aku masih kecil. Sejak aku usia 8 tahun (kira kira kelas 3 SD), tanteku itu mulai ikut tinggal di rumah kami, sebut saja Tante Murni. Tante Murni terpaut sekitar 6 tahun denganku, jadi waktu itu usianya 14 thn. Setelah lulus SMP di K, Tante Murni tidak mau meneruskan ke SMA dan memilih ikut kakaknya di Jakarta, katanya mau tahu Jakarta.

Wajah Tante Murni sangat menarik, bulat, cukup cantik, kulit sawo matang, dengan tinggi seperti anak perempuan usia 14 tahun, tetapi dalam pandanganku sepertinya tubuh Tante Murni lebih montok dibanding teman seusianya yang lain. Sebagai gadis remaja yang sedang mekar tubuhnya, tanteku ini juga agak sedikit genit. Dia senang berlama-lama jika sedang merias dirinya di depan cermin, aku sering menggodanya dan Tante Murni selalu tertawa saja.

Aku sendiri anak tertua dari tiga bersaudara (semua saudaraku perempuan). Rumahku waktu itu hanya mempunyai 3 kamar, satu kamar orang tuaku dan dua untuk anak anak. Kedua adikku tidur dalam satu kamar, dan aku menempati kamar lain yang lebih kecil. Sejak Tante Murni tinggal dengan kami, tante tidur dengan kedua adikku ini.

Pergaulan Tante Murni dengan tetangga sekitar juga sangat baik, ia cepat akrab dengan anak remaja sebayanya, antara lain tetangga kami Suli. Usianya tak jauh beda dengan tanteku kira-kira 15 tahun, tapi berbeda dengan tanteku, Suli berkulit putih bersih dan jauh lebih tinggi (kata orang bongsor), wajahnya ayu, rambutnya selalu disisir poni, murah senyum dan baik hati. Ia sangat baik terhadap semua saudaraku terlebih terhadapku, mungkin karena ia anak tunggal dan sangat mendambakan seorang adik laki-laki seperti yang sering dikatakannya kepadaku. Mbak Suli sering bermain di rumah kami, bahkan beberapa kali ikut tidur di rumah kami bila hari libur, oh ya Mbak Suli ini kelas 2 SMEA.
Sekitar dua bulan setelah Tante Murni tinggal di rumahku, suatu saat Ibu dan almarhum ayahku harus meninggalkan kami karena suatu urusan di Jawa Tengah (almarhum berasal dari sana) katanya urusan warisan atau apalah waktu itu aku tidak begitu paham. Adikku yang kecil (2,5 thn.) diajak serta, sedangkan kami dititipkan pada tetangga sebelah rumah (kami saling dekat dengan tetangga kiri-kanan) dan tentu saja pada Tante Murni.
Tante Murni orangnya sangat telaten mengurus para keponakan, mungkin karena di desa dulu memang tanteku itu orang yang “prigel” dalam pekerjaan rumah tangga. Setiap hari Tante Murni bersama adikku selalu mengantarku sekolah yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan rumah. Lalu ia pulang dan menjemputku lagi pada jam pulang sekolah (kira-kira pukul 10:30). Aku sangat senang dijemput Tante Murni, karena aku punya kesempatan untuk menggandengnya dan menepuk pantatnya yang montok itu. Entah mengapa meskipun aku saat itu masih kecil, tetapi kemontokan dada Tante Murni serta juga pinggulnya yang menonjol itu membuat aku selalu berusaha menyentuhnya terutama secara “pura pura” tidak sengaja. Semuanya itu aku lakukan secara intuitif saja, tanpa ada siapapun yang mengajari.

Pada hari keempat sejak ditinggal pergi kedua orang tuaku (hari Sabtu), Sepulang sekolah, kami bermain di ruang depan sambil nonton televisi. Aku, adikku, Tante Murni dan Mbak Suli. Orang tua Mbak Suli inilah yang dititipi oleh orang tuaku. Masa kecilku memang lebih banyak dihabiskan di dalam rumah, jarang aku bermain di luar rumah kecuali bila sekolah, dan pergaulanku juga lebih banyak dengan adikku, atau beberapa anak sebaya tetangga terdekat, itupun kebanyakan mereka perempuan.

Kami biasanya bermain mobil-mobilan atau sesekali bermain dokter-dokteran, aku jadi dokter lalu Tante Murni dan Mbak Suli menjadi pasien. Kadang-kadang bila aku sedang berpura-pura memeriksa dengan stetoskop mainanku secara mencuri-curi aku menyenggol payudara Mbak Suli atau tanteku, tapi mereka tidak marah hanya tersenyum sambil berkata, “Eh, koq dokternya nakal, ya”. sambil tertawa, terkadang membalas dengan cubitan ke pipi atau lenganku, yang selalu kuhindari. Memang mulanya aku tak sengaja tapi sepertinya asyik juga menyenggol payudara mereka, maka hal itu menjadi kebiasaanku, setiap kali permainan itu. Terasa sekali payudara mereka kenyal dan empuk, setelah aku besar baru aku menyadari bahwa saat itu mereka pasti tak memakai beha, karena tak terasa ada sesuatu yang menghalangi sentuhan jariku pada daging montok itu kecuali lapisan baju mereka. Setiap kali tanganku menyentuh meremas atau menowel bukit empuk itu, aku merasakan ada getaran aneh terutama di sekitar kemaluanku, tak jarang membuatnya menegang, walaupun waktu itu masih kecil dan belum sunat. Sering aku mengkhayalkan memegang payudara mereka bila sedang sendirian di kamarku sambil memegang burung kecilku, hingga tegang walaupun tak sampai mengeluarkan sperma, hanya cairan bening, seperti cairan lem uhu tapi tidak seperti lem lengketnya.

Siang itu setelah adikku tertidur kami kembali bermain dokter-dokteran dan hal itu kulakukan lagi. Untuk diperiksa kuminta Tante Murni untuk berbaring di lantai, dia menurut saja. Yang pertama kuperiksa adalah dahinya lalu aku langsung meletakkan stetoskopku di dadanya, namun aku sengaja memposisikan tanganku sedemikian rupa sehingga tanganku berhasil menempel di dada Tante Murni, kurasakan empuk sekali dan seiring dengan napasnya, tangankupun ikut naik turun pelan-pelan. Tante Murni hanya tertawa saja, sementara Mbak Suli memperhatikan sambil tertawa, rupanya mereka geli atas kekurangajaranku ini, sepertinya Tante Murni keenakan dengan tingkahku ini, tanganku tak hanya memeriksa di satu tempat tetapi terus bergeser, dan aku tak pernah mengangkat tanganku dari gundukan kenyal itu.

Sampai tiba-tiba Tante Murni memegang tanganku dan menggosok-gosokannya di dadanya. Aku merasa senang sekali, apalagi Tante Murni juga tiba-tiba merangkul dan menciumiku dengan gemas, tapi ya cuma begitu saja. Karena selanjutnya Mbak Suli yang minta diperiksa, Mbak Suli malahan lebih gila lagi, dia sengaja membuka kancing blus-nya sehingga aku bisa melihat gundukan daging yang putih itu. Tanganku gemetar ketika meletakkan stetoskop plastikku di tepi gundukan dadanya, apalagi ketika dengan suara nyaring Mbak Suli berkata, “Mas.. (dia biasa memanggilku Mas seperti adik adikku, begitu juga Tante Murni), dingin stetoskopmu!”. Tanpa mempedulikan ucapannya, stetoskopku terus bergeser sehingga tersingkaplah bajunya dan mataku terbelalak melihat puting susunya yang kecil dan berwarna coklat muda itu.
Saat itulah Mbak Suli menepis tanganku sambil tertawa, “Sudah sudah, geli!”. Mereka berdua langsung berdiri dan meninggalkanku sambil berbisik-bisik, aku merengek agar mereka tetap menemaniku bermain, tetapi mereka terus keluar sambil tertawa. Aku merasakan kalau penisku kaku sekali dan juga celanaku jadi basah, entah mengapa aku jadi penasaran sekali dengan semua ini, aku bertekad kalau besok main dokter-dokteran lagi, akan aku singkap baju Tante Murni atau Mbak Suli biar aku bisa melihat lebih jelas puting susu yang menonjol bulat itu.

Malamnya sebelum tidur aku kembali membayangkan kejadian siang itu, kurasakan penis kecilku meregang sehingga kubuka celana pendekku dan kukeluarkan penisku yang sudah tegak ke atas itu. Kupegang dan kuremas pelan-pelan, sambil memejamkan mata kubayangkan kekenyalan dada Tante Murni, puting susu Mbak Suli, terasa nikmat sekali melamun sambil merasakan sesuatu yang gatal dan nikmat di sekitar penisku itu. “Hayo., lagi ngapain!, Aku jadi kaget dan terlonjak serta membuka mataku. Di depanku kulihat Tante Murni sambil tersenyum memandang bagian bawah tubuhku yang terbuka itu. Mukaku terasa panas, mungkin merah padam mukaku, sambil membetulkan celana yang hanya kupelorotkan sampai dengkul aku segera memeluk guling tanpa berkata apa apa lagi dan membelakangi tanteku.

Sambil terus tertawa tanteku ikut naik ke ranjangku dan memelukku dari belakang dan menciumku sambil berbisik, “Nggak apa apa Mas.”. Jantungku deg-deg, apalagi ketika dengan lembut tanteku membelai rambutku terus tubuhku sambil berbisi, “Ehh, jangan malu, kamu senang ya pegangin burung, sini tante pegangin”. Mulanya aku ragu, takut kalau tanteku hanya memancing reaksiku saja, tetapi ketika rabaannya turun ke arah selangkanganku aku jadi berubah senang. Kuberanikan diri untuk menolehnya dan kudapati wajah tanteku yang tersenyum manis sekali membuat hatiku berbunga bunga. Burungku yang tadinya sudah mengecil itu mendadak meregang lagi dan mendesak celanaku.

Tanteku kemudian menciumi wajahku dengan kasih sayang, tangannya mulai meraba lagi bagian sensitifku dari bagian luar celanaku, aku yakin tanteku bisa merasakan penisku yang meregang dan keras itu, elusan tanteku terasa kurang nikmat, aku berpikir seandainya tanteku memegang langsung burungku, tentu lebih nikmat. Belum habis aku berpikir, tiba-tiba saja Tante Murni memelorotkan celana pendekku sampai terlepas, sehingga burungku yang sudah tegang itu bebas mengacung diudara terbuka. Dengan kelima jarinya tanteku menggenggam burungku dan meremasnya pelan. Aku merasa gatal dan geli serta nikmat yang tak kumengerti tapi membuat aku merasa seperti melayang dan menggeliat serta merintih pelan.

Dengan memandang tajam mataku, remasan jari lentik Tante Murni di burungku menjadi semakin cepat bahkan juga dikocoknya naik turun kadang-kadang juga dielusnya buah pelirku. Aku semakin meringis merasakan kenikmatan ini, secara naluriah aku berusaha merangkul tanteku agar rasa geli itu makin terasa nikmat. Aku juga berusaha menempelkan wajahku ke wajah Tante Murni yang kulihat juga merah padam dan bibirnya gemetar, nafas Tante Murni semakin memburu dan dia makin merapatkan tubuhnya ke tubuh kecilku, tanganku diraihnya lalu dituntun ke dadanya yang montok dan kenyal itu.

Tanganku terasa menempel di puting susu Tante Murni yang terasa keras seperti kelereng itu, aku meremasnya dengan agak sulit, karena telapak tanganku yang kecil itu tak bisa meremas keseluruhan permukaan dada Tante Murni yang lebar dan keras itu Kuperhatikan tanteku saat itu mengenakan daster kaos yang tipis tanpa mengenakan apa apa lagi dibaliknya. Merasa kurang puas hanya meremas dari luar, akupun menyelusupkan tanganku ke lubang tangan daster Tante Murni sehingga tanganku secara langsung bersentuhan dengan dada yang telah lama aku kangeni itu, hangat dan licin sekali. Kalau tadinya tanteku yang asyik meremas-remas burungku, sekarang justru aku yang beringas meremas-remas payudara tanteku bahkan tanganku yang lain juga ikut ikutan meremas payudara Tante Murni yang satunya. Tante Murni hanya memejamkan matanya rapat rapat sambil menggigit bibirnya.

Aku tak mempedulikan apapun sikap Tante Murni, bagiku kesempatan emas ini harus benar-benar dinikmati dan peduli dengan tanteku. Tanganku bukan hanya meremas, tetapi juga memelintir puting susu tanteku yang kecil dan keras itu, lucu sekali melihat kedua tanganku menelinap dan bergerak-gerak di dalam daster tanteku. Kurasakan tangan tanteku sudah tak mengocok penisku, tetapi hanya kadang kadang saja dia meremasnya dengan keras membuat aku kesakitan. Dari luar dadanya yang berdaster mulutku ikut ikutan menciumi dada tanteku itu, rasanya bila memungkinkan aku ingin memanfaatkan seluruh tubuhku untuk menikmati kekenyalan dada Tante Murni ini.

Tak kusadari nafas tanteku makin lama makin memburu, rupanya dia juga sangat menikmati kekasaran tanganku ini. Tiba-tiba saja Tante Murni mengangkat dasternya sehingga dadanya tersibak, baru saat itu aku bisa melihat kemontokan payudara tanteku ini, tanganku hanya dapat menutupi sebagian ujung atas payudaranya, sedangkan bagian yang lain masih belum tersentuh oleh remasanku. Dada yang montok itu dipenuhi oleh barut-barut merah bekas remasanku. Setelah dadanya terbuka dengan gemetar Tante Murni berbisik, ” Mas, isep pentilnya pelan-pelan ya”. Tak perlu diperintah dua kali, aku segera melumat puting susu tanteku dan mengenyotnya sekuatku, Tante Murni mendesis desis dan menekan kepalaku kuat kuat kedadanya, aku memeluk pinggangnya dan kutindih badan Tante Murni dengan tubuhku yang telanjang bawah itu. Terasa burungku yang kaku itu menghunjam di tubuh mulus tanteku yang hanya dilapisi celana dalam itu. Tanteku makin kencang memeluk tubuhku, bahkan ia menyuruh aku untuk menjilati juga putingnya. Kulakukan semua itu dengan penuh semangat, entah apa pengaruh kepatuhanku ini pada Tante Murni, yang jelas aku sangat menikmatinya, penisku yang menggeser-geser diperut Tante Murni terasa mengeluarkan cairan yang membasahi perut Tante Murni. Saat itu Tante Murni sudah tak mempedulikan penisku lagi, dia asyik menikmati kepatuhanku itu.

Mungkin karena sudah tak tahan dengan semua itu, tiba-tiba saja Tante Murni juga melepaskan celana dalamnya. Selama ini aku hanya bernafsu pada buah dadanya saja, aku tak pernah berpikiran lebih dari itu. Ketika dengan berbisik ia menyuruhku memindahkan ciumanku, aku agak bingung juga. ” Mas, ayo sekarang ciumi selangkangan Mbak ya, nanti punya kamu juga Mbak ciumi”. Aku menghentikan kesibukanku di dada Tante Murni dan memandang ke selangkangannya. Aku takjub sekali melihat selangkangan Tante Murni itu karena ada rambut keriting yang tumbuh di ujung selangkangannya yang cembung itu, ini adalah pemandangan yang sama sekali baru bagiku, selama ini aku hanya pernah melihat selangkangan adikku yang aku tahu tak ada burungnya seperti aku. Namun selangkangan wanita yang berbulu, ya baru kepunyaan Tante Murni ini! 

Tamat


Istri muda merangkap sekertaris pribadi



Selepas sekolah aku kuliah di akademi sekertaris. Aku pisah dengan keluarga dan tinggal sendiri. Tak jarang rasa sepi terasa saat jauh dari keluarga. Untunglah aku memiliki teman akrab yang dapat menghilangkan rasa sepi. Namanya Selly ia teman kampusku dan kebetulan kami satu kost.

Selly memang supel. Ia memiliki banyak teman dan kenalan. Sering ia memperkenalkan aku dengan teman-temannya. Tak jarang teman prianya mencoba untuk berpacaran denganku. Katanya sih aku cantik dan memiliki penampilan yang begitulah. Akhirnya aku berpacaran dengan kenalan Selly. Namanya Daniel. Ia sangat gigih untuk meluluhkan hatiku. Bisa dibilang temanku Selly memiliki pergaulan yang bebas. Memang ia memiliki banyak pacar dan tak jarang mereka menginap di kamar Selly.

Memang tempat kostku bagus dan bebas. Dan terkadang pacarku sering pulang malam. Tapi kami hanya mengobrol dan tidak melakukan apa-apa. Mungkin, karena Daniel cara berpacarannya jauh, terkadang ia mencoba untuk menaklukan tubuhku. Baru kali aku menerima pria sebagai pacarku. Awalnya Daniel mencoba untuk mencium bibirku. Tapi aku menghindar dan menolaknya. Tapi karena usahanya yang gigih akhirnya bibir ini kuberikan. Hampir setiap bertemu ia melahap bibirku. Seakan tiada pertemuan tanpa berciuman. Tahap demi tahap usahanya berhasil membuatku memberikan tubuhku. Mulai dari bibir, dadaku dan kepolosan tubuhku yang tanpa sehelai pakaian. Kecuali keperawananku.

Sering Daniel meminta keperawananku. Tapi kutolak, kuanggap sudah semua kuberi. Kecuali satu ini. Setiap bertemu tubuhku selalu polos, karena Daniel selalu melucuti pakaianku. Awalnya aku merasa canggung. Awalnya aku hanya kasihan, mungkin karena kelembutan Daniel aku malah menyukai hal ini. Aku memiliki komputer di kamar kostku. Sering Daniel membawakan film. Tapi lama-lama aku diajak nonton film XX. Awalnya aku risih, karena merasa lihat tubuh sendiri. Aku jijik melihat adegan-adegan itu. Tapi karena Daniel memberikan kelembutan disaat kami menonton, perlahan aku suka. Kuanggap sebagai pelajaran.

Beberapa lama kemudian aku mempraktekkannya. Aku mencontoh beberapa adegan dan aku menyukainya. Sampai kuberikan liangku, tapi aku tetap perawan karena hanya liang belakangku yang kuberikan. karena kasihan terhadap Daniel yang menginginkan bersetubuh denganku. Awalnya aku agak risih dan aneh. Tapi rasa nikmat yang kurasakan malah membuatku ketagihan. Sampai-sampai aku beronani saat kusendiri. Makin diasah rasanya aku makin butuh. Sampai kurobek sendiri selaput daraku dengan jari-jariku. Daniel tidak tahu hal ini. Kurasakan kenikmatan yang berbeda disaat liang vaginaku dimasuki sesuatu.

Saat malam minggu, Daniel dan aku bercumbu seperti biasanya. Sampai kami benar-benar terangsang dan sodomi kami lakukan. Aku menikmatinya, entah Daniel. Beberapa kali kurasakan semburan Daniel di liang anusku. Sampai-sampai liangku sangat licin. Akhirnya aku kelelahan dan kulihat Daniel ke kamar mandi. Sesaat kuterlelap. Beberapa lama kuterlelap. Sesaat kutersadar dan kurasakan kakiku mengangkang lebar. Terasa sentuhan yang lembut merangsang daerah sensitifku. Dengan reflek, dada dan daguku terangkat tinggi. Ah, birahiku mengalir di dalam darahku. Sesaat nafasku berburu, kumendesah. Kemudian kurasakan tubuhku dipeluk. Kurasakan bibir vaginaku tersentuh sesuatu. Perlahan suatu benda memasuki liang vaginaku. Sekejap kutahan nafas dan kurasakan nikmat seiring benda yang memasuki liangku. “Ooouuhh,” terucap seiring liangku tertancap dalam. Mataku tak dapat kubuka lebar karena kunikmati kejadian ini. Perlahan terlihat sosok Daniel.

Kurasakan Daniel mengeluar-masukkan miliknya perlahan. Mengapa kurasakan kelembutan dan kenikmatan dari sentuhannya. Beberapa lama kurasakan semburan di liangku. Aahh, rasanya, membuat rasa yang.. Sesaat kemudian kurasakan puncakku. Kudekap erat Daniel dan sesaat tubuhku menegang. Setelah itu kubenar-benar tersadar dan rasa bingung, sedih, kecewa dan senang bercampur aduk di hatiku. Rasa malu tersimpan di hatiku. Harga diriku sesaat hilang bersama persetubuhan itu. Beberapa kali Daniel menyetubuhiku. Tapi rasa klimaks yang kurasakan setiap berhubungan, membuatku ketagihan.

Akhirnya aku lulus kuliah. Dan Aku menjadi sekertaris. Bosku baik. Ia sudah menikah. Kurasakan orangnya lembut. Entah mengapa, lambat laun aku menyukainya. Perasaan sama kurasakan dari sikapnya. Kulihat ia rajin datang. Kami sering bersama dan kami sering mengobrol di dalam ruangannya. Awalnya kami berbincang. Akhirnya kami saling terbuka dan membicarakan tentang hal yang pribadi. Sesaat kami bertatapan. Rasa getaran yang kuat mengalir di tubuhku di saat dekat dengannya. Mungkin karena rokku yang pendek membuat ia terangsang. Beberapa kali tangannya menyentuh pahaku. Awalnya aku ingin menolaknya. Tapi apa salahnya, maka kubiarkan. Karena sikapku ini Pak Rian semakin sering memegang pahaku. Tak jarang ia mengelus-elus dan bertahap menyusup ke selangkanganku. Sebenarnya aku ingin menepis perbuatannya. Mungkin karena aku menyukai, sentuhannya maka kubiarkan. Tampaknya ia merasa dapat lampu hijau dariku. Tangannya awalnya meraba pahaku dan akhirnya merembet ke selangkanganku, aku bingung haru berbuat apa. Aku hanya bisa diam, kemudian ia mengangkat rokku, merangkulku. Bibirnya menciumi kupingku, leher dan bibirku. Aku bingung harus bagaimana.

Hari-hari berikutnya ia melakukan hal ini terus. Suatu saat ia mencumbuku, kurasakan tangannya perlahan mengelus dari pahaku, pinggul, perut dan naik ke dada. Sesaat kami terdiam. Rasa campur aduk di hatiku. Serasa aku ingin memarahinya. Tapi aku tak dapat. Ia atasanku, dan sebetulnya aku menyukai hal ini. Karena kuterdiam ia semakin menjadi. Dadaku ia raba-raba lalu diremasnya. “Dadamu empuk ya, besar loh,” bisik bosku. Kurasakan di dadaku mengalir rangsangan. Putingku terasa mengeras, nyilu dan nikmat. Rasanya kusuka. Kutak sanggup bergerak karena birahiku muncul. Beberapa lama kurasakan tangannya menikmati dadaku. Kemudian bibirku juga ia nikmati. Kurasakan bibirku dilahap dengan nafsunya. Beberapa lama mulai kurasakan kelembutannya. Kubalas kecupan bibirnya, lidahnya dan hisapan terhadap air liurku.

Beberapa lama kurasakan tanganku mulai sanggup bergerak. Perlahan kugerakkan dan kuhampiri pipinya. Lalu pipinya tersentuh tanganku dan kuelus-elus sebagai tanda kumenikmatinya. Kurasakan kemejaku keluar dari rokku. Ternyata Pak Rian mengangkatnya. Tangannya kurasakan menyusup dari perutku. Kurasakan sentuhan tangannya membuai perut lalu naik mendekap braku. Terbuai kulit dadaku. Beberapa lama kemudian tangannya menelusuri tali BH-ku dan akhirnya sampai dikaitan BH-ku.

Kurasakan tangannya mengelus punggungku sesaat. Lalu kurasakan kaitan bra-ku lepas. Pak Rian melepaskannya. Kurasakan jemarinya berjalan meraba punggunku dan akhirnya mendekap buah dadaku. “Tanpa bra lebih besar, lebih terasa,” bisik Pak Rian. Kurasakan tubuhku memasrah. Jemarinya memainkan putingku. Rasanya nyilu dan nikmat. Sekilas wajahku ke samping dan tertunduk. Perlahan kuhisap dan kugigit lembut bibir bawahku. Dadaku terangkat dengan reflek, seakan kusodorkan ke Pak Rian.
 
Kurasakan tangan Pak Rian keluar dan tak menyusup lagi. Bibirku ia kecup lagi. Perlahan tangannya kurasakan menyusup di celah lengan kemejaku. Tali bra-ku kurasakan ditariknya keluar sampai ke ujung jemariku tanganku. Sesaat kemudian taliku yang satunya juga ia lepaskan, kini tiada yang menahan bra-ku. Kemudian tangannya menyusup ke dalam kemejaku lagi. Penyangga buah dadaku kurasakan turun dan lepas keluar ditarik tangannya. Sesaat kurasakan putingku menyentuh langsung kemejaku. Lalu tangannya meremas-remas kemejaku yang menutupi langsung buah dadaku. Kemudian kurasakan putingku ia gelitik dengan lembut. Aahh, nikmat rasanya
.
Sesaat terdengar dering telpon. Kami terhenti dan Pak Rian segera mengangkatnya. Sesaat terlihat kedua titik dadaku oleh mataku. “Kamu temenin aku nanti ya!” sahut Pak Rian kepadaku saat berbincang di telepon. Aku rasa aku harus memakai bra-ku lagi. Tidak enak bila terlihat karyawan lain. Sesaat kulepaskan kancingku satu persatu dan kulepaskan kemejaku sambil membelakangi Pak Rian. Sesaat kurasakan tubuhku didekap dari belakang. “Badan kamu bagus,” sambil tangannya meraba dan meremas buah dadaku lagi. Telingaku ia cumbu.

 Kemudian ia ajak lagi aku ke tempat duduk. Lalu ia duduk dan kedua tanganku ditarik sehingga aku mendudukinya secara berhadapan. Rokku terangkat dan celana dalamku terlihat jelas. Mulutnya segera melahap dadaku. Salah satu tangannya memelukku dan satunya lagi menikmati dadaku yang tersisa. Mataku terpejam sambil menikmati sentuhannya. Bberapa lama ia menikmati buah dadaku. Ada teleon berbunyi. “Uah dulu, kita berangkat ya,” ucapnya setelah beberapa lama melahap tubuhku. Aku segera memakai dan merapikan pakaianku. Ia memintaku menemaninya rapat di pantai utara Jakarta. Setelah itu kami menyempatkan berbincang sambil melihat matahari terbenam di ujung laut.

Perlahan sore selesai dan mendung perlahan menutupi langit. Angin perlahan berhembus kencang dan gerimis turun. Akhirnya kami bergegas masuk kemobil. Perlahan hujan turun. Suasana di luar terlihat gelap. Rasa tenang aku rasakan di dalam mobil. Setelah lama mengobrol di mobil. Kulihat di sekitar mobil banyak yang berhenti parkir dan kadang ada yang bergoyang.

Mata Pak Rian kulihat menatapku. Lalu ia pindah ke tempat dudukku. Bibirnya segera melahap bibirku. Aku tak mau kalah dan kami bersaing. Kurasakan buah dadaku diraba tangannya, lalu diremas-remas dengan lembut. Sesaat kemudian kancing bajuku kurasakan dilepas satu-persatu, rasanya tali bra-ku juga dilepas. Dadaku ia telajangi. Perlahan bibirnya turun dari bibir, leher, pundak, sesaat senderan kursiku ia rebahkan dan kemudian buah dadaku ia lahap.

Daguku terangkat dan dadaku membusung ke mulutnya. Kurasakan nikmat, terkadang wajahku kuhadapkan ke kanan atau ke kiri sambil kugigit lembut bibir bawahku. Kurasakan pahaku ia raba dan kemudian ke celana dalamku. Beberapa lama kemudian kurasakan celana dalamku ia tarik dan lepaskan. Rokku juga tak ketinggalan. Kurasakan hembusan AC mobil membuai tubuhku bersama jemari Pak Rian yang meraba-raba hampir seluruh tubuhku dengan kehangatannya.

Buah dada dan bibirku ia gilir. Kurasakan tangannya turun dari perut ke tonjolan sensitifku. Lalu ia mainkan dan perlahan jarinya meraba bibir vaginaku yang sudah basah. Sesaat kurasakan liang vaginaku ia masuki dengan jarinya. “Ooouuhh,” ucapku sesaat. Kurasakan jarinya keluar-masuk di liangku. Beberapa lama kurasakan tubuhnya menindih tubuhku. Kurasakan ia membuka celananya. Kakiku ia buat melebar, lalu kurasakan bibir vaginaku tersentuh miliknya, sesaat liangku ia tancap sampai dalam dengan mudah. “Oouuhh,” ucapku sesaat lagi. Kurasa aku sudah basah. Tanpa tahapan ia langsung mengeluar-masukkan miliknya dengan cepat.

Kutaksanggup menahan rasa nikmat. Desahan demi desahan akhirnya terlepas dari mulutku. Tubuhku menjadi pasrah menikmati sentuhannya. Rasa nikmat membuatku cepat mencapai puncak. Beberapa lama kemudian kurasakan miliknya menyembur liang vaginaku. “Ooouuhh.. aahh..” terlepas dari mulutku seiring menikmati semburannya yang terasa hangat di liangku. Akhirnya kami istirahat sesaat. Mungkin karena suasana yang nikmat, kami akhirnya mengulangi beberapa kali.

Keesokannya ia menjadikan aku merangkap sekretaris pribadinya. Ia meminta aku tinggal di apartermen barunya. Kami semakin sering berhubungan. Mungkin hampir setiap hari. Aku juga membantunya memperlicin kerjsama dengan klien usahanya. Dari situ aku banyak mengenal orang-orang tertentu. Dan kunikmati petualangan ini. Mungkin karena aku menyukainya, aku bersedia jadi istri mudanya.

the end


Selasa, 12 Agustus 2014

Daun Mudanya Tante Nia



Aku kini benar-benar terbangun setelah mendengar dengkuran Mas Har beberapa lamanya. Kuperhatikan dada dan perutnya yang padat lemak itu naik-turun seirama dengan suara dengkur yang makin menjengkelkanku.Aku turun dari ranjang dan berjalan menuju cermin besar di kamar tidur kami. Kupandangi dan kukagumi sendiri tubuh telanjangku yang masih langsing dan cukup kencang di usiaku yang tigapuluhan.Kulitku masih cukup mulus dan putih, payudaraku tetap bulat dan kenyal, pas benar dengan bra 34B warna pink favoritku saat kuliah. Dan wajahku masih halus, semua terawat oleh kosmetik yang aku dapatkan dari uang Mas Har.Ah, aku masih sangat menarik.Tentu saja, tanda-tanda ketuaan tak bisa dihindari, namun tubuhku belum pernah melar karena hamil, apalagi melahirkan. Aku masih ingin meniti karierku, aku ini wanita yang menikmati kekuasaan.Dan menikah dengan Mas Har membuka lebar-lebar kesempatan untuk meraih ambisi itu. Kualihkan pandangan pada sosok lelaki tambun di ranjangku. Mas Har yang dulu tampil sangat jantan, bisa sangat berubah dalam waktu 12 tahun.Rambut halus di dada dan perutnya dulu yang selalu membuatku bergairah bila dipeluknya, kini tumbuh makin lebat dan liar, sedangkan Mas Har tidak pernah mau mencukurnya.

Perutnya yang kokoh dulu kini ditutupi oleh selimut lemak yang sangat tebal.Memang otot dada dan tangannya yang kekar masih bertahan. Namun kalau aku bercinta dengan Mas har sekarang, rasanya aku sedang ditiduri oleh seekor gorilla. Memuakkan. Meski begitu, hasratku akhir-akhir ini makin tak tertahankan.Seringkali, akulah yang meminta duluan ke Mas Har untuk memuaskan nafsuku. Namun gara-gara stamina Mas Har yang loyo di usianya yang setengah abad lebih, aku hampir pasti tidak terpuaskan dan kebanyakan aku sendiri yang menyelesaikan “tugas” Mas Har.Sama seperti yang terjadi sore ini, tinggal sebentar lagi aku merasakan orgasme, tiba-tiba Mas Har keluar, dan dengan napas tersengal-sengal ia membelai-belai tubuhku kemudian tertidur lelap di sampingku.Lagi-lagi harus jari-jariku sendiri yang memuaskanku.Aku sudah tak tahan. Aku tidak peduli lagi pada nilai dan norma yang berlaku bagiku sebagai perempuan.Kubulatkan tekadku, kemudian aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari bekas cumbuan suamiku yang memuakkan.Selesai sarapan Mas Har pamit padaku dan mengatakan betapa menyesalnya dia harus meninggalkanku akhir pekan ini ke Singapura, demi kepentingan lobby perusahaannya.Mas Har memang pernah menawarkan padaku untuk pergi bersamanya, tapi aku menolak dengan alasan aku lelah dengan pekerjaan kantorku dan sedang tidak ingin pergi begitu jauh hanya untuk berbelanja. Dan kesempatan ini akan aku gunakan sebaik-baiknya.Sore ini aku akan punya kegiatan yang lebih menarik dari sekedar berbelanja, di Singapura sekalipun. Supir kami mengantar Mas Har pergi dan 30 menit kemudian aku pergi menuju kantor membawa sedanku sendiri.

Setelah makan siang aku kembali ke kantor dan menyelesaikan sebagian pekerjaanku hari itu dan dua jam sebelum waktu pulang, aku menyerahkan sisa pekerjaan itu ke bawahanku.Mereka tidak terlalu senang dengan tugas mendadak itu, tapi nampaknya mereka sudah terbiasa dengan perangaiku.Mereka paham bahwa aku tidak ingin menjadi lelah, karena sepulang kerja nanti aku akan pergi bersama teman-temanku, eksekutif wanita muda yang lain. Hanya saja mereka tidak tahu kalau hari itu, aku sudah membatalkan acara jalan-jalan kami.Kukemudikan sedanku ke arah rumahku, namun kemudian berbelok menuju tempat lain. Sekitar 15 menit kemudian aku berhenti di samping sebuah lapangan basket di dalam suatu perumahan. Di sana sejumlah remaja SMU sedang bermain.Aku turun dari mobilku dan duduk di samping lapangan tempat tas-tas mereka diletakkan,lalu menyaksikan permainan mereka. Salah satu dari mereka, mengenakan kostum basket warna merah, yang kemudian melihatku, tersenyum dan melambaikan tangannya.Aku membalas dengan cara serupa. Dia adalah Angga, anak salah satu bawahanku yang sedang kutugaskan pergi ke luar kota selama beberapa hari.Hubunganku dengan keluarga mereka cukup akrab untuk mengetahui bahwa Angga mengikuti latihan basket dua kali seminggu di sana.
Sepuluh menit kemudian permainan berakhir dan sejumlah remaja itu menuju ke tas mereka, yaitu ke arahku.Aku berjalan menuju Angga membawa sebotol minuman yang sudah kusiapkan pagi tadi. “Ang, minum dulu nih.Ternyata tadi di mobil Tante masih ada sebotol”, tawarku. “Oh iya, Tante, makasih!”, jawabnya tersengal. Nampaknya ia masih kelelahan.Angga mengambil botol dari tanganku dan segera menghabiskan isinya.Kami berjalan menuju tasnya. Dan ia mengeluarkan handuk untuk menyeka keringatnya.Aku mengintip sebentar ke dalam tasnya dan bersyukur aku memberikan botol minumanku kepada Angga sebelum ia sempat mengambil 6minuman bekalnya sendiri. Sebagai pemain basket, Angga cukup tinggi.Dari tinggi badanku yang 168 cm kuperkirakan kalau tinggi Angga sekitar 180-an cm. Bisa kuperhatikan tangan Angga cukup kekar untuk anak seusianya, sepertinya olahraga basket benar-benar melatih fisiknya.Figur badannya menunjukkan potensinya sebagai atlet basket. Aku beralih ke wajahnya yang masih nampak imut walau basah oleh keringat. Dengan kulit yang kuning, wajahnya benar-benar manis. Aku tersenyum.Setelah menyeka wajahnya, Angga memperhatikanku sebentar dan berkata,”Tante Nia dari kantor? Kok pake ke sini?” “Nggak, males aja mau ke rumah, enggak ada temannya sih.Om Harry lagi ke Singapura. Jadi tante jalan-jalan.. terus ternyata lewat deket-deket sini, sekalian aja mampir..” ujarku setengah merajuk.Ia beralih sebentar untuk ngobrol dan bercanda dengan temannya.”Sama dong Tante, Angga lagi males nih di rumah, nggak ada orang sih!” “Nggak ada orang? Ibu sama adik kamu ke mana?” “Nginep di rumah nenek, besok sore pulang. Aku disuruh jaga rumah sendirian”.

Angga menaruh handuknya dan duduk di sampingku.”Oh, kebetulan banget ya..” kata-kata itu tiba-tiba terlepas dari mulutku. Yang dikatakan Angga benar-benar di luar dugaanku, tapi justru membuat keadaan jadi lebih baik.Aku tidak perlu bersusah payah untuk mencari tempat ber..”Kenapa, Tante? Kebetulan gimana?” “Iya, kebetulan aja kita sama-sama cari teman..” Angga tersenyum.Angga mengangguk lalu kami berjalan menuju mobilku.Angga melambaikan tangan pada teman-temannya dan meneriakkan kata-kata perpisahan. Kuperhatikan teman-teman Angga saling berbisik dan tertawa-tawa kecil melihat kami pergi.”Di rumah benar-benar nggak ada orang yah, Ang?”Cuma aku doang, Tante. Untungnya sih Mama ngasih uang lumayan buat cari makan.” “Aduh.. Kaciann..” kataku manja.”Tapi biasanya seumuran kamu pasti ada pacar yang nemenin kemana-mana kan..” Angga menoleh dan tersenyum padaku.”Wah, Angga nggak punya Tante. Belum ada yang mau!” “Ah, masa? Cowok keren kaya kamu gini loh!” Kutepuk pelan lengannya, mencoba merasakan sejenak kekokohannya.”Kalau Tante sih, sudah dari dulu Angga tante sabet!” Angga hanya tertawa ramah, ia sudah biasa dengan gaya bercandaku yang agak genit itu.

Padahal sebenarnya, sosok Angga benar-benar sudah mempesonaku saat ia diperkenalkan padaku dan Mas Har setahun yang lalu.Perjalanan ke rumah Angga memakan waktu sekitar 30 menit karena jalanan sudah penuh oleh mobil-mobil orang lain yang menuju rumah masing-masing. Dalam perjalanan aku tetap memperhatikan Angga.Aku ingin tahu apakah minuman yang tadi Angga minum sudah menunjukkan reaksinya. Biasanya aku menggunakan obat itu untuk memancing nafsu Mas Har dan mempertahankan staminanya. Aku mungkin sudah gila..Mencoba untuk tidur dengan bocah SMU anak pegawaiku sendiri..

Tapi biarlah.. Gelegak di diriku sudah tak mampu lagi aku bendung.Tadi pagi aku memberikan dosis ekstra pada minuman yang kuberikan pada Angga,dan sekarang aku penasaran akan efeknya pada tubuh muda Angga. Bisa kulihat sekarang napas Angga mulai naik-turun lagi setelah sempat tenang duduk dalam mobil.Duduknya juga nampak sedikit gelisah. Aku menepi.Kami sudah sampai. Ia membuka pintu dan mempersilahkan aku masuk. Aku duduk nyaman di sofa ruang tamu dan ia menuju dapur untuk menyiapkan segelas minuman buatku.Rumah Angga tidak besar, sekedar cukup untuk tinggal empat orang. Sekali lagi aku menanyakan pada diriku sendiri, apakah aku ingin melakukan hal ini.. Dan sedetik kemudian aku menjawab: aku memang benar-benar menginginkannya.. Kutanggalkan jas dan blazerku, menyisakan sebuah tank-top putih untuk melekat di bagian atas tubuhku. Tadi pagi aku sudah mematut diri di kaca dengan tank-top ini.Sebenarnya ukurannya sedikit lebih kecil dari ukuranku, hingga cukup ketat untuk memperlihatkan dengan jelas bentuk payudaraku, bahkan puting susuku. Aku tersenyum geli ketika meihat diriku di cermin pagi itu.Rok miniku kutarik sedikit lebih tinggi, dan kusilangkan kakiku sedemikian rupa hingga Angga yang nanti kembali dari dapur akan memperhatikan pahaku yang mulus. Angga keluar beberapa menit kemudian membawakan segelas sirup dengan batu es.

Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan langkahnya menuju meja di depanku. “Panas banget, Ang. Makanya Tante copot blazernya”, kataku setengah mengeluh. “Iya, memang di sini nggak ada AC seperti di rumah Tante”.Suara Angga sedikit terbata, nafasnya naik-turun, dan mencoba tersenyum. Kulihat Angga juga berkeringat, tapi aku tahu hal itu bukan hanya karena panas yang ada di ruang tamu ini.Aku mengambil gelas yang dingin itu dan menggosokkannya pada bagian bawah leherku yang berkeringat. Segar sekali.. “Ahh.. Seger baget Ang. ” Angga menelan ludahnya. Kuminum sedikit sirup itu. “Uhh.. Top banget. Enak, Ang”, ujarku setengah mendesah.”Hmm.. Tante.. Angga.. Angga cari kunci lemarinya papa dulu ya..” kata Angga. Anak ini pemalu juga, kataku dalam hati. “Oh, iya deh, Tante tunggu.”Angga kemudian bergegas menuju satu lemari besar di samping sofa dan mulai membuka laci-lacinya.Aku bersabar sedikit lebih lama. Aku tahu dari tingkah laku Angga yang makin gelisah, kalau obat itu sebentar lagi akan benar-benar memberi efek. Setelah 10 menit mencari dan belum menemukan kuci itu.
Aku berjalan ke arah Angga yang masih membungkuk, mencari kunci itu di salah satu laci. “Ang.. Apa nggak lebih baik..” Angga lalu berdiri dan membalikkan badannya menghadapku. Aku tahu dia sempat mencuri pandang ke arah dadaku sebelum melihat wajahku.Ia menelan ludahnya. Aku mendekat padanya hingga jika aku melangkah sekali lagi tubuhku akan langsung bersentuhan dengannya. Angga mencoba mundur, tapi lemari besar itu menghalanginya. “Kenapa..? Tante..?”, nafasnya terasa menyentuh dahiku.Aku mendongak sedikit, menatap wajahnya. “Lebih baik kamu..” Tanganku meraba otot bisepnya, padat.. “Mandi dulu..” Tanganku yang satu menyentuh tepi bawah kostum basketnya.. “Terus ganti baju..” Kedua tanganku mulai mengangkat kausnya..”Kan, kamu keringetan gini..” Tanganku setengah meraba otot-otot perutnya yang keras sambil terus membawa kausnya ke atas..”Nanti.. Kuncinya.. Dicari lagi..” Dadanya cukup kokoh, dan terasa sekali paru-parunya mengembang dan mengempis semakin cepat, jantungnya berdegup kencang.. Wajahku terasa panas, jantungku ikut berdetak cepat. Angga mengangkat lengannya dan berkata,”Ya Tante..” Tapi suara Angga lebih mirip desahan berat. Kuangkat lagi kausnya ke atas dan Angga dengan cepat meneruskan pekerjaanku dan kemudian melemparkan kausnya ke samping. Angga sekarang bertelanjang dada, dengan celana selutut masih dikenakannya.Aku merapatkan badanku padanya namun tiba-tiba aku berhenti setelah merasakan sesuatu mengenai perutku.

Aku mundur sedikit dan melihat ke arah dari mana sentuhan di perutku berasal. “Oh..!”, bisikku sedikit terkejut.Dari dalam celananya terlihat tonjolan yang cukup panjang dan besar. Penis Angga.. Siluetnya terlihat jelas dari celana basketnya yang longgar. Aku melihat wajah Angga. Ia juga melihat tonjolan di celananya itu, sedikit terkejut, kemudian melihatku.Napasnya menderu. “Eh, maaf tante.. aku.. Nggak pernah.. Pake..” “Celana dalam? Nggak.. Pernah..?” potongku. Ia hanya menggeleng dan kembali menatapku. Aku tersenyum. “Nggak apa-apa.. Lebih baik gitu..” Wajah imutnya memperlihatkan keterkejutan.Tapi aku segera kembali merapatkan tubuhku dan maju lebih berani. Kucengkram batang kemaluannya dari luar celananya. Angga napak semakin terkejut dan badannya berguncang sedikit. Kemudian semua berjalan menuruti nafsu kami yang bergelora.Angga memelukku, membawa bibirku rapat ke bibirnya dan melakukan ciuman paling bernafsu yang pernah aku terima dalam satu dekade ini. Lidahnya bergelut liar dengan lidahku,bibirku digigitnya pelan.. Kupegang kepalanya dan kurapatkan terus dengan wajahku.Kuacak-acak rambutnya seakan aku ingin seluruh tubuhnya masuk ke dalam ragaku. Angga mencoba menyudahi ciuman itu. Aku khawatir ia akan menolak untuk bertindak lebih jauh, hingga aku tidak membiarkannya.Tapi aku sudah sulit mengatur napasku, dan akhirnya kulepaskan wajahnya. Aku tersengal, mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya. Ternyata Angga sama sekali tidak berhenti.

Saat aku ditaklukkan nafsu saat berciuman tadi, Angga sudah berhasil melepaskan tank-topku tanpa sedikitpun aku menyadarinya. Tank-top itu kini berada di bawah kakiku. Dan kini Angga mulai menghisap dan menjilati leherku dengan buas.”Ohh.. Anngghh..” ini dia yang selama ini kudambakan, gairah dan energi yang begitu meluap.. Lidah Angga bergerak lagi ke bawah.. Membasahi belahan dadaku.. Berputar sebentar di sekitar puting kiriku, memberikan sensasi geli yang nikmat..Kemudian Angga melahap payudaraku. “Ouuhh.. Kamu.. Ahh.. Kurang ajar yahh.. Hmmpphh.. Terusin Anngg.. Ahh.. Mmmhh..” Bocah ini.. Benar-benar bernafsu.. Ia lalu melakukan hal sama pada payudaraku yang sebelah kanan dan segera membawaku ke ambang orgasme..Aku merasakannya.. Sedikit lagi..Tapi ia tiba-tiba berhenti, membuatku melihat ke bawah, ingin tahu apa yang terjadi.
Ia berlutut, dan mencoba melepaskan rok miniku.Tanganku bergerak cepat membantu Angga dan dua detik kemudian rok itu sudah jatuh ke lantai. Aku mencoba melepaskan pula celana dalamku, namun Angga lebih cepat.. Ia merobeknya.. Sejurus kemudian lidahnya beraksi lagi.. Dalam liang kewanitaanku..”Anggahh.. Kamuhh.. Nggak sopann..” Kumajukan pinggulku, rasanya aku ingin membenamkan seluruh wajah Angga ke dalam vaginaku.. Lidah Angga yang tak terlatih, membuatku harus membantunya menyentuh daerah yang tepat dengan menggerakkan 6kepala bocah itu.”Uuuhh.. Di sini Anngghh.. Ohh.. Yeeaahh..!!” Angga terus bergerilya dalam gua-ku hingga aku merasakan gelombang kenikmatan yang hebat. “Angghh.. Tante.. Mau.. Aaahh!!” Tubuhku menggeliat seiring dengan orgasme yang melandaku.Angga dengan liar menjilati cairan-ku sampai tetes yang terakhir. Kakiku terasa lemas.. Pelan-pelan aku terduduk.. Dan kemudian berbaring di lantai.. Merasakan sisa-sisa kenikmatan yang telah Angga berikan sambil terengah-engah..Aku melihat ke arah Angga. Ia juga sedang terengah-engah. Badannya berdiri kokoh di hadapanku. Badan kekarnya yang berkeringat, berkilat oleh pantulan matahari sore yang menerobos jendela kamar. Dan.. Tak ada lagi celana basket yang melekat di badan itu.Pistolnya.. Mengacung tegak ke arahku. Batangnya begitu besar..Pasti lebih dari 20 cm, dan tebal.

Rambut tipis dari kemaluannya berlanjut ke atas menuju pusarnya.Oh.. Begitu muda dan gagah..”Tante.. Aku..” “Giliran Tante, Ang!” Aku berdiri, menghimpit tubuhnya dan menjilati badan remaja itu. Tangannya yang kuat mengelus mendekapku sambil mengusap punggungku.Saat kugigit-gigit putingnya, Angga mendesah perlahan dan rambutku diacaknya.Tanganku dengan mudah mendapati penisnya, kemudian kukocok pelan. Sementara itu lidahku mengembara di otot-otot perut Angga.Kini aku sampai pada pusarnya. Lidahku terus bergerak turun dan kulahap pucuk batang kejantanan Angga.Angga menggeram.Kukulum batangnya dan aku puas mendengar Angga terus mendesah. “Ooohh.. Tante.. Ahh..”

Kucoba untuk menelan lebih dalam, tapi ukuran penis Angga terlalu besar.Sudah saatnya..”Ayo Ang, biar tante ajarin caranya jadi lelaki..” Kuajak dia berbaring di lantai, lalu pelan-pelan aku duduk di perutnya sambil memasukkan pistol Angga ke ‘sarung’-nya, memastikan agar aku mendapatkan kenikmatan yang aku mau.”Aaahh.. Angga.. Punya kamuhh.. Besaarr.. Uuhh..” Aku membelai dadanya, dan mulai bergerak naik-turun.Angga melenguh dan memejamkan mata, meresapi setiap gerakan yang kubuat.”Uuuhh.. Eegghh.. Aduhh.. Nggak pernah.. Angga.. Ngerasain.. Enak kaya ginihh..” Setelah mulai terbiasa dengan ritmeku, Angga membuka matanya.Tangannya memegang kedua payudaraku yang naik turun. “Tante Nia.. Oohh.. Seksi banget.. Ahh..”Ia memerasnya..Dan terasa sangat nikmat.. Kini aku yang menghayati permainan Angga.Tapi aku segera tersadar,kali ini Aku yang akan memuaskan Angga.

Aku mempercepat gerakanku, sambil sesekali memutar-mutar pinggulku.”Ohh.. Tante.. Terusiinn.. Enaakk.. Aahh.. Mmmhh..” Tangannya beralih ke pantatku, mencoba ikut mengatur ritmeku. Kuberikan apa yang Angga minta, kujepit batangnya dan aku semakin bergoyang menggila.”Gini kan.. Mau kamu, Angghh.. Ehh..” “Uhh.. Yaa.. Ohh.. Aaagghh.. Kenceng bangett.. Ayo tante..”Aku bagai lupa daratan, kenikmatan yang kurasa benar-benar membius, dan sebentar lagi..Tinggal sebentar..”Tantee.. Oooaagghh!! Oh, yeaahh!!” “Annggaa.. Aaagghh.. Ohh.. Ohh..”Aku merasakan kenikmatan paling dahsyat dalam hidupku, bersamaan dengan ejakulasi Angga.Kami berpelukan, berguling sementara Angga masih meneruskan tikaman penisnya dalam vaginaku, membawaku semakin jauh dari dunia ini..”Ohh.. Anggaa.. Ohh.. Kamu.. Udahh.. Bukan perjaka.. Lagi.. Ahh..” Ia menciumiku, memanjakan payudaraku, membelai-belai rambutku.. Dengan napas yang tersengal-sengal Angga berbisik di telingaku,”Duhh.. Nggak nyangkah.. Tante.. Nakal banget.. Ahh.. Tapi Angga.. Suka.. Dinakalin.. Tante.. Ehh.. Kont*l Angga masih ngaceng nihh.. ehh.. Mau Tante apain lagi..?” Puas sekali aku mempermainkan Angga…

The End

Senin, 11 Agustus 2014

Hubungan Incest


BAB 1             ANAK NAKAL
BAB 2             BUNDA
BAB 3             KAK VIDIA
BAB 4             NURAINI
BAB 5             MBAK JUNI
BAB 6             TETANGGAKU DIAN
BAB 7             TETANGGAKU ISTI
BAB 8             TETANGGAKU ERNA
BAB 9             VENUS PREGNANT
Bab 10           ANAK TETANGGAKU NAURA
BAB 11          KEPONAKANKU ANISA
BAB 12          PEMBALASAN UNTUK LAURA


BAB 1
*******
Namaku Doni. Aku anak nomor 2 dari tiga bersaudara. Kami adalah keluarga yang alim. Ayahku sendiri seorang yang ta'at beragama. Kakakku seorang aktivis di kampus. Kami benar-benar keluarga yang religius. Aku? Aku sebenarnya kalau dilihat dari luar religius, tapi dibalik itu aku cuma anak biasa saja. Ndak sebegitunya seperti kakak perempuanku.

Kakakku bernama Kak Vidia. Adikku bernama Nuraini. Ibuku? Oh ibuku ini seorang ustadzah. Aku sendiri dikatakan anak nakal oleh ibuku, aku menyebutnya bunda. Ayahku sering menasehatiku untuk tidak bergaul dengan anak-anak geng. Tapi apa boleh dikata, dari sinilah aku banyak mengenal dunia. Memang sih, aku bergaul dengan mereka, tapi tidak deh untuk berbuat yang aneh-aneh. Walaupun aku bergaul dengan mereka tapi aku sadar koq norma-norma yang harus dijaga. Aku bahkan sangat protektif terhadap saudari-saudariku. Ada temenku yang naksir saja langsung aku hajar. Makanya sampai sekarang banyak orang yang takut untuk mendekati kakakku maupun adikku.

Menginjak kelas 2 SMA, keluarga kami berduka. Ayahku kecelakaan. Ketika pulang kantor beliau dihantam oleh truk. Ia berpesan kepadaku agar jadi anak yang baik di saat-saat terakhirnya. Kami semua bersedih. Terutama bunda. Ia selalu menyunggingkan senyumnya tapi tak bisa menyebunyikan raut wajahnya yang sembab. Otomatis setelah meninggalnya ayah, keluarga kami pun banyak berubah.

Rasanya sangat berdosa sekali aku kepada ayahku. Aku sampai sekarang belum bisa jadi anak yang baik. Namun aku berusaha untuk berubah, mulai kujauhi teman-teman gengku. Aku pun mulai membantu bunda untuk bekerja, karena warisan ayah tak bisa untuk membiayai kami semuanya ke depan. Setelah aku pulang sekolah, aku selalu menjaga toko kami. Lumayanlah bisa mencukupi kebutuhan kami. Dari pagi sebelum sekolah aku sudah harus pergi ke grosir, membeli sembako, kemudian menyetok ke toko, setelah itu aku baru pergi sekolah. Pulangnya aku harus menjaga toko sampai sore. Begitulah, hampir tiap hari. Jadi tak ada kegiatan ekstrakurikuler yang aku ikuti.

Membiayai Kak Vidia kuliah, membiayai Nuraini sekolah, bukanlah hal yang
mudah. Kak Vidia bahkan untuk uang sakunya sampai rela kerja sambilan. Namun perlahan-lahan kami pun bisa bernafas lega setelah toko kami mulai besar, walaupun begitu kami makin sibuk. Akhirnya kami pun memperkerjakan orang. Anak-anak lulusan SMK. Aku juga sudah kelas 3 SMA. Sebentar lagi lulus. Bingung mau kuliah ke mana. Apa ndak usah kuliah ya? Melihat bunda kelimpungan jaga toko mengakibatkan aku pun mengurungkan niatku kuliah.

Aku lulus dan adikku Nuraini masuk SMA. Dua tahun yang berat. Namun akhirnya toko kami sudah besar, berkat ide-ide yang kami pakai tiap hari akhirnya toko ini pun besar. Jarang ada toko sembako delivery order. Bahkan tidak sampai tiga tahun kami sudah ada waralaba. Bisa beli mobil, bisa renovasi rumah dan sebagainya. Kak Vidia pun sekarang jadi tidak bingung lagi kuliahnya. Ia sempat cuti 2 semester untuk membantu usaha kami.

Itulah profil keluarga kami. Tapi tahukah kalau dibalik itu semua ada sesuatu
hal yang sebenarnya menarik untuk diceritakan? Sebenarnya ini tak boleh
diceritakan karena aib tersembunyi keluarga kami. Dan karena inilah hubunganku dengan kakakku, adikku dan ibuku jadi lebih akrab, bahkan aku dianggap sebagai kepala rumah tangga.

Ceritanya ini dimulai setelah 6 bulan ayah wafat. Aku saat itu benar-benar
masih nakal. Menonton bokep sudah biasa bagiku. Bahkan sebenarnya, terkadang aku membayangkan begituan dengan bunda, maupun kak Vidia, atau bahkan terkadang juga dengan Nuraini. Iya, mereka semua pake jilbab, tapi hanya aku yang tahu bagaimana lekuk tubuh mereka, karena di rumah mereka membuka jilbabnya dan pakai pakaian biasa.

Awalnya aku benar-benar iseng sekali. Saat itu aku baru saja beli kamera
pengintip. Bentuknya seperti sebuah gantungan kunci, berbentuk kotak kecil. Ketika ditekan tombol rahasianya, ia akan merekam selama kurang lebih 2 jam. Harganya cukup murah kalau dicari di internet, sekitar 500ribu. Aku
menggantungkannya di anak kunci, sehingga ketika ke kamar mandi aku selalu mandi duluan, dan kemudian aku taruh di tempat yang bisa mengawasi semuanya. Jadi seluruh penghuni rumah, sama sekali tak curiga. Awalnya tak ada yang tahu, tapi nanti yang pertama kali tahu adalah Kak Vidia, tapi nanti aku ceritakan.

Aku meletakkan kunci itu di gantungan baju. Aku posisikan agar kameranya
mengawasi seluruh ruangan kamar mandi. Yang pertama kali masuk setelah aku adalah bunda, kemudian Kak Vidia, lalu Nuraini. Setelah semuanya mandi, aku masuk ke kamar mandi untuk mengambil kamera pengintai. Aku kemudian ke kamar untuk menikmati hasilnya. Aku bisa mengetahui tubuh mulus mereka semua tanpa sehelai benang pun. Misalnya bunda, rambutnya lurus, tubuhnya sangat terawat, langsing, dadanya besar, mungkin 34C, bahkan yang menarik beberapa minggu sekali bunda mencukur bulu kemaluannya. Kak Vidia juga begitu, kulitnya putih, rambutnya panjang, dadanya ndak begitu besar, 32B tapi putingnya yang bikin
aku kaget, berwarna pink. Ini orang bule atau gimana? Tapi begitulah Kak
Vidia. Ia juga sama seperti bunda, mencukur bulu kemaluannya, bahkan halus seperti bayi. Terakhir Nuraini, jangan kira Nuraini cuma anak SMP, ia ini
sangat dewasa. Dadanya besar banget, sama kayak bunda 34C. Masih SMP saja dadanya gedhe, gimana klo sudah SMA nanti? Ia pun sama, punya kebiasaan mencukur bulu kemaluan. Sepertinya cuma aku saja yang tidak. Tapi bolehlah ntar coba dicukur. Kayaknya lebih bersih.

Selama sebulan itu aku sering ngocok penisku di depan komputer sambil melihat adegan demi adegan di kamar mandi. Hal itu membuat aku terobsesi kepada mereka. Saking terobsesinya, aku kadang punya alasan untuk bisa menyentuh mereka, seperti mencium pipi adikku, mencium pipi bunda, terkadang juga memeluk Kak Vidia. Tapi mereka semua tak curiga. Dan satu-satunya yang membuatku kelewatan adalah memesan kloroform kepada salah seorang teman gengku. Aku pesan beberapa botol. Untuk stok pastinya. Pertama aku coba ke kucing tetangga. Ketika aku bekep pake sarung tangan yang ada kloroformnya, pingsan tuh kucing. Aku pun menghitung berapa kira-kira waktu yang dibutuhkan oleh kucing ini bisa sadar. Satu jam, dua jam, tiga jam. Lama sekali.

Siapa yang ingin aku coba pertama kali? Kak Vidia ndak mungkin, ia bakal kaget nanti kalau sudah tidak perawan ketika malam pertama dengan suaminya. Begitu juga Nuraini, bisa berabe aku nanti kalau dia melapor ke bunda memeknya perih. Jadi targetku adalah bunda.

BUNDA

Seperti biasa bunda menjaga toko waktu itu. Dan aku menyiapkan teh hangat
untuk beliau. Aku berikan setetes kloroform di minumannya. Tujuanku sih agar ia pusing saja dan bisa aku suruh istirahat, baru kemudian aku bekap. "Kamu ndak sekolah Don?" tanya bunda.
"Tidak dulu bunda, mau bantu toko dulu," jawabku.
"Lho, jangan. Ada bunda sama mbak Juni koq. Sekolah saja!" kata bunda.
Mbak Juni adalah pegawai kami. Ia ada cerita untuk nanti. Ia janda, beranak satu, tapi masih muda. Usianya baru 21 tahun. Menikah muda. Bodynya masih singset.

"Tidak mengapa bunda, Doni udah ijin koq," kataku.
"Baiklah, tapi cuma hari ini saja ya, jangan ulangi lagi," katanya.
Bunda lalu meminum teh hangatnya. Aku pura-pura mencatat barang-barang di toko. Mbak Juni juga melakukan hal yang sama. Dan memindah-mindahkan karung beras. Kemudian datang seorang pembeli yang langsung dilayani oleh Mbak Juni.  Efek obat mulai terlihat. Bunda memegang kepalanya. Aku pura-pura peduli, "Kenapa bunda?"
"Entahlah, bunda tiba-tiba pusing," katanya.
"Capek mungkin, istirahat saja bunda," kataku.
"Iya deh, aku istirahat sebentar. Mungkin nanti bisa baikan. Mbak Juni, tolong
ya!" kata bunda.
"Iya, bunda," kata Mbak Juni.

Bunda agak terhuyung-huyung, lalu beliau masuk kamar. Aku pun menyudahi
pura-puraku, kemudian pura-pura ke kamarku, tapi sebenarnya menyusul beliau ke kamarnya. Aku beri waktu sekitar sepuluh menit, hingga kemudian terdengar nafas dengkurang halus bunda. Oh sudah tidur. Aku lalu beranikan diri masuk ke kamarnya. Bunda masih pakai jilbabnya, aku siapkan kloroform ke sarung tanganku, dosisnya seperti yang aku berikan ke kucing percobaan kemarin.

Dan BLEP!! Bunda tak berontak, mungkin berontakannya tak berarti. Tangannya ingin menghalau tanganku tapi lemas. Matanya belum sempat terbuka dan ia pun sudah pingsan. Aku pun sangat senang, ini kemenangan. Aku lalu kunci pintu kamar bunda. Biar ndak ada siapapun yang masuk. Jantungku berdebar-debar, antara senang, takut dan macem-macem rasanya. Aku duduk di sebelah bunda. Di pinggir ranjang itu aku lihat ujung rambut sampai ujung kakinya. Tanganku mulai bergerilya. Kuraba pipinya, bibirnya, aku buka sedikit, rahangnya aku turunkan hingga ia membuka mulutnya. Sesaat aku ingat ayah, tapi karena aku sudah bernafsu, rasa bersalahku pun aku tepis. Aku panggut bibir bunda. Aku hisap lidahnya. Penisku mulai tegang, bunda benar-benar tak bereaksi sama sekali, bahkan sekarang bibirnya mulai basah. Wajah bunda sangat cantik, mungkin seperti Ira Wibowo. Bibirnya sangat lembut, tak puas aku menciumi bibir itu. Aku pun mulai meremas-remas dadanya walaupun masih tertutup gamis. Lalu tanganku mengarah ke selakangannya mengelus-elus tempat pribadinya.

Karena semakin bergairah, aku pun melepas celanaku sehingga bagian bawah tubuhku tak terbungkus sehelai benang pun. Penisku sudah mengacung tegang. Urat-uratnya mengindikasikan butuh dipuaskan. Aku arahkan jemari bunda untuk menyentuh penisku, Ohh...lemas aku. Lembut sekali jemari beliau. Aku tuntun tangannya untuk meremas telurnya, aku makin keenakan. Seandainya beliau bangun dan mau melakukannya kepadaku tentunya lebih nikmat lagi. Aku kemudian naik ke ranjang. Aku berjongkok di depan wajahnya. Penisku aku gesek-gesekkan di pipi,
hidung dan bibirnya yang agak terbuka itu. Aku sangat bergairah sekali. Selain itu juga takut ketahuan. Aku buka mulutnya, lalu kucoba masukkan kepala penisku, uhhhh....nikmat banget. Walaupun tak muat, aku buka mulutnya lagi, tangan kiriku mengangkat kepalanya dan tangan kananku membuka mulutnya lebih lebar, lalu kudorong penisku masuk.

Di dalam mulutnya penisku berkedut-kedut. Nikmat sekali. Aku makin bergairah melihatnya yang masih pakai kerudung. Kuambil ponsel dan aku abadikan ketika penisku masuk ke mulutnya. Kumaju mundurkan penisku sampai mentok, walaupun giginya mengenai penisku rasanya nikmat sekali. Lucunya lidahnya bergoyang-goyang, entah ia mimpi apa, itu semakin membuatku terangsang. Pelan-pelan penisku menggesek rongga mulutnya, kemudian aku tarik keluar. Sekarang aku posisikan telurku di mulutnya. Karena punyaku sudah tercukur bersih aku bisa melihat semuanya. Seolah-olah bunda sedang menjilati telurku.

"Bunda, ohhh...nikmat banget," rancauku.  Kalau terus seperti ini, rasanya aku ingin muntahkan pejuku di wajahnya. Tapi aku tahan. "Tidak bunda, Doni ingin merasakan ini, bolehkan?" aku meraba vaginanya. Aku kemudian melepaskan gamis bunda, kancingnya aku buka semua, hingga ia
hanya memakai bra dan CD. Aku turun ke bawah. Kuciumi seluruh tubuhnya,
perutnya, pahanya, aku jilati semuanya sampai basah. Bahkan mungkin tak ada satupun yang terlewat. Aku lepas BH-nya. Ohh...dada yang dulu ketika kecil aku mengempeng, sekarang aku mengempeng lagi. Aku hisap teteknya, putingnya aku pilin-pilin, kupijiti gemas. Tapi aku tak ingin memberikan cupang di dadanya, nanti ia curiga. Belum saatnya. Ketiaknya yang bersih tanpa bulu pun aku hisap, kujilati. Semuanya aku jilati. Aku pun mencium bau yang aneh, ketika aku menghisapi jempol kakinya. Dan aku lihat CD-nya basah. Bunda terangsang?

"Bunda terangsang? Mau dimasukin bunda?" tanyaku. Aku pun segera melepaskan CDnya, Dan kuikuti aku telanjang juga sekarang. Punyaku makin berkedut-kedut dan di lubang kencingnya muncul cairan bening. Aku melihat memek bundaku tersayang. Warnanya pink kecoklatan. Inikah tempatku
keluar dulu? Betapa bersihnya, ada cairan keluar. Aku segera membuka pahanya, kepalaku mengarah ke sana, kujilati, kuhisap dan klitorisnya aku tekan-tekan dengan lidahku. Intinya lidahku menari-nari di sana seperti lidah ular, menjelajahi seluruh rongga vaginya. Setiap cairan yang keluar aku hisap, rasanya asin-asin bagaimana gitu. Aku makin bergairah dan sepertinya bunda juga bergairah, ia sangat banjir, bahkan ketika aku colok-colok dengan
lidahku, lebih dalam lagi kakinya bergetar. Ia mengeluh....dan mendesis,
walaupun masih tidur dan tidak sadarkan diri tapi dia merasakannya. Mungkin ia bermimpi sedang begituan. Kepalanya yang masih memakai jilbab mendongak ke atas, Dan kemudian pantatnya diangkat, tubuhnya bergetar hebat, memeknya mengeluarkan cairan yang sangat banyak, menyemprot bibirku. Aku lalu duduk. "Bunda orgasme?" tanyaku.

Tentu saja beliau tak menjawab. Sepertinya bunda sudah siap, aku posisikan
penisku di ujung vaginanya. Kepala penisku sudah ingin masuk saja. Aku tak
sabar, dan....BLESSS....lancar banget, ohhhh....HANGATT....ini ya rasanya
memek wanita itu. Aku lalu ambruk di atas tubuh bunda, ia kutindih. Toketnya
dan dadaku berpadu, Penisku berkedut-kedut dan anehnya memeknya juga seperti meremas-remas penisku. Ngilu rasanya, tapi nikmat. 

"Bunda, seperti inikah bunda rasanya ngentot?" tanyaku. Aku mengabadikan
peristiwa ini ke ponselku, kuclose up wajah bunda yang tidur, vaginanya yang
sekarang penisku masuk ke sana juga kuabadikan, bahkan posisiku menindih
bundaku pun aku abadikan.

"Doni...ohh...puasin bunda..." terdengar suara bisikan bunda. Apa maksudnya, apakah bunda sadar?  Sejenak aku bingung, ternyata bunda memimpikan aku, bermimpi bersetubuh denganku. Itu membuatku makin bergairah. Aku kemudian menaik turunkan pantatku perlahan-lahan, menikmati saat-saat ini. Tapi aku hanya punya waktu 3
jam kurang lebih, tak ingin aku sia-siakan kesempatan ini. Kugoyang pantatku naik turun, makin lama makin cepat.

"Bunda...oh....Doni kembali masuk ke tempat bunda," rancauku, makin lama makin cepat. Bunda aku tindih, pahanya terbuka lemas. Dan aku sepertinya akan keluar, oh sperma perjakaku....kemana ya harus keluar?

"Bunda, ke wajah bunda aja ya keluarnya....oohhh...keluar bunda!!!" seruku.
Aku segera mencabut dan berlutut di depan wajah bunda. Penisku kuarahkan ke situ. CROOT....CROTT...CROOTTT.... Banyak sekali tembakannya, aku sudah tidak perjaka lagi. Bunda sendiri yang menghilangkannya, spermaku belepotan di wajah bunda, sebagian masuk ke mulutnya, aku terus mengocoknya hingga tetes terakhir, lalu aku bersihkan sisa di ujung penisku ke mulutnya. Momen ini tak bisa aku lewatkan segera aku abadikan ke ponselku. Aku lalu berbaring lemas di sampingnya.

"Bunda, nikmat bunda," kataku. Aku peluk dia dari samping sambil memeluk
toketnya. Butuh waktu 15 menit bagiku untuk istirahat sebentar, kemudian aku bersihkan wajahnya dengan tisu yang ada di meja riasnya. Agar tidak bau sperma aku seka wajah ibuku pakai pelembab, biar tak ketahuan. Disaat membersihkan itulah aku terangsang lagi melihat payudaranya. Aku kenyot lagi dua buah toket besar itu.

Kubenamkan wajahku ke tengah payudara, kuhisap aromanya yang harum. Aku kemudian menghadapkan tubuh ibuku miring ke tepi ranjang. Ternyata tepat di depan bundaku ada kaca lemari. Sehingga aku bisa melihat tubuhnya di sana. Penisku yang tegang lagi ingin mencari mangsa. Kuposisikan kepala penisku dari belakang pantatnya. Karena masih basah, mudah sekali penisku masuk. SLEB...Oh...kembali kedut-kedut vaginanya. Aku angkat sebelah kakinya, sehingga aku bisa melihat dari kaca penisku masuk di sana. Aku lalu bergoyang maju mundur, kuturunkan kaki bunda, tanganku beralih ke toketnya. Pantatnya benar-benar membuatku terangsang hebat. Enak sekali.

Aku tak sadar siapa yang kusetubuhi sekarang. Yang aku inginkan adalah puncak kenikmatan. Tapi aku tetap pada pendirianku jangan keluarkan di dalam. Belum waktunya. Aku terus menggoyang pantatku maju mundur. Pantat bunda beradu dengan selakanganku. PLOK...PLOK....PLOK, bunyinya sangat menggairahkan. Dan sepertinya. Setiap kali aku ingin orgasme. Aku istirahat sebentar. Menciumi bibirnya, ketiaknya, dan menghisap putingnya. Dan akhirnya aku tak tahan lagi.

"Duh bunda, maaf ya aku keluar lagi," aku langsung cabut penisku dan
kukeluarkan di pantatnya. Spermaku masih banyak aja. Enak rasanya penisku sampai berkedut-kedut berkali-kali setiap spermaku muncrat keluar. Aku istirahat sebentar sambil mengumpulkan tenaga. Ngilu sekali penisku. Aku lalu bangkit membersihkan pantat bunda yang belepotan dengan spermaku.

Aku melihat jam dinding, oh tidak, setengah jam lagi bunda akan sadar, tak
sadar aku sudah lama ngentotin bunda. Aku bergegas memakaikan lagi pakaiannya. Jilbabnya yang terkena sedikit sperma aku bersihkan juga. Aku memakaikan lagi branya, tapi entah kenapa aku terangsang lagi. Maklum masih perjaka dan ada mainan baru. Aku lalu melakukan titfuck. Dada bunda mengocok penisku, aku melakukannya sambil sesekali menengok jam dinding, masih ada waktu, aku harus cepat.

Aku bantu payudara bunda untuk mengocok penisku, dan aku keluar lagi, spermaku muncrat di belahan toket bunda. Tapi jumlahnya ndak sebanyak tadi, karena mungkin sudah mulai kosong kantong produksinya. Aku segera bersihkan cepat-cepat, kuposisikan tubuh bunda seperti tadi tidur, aku berpakaian lalu keluar dari kamar bunda. Aku lalu mandi dan membersihkan diri.

BAB 2
****
Bunda terbangun setengah jam kemudian. Ia keluar kamar ketika aku masih
menghitung stok toko. Ia menggeliat.
"Kenapa bunda?" tanyaku.
"Entahlah, bunda koq tidurnya nyenyak ya? Tapi badan bunda pegel-pegel semua. Seperti habis olahraga aja," jawab bunda. Tapi dalam hati aku senang sekali karena tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hari itu aku membantu menjaga toko sampai sore. Dan setelah itu aku habiskan
waktuku di kamar sambil melihat foto-foto hasil ngentotku dengan bunda tadi.
Aku melakukan coli berkali-kali sampai penisku ngilu dan lemas. Malam itu aku tidur nyenyak sekali, entah berapa banyak tissu yang kuhabiskan yang jelas aku baru sadar tissue di meja kamarku tinggal sedikit sekali.

Hari-hari setelah itu aku jadi berbeda. Siang hari setelah aku pulang sekolah,
aku menyiapkan teh hangat untuk bunda, kemudian pasti ia mengantuk dan tidur. Setelah itu aku pasti ngentotin beliau seperti sebelum-sebelumnya, dan kini aku tidak takut lagi seperti dulu. Tapi aku tak melakukannya setiap hari,
hanya kalau ada kesempatan saja. Dan itu tidak pasti atau jarang. Kalau aku
sedang kepingin saja. Kalau tiap hari bisa bikin bunda curiga. Aku ingin
bercinta dengan bundaku dalam keadaan sadar, karena aku setiap ngentot dengan bundaku selalu aku dengar rintihannya memanggil-manggil aku dalam mimpinya. Ia seperti membayangkan ngentot dengan aku. Ini tanda tanya besar. Dan itu terjawab ketika aku melihat rekaman di kamar mandi pada suatu siang setelah aku pulang dari ujian di sekolah.

Aku melihat rekaman video bunda mastrubasi dengan jarinya di kamar mandi. Ia mengocok-ngocok memeknya, sambil berkali-kali memanggil namaku. Kenapa? Apakah ia mengalami "mother complex"?? Setelah ia mengeluh panjang, ia lalu menutupi wajahnya sambil menggumam. "Kenapa dengan aku? kenapa? Apa yang aku lakukan? Kenapa aku menginginkan
anakku sendiri?" DEG....betapa kagetnya aku mendengar pengakuan bundaku sendiri dari rekaman itu. Ternyata benar, bunda menginginkan aku. Aku jadi ingin saja ngentotin dia setelah ini. Obsesiku kepada ibuku sendiri makin besar. Terlebih ketika tahu bahwa bunda masih haidh, masih produktif berarti.

Malamnya bunda sedang menghitung-hitung penghasilan. Kami di rumah sendirian. Nuraini ikut mabid atau apalah namanya. Kak Vidia juga sedang nginap di kampus ada kegiatan apa gitu. Aku sedang menonton tv sambil sesekali mengamati bunda, mengamatinya saja bikin aku terangsang. Aku berusaha menyembunyikan tegangnya penisku.

"Bunda, bunda capek kayaknya, ndak istirahat?" tanyaku.
"Nanti dulu Don, masih kurang dikit lagi," katanya.
"Kalau bunda capek, aku menawarkan diri untuk mijitin bunda kalau tidak
keberatan," kataku. Bunda tersenyum renyah kepadaku. Ia kemudian masih melanjutkan pekerjaannya. Hingga kemudian acara tv selesai dan aku mematikan tv. Bunda kemudian duduk di sampingku. Aku hampir aja beranjak.

"Lho, katanya mau mijitin bunda?" tanyanya.
"Oh jadi toh?" kataku.
"Iya dong," katanya.
Bunda kemudian membelakangiku. Aku lalu mulai memijitinya. Ia masih memakai kerudungunya yang lebar. Aku mulai memijiti pundaknya.
"Oh, enak sekali Don, pinter juga kamu memijat," katanya.
"Siapa dulu dong," kataku.

Aku berinisiatif kalau malam ini aku harus bisa ngentot ama bunda.
Aku pun mulai pembicaraan.
"Bunda, boleh tanya?" tanyaku.
"Tanya apa?" tanyanya.
"Doni waktu itu lupa sesuatu, trus pulang lagi ke rumah. Nah, Doni mendengar bunda manggil-manggil nama Doni di kamar mandi sambil merintih, emangnya kenapa itu bunda?" tanyaku.

Bunda terkejut. Jantungnya berdebar-debar, ia bingung mau jawab apa.
Ia pun bertanya balik, "Kapan itu?"
"Beberapa waktu lalu, emangnya bunda ngapain sih di kamar mandi?" tanyaku. "I...itu...nggak ada apa-apa koq," jawabnya.
"Tapi koq, manggil-manggil nama Doni?" tanyaku.
Bunda terdiam. Aku lalu memeluk bunda dari belakang. Dari situlah aku tahu
bahwa jantung beliau berdebar-debar. Bunda lalu bersandar di dadaku. Matanya berkaca-kaca. Ia lalu menutup wajahnya.

"Bunda, kalau bunda misalnya rindu sama ayah, Doni bisa mengerti koq. Mungkin wajah Doni mirip ama ayah," kataku. Bunda lalu terisak, kami berpelukan. Bunda bersandar di pundakku. Ia tak berani melihat wajahku. Ia terus memelukku dan aku membelai kerudungnya yang panjang. Cukup lama ia bersandar di pundakku. Sampai aku kemudian mulai memberanikan diri untuk melihat wajahnya.

"Maafkan bunda, engkau mirip sekali dengan ayahmu, dan bunda rindu dengan sentuhan ayahmu," katanya.
"Boleh Doni minta sesuatu bunda?" tanyaku.
"Apa itu?" tanyanya.
"Doni ingin mencium bunda," kataku.
Ia tersenyum, "Boleh saja, kenapa memangnya?"
"Tapi bukan di pipi, di sini," kataku sambil menyentuhkan telunjukku di
bibirnya. "Ah, Doni ini koq kolokan banget? Aku ini bundamu, bukan kekasihmu," kata bunda.
"Sekali saja bunda, Doni ingin tahu rasanya ciuman, please....sekali saja,"
kataku.

Bunda terdiam. Ia menatap wajahku. Ia mengangguk walau agak ragu. Aku senang sekali, tersenyum. YES! dalam hatiku. Aku perlahan mendekatkan wajahku, wajah bundaku tarik ke arahku dan bibirku menempel di bibirnya. Pertama cuma menempel, selanjutnya aku mulai menghisap bibir bunda. Lagi dan lagi. Dan akhirnya kami berpanggutan. Nafas bunda mulai memburu. Tiba-tiba bunda mendorongku.
"Tidak Don, tidak. Kita terlalu jauh. Kita ini ibu dan anak. Ndak boleh
beginian," katanya.
"Lalu kenapa bunda mastrubasi sambil manggil-manggil Doni?" tanyaku.
"Kamu tahu?" tanyanya.
"Iya, Doni tahu. Itu artinya bunda kepingin kan?" tanyaku.
"Sampai berfantasi ama Doni."
Ia tak menjawab. Tampaknya aku menang. Bunda sepertinya pasrah. Aku ingin coba lagi. Kupegang kedua tangannya, aku memajukan wajahku lagi, kini ciumanku disambut. Wajah kami makin panas karena gairah. Lama sekali kami berpanggutan, nafas ibuku makin memburu.

Aku lalu menarik wajahku lagi, "Kalau misalnya bunda kepingin dan tidak ada yang bisa memuaskan bunda, Doni bisa koq. Tapi jangan sampai semuanya tahu."

"Tidak Don...hhmm...", bibir bunda aku cium lagi sebelum selesai berkata-kata. Ia berusaha mendorongku. "Sudah Don, sudah....bunda ndak mau, ingat kita ibu dan anak."

"Lalu kenapa bunda membayangkan dientotin Doni?" tanyaku lagi. Kucium lagi bibirnya. "Itu...hmmmm...itu....itu karena bunda khilaf, maafin bund...hhmfff," bunda tak kuberi kesempatan melakukan penjelasan. Kuremas-remas dadanya dari luar gamisnya. Bunda pun mendorongku lebih kuat lagi. "Baiklah,..baiklah...bunda memang ingin kamu, bunda ingin ngentot dengan kamu, ayo ngentotin bunda! Sekarang!" katanya. "Buka bajumu!"

Aku lalu menghentikan aktivitasku. Melihat air matanya berlinang, aku
mengurungkan niatku. Aku berdiri. "Maafin Doni bunda. Maaf!" Aku mencium tangannya lalu berbalik dan masuk ke kamarku. Perasaanku campur
aduk setelah itu. Beberapa kali bunda mengetuk pintu kamarku, tapi tak
kutanggapi, aku pun tertidur.

***

Paginya aku bangun, kemudian ingin ke kamar mandi. Saat itulah aku dikejutkan karena ternyata bunda ada di dalam kamar mandi telanjang, bener-bener polos. Aku terkejut dan mematung.
"Doni!!??" bunda terkejut.
"Oh, maaf bund," aku segera menutup pintu kembali.
Untuk beberapa saat aku diam di depan pintu kamar mandi.
"Biasanya DOni mandi duluan, ndak tau kalau bunda mandi duluan. Habis bunda ndak ngunci sih."
"Kamu mau mandi?" tanyanya.
"Masuk aja!"
"Lho, bundakan di dalam," kataku.
"Gak papa, sama bunda sendiri koq malu?" katanya.
Aku agak ragu, tapi kemudian aku pun masuk.
Bunda melirikku sambil tersenyum, "Ndak usah malu, copot sana bajunya."
Aku pun mencopot seluruh pakaianku.
Bunda menyiram badannya di bawah shower.
Terus terang hal itu membuatku terangsang banget. Penisku langsung menegang. Dan setan pun masuk ke otakku, aku melihat bundaku seperti seorang bidadari, segera aku memeluknya dari belakang, penisku yang sedang tegang maksimal menempel di pantatnya.

"Bunda, maafin Doni, tapi Doni ndak tahan lagi!" kataku. Bunda terkejut dengan seranganku. Aku meremas-remas toketnya, kupeluk erat bunda. "Doni...sabar Don, sabar!" kata bunda.
"Tapi, aku tak mau melepaskan bunda," kataku.
Bunda mematikan shower, kemudian membelai tanganku. Aku menciumi lehernya dan menghisapnya dalam-dalam.  "Oh, Doni...anak bunda sekarang sudah besar....," katanya. Tangan satunya tiba-tiba menyentuh kepala penisku. Penisku yang sudah tegang itu dipegangnya, makin tegang lagi, lebih keras dari sebelumnya. Kemudian bunda mengocoknya lembut. "Kamu ingin ini kan?" Aku mengangguk. "Bunda tahu koq, kamu kan anak bunda," katanya.

"Lepasin bunda sebentar." Aku lalu melepaskan pelukanku. Bunda berbalik, tinggi kami hampir sama, tapi aku lebih tinggi sedikit. Matanya menatapku lekat-lekat. "Bunda, mengakui punya hasrat kepada anak bunda sendiri. Bunda tidak bohong. Itu semata-mata bunda rindu dengan belaian ayahmu. Dan bunda selama ini juga takut untuk bisa menjalin hubungan dengan lelaki lain. Tapi...bunda berpikir keras, apa jadinya kalau bunda berhubungan dengan anak sendiri, itu kan tabu...tapi bunda merasa nyaman bersamamu, hanya denganmu bunda sepertinya ingin, bukan lelaki lain.

Dan bunda juga butuh itu," kata bunda sambil terus mengocok lembut otongku yang udah tegang max. Aku makin keenakan tak konsen apa yang diucapkan olehnya, tapi ketika ia berlutut di hadapanku dan menciumi kepala penisku, aku baru yakin dan ini bukan mimpi. Bunda mengoral penisku.

"Oh bunda," kataku. "Bunda akan berikan sesuatu yang engkau tak pernah sangka sebelumnya," kata bunda. Ia lalu menjilati kepala penisku. Lubang kencingku dijilati seperti kucing. Kedua tangannya aktif sekali, yang satu meremas-remas telurku yang satunya mengocok-ngocok penisku. Penisku yang sudah tegang makin tegang saja. "Bunda,...bunda...enak sekali," kataku. Lidah bunda menjelajah seluruh permukaan penisku yang tanpa rambut itu. Bunda menjilati pinggiran kepala penisku, membuatku lemas saja. Lalu seluruh batangku dijilatinya. Kemudian dimasukkanlah kepala penisku ke mulutnya. Ia kemudian perlahan-lahan memaju mundurkan kepalanya. Penisku yang besar itu makin masuk ke rongga mulutnya. Ia kemudian menghisapnya dengan kuat. Aku makin lemas. Lemas keenakan.  Bunda lalu mengusap-usap perutku, sesekali meremas-remas pantatku, tanganku pun secara otomatis meremas rambutnya. Kalau misalnya ini film bokep aku pasti sudah coli. Tapi ini tak perlu coli karena ada yang bertugas mengocok penisku di bawah sana. Dengan mulutnya dan oh...lidahnya menari-nari mengitari kepala penisku, aku benar-benar keenakan.

"Bunda...oh...enak banget, udah bunda, bunda....Doni...kelu...aaaaarrrr.. AAAAHHHH!" aku keluar. Spermaku tak bisa ditahan lagi. Bunda makin cepat memaju mundurkan kepalanya, penisku seperti ingin meledak dan SRETTT CROOOTTT CROOOOTTT, entah berapa kali aku menekan
penisku ke kerongkongannya sampai ia agak tersedak. Spermaku banyak sekali muncrat di dalam mulutnya.

Bunda mendiamkan sebentar penisku hingga tenang dan tidak keluar lagi. Ia lalu menyedotnya hingga spermanya tidak keluar lagi. Ia lalu mengeluarkan penisku. Ia menengadahkan tangannya, kemudian ia keluarkan spermaku. Mungkin ada kalau 5 sendok makan. Karena pipi bunda sampai seperti menyimpan banyak air di mulutnya.
"Banyak banget spermamu," Bunda lalu menciumi baunya.
"Baunya bunda suka."
Bunda lalu berdiri menyalakan shower. Membersikan mulut dan tangannya.
"Mandi bareng yuk," kata bunda.
"I...iya," kataku.
Kami pun mandi bersama. Pertama bunda menyabuni tubuhku.
Dari dadaku, perutku,punggungku, kakiku dan penisku pun disabuni.
Penisku tegang lagi. "Ih...masih ingin lagi,"
kata bunda sambil menyentil penisku.
"Habis, bunda seksi sih," kataku.
Bunda tersenyum. "Nanti ya, habis ini."
Aku pun bergantian menyabuni bunda.
Saat itu mungkin aku bukan menyabuni, tapi membelainya. Aku jadi tidak malu lagi untuk mencumbunya. Aku menggosok tubuhnya. Punggungnya aku sabuni, ketiaknya, dadanya aku pijat-pijat, putingnya aku pelintir-pelintir, ia mencubitku.

"Anak Nakal! Ibu nanti jadi terangsang. Sebentar, sabar dulu," katanya.  Aku tak peduli, shower aku nyalakan untuk membersihkan sabun-sabun di tubuh
kami. Aku memanggut bibir bunda. Kemudian aku menetek kepada bunda, kuhisapu putingnya. 
"Don, di kamar bunda aja yuk," katanya.
"Mumpung Vidia sama Nur belum pulang." Aku mengangguk.
Bunda mengambil handuk dan membersihkan air di tubuhnya, aku pun melakukannya. Dan agak mengejutkannya aku segera membopongnya.
"Eh...apa ini?" ia terkejut.
"Doni, ndak sabar lagi," kataku.
"Oh...anak bunda, jiwa muda," katanya.
Kami keluar dari kamar mandi, aku masih telanjang, demikian juga bunda. Kami lalu masuk ke kamar bunda. Segera bunda aku letakkan di ranjang, kamar aku kunci. Bunda segera mulutnya kupanggut, kuciumi lehernya, payudaranya pun aku hisap-hisap. Kuremas, putingnya aku pelintir-pelintir, kuputar-putar, bunda menggelinjang. Ia remas-remas rambutku. Kuhisap buah dadanya yang putih dan ranum itu hingga membentuk cupangan. Cupangan demi cupangan membekas di buah dadanya.

"Nak...ohh....bunda terangsang banget," katanya.
"Bunda, ohh..", aku menciumnya lagi.
Sekarang aku turun ke perutnya, lalu ke tempat pribadinya. Aku tak tinggal
diam, segera aku ciumi, aku jilati, aku sapu memeknya yang basah sekali itu.
"Ohhhh...., Donn.....i...itu....aahhh...," bunda menggelinjang.
Kakinya terbuka aku memegangi pahanya. Kulahap habis itu memeknya, klitorisnya pun aku jilati, hal itu membuatnya menggelinjang hebat.  Nafas Bunda mulai memburu. Ia meremas-remas rambutku, ketika aku menuju titik
sensitifnya ia semakin menekan kepalaku. Aku pun makin semakin menekan
lidahku, hal itu membuatnya bergetar hebat.

"Don...bunda...bunda keluar...aaahhhh.....ahhhh....ahhhhhhhh!!" pinggul bunda bergetar. Sama seperti orgasme-orgasme sebelumnya. Aku pun segera bangkit, melihat reaksi bunda. pahanya menekan pinggangku. Saat itulah penisku sudah menegang, siap untuk masuk ke sarangnya.
"Bunda...bunda siap?" tanyaku.
"Masukkan...masukkan! Bunda sedang orgasme," katanya.
Aku pun memposisikan penisku tepat di depan lubangnya, kugesek-gesek, bunda lalu mengangkat kepalanya. Matanya memutih, saat itulah pinggulnya naik dan penisku masuk begitu saja. BLESS!!!  "Ohhhh.....!" mulut bunda membentuk huruf O, menganga merasakan sesuatu yang selama ini ia inginkan. Ia memelukku, dada kami beradu dan aku memanggutnya.

Bunda merebahkan dirinya lagi. Aku menindihnya. Aku peluk bundaku. "Bunda, Doni masuk lagi. Masuk lagi ke tempat Doni lahir," kataku.
"Doni...ohh....iya, iya,....sudah masuk, rasanya penuh....ohhh," kata bunda.
Aku lalu menaik turunkan pantatku. Penisku otomatis menggesek-gesek rongga vaginanya yang becek. Kami berpandangan, mata kami beradu. Pinggul bunda bergerak kiri-kanan membuat penisku makin enak.

"Bunda, bunda...ohh....perjaka Doni buat bunda....ohh...enak bunda....bunda
apain penis Doni?" tanyaku sambil melihat matanya.  "Anakku, ohh....bunda enak banget, kepingin keluar lagi, ohh....bunda ndak pernah keluar berkali-kali seperti ini....ohh...aahhh....sshhh," bunda menatapku lekat-lekat. Kening kami menempel. Bibir kami saling mengecup berkali-kali.

Tak hanya di situ saja, aku sesekali menghisap puting susunya. Keringat kami
setelah mandi keluar lagi. Tubuh bundaku yang seksi ini membuatku makin
bersemangat untuk menyetubuhinya. Bunda....aku ingin menghamilimu.
"Bunda...ohhh...keluar ....ahh...ahh...di mana?" tanyaku.

"Ohh....ahh..ahh, terserah Doni," kata bunda.
"Tapi...ohh...jangan di dalam... di luar aja...bunda takut hamil....."
"Maaf bunda, tak bisa, Doni ingin menghamili bunda. Bunda, Doni
sampai....Sperma perjaka Doni buat bunda.....ini...ini...!!"
"Jangan...jangan.....Doni....ahhh...aduh...bun da juga keluar.....sama-sama...tapi...ahkhh...jangan di dalam....ahhhhhhhhhhh!" bunda mengeluh panjang.

Aku mencium bunda bibir kami bertemu dan pantatku makin cepat bergoyang dan di akhirnya menghujam sedalam-dalamnya ke rahim bunda. Spermaku memancar seperti semprotan selang pemadam kebakaran. Kutumpahkan semua kepuasan ke dalam tempatku dulu dilahirkan. Mata bunda memutih. Pantatnya bergetar hebat karena orgasme. Ia mengunci pinggulku, aku menindihnya dan memeluk erat dirinya sambil menciumnya. Entah berapa kali tembakan, yang jelas lebih dari sebelas. Karena saking banyaknya orgasme itu berasa lama. Memek bunda berkedut-kedut
meremas-remas penisku, aku masih membiarkan penisku ada di dalam sana.

Butuh waktu sepuluh menit hingga penisku mengecil sendiri, dan kakinya
melemas. Aku pun kemudian bangkit. Bunda tampak lemas, ia seakan tak berdaya. Penisku serasa ngilu. Aku melihat ke vaginanya. Tampak cairan putih menggenang di dalam lubang vaginanya. Aku tersenyum melihatnya.

Aku kemudian merebahkan diri di sebelah bunda. Kemudian bunda memelukku, kami pun tidur terlelap. Siang hari kami terbangun. Aku dulun yang terbangun. Melihat tubuh bundaku telanjang memelukku membuatku terangsang lagi. Aku menciumi bibirnya. Bunda masih tertidur. Aku lalu menggeser badanku, kemudian bangkit. Penisku sudah on
lagi, mungkin karena melihat tubuh bundaku. Aku kemudian membuka pantatnya mencari lubang vaginanya. Kemudian segera saja aku masukkan. SLEB...bisa masuk! Masih basah. Mungkin karena sebagian spermaku masih ada di dalam sana. Aku pun menggoyang-goyang. Maju mundur. Posisiku berlutut sambil bertumpu kepada kedua tanganku. Pinggulku mengebor pantatnya. Bunda membuka matanya, ia tersenyum melihat ulahku.

"Dasar anak muda, ndak ada puasnya," katanya.
"Bunda...Doni enak bunda....," kataku.
Bunda cuma diam melihatku.
Aku sesekali meremas toketnya.
Aku goyang terus sambil kulihat wajahnya. Bunda memejamkan mata, mulutnya sedikit terbuka, mengeluh pelan.

"Bunda, enak banget.....hhhmmmmhh....keluar...Doni keluar lagi bunda...." kataku. "Pantat bunda enak banget."
"Doni...ahhh....aaaaahhh...bunda juga...koq bisa ya??" kata bundaku.
Tangannya menarik tanganku, aku berlutut sambil menghujamkan sekeras-kerasnya ke memeknya. Aku pun keluar lagi. Tapi tak seperti tadi. Kali ini cuma lima kali tembakan, tapi begitu terasa. Setelah itu aku mencabut penisku dan ambruk.

"Bunda, Doni cinta ama bunda," kataku.
"Cinta karena nafsu, kamu bernafsu dengan bunda, makanya seperti ini,"
katanya. "Tapi bunda juga bukan?" kataku menyanggah.
Bunda diam. "Bunda tidak bangun? Tidak buka toko?" tanyaku.
"Toko tutup dulu, kemarin ibu bilang ke Mbak Juni untuk tutup dulu," kata
bunda.
"Bunda ingin istirahat dulu. Badan bunda serasa sakit semua, sebab
sudah lama tidak bercinta lagi." Aku mengangguk.
"Kalau begitu, Doni pergi dulu," kataku.
"Ke mana?" tanyanya.
Aku terdiam.
"Ke mana?" tanyanya lagi.
"Bunda merasa kehilanganku? Berarti bunda juga mencintaiku," kataku.
Ia mencubit perutku. "Maunya," katanya. Kami berpanggutan sebentar untuk beberapa lama sebelum kemudian aku meninggalkan kamar bunda tanpa baju.
 
Setelah itu, hubunganku dengan bunda berjalan sembunyi-sembunyi. Bunda sering dan selalu melarangku untuk mengeluarkan spermaku di dalam rahimnya, tapi aku tak peduli. Kalau ada kesempatan, saat itulah kami bercinta. Di dapur apalagi. Dan itu pengalaman yang sangat mendebarkan. Bunda bertumpu kepada wastafel. Dan aku menyodoknya dari belakang. Kami melakukan fast-sex karena saat itu Kak Vidia dan Nuraini ada di rumah. Bahkan terkadang kami mencicil hubungan sex kami ketika Kak Vidia dan Nuraini bolak-balik ke dapur.

Belum, bunda belum hamil. Ia masih menstruasi. Tapi nanti ada saatnya beliau hamil. Karena aku yang memaksanya. Tapi itu nanti. Sekarang beralih ke Kak Vidia.

BAB 3            
KAK VIDIA
*************
Sebagai seorang aktivis di kampus, kak Vidia selalu memakai jilbab lebar.
Bahkan terkadang ia curhat juga kepadaku. Karena saking baiknya terkadang aku masih diperlakukan seperti anak kecil. Namun melihatku yang sangat berbakti kepada bunda, hal itu membuatnya menjadi iri. Ia ingin bisa juga berbakti tapi karena ia masih kuliah, ia pun menyadari bahwa ia tak bisa sepertiku. Makanya ia sangat menghormatiku. Apapun yang aku inginkan pasti diturutinya. Seandainya saja ia mau melepas keperawanannya untukku.

Well, jatah kloroformku masih banyak koq. Tapi kayaknya aku tak kan
menggunakannya lagi. Bukan untuk kak Vidia.  Bunda sekarang mulai rajin senam, padahal tubuhnya masih bagus lho. Buah dadanya juga masih padat, kulitnya masih mulus. Tapi hal itu semata-mata ingin mengimbangiku di ranjang aja katanya. Aku bebas menginginkan bundaku kapan saja.

Bagaimana awal mula aku dengan Kak Vidia?  Awalnya adalah aku harus menemaninya naik gunung. Nah lho? Yup, karena ia adalah seorang aktivis maka aku harus menemaninya. Muhrimnya bo'. Awalnya aku
menolak, tapi ia bilang, "Aku belum punya suami, dan kamu adikku!"

Yah, jadinya aku ikut deh. Acara naik gunung itu merupakan acara ekstra
kampus. Kami terpisah jadi beberapa group. Aku pun berkenalan dengan
teman-teman kakakku, terutama yang cewek dong. Mengetahui hal itu malah aku dijewer ama kak Vidia. Tingkah polah kami memang kekanakan kalau bersama-sama. Hal itu membuat hiburan tersendiri bagi teman-temannya. Karena tak biasanya kakak adik seakrab itu.

Nah, ketika malam harinya setelah acara api unggun.
Kak Vidia memanggilku.
Aku yang sedang ngobrol dengan teman-temannya menghampirinya.
"Ada apa kak?" tanyaku.
"Aduh, kebelet pipis nih!" katanya.
"Anterin dong."
"Waduh...." kataku.
"Koq waduh, kayak kita bukan saudara aja," katanya.
"Tolong anterin! Masak aku minta anak cowok lain?"
"Iya deh, iya deh," kataku.

Kami berdua pun menjauh dari kemah. Agak jauhan dikit sih tapi itulah sialnya. Aku lupa jalan. Kak Vidia membawa tissu. Kemudian ia bersembunyi di balik pohon. Aku cuma bawa senter saja. Setelah beberapa saat kemudian, kak Vidia selesai.
"Udah, balik yuk!" katanya.
"Yuk!" kataku.
Nah, saat itulah aku lupa arah.
"Sebentar tadi kita ke kanan atau ke kiri?" tanyaku.
"Waduh, aku ya mana tau? Kamu gimana sih?" tanyanya panik.
"Ya udah, kita ke kanan aja," kataku.
Kami pun ke kanan. Karena ini bukan jalan setapak, tapi rerumputan dan semak belukar, kami pun bingung. Setelah lama berjalan, kami makin jauh masuk ke dalam hutan. Perfect. Mana malam hari lagi.

"Lho, koq makin jauh ke hutan?" gumamku.
"GImana sih? Tersesat kaaaan?????" katanya.
"Sebentar...balik lagi yuk," kataku. Aku pun berbalik lagi. Kami
berputar-putar hingga tak tahu arah. Saat itulah aku pun makin sadar bahwa
kami makin tersesat.
"Bagus, sekarang kita makin tersesat," kataku.
"Aduh...gimana dong?" tanyanya.
"Aku ndak bawa Handphone nih," kataku.
"Aku juga, tapi di sini mana ada sinyal dodol!" katanya.
"Eh, situkan yang suruh dianterin, mana aku tahu kalau kita nanti bakal
tersesat?" kataku.
"Wooooiii!!" teriak kakakku.
"SSSTTTT!!" kataku.
"Apa sih? Biar ada orang yang denger tauk!" katanya.
"Bego ya kamu? Kalau kamu teriak-teriak, siapa yang akan datang?
Kita ini di hutan! Ingat itu!" kataku.
Kak Vidia menangis. Ia memelukku.
"Koq jadi begini???" tanyanya.
Ia menangis tersedu-sedu, "Bunda, Vidia mau pulang."
"Udah ah, koq nangis sih? Kita cari sungai saja. Biasanya kalau ada sungai
maka kita tinggal ikuti aja muaranya pasti akan ketemu peradaban," kataku. Aku mencoba menghibur kak Vidia. Akhirnya ia berhenti menangis. Kami pun
berjalan lagi, membelah hutan, tanpa arah. Akhirnya kami menemukan suara yang deras. AIR TERJUN!

Tapi karena malam hari, kami tak tahu apapun dan bagaimana pemandangannya. Hanya nyala senter saja yang bisa menerangi sekarang ini. Kemudian saat itulah aku melihat sebuah gua.
Lho? Ada gua? "Lihat, ada gua!" seruku.
"Kita istirahat di situ saja dulu.
Besok kita lanjutkan. Ini sudah malam dan dingin banget."
Kabut pun makin tebal. Kak Vidia dan aku masuk ke gua itu.
Cukup bersih. Gua itu ada di sebelah air terjun. Kak Vidia duduk di dalam gua, aku mencari kayu bakar dan mencoba menyalakan api. Cukup susah payah aku melakukannya sampai kemudian aku pun bisa menyalakannya. Untung saja aku membawa korek api. Paling tidak malam ini jadi tak begitu dingin.

Aku duduk bersandar di dinding gua sambil menjaga api agar tetap hangat. Saat itulah kak Vidia tampak menggigil. Sebenarnya aku juga menggigil. Aku pun mendekat ke kakakku dan memeluknya. Kami pun berpelukan erat untuk mengusir dingin. Malam makin larut. Api mulai menghangati ruangan gua.
"Aku takut Don, ndak ketemu bunda lagi," katanya.
"Jangan gitulah, besok kita pasti akan tahu jalan pulang.
Karena percuma kalau sekarang kita paksa juga, ndak tau jalan. Kalau saja kita tahu arah utara, mungkin kita bisa pulang, karena kalau terus ke utara kita akan ketemu posko pintu masuk tadi," kataku. Kak Vidia mengangguk. Api mulai mengecil, kayunya pun mulai habis. Aku makin erat memeluk kak Vidia. Kak Vidia juga makin erat memelukku. Dan...apinya
padam. Hawa dingin mulai menusuk lagi.

"Kak, sebaiknya kak Vidia aku pangku saja," kataku.
"Ih, ogah ah, Kenapa memangnya?" tanyanya.
"Biar hangat, coba deh sini," kataku.
Kak Vidia pun mengikutiku. Ia duduk di pangkuanku.
Trus memelukku, "Begini?"
"Bukan, buka baju kakak bagian atas!" kataku.
"Kamu gila ya? Aku ini kakakmu jangan macam-macam!" katanya.
"Kita ini darurat, aku janji deh ndak macam-macam. Ikuti saja!" kataku.
Kak Vidia ragu. Ia berpikir. Sambil giginya gemertuk.
"Ya udah deh, tapi ingat jangan macem-macem ya!?" katanya.
Ia membuka kancing bajunya. Aku tak bisa melihatnya karena gelap.
Aku pun membuka bajuku yang atas.
"Sudah," katanya.
"Peluk aku," kataku.
Ia pun memelukku.
"Eh, tunggu!" kataku. "Branya dicopot juga dong!"
"Kamu udah gila ya?"
"Kak, kita perlu menghangatkan diri pakai tubuh kita, kakak mau mati
kedinginan di sini?" tanyaku.

Ia pun akhirnya luluh juga. Dicopot pengait branya. Kemudian ia naikkan
branya, sehingga buah dadanya terekspos. Sayangnya gelap. Aku tak bisa jelas melihatnya. Sementara yang di bawah sana tak bisa diajak kompromi. Langsung tegang.
"Sekarang peluk aku!" kataku.
Dan kami pun berpelukan, tanganku masuk ke dalam bajunya. Tangan kakakku juga masuk ke dalam bajuku. Kami saling mendekap erat untuk memberikan kehangatan. Dadaku beradu dengan buah dadanya. Aku bisa merasakan putingnya yang mengeras karena dingin menekan dadaku. Dan, yang agak mengejutkan adalah selakangan kami saling menempel. Tentu saja kakakku merasakan sesuatu di bawah sana.
"Dik, jangan macem-macem ya, ingat aku kakakmu," katanya.
"Iya, aku mengerti kak, tapi akukan juga lelaki normal," kataku.
Lama kami berpelukan seperti itu. Dada kami mulai menghangat.
"Mulai hangat dek," kata Kak Vidia.
"Iya," kataku.
"Kak Vidia, maaf ya. Aku melakukan ini," kataku.
"Tidak mengapa. Kakak ngerti koq," katanya.

Saat itulah, entah kenapa aku menggosok-gosok punggung kakakku. Dia juga
demikian. Aku masih ingat warna pink puting kakakku. Setan pun datang. Aku
berdebar-debar. Kak Vidia bisa merasakan debaran jantungku. Dia juga demikian.
"Baru kali ini kakak beginian dengan lelaki, rasanya nyaman," katanya.
"Kak, boleh Doni memegang dada kakak?" tanyaku.
"Dek, ingat aku kakakmu," katanya.
"Iya, aku tahu, sebentar saja kak. Doni ndak pernah megang punya wanita,
kepengen aja. Gakpapa kan? Kita juga kan pernah mandi bersama dulu," kataku. "Tapi kan itu kita masih kecil," katanya.
"Boleh ya kak, sebentar saja," kataku.
Kak Vidia ragu. Ia takut membuatku marah akhirnya tak bisa menghangatkan diri lagi dan bisa mati kedinginan. Ia pun bilang, "Iya, sebentar saja ya."

YeS pikirku. Tanganku pun bergerak memegang buah dada yang sejak dulu ingin aku pegang dari dulu. Pertama aku cuma memegang saja, selanjutnya, aku meraba, mengusap, dan memijatnya lembut. Penisku makin tegang aja di bawah sana. Putingnya yang berwarna pink itu aku pencet-pencet.
"Dek...udah...jangan....!" katanya.

Aku terus melakukannya, merempon istilahnya. Sambil sesekali
memelintir-melintir. Kak Vidia mulai gelisah. Kalau ia lepas pelukannya, maka
ia takut, kalau ia biarkan, maka aku akan bebas melakukan apapun kepada
tubuhnya. Dan dugaannya tak meleset. Kak Vidia lalu mengeluarkan tangannya dari balik bajuku dan memeluk leherku.

"Jangan dek....aku kakakmu!" rintihnya.
Tanganku bergantian meremas buah dadanya. Kiri kanan. Sedangkan tangan kiriku mengusap-usap pantatnya dengan memasukkannya ke dalam roknya dan CDnya. Ruangan gua makin panas. Kak Vidia dilema. Ia cuma membiarkanku melakukan hal itu kepadanya. Aku lalu berhadapan dengannya, aku tak tahu raut wajahnya seperti apa sekarang, tapi aku tahu tempat bibirnya di mana. Bibirku kemudian menempel di bibirnya. Kak Vidia makin pasrah. Ia membiarkan lidahku menari-nari di dalam mulutnya menghisap lidahnya, menyapu langit-langitnya. French Kiss itu membuat Kak Vidia klepek-klepek.

"Kak, aku cinta ama kakak," kataku.
"Dek Doni..., jangan..hhhmmm," aku menciumnya lagi.
Aku lalu turun ke dadanya, kuhisap putingnya. Kujilati. Manis sekali.
"Deeekk....oohhh...hhhmmm.."
Aku terus meremas, menciumi dan menyusu ke dadanya. Kak Vidia makin gelisah. Kalau ia melepaskanku ia takut kedinginan. Akhirnya ia pun nekat, ia
mendorongku. Ia menjauh dariku.

"Adek, kenapa adek melakukan hal ini?" tanyaku.
Aku diam. Cukup lama aku diam menunggu reaksinya. Kemudian aku merasakan ia meraba-raba dalam gelap mencari kakiku. Ketika ia merasakan kakiku, ia pun memelukku.

"Maafkan kakak, karena salah kakak adek jadi begini," katanya. Aku tak tinggal diam. Aku tak ingin melepaskannya lagi. Segera aku peluk dia,
kupangguti bibirnya. Ia gelapan. Aku baringkan dia di atas batu gua. Aku
kemudian menurunkan celana trainingnya, juga CDnya. Roknya aku naikkan.
Celananya sudah lepas dan aku melepaskan celanaku, aku segera turun ke sana dan menghisap memek perawanya.

"Dek...jangaaan....aahhkk!" keluhnya. Ia meronta-ronta, tapi tak ingin melepaskanku. Aku menjilati memeknya yang bersih itu, tak ada bau kencing, bukti bahwa ia sangat bersih menjaga tempat privasinya. Aku sapu lidahku di bibir vaginanya. Lalu aku jilat-jilat seperti kucing, kucolok-colok di lubangnya. Dan yang terakhir aku hisap klitorisnya. Klitoris kakakku ini lebih besar dari punya bunda. Aku hisap hingga pinggulnya terangkat.

"Deekk...enak...kakak enak..." katanya.
Aku mengulangi lagi "memakan" daging kenyal itu. Kuhisap-hisap, dan
kutekan-tekan lubang itu dengan lidahku. Klitorisnya aku mainkan, kuhisap,
kujilat dan kupijat-pijat dengan bibirku. Kak Vidia menggeleng-gelengkan
kepalanya.

"Dek...kakak mau pipis....kakak mau pipis....maaf dek....pipiiiiiiiissss!!"
kata kak Vidia. Benar saja, kak Vidia banjir. Ia orgasme. Aku mengisapnya. Beberapa lendir itu kuminum. Agak hangat dan asin. Aku membersihkan bibirku. Kak Vidia lemas di atas batu gua. Aku tersenyum. Kuposisikan penisku. Kuangkat pantatnya. Penisku pun mulai masuk perlahan....perlahan...Kepalanya masuk, tapi susah.

"AAhhkkk...deekk...sakit....jangan!" katanya. Tangannya meraba memeknya dan mendorong perutku. Tapi tak begitu kuat. Aku dorong lagi. Jemarinya menyentuh penisku. Memeknya berkedut-kedut, seolah-olah menyedot-nyedot punyaku. Aku tarik lagi kemudian dorong, pelan-pelan. Tarik dorong-tarik dorong. Setiap aku dorong tubuhnya bergetar, kudorong, bergetar lagi dan...SREETTT...aku seperti merobek sesuatu dan tiba-tiba seluruh penisku masuk semua.

"Adeeeekk.....oooohhh....," ia meraba penisku yang sudah masuk semua.
"Kenapa adek melakukan ini? Kenapa adek rela memerawaniku?"
"Kak, aku cinta ama kakak," kataku. Kemudian aku menggoyang.
Aku menindih tubuhnya. Ruangan itu menjadi panas. PLOK PLOK PLOK, suara selakangan kami beradu. Rasa dingin sudah tak ada artinya lagi. Yang ada adalah usaha untuk meraih kenikmatan bersama.

Awalnya kak Vidia mengeluh sakit dan perih. Tapi lama kelamaan ia cuma
mengeluh nikmat. Ah dan uh keluar dari mulutnya. Pikiran kami cuma ada nafsu. Gua itu menjadi saksi bisu bagaimana kedua kelamin kami bersatu. Aku menghisap putingnya lagi. Putingnya sangat mengeras. Aku yakin ia sangat menggairahkan kalau aku bisa melihatnya. Aku masih membayangkan mulusnya dan putihnya kulit kakakku dari video-video yang aku simpan.

Pantatku terus bergoyang hingga aku tak tahu lagi kapan aku bertahan dengan posisi seperti ini, tapi aku makin cepat menggoyangnya.
"Dek, kakak mau keluar lagi. Kakak mau pipis," katanya.
"Kak, aku juga udah di ujung. Keluar bareng yuk," kataku.
"Jangan di dalam dek, plisss...jangan....," katanya.
"Ndak bisa kak, enak banget soalnya. OOOHHH....AAAHH," kataku.
"Dek....kamu brengseeekk....kakakmu sendiri dientot ....pejumu.. .pejumu... muncrat!!",  katanya. "Banyak kak, banyak banget!" kataku. "OH....memek kakak enak, seret, penisku nagih kak....keluar....ooooohhhh!"

"Deek...adeku yang ganteng...jadi bapak anakku...ini masa suburku dek, aku
hamil...ohhh...hamil deh...aaaahhkkk!" rancaunya.  Satu, dua, tiga, empat, lima,....sepuluh kali semprotan. Spermaku banyak banget memancar di rahimnya. Kami berpelukan erat sekali. Dan akhirnya, karena kedinginan dan kelelahan, kami pun tertidur.

Sinar matahari membangunkan kami. Gua menjadi hangat. Kak Vidia terbangun pertama kali, disusul aku. Ia melihat vaginanya yang mengeluarkan lendir putih dan merah darah. Darah perawannya. Kak Vidia menoleh ke arahku, lalu ia menamparku dengan keras.

"Kenapa? Kenapa adek melakukan ini?" tanyanya. "Adek sudah janji bukan?"
"Maafin adek kak," kataku. "Doni khilaf"
"Enak saja, khilaf. Kalau kakak hamil mau tanggung jawab?" tanyanya.
"Iya, aku akan tanggung jawab," kataku.
"Lalu bagaimana kalau sampai bunda tahu? Betapa malunya bunda," kata kakak sambil menangis. Ia memeluk kakinya yang tak tertutup apapun itu.

Aku lalu memeluknya. Ia tak menolakku.  "Aku akan bertanggung jawab," kataku. "Mulai sekarang Doni yng jadi suami kakak." Kakakku diam. Ia cuma menangis. Tangisnya mulai berhenti ketika aku mengusap-usap tubuhnya. Dan aku pun memanggutnya, kami berpanggutan lagi.

"Dek, sudah dek," katanya. "Kita pulang yuk!"
"Sekali lagi kak," kataku.
"Adekku...suamiku," katanya.

Aku menciumi bibirnya, kami lalu telanjang. Sinar matahari sudah masuk, kini
aku bisa melihat jelas tubuhnya tanpa sehelai benang pun. Aku menciumi dan
menjilati lehernya yang jenjang. Wangi tubuhnya aku hirup. Dadanya aku
cupangi, ketiaknya aku hisap hal itu membuatnya menggelinjang hebat. Kami
memberikan usapan dan ciuman, serta hisapan. Bibir merah muda kakakku pun menciumi tubuhku, putingku, leherku, bibirku, semuanya. Bahkan penisku pun diciuminya. Aku menuntunnya untuk menungging. Aku posisikan penisku tepat di bibir vaginanya, aku dorong pelan. BLESS...masuklah semuanya. Aku lalu mulai menggoyangnya. Kakakku merintih-rintih keenakan. Ia sepertinya tak terasa sakit lagi. Aku menyodoknya sambil meremas-remas toketnya yang putingnya berwarna pink itu. Cukup lama aku menyodoknya dari belakang. Pantatnya membentur-bentur selakanganku. Aku pun meremas-remas pantatnya, sambil kubelai dengan kukuku punggungnya.

"Ampun dek, ampun, jangan! ahh...ahh....oh..." keluhnya.
"Kak, pantat kakak enak, memek kakak juga enak," kataku.
Aku terus memompa keluar masuk. Sepertinya waktu itu sangat lama. Aku bisa menikmati setiap centi penisku menggesek kulit rongga vagina kakakku. Dan aku terkadang menghujam sedalam-dalamnya, vaginanya benar-benar menyedot-nyedot penisku. Aku kemudian berhenti. Kak Vidia tampak lemas. Saat penisku dicabut ia menjerit kecil, "Aww.."

Ia terkulai, kubalikkan tubuhnya. Kubantu ia untuk bangun. Kusuruh ia duduk di pangkuanku. Sebelumnya aku memposisikan kemaluanku masuk lagi ke dalamnya. SLEB...SRETTT...lagi-lagi rongga vaginanya menghisap dan meremas penisku. Oh...seperti inikah rasanya perawan itu. Kami sekarang berhadap-hadapan. Tak ada rasa malu lagi. Ia masih memakai kerudungnya, tapi bawahnya polos.

"Aku cinta ama kakak," kataku.
"Ini cinta nafsu dek, ini ndak bener," katanya.
"Tapi kakak suka kan?" tanyaku sambil menekan pantatku ke atas.
"Ohh....adekku yang nakal, habis ini udah ya, kakak capek," katanya.
Aku lalu merebahkan diri. Ia duduk di atasku. Di posisi ini ia mengangkat
pantatnya naik turun, sesekali ia gerakkan maju mundur. Buah dadanya aku
remas-remas, ia memegangi tanganku.
"Ohh...dek, kakak hina sekarang.... sekarang kakak seperti pelacur....
ohh,...kakak malu," katanya.
"Engkau pelacurku kak," kataku. "Oh...kak Vidia."
"Sebenarnya aku tak mau, tapi penismu dek, ohhh....bikin ketagihan.
Kakak ingin saja diperkosa kamu....hhhmmm...ohh....ahh," katanya.
"Terus kak, goyang!" kataku. Kak Vidia menggoyang-goyangkan pantatnya, hingga makin lama makin cepat.

"Dek, kakak mau sampai...mau sampai...samp...." ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan kedua pahanya menghimpit pinggangku. Aku merasakan sesuatu cairan membasahi penisku. Ia lalu ambruk di atasku. Pinggulnya bergetar, merasakan nikmatnya orgasme yang baru saja ia raih. Aku pun kemudian melepaskan kerudungnya, tampaklah sesosok wajah yang cantik. Matanya jeli, bibirnya tipis dan lembut. Rambutnya panjang disanggul. Aku pun melepaskan sanggul itu. Kini rambutnya terurai. Kak Vidia diam menikmati sisa-sisa orgasme. Aku kemudian berguling. Kini bergaya misionari.

Mata Kak Vidia masih terpejam. Aku kemudian mulai bekerja lagi. Aku sedikit
berjongkok, Pahanya aku naikkan hingga lututnya sampai ke samping kepalanya, dengan posisi ini aku lalu memompa penisku naik turun. Kak Vidia pasrah, ia hanya menjerit nikmat ketika penisku menggesek-gesek rongga kemaluannya.

"Aaahhkkk....deekk...nikmatt banget..,terusss....," katanya. Aku pompa terus keluar masuk. Kemaluannya yang gundul tanpa rambut membuatku
makin terangsang saja. Pagi-pagi kami sudah mandi keringat. Aku bisa melihat peluh sebesar jagung di keningnya. Bahkan tubuhku pun basah oleh keringat. Setelah itu tak berapa lama kemudian aku merasa ingin keluar. Aku posisikan diriku menindihnya, berbaring. Kupeluk dan kucium dia. Pantatku naik turun dengan cepat.

"Kak, aku keluar....ohh....kakk...kakkk, penisku mau nembak lagi," kataku.
"Deekk...hamili kakak dek,...ahhhkkkk....kakak pasrah...., tembak rahim kakak
ama pejuh angetmu!!" katanya.
"Kaaaakkk.....muncraaat!" kataku.
CROOOOTTT!!... CROOOTTT!! CROOOTT CROOOOTT CROOOOOTT CROOOT

Kedua bibir kami menyatu, rasanya kami semua melayang ke awan. Kakakku rela menerima spermaku kali ini. Ia memelukku erat, kakinya mengapit dan mengunci pinggangku. Spermaku terbenam semua di dalam vaginanya. Aku biarkan beberapa saat penisku ada di sana. Meresapi kedutan-kedutan rongga kemaluan Kak Vidia. Hingga kemudian penisku mengecil sendiri. Aku kemudian menariknya.

Tampak spermaku meleleh dari kemaluannya. Kak Vidia lemas. Ia mengatur
nafasnya, matanya terpejam pahanya terbuka. Aku lalu merebahkan diri di
sebelahnya.

***
Kami setelah itu membersihkan diri di air terjun. Tentu saja mandi keramas,
tapi tanpa shampoo. Dingin sekali airnya, setelah itu kami mengikuti arah
matahari, sehingga akhirnya sampailah kami di pos yang aku maksudkan.
Rombongan kami ternyata juga mencari kami. Kami kemudian bercerita bahwa kami tersesat kemudian bermalam di gua. Insiden itu mengubah hidup kami berdua. Kami seperti orang pacaran sekarang. Kak Vidia selalu manja kepadaku. Awalnya bunda tidak curiga terhadap hal ini. Bahkan Kak Vidia sekarang berani untuk tidur di kamarku, dan kami terkadang melakukannya lagi di kamarku.

Baiklah ini cerita Kak Vidia. Hubungan kami sangat rahasia sebenarnya. Aku dan bunda masih melakukannya, juga dengan kak Vidia. Dan untunglah, kak Vidia juga masih menstruasi. Tidak jadi hamil.

BAB 4
*********
NURAINI

Satu-satunya yang memergokiku bercinta dengan bunda adalah Nuraini. Saat itu aku tak mengira kalau Nuraini akan pulang lebih awal. Aku dan ibuku sedang bercinta hebat di atas kasur. Dan saat itu akulah yang sadar. Aku lupa menutup pintu, ibuku membelakangi pintu dan posisiku saat itu memangkunya. Terlihat jelas penisku masuk ke kemaluannya dan Nuraini terbelalak menyaksikan kami berdua. Ia mematung sejenak, namun karena aku juga menatap matanya, ia pun segera pergi. Segera setelah itu aku menggenjot bunda lebih cepat untuk orgasme. Setelah selesai. Aku buru-buru mencabut penisku.

"Tumben cepet, ada apa?" tanyaku.
"Nuraini melihat kita bunda," jawabku.
"Apa?" bunda kaget sekali.
Ia segera berpakaian. Aku juga. Dan saat itu tampak Nuraini diam saja
melintasi kamar kami. Aku dan bunda saling berpandangan.
"Nur! Nur!" panggil bunda. Tapi Nuraini tak menoleh.

****
Malamnya Nuraini tampak membisu di depan tv. Aku dan bunda pun ada di sana. "Kenapa bunda dan kakak melakukan hal itu?" tanyanya.
"Maafkan bunda Nur, bunda melakukannya karena memang ini salah bunda. Karena bunda sudah lama ditinggal ayahmu. Dan karena bunda takut untuk dekat dengan lelaki lain," kata bunda.

"Tapi kenapa harus kak Doni?" tanyanya.
"Ya karena bunda takut dengan lelaki lain, itulah sebabnya," jawab bunda.
Nuraini menutup wajahnya.
"Terus terang Nur malu bunda, malu. Kenapa bunda malah melakukan hal yang memalukan itu bersama anak sendiri?" tanyanya.

"Nur, dengarlah....kakak melakukan ini karena suka sama suka. Bukan karena paksaan dan juga karena kakak kasihan kepada bunda. Tahukah kamu bagaimana bunda sangat merindukan ayah? Kalau misalnya bunda dengan lelaki lain yang tidak jelas melakukannya apa kamu rela? Mau kamu bersama lelaki lain yang tidak jelas asal-usulnya, rela kamu punya ayah baru yang tidak bisa membahagiakan bunda?" tanyaku.

Nuraini diam. Ia menatapku. Ia berpikir sejenak.
"Tapi.... kenapa harus kakak?" tanyanya.
"Karena kakak orang yang mendekati ayah. Kakaklah orang yang dibutuhkan oleh bunda dan karena kakak selalu ada di samping bunda, makanya siapa lagi yang bisa dipercaya oleh bunda? Kakak selalu ada di sisi Bunda, kakak tahu ini salah, tapi apakah kamu tega dengan perasaan bunda?" tanyaku.

Nuraini terdiam. Ia melihat ke arah bundanya.
"Nur, maafkan bunda," bunda memeluk Nuraini.
"Nur, bisa memaafkan bunda. Asalkan Nur minta satu hal bunda," kata Nur.
"Apa itu sayangku?" tanya bunda.
"Ijinkan Nur bersama bunda menjadi suami kakak," kata Nur dengan lugu.
Kami berdua terkejut.
"Nur, itu tidak mungkin," kata bunda.
"Kamu adiknya."
"Kalau bunda boleh kenapa Nur tidak? Sebenarnya saya sudah lama mengagumi kakak sendiri, mungkin Nur terkena sister complex, tetapi terus terang Nur kecewa ketika melihat Kak Doni begituan ama bunda, cemburu Nur. Cemburu ama bunda," kata Nur sambil terisak.

Bunda terdiam. Ia pun bingung. Saat itulah Kak Vidia baru pulang dari kampus. Ketika melihat kami semua berkumpul ia pun bingung.  "Ada apa?" tanya Kak Vidia.

"Baiklah, memang semuanya harus tahu apa yang terjadi karena kita adalah
keluarga," kataku. Kemudian aku menceritakan semuanya. Hubunganku dengan bunda, dan bagaimana aku suka kepada kakakku sendiri. Kemudian juga Nur yang juga suka. Ini benar-benar keluarga incest.

"Kita semua memang salah, ini sudah terlanjur," kata bunda. "Maafkan bunda
yang tidak bisa mendidik kalian. Baiklah ini hanya jadi rahasia kita. Maukah
kalian menjaganya? Vidia? Doni? Nur?"

Kak Vidia tampak matanya berkaca-kaca.
"Mulai sekarang, Doni adalah kepala rumah tangga.
Terserah kepada dia ingin menggilir siapa. Bunda ijinkan dia menjadi suami kalian. Demi keutuhan keluarga ini. Bagaimana? Kalian setuju?" tanya bunda.

Kak Vidia langsung memeluk bundanya, "Bunda, Vidia sangat bahagia sekali." Nur juga memeluk bundanya. Aku terdiam. Bingung dengan keadaan ini sekarang.  "Doni, sekarang kamu adalah suami kami. Perlakukanlah kami dengan baik. Di luar memang kita adalah keluarga, tapi di dalam kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Jadilah kepala keluarga yang baik. Malam ini bunda akan menyiapkan Nur untukmu, karena Nur masih gadis. Vidia, tolong siapkan suamimu," kata bunda.

Kak Vidia mengangguk.
Aku kemudian digandeng kak Vidia ke kamarnya. Di dalam kamarnya kak Vidia mencubit pipiku. "Kalau sainganku bukan bunda dan adikku sendiri, maka aku pasti akan marah habis-habisan kepadamu dek. Tega-teganya berselingkuh," kata Vidia.
"Maafkan aku," kataku.
Kak Vidia menggeleng. "Kau tidak salah. Ibu memang sedang rindu kepada ayah, pantas kalau beliau memilihmu. Karena kamu sangat mirip ayah. Entah kenapa, aku malah senang. Sini copot bajunya, aku mandiin"

Kak Vidia cekikian. Dia kemudian melepaskan bajuku satu per satu. Lalu ia pun begitu. Kami berdua masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya Kak Vidia. Baru bulan kemarin kami membangun kamar mandi ini. Di dalam kamar mandi ini kami membersihkan diri, tapi juga sebenarnya adalah saling membelai. Aku menciumnya sambil memberikan sabun ke tubuhnya. Kak Vidia juga begitu, ia mengusap sabun ke seluruh tubuhku, bahkan menggosok-gosok dadaku, perut, ketiakku, penisku diurut-urut. Aku juga menyabuni buah dadanya, pantatnya. Ketika penisku yang tegang itu menyentuh kemaluannya ia mencubit perutku.

"Simpan tenagamu buat Nur, kita lakukan ini besok saja ya. Ini nih, udah besar nakal juga ternyata," ia meremas otongku. Aku mengangguk.

Air pun mengguyur tubuh kami, terasa wangi tubuhku. Setelah itu aku balik ke
kamarku, meninggalkan kak Vidia di kamarnya.Di sana aku memakai baju yang terbaik. Entahlah, aku koq malah seperti pengantin. Di dalam kamarku aku menunggu. Entah apa yang akan terjadi kemudian. Saat itulah pintu kamar di ketuk, Kak Vidia sudah ganti baju. Ia lalu duduk di sebelahku.

"Malam ini, engkau akan mengambil keperawanan Nur. Ada rasa tak rela sih, tapi karena Nur adalah adikku juga maka aku nasehatkan kepadamu, tolong jangan sakiti dia seperti engkau menyakitiku dulu," katanya.
"Apakah dulu aku menyakiti kakak?" tanyaku.
"Bukan, maksudku saat pertama kali masuk, aku sangat perih, perih sekali. Aku takut dia nanti kaget dengan ukuranmu itu. Hati-hatilah, nikmatilah malam
pertama ini. Aku akan tunggu kamu besok, ok?" kak Vidia mengedipkan mata. Kami lalu berciuman sebentar setelah itu ia meninggalkanku.

Tak berapa lama kemudian pintu diketuk lagi, Nur masuk diantar oleh bunda.
Alamak cantik sekali. Aku tak pernah melihat Nur secantik ini. Ia didandani
oleh bunda seperti bidadari. Ia masuk ke kamarku.

"Bunda tinggal ya," kata bunda. Lalu ia pergi.
Nur kemudian duduk di sampingku.
"Ini Nur? pangling kakak," kataku.
"Kak, Nur masih tak tahu bimbinglah ya," katanya.
Aku mengangkat wajahnya. Kukecup keningnya. Kedua kelopak matanya, hidungnya, pipinya, lalu bibirnya. Saat itu Nur masih kaku. Tapi aku tuntun. Kubuka sedikit mulutnya dan lidahku dan lidahnya sudah saling menghisap. Lipgloss yang ia pakai terasa manis. Aku kemudian mengajak dia berdiri. Nur tak terlalu tinggi. Ia setelingaku. Kulepas bajunya satu per satu. Ia pun melepas bajuku. Kini kami berdua hanya memakai celana dalam. Kerudungnya aku lempar ke lantai. Kusuruh ia berlutut.

"Buka celana dalamku ya," kataku.
Nur melihat tonjolan besar di dalam sana. Ia penasaran dan ragu. Kemudian
perlahan ia menurunkannya. Sebatang daging keras, berurat, panjang dan besar tiba-tiba keluar. Ia agak kaget. Entah karena ukurannya atau yang lain.

"Coba pegang, ciumi dan rasakan," kataku.
Nur pun melakukannya. Ia masih amatir. Terasa kaku bila memegang penisku. Ia ciumi kepala penisku. Rasanya tak muat kalau penis ini masuk ke mulutnya yang mungil. Kutuntun dia untuk mengurut penisku. Kemudian aku ajari untuk menjilatinya, Nur tidak jijik, malah ia antusias, selalu bertanya, "Seperti ini? Apakah seperti ini?"

Ia kutuntun untuk menghisap telurku, menjilati pangkal penisku, kemudian
memasukkan penisku ke mulutnya. Benar penisku tak cukup. Bahkan cuma kepalanya saja yang bisa masuk ke mulutnya yang mungil. Maka dari itu ia berikan rangsangan dengan memainkan lidah di ujung penisku, sambil mengocoknya. Enak sekali. Aku nikmati sensasi mulutnya, lidahnya memberikan rangsangan yang luar biasa, mungkin karena ia masih lugu ia melakukan apapun yang aku inginkan. Setelah agak lama ia mengoral, aku menyuruhnya menyudahinya.

Nur aku suruh berdiri, kuciumi dia. Ia menyambut ciumanku, kemudian kuciumi dan kuhisap lehernya, kujilati telinganya. Ia menggelinjang. Saat aku hisap lehernya, kutinggalkan bekas di sana. Aku merasakan bulu kuduknya merinding. Kemudian aku turun ke buah dadanya yang mirip bunda besarnya. Aku memang seakan tak percaya ia masih kecil tapi buah dadanya besar. Kubuka pengait branya. Saat itulah seolah-olah bra itu menahan luapan susu. Langsung buah dada itu seperti meloncat. Bra itu pun aku buang. Kemudian aku beri lagi cupangan-cupangan di buah dadanya yang putih, seputih susu. Lalu ia aku ajak untuk merebahkan diri ke ranjang.  Kuremas-remas buah dadanya, kanan dan kiri. Kupenceti putingnya.

"Ohh....kaakk...," keluhnya. Aku menghisapnya, menghisap puting yang berwarna pink kecoklatan itu. Kujilati, kuhisap lembut, kuat sambil kuremas. Nur meremas-remas rambutku, meremas-remas kepalaku. Kurasakan bulu kuduknya merinding lagi. Dan ketika aku jilati di bagian buah dada dan ketiaknya, ia merintih hebat. Sepertinya itu titik hotspotnya. Kumainkan lidahku di sana.

"Kakk...jangan disitu, geli...Nur...Nur mau pipis...," katanya. Aku tak peduli, ia mendorong tubuhku agar tidak melakukan hal itu di situ. Aku
tetap pada pendirianku, kujilati tempat itu pantatnya pun terangkat dan ia
meringkuk. "Nur pipis kak, Nur pipis," katanya. Aku menghentikan aktivitasku. Kuraba kemaluannya. Becek, banjir lendir. Ia sudah orgasme hanya dengan begitu saja? Aku lalu turun ke perutnya. Kuciumi perutnya, ketika kuciumi tempat di bawah perutnya antara vagina dan perut, ia merinding lagi. Kuteruskan sampai ke vaginanya, ia menghimpit kepalaku dengan
kedua pahanya.

"Kak, Nur pipis lagi," katanya. SERRR...SERRR, aku melihat cairan bening kental menyemprot dari vaginanya. Ia sudah orgasme untuk kedua kali? Aku menggeleng-geleng. Kuciumi pahanya, kujilati, kuhisap keharuman tubuhnya. Dan sepertinya mau tak mau Nur harus siap sekarang.
 "Kaak,... itunya Nur gatel banget," katanya.
"Nur, kakak mau masukin, udah siap?" tanyaku.
"Siap kak, masukin aja," katanya.
Aku dengan perlahan memposisikan penisku untuk masuk. Lendir yang keluar dari kemaluannya mempermudah posisi penisku untuk bisa masuk, sesenti dua senti. Nur meremas sprei tempat tidurku. Tidak bisa masuk. Aku tekan tarik tekan tarik, hingga kepala penisku masuk semua. Dan ketika aku dorong lagi ada sesuatu yang mengganjal. Wajah Nur berubah. Ia memejamkan matanya kuat-kuat dan meringis. Aku menciumi bibirnya untuk memberikan efek agar ia tak merasa sakit. Penisku berkedut-kedut, ditambah rongga kemaluannya yang makin lama makin meremas-remasku. Satu tekanan dan SREEETTT....Nur memelukku erat.

Ia mencakar punggungku dengan kukunya, aku menindihnya memeluknya sambil kucium dia. Kedua pahanya mengapit pinggulku. Penisku diremas-remas oleh rongga yang sempit. Memek Nur serasa vacum cleaner, menyedot-nyedot penisku, meremas-remas seperti penggiling, ngilu rasanya tapi enak. Aku mendiamkannya sejenak merasakan sensasi ini.

"Kak, Nur udah tidak perawan ya sekarang?" tanyanya.
Aku mengangguk. Ia memelukku, "Nur bahagia banget bisa mempersembahkan keperawanan Nur buat kakak." Aku lalu mendorong naik turun. Nur meringis lagi. Awalnya ia kesakitan, setelah agak lama aku goyang secara teratur ia pun tak sakit lagi, malah ikut menggoyangkan pantatnya.

"Kak, seperti inikah rasanya bercinta. Nur merasa enak sekali, penis kakak
serasa penuh," katanya.
"Nur, kakak merasa enak juga. Memek Nur meremas-remas penis kakak," kataku.
"Kakak suka?" tanyanya.
"Iya, kakak suka," jawabku.
"Aku cinta ama kakak," katanya.
"Aku juga," kataku.
Aku pun berpacu lagi, menuju puncak kenikmatan. Suara selakangan kami memenuhi kamarku. CLEKK CLEEKK CLEEEK...becek sekali vagina Nur, membuat pelumas untuk bisa penisku bergerak keluar masuk.

"Nur, kakak mau keluar," kataku. AKu sudah tak kuat lagi, rangsangan memeknya terlalu kuat, aku seperti diremas-remas, apalagi Nur juga pinggulnya ikut gerak. Sensasi ini tak bisa kutahan lagi untuk ditumpahkan. "Nur ingin hamil kak, Nur ingin punya anak dari kakak," katanya.
"Nur...ohhh,"
"Kaaakkk....aahh...ahhh....aaahhhhh,"

Meledaklah spermaku di dalam rahimnya. Nur memelukku erat, penisku banjir oleh lendir. Rahimnya kusemprot berkali-kali, entah belasan kali rasanya. Ngilu sekali, apalagi aku benamkan penisku sedalam-dalamnya hingga mentok. Aku yakin itu spermaku berhamburan mencari ovum. Di dalam sana penisku berkedut-kedut, menyeruak memompa cairan-cairan kenikmatan mencari tempatnya. Membasahi rongga yang dingin, menghangatkan rahim Nur. Nur mengapit pinggulku dengan kedua pahanya. Dada kami bersatu, tubuh kami bersatu, hingga kemudian ia pun lemas.

Aku tak mencabut penisku dulu. Membiarkan semprotannya berhenti, aku tekan biar semua spermaku habis dulu, setelah itu perlahan aku cabut. Nur meringis ketika penis itu aku cabut. Seketika itu sebagian sperma ikut keluar bersama darah perawan, bercampur menjadi satu.

Setelah itu kami tidur dalam satu selimut. Nur memelukku. Kami melewati malam yang indah itu dan tak terasa pagi pun menjelang.

****
Aku terbangun, tak mendapati Nur. Tapi di meja kamarku aku bisa mencium aroma kopi. Apakah itu yang membuat Nur? Aku kemudian bangun dan melihat spreiku ada bercak darah. Aku pun berpakaian dan keluar kamar. Masih sepi, orang-orang belum melakukan aktivitas. Nur
sepertinya mandi aku pun ke kamar mandi. Aku tak perlu mengetuk pintu,
langsung masuk. Ternyata benar. Ia mandi.

"Kakak?" ia tersenyum. Aku kemudian ikut mandi bersama. Kulepaskan bajuku. Kami kemudian berpelukan di bawah shower. Berciuman, saling membelai. Aku pun terangsang lagi. Ia kudorong ke dinding kamar mandi. Kaki kirinya aku angkat, dan penisku aku masukkan ke memeknya. BLESS, lancar. Aku pun menggoyangnya. Nuraini memejamkan matanya,aku menghisapi teteknya, pantatku menghujam ke memeknya dengan irama
yang menggairahkan. Karena masih pagi mungkin, aku cepat sekali keluar.
Apalagi memeknya masih seret dan menyedot-nyedot. Spermaku pun keluar. Ia memelukku.

"Kakak ih, belum apa-apa udah langsung nyerang. Nur pipis lagi nih,"katanya.
"Kamu koq gampang banget pipis sih?" tanyaku.
"Ndak tau kak," katanya.
Penisku aku cabut. "Sini aku bersihin," kata Nur.
Ia pun menyabuni tubuhku. Hari itu adalah hari teraneh dan terbahagia dalam
hidupku.

Begitulah ceritaku terhadap keluarga-keluargaku. Menjadi suami dari ketiga
anggota keluarga sendiri itu tak mudah. Tapi walaupun begitu, tak ada satu
rasa cemburu. Bahkan ketika aku ngentot dengan Kak Vidia di ruang tamu
misalnya, bunda tahu tapi membiarkan. Atau ketika aku bercinta dengan bunda di dapur misalnya, aku tak malu lagi atau sembunyi-sembunyi. Ketika Nur melihatnya ia diam saja, memaklumi. Dan ketika Nur menjerit-jerit keenakan ketika kami bercinta di sofa, Kak Vidia malah bilang agar jangan
kenceng-kenceng jeritnya.

Pengalaman yang aneh adalah ketika mereka bertiga mengoral penisku. Awalnya sih cuma bercanda saja.  "Ih kak Doni, kepengen bercinta di mana aja. Di dapur, di sofa, di ruang tamu, di kamar mandi. Dasar," kata Nur.  "Iya nih, mentang-mentang punya tiga istri," kata Kak Vidia. Saat itu bunda sedang mengoralku. Aku duduk di sofa dan bunda berlutut di hadapanku. "Kalau mau, ya silakan ikutan," kataku sambil tertawa. Nur dan Vidia berpandangan, mereka berdua mengangguk. Lalu tiba-tiba mereka berada di dekat bunda berlutut juga di hadapanku. Mereka membagi penisku. Menjilati bergantian, mengoral bergantian. Kadang berebut telurku. Aku yang
mendapatkan perlakuan ini tentu saja mana tahan. Dan ketika spermaku keluar, mereka saling berebut untuk menghisapnya dan menjilatinya sampai bersih. Ohhh...nikmatnya.

BAB 5
**********
MBAK JUNI

Kembali ke masa sekarang. Ketika usaha kami sudah menjadi waralaba. Mbak Juni yang selama ini membantu kami pun jabatannya menjadi manajer yang mengelola waralaba. Seiring besarnya toko kami, maka kehidupan mbak Juni pun mulai berubah. Ia boleh dibilang sekarang jadi orang berduit dan sangat loyal kepada kami. Ia jugalah yang mengawal kesuksesan keluarga kami hingga sekarang waralaba kami sudah ada seratus toko tersebar di seluruh daerah.

Kabar gembira adalah ketika Nuraini hamil, kami sekeluarga sangat senang.
Bahkan bunda sangat mewanti-wanti agar Nur jangan banyak pekerjaan yang
melelahkan. Nuraini tahun ini lulus SMA, setelah kami melakukan hubungan ini akhirnya ia hamil juga. Mungkin karena ia banyak kegiatanlah yang membuat Nuraini tidak hamil-hamil walaupun frekuensi hubungan intimku dengan Nur lebih banyak daripada bunda dan Kak Vidia. Sebab Kak Vidia masih sibuk dengan kuliahnya dan sekarang sedang mempersiapkan skripsi. Dan bunda juga sibuk dengan urusan tokonya, sehingga jatah mereka diberikan kepada Nuraini. Dan alhasil Nuraini sekarang hamil tiga bulan.

Aku makin sayang dengan keluargaku. Aku pun sekarang berusaha tidak mengganggu kehamilan Nur, bisa fatal kan kalau misalnya kehamilannya terganggu. Dan karena ketiganya tak bisa aku ganggu, akibatnya aku kentang banget selama dua bulan ini. Bingung melakukan pelampiasan. Kak Vidia menolakku dengan halus ketika aku sedang kepingin. Ia sedang konsen skripsi dan itu sangat melelahkan, bunda juga demikian, bertemu dengan banyak investor, distributor dan berbagai macam orang.

Aku juga mengurus toko sih. Menandatangani surat-surat, memeriksa stok,
menghitung faktur dan macem-macem. Dan di kantor pusat yang ada di toko utama kami aku selalu bertemu dengan mbak Juni. Toko utama kami berdempetan dengan rumah. Sudah banyak renovasi di sana-sini. Kami juga sudah punya banyak pegawai. Toko buka tutup sudah ada yang mengurus. Sedangkan aku dan Mbak Juni mengurusi hal-hal yang lain. Setiap malam manajer toko selalu memberikan data penjualan hari itu, lalu paginya aku yang mengecek dan aku beri ACC.

Mbak Juni beda ruangan denganku. Tapi aku setiap hari selalu melihatnya. Masih ingat dong pertama kali ia kerja di toko kami. Ia biasanya pakai T-Shirt dan jeans. Sekarang setelah jabatannya sudah tinggi dan menjadi orang kepercayaan kami, ia pakai blazer dan rok. Seperti pekerja kantoran.  Aku ada di kantor sampai malam. Beberapa kali Nur menelponku.

"Kak, kapan pulang? Udah malem nih, Nur sendirian di rumah," kata Nur di
telepon. Padahal rumah sama kantor itu ya tinggal jalan saja sih. Karena letak
rumah kami ada di belakang toko. Sedangkan kantornya ada di depan toko.

"Iya, sebentar lagi," kataku.
"Masih banyak data yang harus diaudit, bunda soalnya masih keluar kota."
"Biar mbak Juni saja yang beresin," katanya.
"Ndak bisa dong, bagiannya beda, tidur saja dulu. Udah malem ini," kataku.
"Kepengen dipeluk," katanya.
"Iya nanti aku peluk dan cium deh," kataku.
"Janji ya?" katanya.
"Iya, janji," kataku.
"MMuuacchh suamiku, cepetan ya," katanya.
Aku balas, "Muuacchh."
Kemudian aku melanjutkan pekerjaanku, dan semuanya baru selesai pukul 23.00. Aku melihat mbak Juni masih mengetik. Aku pun kemudian bangkit dan menghampirinya di ruangannya yang hanya terpisah dengan kaca.

"Belum pulang mbak? Pulang aja udah malem lho.
Nanti anaknya mencari-cari," kataku.
"Ndak apa-apa mas, udah dijaga ama neneknya koq.
Tadi juga udah bilang mungkin baru balik jam dua belas malem.
Tapi kayaknya sampe pagi. Mumpung besok libur sih," katanya.
"Ngurusin apa sih? Masih soal pajak?" tanyaku.
"Iya nih mas, petugas pajak soalnya agak ruwet. Terlebih sekarang ada masalah waralaba juga. Tambah ruwet lagi deh. Kukelarin agar besok senin tinggal lapor ke dinas pajak," katanya.

Aku berdiri di belakangnya dan melihat layar monitornya. Tampak ia menyusun file-file excel kemudian mencatat angka-angka. Aku memegang pundaknya dan menepuknya.
"Oke deh, aku tinggal dulu kalau begitu," kataku.
"Sendirian saja berani kan?"
"Kaya' anak kecil aja mas, berani dong," katanya.

Aku kemudian beranjak dari tempat itu dan meninggalkan mbak Juni sendirian. Aku keluar kantor dan pergi ke rumah. Aku kemudian masuk rumah, ke kamar mandi, membersihkan diri dan masuk ke kamar adikku. Ia tampak sudah tertidur. Wajahnya makin cantik saja kalau hamil. Aku cium perutnya, lalu keningnya, setelah itu aku masuk ke selimutnya. Kupeluk dia. Nur terbangun. "Kakak? hmm," kami berciuman lalu tertidur. Aku memeluknya.

Jam 03:00 aku dikejutkan dengan suara ponsel. Aku kemudian mengangkatnya. "Mas, aku kaya'nya kehilangan kunci deh," kata suara di telepon. Karena masih mengantuk, aku bingung suara siapa ini. Kemudian aku baru ingat setelah melihat nomor teleponnya. Nomor kantor. mbak Juni?
"Kunci apa mbak?" tanyaku.
"Maaf ya kalau ganggu mas, kunci kantor. Tadi sepertinya sudah ada di tas,
tapi koq ndak ada, maaf mas kalau malam-malam ganggu," katanya.
"Ya udah, aku ke sana deh, tunggu ya!" kataku.
"Iya mas, maaf ganggu waktu istirahat," katanya.
"Tidak apa-apa koq," kataku.
"Siapa kak?" tanya Nur.
"Mbak Juni, kuncinya hilang. Kakak ke kantor dulu ya," kataku.
"Belum pulang mbak Juninya?" tanya Nur.
"Belum, masih ngurusin pajak katanya tadi, ini mau pulang sepertinya," kataku.
"Biasanya yang ngurusin pajak bunda, tapi karena bunda ndak ada pekerjaannya jadi dobel."

"Oh begitu, yaudah deh. Kalau ia mengantuk suruh tidur di kamar tamu aja kak, kasihan kalau jam segini pulang. Jalanan sepi," kata Nur.
"Itukan terserah orangnya," kataku. Aku kecup kening Nur lalu meninggalkannya sambil membawa kunci kantor. Dingin banget malam ini. Aku berjalan sambil mendekap tubuhku sendiri, sampai
kemudian aku melihat mbak Juni ada di depan kantor.
"Maaf ya mas, mengganggu," katanya.
"Nggak apa-apa," kataku.
Aku kemudian mengunci kantor.
"Nanti aku cari lagi deh kuncinya," kata mbak Juni.
"Nanti biar aku urus, mungkin lupa kamunya. Oh iya mbak, udah malem nih,
nginep sini aja!" kataku.
"Ndak ah mas, ntar dicari orang rumah," katanya.
"Katanya sudah sama neneknya anaknya?"
"Iya, cuma kan ya ndak enak juga belum ijin."
"Mbak sudah ngantuk kan? Mendingan nginep di rumah aja, kalau keadaan ngantuk begini nyetir mobil bahaya," kataku.
"Aku ndak punya mobil mas," kata mbak Juni.
"Oh iya, lupa. Kamu pakai sepeda motor," kataku. "Ya udah, nginep ajalah.
Nggak apa-apa koq. Aku ijinin. Emang ini resiko kalau pekerjaan dobel."

Mbak Juni agak ragu dan bingung.
"Atau telepon dulu deh rumahnya, biar ndak ada yang khawatir," kataku.
Akhirnya mbak Juni menelpon rumah. Ibunya akhirnya mengijinkan setelah bicara agak lama. "Oke deh mas," katanya.
"Nah, begitu. Yuk," ajakku.
Kami kemudian masuk ke rumahku. Aku kemudian menunjukkan kamar tamu. Di dalam rumah hangat tidak seperti di luar.
"Ini kamar tamu, kalau ingin mandi dan bersih-bersih di dalam sudah ada kamar mandi, langsung aja pakai. Kalau butuh apa-apa, aku ada di kamar atas, tinggal ketuk pintu atau panggil saja," kataku.
"Makasih mas," katanya.
Aku sebenarnya sudah lama tak melakukan ini yaitu mengerjai orang lain. Pakai kamera pengintai. Untungnya aku membawa gantungan kunci itu. Ketika aku menunjukkan kamar mandi aku menaruhnya di tempat yang sangat strategis. Mbak Juni tak menyadarinya bahwa aku sudah siap merekam. Entah kenapa aku jadi penasaran dengan mbak Juni.  Setelah itu aku tinggalkan dia dan masuk ke kamar adikku. Aku pun tertidur.

***
Pagi hari aku bangun lebih dulu, mandi, olahraga dan membantu Nur dan Kak
Vidia memasak di dapur.  
"Minggu ini liburan kemana?" tanyaku kepada keduanya.
"Mau di rumah aja ah kak," kata Nur.
"Tumben, biasanya kamu semangat kalau diajak keluar," kata kak Vidia.
"Entahlah, kali ini rasanya males buat ngapa-ngapain," kata Nur.
"Bawaan oroknya kali," kataku.
Kak Vidia mengelus-elus perut Nur, "Kakak jadi iri deh."
"Selesaikan dulu itu skripsi baru mikir ini," kata Nur sambil menunjukkan
perutnya. "Huu,...kamu aja belum lulus sudah isi," kata Kak Vidia. "Don, pokoknya kalau skripsi sudah selesai kakak bakal ambil jatahnya Nur."
"Iya iya, kakakku yang manis," aku mencubit pantatnya.
Ia memukul tanganku.
Kami tertawa.
"Oh iya, mbak Juni mana?" tanya Nur.
"Belum bangun kayaknya," jawabku. "Aku cek dulu deh."
Aku akhirnya pergi ke kamarnya. Kuketuk pintunya, tak ada jawaban. Mungkin ia masih tidur. Kupanggil-panggil, "Mbak?!" tak ada jawaban. Aku pun iseng sambil tolah-toleh ke dapur kalau-kalau saudari-saudariku datang. Aku buka pintu kamar yang tidak terkunci itu. Aku pun membuka sedikit pintunya. Saat itulah betapa terkejutnya aku. Pemandangan ini tak pernah aku sangka sebelumnya. Di hadapanku ada mbak Juni
dengan vaginanya yang berbulu itu terekspos. Ia membuka pahanya dan ada tangan kirinya menyentuh vaginanya. Apa ia baru saja mastrubasi? Dan penisku pun langsung tegang. Siapa yang tak tegang menyaksikan pemandangan indah ini? Aku pun punya ide. Aku tutup kembali kamar itu lalu ke kamarku, kubongkar tempat simpanan kloroformku. Kuambil sapu tangan dan kutuangkan disitu sedikit, sesuai dosis yang kupakai ke bunda dulu.

Setelah itu aku simpan di saku celana. Aku pergi ke dapur untuk membuat
alasan. "Mbak Juni belum bangun-bangun, dikunci pula kamarnya, tapi kayaknya ia sedang tidur, maklum pagi-pagi sekali ia baru tidur," kataku.
"Aku mau olahraga dulu."
"Oh, baiklah, habis olahraga sarapan ya kak," kata Nur.
"Iya dong," kataku. Aku mencium pipi Nur, lalu Kak Vidia. Setelah itu aku
meninggalkan mereka. Aku kemudian buru-buru ke kamar tamu. Setelah itu aku kunci kamar itu, kupersiapkan sapu tangan berkloroform.
Daan...kubekap mbak Juni. Ia memberontak sedikit, tapi kemudian ia lemas.
Yes...

Aku tak menduga kalau tubuh mbak Juni seindah ini. Ia cuma pakai bra saja
tidurnya. Aku lalu melepaskan kaitan branya. Buseet, toketnya gedhe juga.
Mirip ama toket bunda. Karena aku sudah bernafsu, segera aku hisapi toket itu. Saking bernafsunya aku tak peduli lagi siapa mbak Juni. Aku sudah tak tahan lagi, langsunglah aku masukkan penisku ke tempatnya. Pelan-pelan kudorong dan bless, licin sekali. Mungkin karena mastrubasinya tadi. Aku goyang pinggangku. Aneh, ia sudah punya anak, tapi masih seret juga ini memeknya. Walaupun berbulu dan punyaku gundul, tapi rasanya ada sensasi tersendiri. kupeluk tubuh telanjang mbak Juni kuhisap bibirnya.

"Ohh...mbak,...enak banget," bisikku.
Aku mungkin karena sudah lama tidak main, karena sangat bersemangat apalagi ini memek baru, rasanya baru. Tubuh mbak Juni aku gerayangi, kuciumi lehernya, pundaknya, sambil pantatku maju mundur menusuk-nusuk vaginanya sedalam-dalamnya. Kemudian aku cabut punyaku, kubalikkan tubuhnya. Kuangkat pantatnya sedikit kuposisikan penisku ke sarangnya, lalu blesss...aku pompa lagi. Pantatnya membiusku, membuat suara yang aneh di dalam kamar ini.

"Mbak, pantat mbak enak lho, kalau aku sampe ngecret gimana?" kataku.
Sial aku ndak kuat lagi, sebelum keluar aku cabut dulu punyaku. Kuatur
nafasku, penisku pun tak jadi merasa gatal ingin muncrat. Aku balikkan lagi
tubuhnya. Kuangkat kakinya dan kutekuk, kemudian aku sedikit berlutut,
kumasukkan lagi burungku. Ohh...enak dan hangat vaginanya. Aku goyang hingga terasa lagi penisku mau meledak. "Mbaak....kukeluarin yah....keluar..ke...lu... aaaarr!" aku tekan dalam-dalam penisku hingga mentok. Sperma hangat langsung meluncur deras dari testisku. Membasahi dinding rahimnya, luar biasa. Nikmat sekali, aku lalu ciumi bibir
mbak juni. Setelah itu aku terkulai di sebelahnya.

***
Aku lalu terbangun, mbak Juni menggeliyat, dan ia terkejut ketika melihatku
ada di sebelahnya tanpa busana. Kami berdua tanpa busana. Aku ternyata
tertidur beberapa lama di kamarnya, hingga tak tahu pengaruh obat bius itu
sudah habis dan mbak Juni terbangun.

"Mas Doni? Apa yang mas...?" Mbak Juni melihat ke vaginanya ada cairan putih spermaku meleleh di sana. Aku langsung menutup mulutnya.
"Ssshhh....aku bisa jelaskan asal jangan teriak. OK?" kataku.
Matanya tampak berkaca-kaca. Ia mengangguk.
Aku lalu melepaskan tanganku yang menutup mulutnya.
"Apa yang mas lakuin? Kenapa? kenapa?" tanyanya.
"Maafkan aku, aku khilaf. Sebab tadi ketika aku bangunin mbak Juni, ternyata
mbak Juni habis mastrubasi. Melihat mbak seperti itu aku jadi tergoda dan
melakukannya," kataku.
Kami pun diam. Mbak Juni menghapus air matanya lalu menghempaskan diri ke atas ranjang. Ia mendesah panjang.

"Mbak juga salah mas, harusnya mbak ndak begini. Ini semua karena mbak sudah lama sekali tidak melakukan ini, selama ini yang jadi pelampiasan ya Cuma mastrubasi," katanya.
 "Maafin mbak ya."
Aku menggeleng. "Mbak masih cantik pasti banyak yang suka."
"Ah tidak juga, ketika ada pria yang mendekatiku aku selalu bilang aku sudah
tidak perawan lagi, karena sudah punya anak. Dan kebanyakan dari mereka mundur teratur," katanya.
"Tidak mbak, punya mbak masih seret koq, masih enak," kataku.
"Jangan menghiburku yang tidak-tidak mas," katanya.
"Laah, kalau tidak mana mungkin aku tadi melakukan itu ke mbak?" tanyaku.
Mbak Juni menoleh ke arahku. Aku lalu sambut dengan ciuman di bibir. Mbak Juni terkejut. Kami berpanggutan, matanya terpejam, merasakan lidah lelaki lain yang bukan suaminya setelah lama ia tak pernah merasakannya. Lidahku
menari-nari di mulutnya, menghisap, mencampurkan ludah, lalu saling menghisap lagi. Tangannya lalu menyentuh penisku. Ia tampak kaget, ciuman kami berhenti.

"Mas, ini punya mas? Besar banget?" pujinya. Ia lalu mengocok pelan.
"Emang punya suamimu seberapa?" tanyaku.
"Punya suamiku sih separuh ini," jawabnya jujur. Ia tiba-tiba berada di atas.
Kemudian ia posisikan penisku berada di mulut vaginanya. Ia lalu menekannya sehingga penisku meluncur masuk ke dalam vaginanya. Meskipun begitu lancar masuk,terasa vaginanya dengan erat mencengkram penisku.

"Ohhh....mbakk..." kataku.
"Masuk mas, oohh...penuh rasanya. HHmmmmhh...," keluhnya. Ia pun menggoyangnya maju mundur sambil sesekali mengangkat pantatnya.
"Mass....enak mass..."
Posisi WOT ini sangat menggairahkan. Mbak Juni menggoyang-goyangkan kepalanya, aku memegangi toketnya yang menggantung indah itu. Pantatku pun ikut aku goyangkan agar menambahkan rasa nikmat. Mbak Juni ini mirip banget seperti bintang film porno yang aku lihat. Ia meliuk-liukkan kepalanya seolah-olah menikmati rasa gesekan kelamin kami. Tapi ia cukup tenang, tak berisik, selalu mendesis seperti ular ketika penisku menggesek rongga vaginanya. Sementara itu kemaluan kami telah benar-benar becek dengan pelumasnya.

"Mbakk....punyaku diapain itu?" bisikku.
"Ini namanya empot-empot mas, enak ya?? ohhh..." katanya.
"Punya mas penuh banget, mbak Juni jadi nagih nih...."
Mbak Juni terus melakukan empot-empot itu, aku terus bertahan. Cukup lama kami bercinta dengan posisi WOT. Mbak Juni mulai kehabisan nafas, ia makin mempercepat goyangannya.
"Mas, mas udah mau keluar belum?" bisiknya mesra.
"Belum mbak, mbak mau keluar?" tanyanya.
"He...eh..mas kuat banget, padahal suami mbak dulu pasti teler kalau kena
jurus empot-empot ini," katanya.
"Mass...mas...mbak mau keluar...mbaakkk pipiiiissss....!!!"

Mbak Juni ambruk menindih tubuhku, pantatnya menekan penisku. Ia memelukku danmeringkuk seperti bayi di atas tubuhku. Ia mencium bibirku. Kami berpanggutan. Kemudian ia berguling dan merebahkan diri.  "Tuntasin mas, mas kan belum keluar," katanya.  Aku tersenyum. Aku berada di atas. Kuposisikan penisku ke mulut vaginanya. Kemudian kutekan. Ketika urat-urat penisku menggesek rongga vaginanya, mulut mbak Juni membentuk
huruf O sambil menatap mataku. Kedua pahanya kini mengapit pinggangku.

"Enak mbak?" tanyaku.
"Enak mas, mas enak banget.....," katanya.
Aku goyang pinggulku. Kami sama-sama bergoyang, mbak Juni tetap memakai jurus empot-empotnya, aku pun makin cepat menggoyang, agar spermaku bisa membasahi rahimnya lagi. Aku terus berusaha. Mungkin karena tadi aku udah keluar sebelumnya sehingga untuk memproduksi sperma lagi testisku butuh waktu. Karena itulah mbak Juni benar-benar agak KO. Kepalanya menggeleng-geleng, ia pun mengulurkan kedua tangannya melingkar di leherku.

"Maass...mbak mau keluar lagi...ohh...aahh..mbak ndak pernah bercinta seperti ini. Sampai multiple orgasme," katanya.
"Mbak, aku keluarrrrr...," kataku.
Saat itulah mbak Juni agak aneh, ia menatapku.
Matanya tampak menunjukkan keraguan, "Lho, aku lupa mas ini saat suburku.... nanti bisa hamil."
"Tadi aku sudah keluarin di dalem koq. Nanggung nih," kataku.
Mbak Juni lalu memejamkan matanya.
Tampaknya ia pasrah, "Terserah deh mas, hamil hamil deh."

Aku pun keluar. Spermaku masih banyak aja, sampai menyemprot berkali-kali di dalam rahimnya. Aku pun kemudian terkulai di atas tubuh mbak Juni wajahku kudekatkan ke puting susunya dan kuhisap lemas. Perlahan-lahan penisku keluar sendiri. Entah kenapa, tiba-tiba mbak Juni memelukku. Kami pun berpelukan untuk beberapa saat.

"Mas... maafin mbak Juni ya," katanya. "Gara-gara mbak, ini semua terjadi."
"Trus bagaimana?" tanyaku.
"Kalau misalnya nanti hamil mbak akan terima koq, baik mas tak mau menikahiku ataupun tidak. Mbak juga sebenarnya punya perasaan ama mas," katanya. "Sejak dulu mbak sudah naksir sama mas. Dan entahlah, kenapa koq ya hari ini datang. Makanya ketika tahu mas melakukannya ama mbak, mbak sedikit kaget. Tapi kemudian sedikit senang, karena impian mbak selama ini jadi nyata. Bahkan mastrubasi tadi juga bayangin mas. Dan ternyata mas sendiri yang masukin. Tapi sungguh ndak menyangka kalau penis mas besar juga ya."

Aku tersenyum. Kami berciuman.
"Ijinkan mbak tetap mencintai mas ya, walaupun mungkin nanti mas punya pacar atau istri," katanya.
"Mas tetap akan mencintai mbak. Kalau perlu nikah sama mbak aja deh sekalian," kataku.
Mbak Juni menggeleng, "Jangan mas. Aku tak mau mas menikahiku karena kasihan. Lagipula ku yakin mas tidak mencintaiku. Mas melakukan ini karena nafsu, bukan karena cinta. Aku tak mau mas nanti malah menyakitiku ketika sudah jadi suami istri. Seperti apa yang dilakukan oleh suamiku dulu, karena itulah kami dulu bercerai."

"Trus hubungan kita jadi apa dong?" tanyaku.
"Kita jalani saja deh mas, kalau memang kita ada chemistry, maka kita lanjut,
kalau tidak ya berarti memang bukan jodoh," jawabnya.
"Baiklah, kalau itu yang terbaik. Ngomong-ngomong, sebaiknya aku segera keluar deh, daripada dicurigai nanti," kataku.
"Iya, ayuk ah."
Kami pun bangun. Aku segera berpakaian dan melihat keadaan, kuintip sebentar
ruangan kalau-kalau ada Nur atau kak Vidia ternyata sepi. Aku pun segera
keluar kamar tamu dan pergi ke ruang makan. Di sana ada Kak Vidia dan Nur
sedang makan.
"Kakak koq lama sih? Kami sudah nunggu dari tadi lho. Ya udah ditinggal aja," kata Nur.
"Oh maaf Nur," kataku.
"Ya udah, maka sana gih!" kata Kak Vidia.

***

Hubunganku dengan mbak Juni makin canggung setelah itu. Ketika di kantor, kami saling melirik penuh arti. Dan setiap mata kami bertemu kami tersenyum. Minggu-minggu berikutnya semua berjalan seperti biasa. Namun sebenarnya ada rasa aneh yang kami rasakan setiap kali kami bersama. Ketika aku mendekat kepadanya memberikan laporan, dan ketika kami bercanda ada rasa-rasa yang bergetar, demikian juga yang dirasakan oleh mbak Juni.

Ia mengirimiku email, isinya seperti ini:
MAS DONI TERSAYANG,
Sungguh akhir-akhir ini perasaan mbak terasa kurang kalau tidak dekat dengan mas. Dan merasa setiap hari adalah hari-hari terindah dalam kehidupanku adalah ketika bertemu dengan mas. Maka dari itulah aku selalu kangen kalau pulang, walaupun anakku sudah bisa memberikan perasaan yang lega ketika melihatnya, tapi entah kenapa rasa ini masih ada.

Perasaan cintaku kepada mas makin besar dan aku harus mengakuinya. Aku tak bisa berpisah dari mas. Apakah aku harus mencintai mas, ataukah tidak aku tidak tau. Aku bingung sekarang. Aku takut kalau mas nanti malah kecewa ketika menjalin hubungan denganku.

Peristiwa kecelakaan itu, aku berusaha melupakannya, tapi aku tak bisa. Rasa rinduku makin besar. Rasa cintaku makin besar. Tolonglah aku mas. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mencintai mas? Aku bingung.

TTD

JUNI

Itulah isi emailnya. Aku pun bingung menjawabnya. Aku tak tahu kapan ia
mengirim emailnya kalau dilihat dari waktunya sih ketika bekerja. Jadi selama
bekerja ia benar-benar memikirkanku selama ini. Aku kemudian berusaha menjawab emailnya semampuku.

MBAK JUNI TERSAYANG,

Aku tak tahu harus bilang apa. Mungkin memang benar, peristiwa itu mengubah cara kita menyapa selama ini, mengubah juga apa yang kita rasakan selama ini. Kalau mbak memang ingin agar aku menjadi kekasih mbak, aku pun siap. Bukan karena nafsu, tapi benar-benar kekasih.

Kalau mbak memang ingin menjadikanku kekasih, aku akan menerima apapun yang ada pada mbak Juni. Aku akan menerimanya, dan apakah mbak Juni mau menerima apapun yang ada padaku?

TTD

DONI

***

Esoknya aku bekerja seperti biasa. Mbak Juni tampak serius kerjanya. Ketika
mau istirahat, aku lalu menghampiri mejanya. Mbak Juni mendongak, aku lalu
menariknya ia terkejut. Aku langsung mencium bibirnya yang lembut itu.
Keterkejutan mbak Juni membuatnya gemetar. Tapi setelah itu ia mengerti. Ia
pun menikmatinya. Beberapa saat kemudian aku melepaskannya.

"Mas...i..ini," katanya terbata-bata.
"Tak perlu bicara, ini jawabannya. Aku suka kamu dan aku tak peduli kamu
siapa, kamu seperti apa, aku akan menerimamu," kataku.
"Mass..," mbak Juni memelukku.
Kami berpelukan agak lama, sampai kemudian aku berbisik, "Jangan lama-lama, ntar dilihat orang."
Kami pun lalu salah tingkah dan tertawa.
Hubungaku dengan mbak Juni setelah itu seperti orang pacaran. Mesra banget kalau di kantor. Sementara ini hal ini tidak diketahui oleh semuanya. Perut Nur makin besar, ini sudah menginjak bulan kelima dan bertepatan dengan kak Vidia selesai wisuda. Ia senang banget lulus dengan hasil memuaskan. Bunda bangga sekali dengan anak pertamanya ini. Di rumah Kak Vidia benar-benar manja banget denganku. Ia menagih janjiku untuk selalu bersamanya sampai ia benar-benar hamil. Yah, janji harus ditepati.

Aku benar-benar harus membagi waktu antara mbak Juni dan Kak Vidia. Kalau mbak Juni butuh sesuatu ya aku harus ke tempatnya. Dan kalau kak Vidia butuh aku ya aku harus ke tempatnya. Aku tak ingin mbak Juni curiga, dan aku tak mau yang lain juga cemburu.

***

Aku duduk di tepi ranjang. Menyaksikan Kak Vidia yang tertidur lelap. Kami
baru saja main sampai beberapa ronde. Kak Vidia benar-benar cemburu dengan Nur. Ia benar-benar ingin punya anak. Mungkin besok aku akan istirahat sebentar. Saat ini aku terus berpikir tentang keadaanku. Aku sendiri bingung. Memang soal harta aku sama sekali tak kekurangan, apakah sekarang ini aku butuh seorang pendamping? Tapi kalau soal istri aku bisa memiliki siapa saja. Bahkan saudari-saudariku dan bunda saja bisa aku dapatkan.

Aku sekarang galau. Malam itu aku tak bisa tidur. Aku akhirnya bersandar di
ranjang. Dan kak Vidia pun memelukku. Ia merasa nyaman. Sebenarnya juga punya rasa tak ingin kehilangan aku.

Hubunganku dengan mbak Juni mulai panas. Di kantor aku tak malu-malu lagi untuk mencium bibirnya. Misalnya hari ini. Mungkin karena bunda tidak ada maka aku cuma berdua saja dengan mbak Juni. Saat itulah, aku agak iseng.

"Mbak, boleh nih kita sedikit panas," usulku.
"Panas seperti apa? kompor?" tanyanya sambil ngikik.
Aku lalu tarik lengannya dan langsung mencium bibirnya. Mbak Juni gelagapan menerima seranganku. Aku meremas-remas toketnya. Ia mendorongku.

"Jangan dulu mas, ndak aman di sini. Ntar kalau Si Rendy masuk bahaya lho," katanya. Rendy adalah manajer toko.
"Biarin ajah," kataku.
"Ndak ah," katanya.
"Trus gimana nih?" tanyaku sambil menunjuk penisku yang sudah tegang.
"Sini deh!" ia pun menarikku.
Ia kemudian menarikku ke mejaku. Sesampainya di sana aku didorongnya hingga duduk ke kursi. Ia pun merangkak ke bawah meja. Di bawah meja ia tersenyum kepadaku. Kemudian dibukanya resleting celanaku. Kemudian ia mengusap-usap penisku yang sudah tegang.

"Ini ya yang ndak sabar?" tanyanya.
Aku mengangguk. Ia lalu menarik sedikit celanaku hingga rudal berurat itu pun keluar. Ia tersenyum dan menekan kepala penisku dengan jari telunjuknya, lalu menekan-nekan lubang kencingku.

"Apaan sih mbak? Geli!" kataku.
"Biarin, kamu nakal sih," ia malah bicara dengan penisku. Lalu ia mencium
dengan hidungnya, menghirup aroma penisku. "Aku suka baunya."
"Oh..mbak....," aku jadi horny.
"Mau dipuasin?" tanyanya.
"I...iya," aku mengangguk.
Lidahnya kini terjulur, lalu menyapu penisku dari buah dzakar sampai ke ujung. Aku menahan nafas. Perlakuannya ini membuatku makin terangsang. Penisku langsung lebih mengeras dari sebelumnya.
"Oww...enak ya? sampai tegang gini," katanya sambil ketawa.
Lalu Ia menciumi kepala penisku, menjilatinya, kemudian ia masukkan ke
mulutnya. Ia hisap sekuat tenaga, lalu ia kocok dengan mulutnya. Ohhh...nikmat sekali. Aku terus menyaksikan perlakuannya kepada penisku, dan matanya terus melihatku. Aku suka sekali kebinalan mbak Juni. Saat itulah aku dikejutkan dengan Rendy yang datang ke mejaku.

"Maaf mas, kemarin aku belum ngasih laporan komputernya ngadat," katanya
tiba-tiba. Terus terang aku gelagapan. Untungnya ia tak bisa melihat Mbak Juni yang ada di kolong meja. Karena mejaku tertutup.
"Oh...i..itu, terus kamu sudah ngirim?" tanyaku.
"Belum mas, mungkin harus dibenerin dulu itu komputernya," jawab Rendy.

Sialnya, mbak Juni menghisapi buah dzakarku sambil mengurut penisku hingga tegang sekali. Lalu ia menjilati ujung kepalanya dengan lidahnya. Lidahnya menari-nari memberikan stimulus yang membuatku lemas.

"Panggil teknisi saja deh....pp..Pak Udin gitu, tahu nomor teleponnya kan?"
tanyaku.

"Iya mas, tahu. Berarti bagaimana kondisi pembukuannya? Didobel saja atau
bagaimana?" tanyanya.
"Nggak apa-apa...," keringat dingin mengucur dari dahiku.
Mungkin di bawah meja mbak Juni sangat senang bahkan ketawa menyaksikan salah tingkahku.
"Dobel saja ndak apa-apa. Atau minta saran Pak Udin, ia lebih faham soal softwarenya."
"Oh baik mas, mas ndak apa-apa? Koq kayaknya kurang enak badan?" tanyanya.
"NGgak apa-apa koq," jawabku sambil tersenyum. Padahal yang di bawah ada apa-apa.
"Baik mas, mari," kata Rendy. Ia meninggalkan mejaku dan keluar dari kantor.
Aku lalu melihat ke arah mbak Juni, "Gila mbak, kalau ketahuan gimana?"
"Biarin, biar orang-orang tahu kalau mas suka ama aku," katanya sambil ngikik. "Mungkin bisa masuk koran mas, bos berbuat mesum dengan anak buahnya. hihihi..."

Ia melanjutkan oralnya. Aku hanya geleng-geleng. Saking gemesnya aku pun
meremas-remas dadanya. Tanganku masuk ke dalam kemejanya, lalu ke dalam branya mencari-cari putingnya, lalu aku gesek-gesek dan pelintir-pelintir. Mbak Juni makin semangat saja mengoralku. Penisku ia masukkan jauh ke mulutnya, aku keenakan, kemudian ia mainkan kepalanya dengan lidahnya. Itu membuatku makin ndak bisa menahan diri, rasanya ingin muncrat. Tapi dengan perilakuku merangsang puting susunya, ia pun terkadang berhenti mengoral.

"Mas, mas bikin mbak horny nih," katanya.
Aku lalu mendorongnya, kemudian berdiri. Aku lalu menariknya agar berdiri,
kemudian aku angkat tubuhnya dan kududukkan di meja. Kemudian aku naikkan roknya, kuturnkan celana dalamnya. Celanaku ku turunkan, penisku lalu kuposisikan di depan mulut vaginanya yang merekah.

"Mas, nanti ada yang lihat," katanya.
"Aku tak peduli, biar aja," balasku. Aku membuka kemejanya, kunaikkan branya, hingga buah dadanya terekspos. Aku pun menyusu kepadanya sebentar, lalu pinggulku menekan selakangannya. SLEEBBB....
"Ohh...masss...masuk," katanya.
Aku goyang pinggulku menyodok kemaluannya. Mbak Juni memelukku dan kedua kakinya mengunci pinggangku.
"Mbak, enak banget," kataku.
"Ohh...kontol mas gedhe banget, penuh.....hhmm.....," rancaunya.

Kami lalu berciuman, berpanggutan, aku tetap menggoyang. Ada rasa takut
ketahuan, tapi juga ada rasa ingin memuaskan diri. Benar-benar kami ingin
merasakan luapan birahi kami yang sudah ditahan sejak kemarin. Aku juga tak tahu kalau vaginanya sudah becek, karena rangsanganku kepada putingnya.

"Mas.....mass...agak cepet mas, aku mau sampe," katanya.
Aku turuti dia, kupercepat goyanganku. Kakinya makin erat mengunci pinggangku, dan ia pun kemudian menaikkan pantatnya sehingga serasa aku menggendongnya. Penisku ditekan kuat dan ia memelukku dengan erat, ia menghirup nafasku dalam ciuman panasnya. Ia sudah orgasme, selama sepuluh detik kami berpelukan ia kugendong dan penisku masih menancap di sana. Lalu ia turun. Penisku tercabut begitu saja. Tampak penisku penuh dengan lendir. Mbak Juni aku peluk lalu aku balikkan tubuhnya. Ia mengerti keinginanku. Mbak Juni menunggingkan pantatnya. Aku lalu memasukkan penisku ke vaginanya tanpa susah. Dan aku lalu mendorongnya.

"OHhhh...mbak, pantat mbak enak....," kataku.
"Ohh...sodok aku mas, sodok...terus!" katanya.
Aku sodok pantatnya meja kerjaku bergoyang-goyang karena mbak Juni bertumpu kepadanya. Dadanya bergoyang-goyang menggantung. Ekspresi wajahnya bisa aku lihat di kaca yang terpantul. Matanya terpejam nikmat, dan ia menggigit bibir bawahnya sambil mendesis. Aku lalu memegang toketnya dan kuremas-remas.

"Masss...ohh...enak...terus mas....terusss," katanya.
Aku dorong lagi lebih kuat, mbak Juni pun kemudian tengkurap di atas mejaku. Buah dadanya melekat di mejaku yang kebetulan di atasnya ada kaca. Aku terus menyodoknya kuat-kuat hingga sepertinya testisku mau berproduksi lagi.

"Mbak...mbak...aku keluar mbak," kataku.
"Ayo mas, keluar...keluar bareng!!
AAHHH AHHHH...penis mas keras banget.... kerass... aduhhh... enakkkk!" katanya.
"Mbak ini mbak, terima pejuhku," kataku.
CREETTT CREETTT CRREEETT CREEETT!!
Spermaku memancar dengan beberapa kali tembakan. Dan aku menekan kuat hingga mungkin sampai ke rahimnya. Mbak Juni memejamkan mata dan tampak lemas. Kudiamkan sejenak hingga seluruh spermaku keluar dan habis. Baru setelah itu perlahan-lahan aku cabut.

Perlahan-lahan mbak Juni bangkit dari mejaku. Ia tersenyum dengan nafas
terengah-engah. Kami tutup aktivitas kami dengan berciuman panas. Mbak Juni membetulkan bajunya dan mengambil tissue yang ada di mejaku untuk membersihkan spermaku yang meleleh ke pahanya.

"Udah ah, kerja lagi," ia mengedipkan matanya kepadaku.
"Kalau mau tidur dulu karena capek silakan lho," candaku.
"Ndak ah, kalau tidur nanti malah dikerjai lagi," katanya.
Aku menciumnya lagi, setelah itu kami beraktivitas seperti biasa.

****

Kak Vidia sore itu sedikit beda. Aku juga heran. Ia tak banyak bicara. Bahkan
setiap kali aku tanya kenapa ia tak menjawab. Malam itu aku sendirian tidur di
kamar, karena Kak Vidia mengunci dirinya di kamar. Aku tak mengerti, namun
kemudian saat tengah malam aku dikejutkan dengan Kak Vidia yang tanpa busana masuk ke selimutku.
"Kak?" sapaku. "Ada apa sebenarnya?"
"Berjanjilah kepadaku satu hal dek!" katanya.
"Ada apa?" tanyaku.
"Kakak sudah melihat semuanya, semua video yang ada di dalam komputermu sudah kakak lihat," jawab Kak Vidia. "Aku tak tahu kalau adekku ini sangat terobsesi kepada keluarganya sendiri sejak dulu."
"Trus, apa pendapat kakak?" tanyaku.
"Aku ingin kamu berjanji kepadaku satu hal," katanya.
"Jangan pernah tinggalin kakak, bunda dan Nur. Kalau misalnya kamu nanti menikah, maka pasanganmu itu harus tahu keadaan kita seperti apa. Aku tak mau ia nanti tersakiti karena melihat keadaan kita yang sesungguhnya. Kak Vidia juga tahu kamu suka ama mbak Juni, bahkan kakak tahu kalau kamu sudah begituan juga dengan mbak Juni, tapi apa mbak Juni tahu keadaan kita? Memang mungkin ia bisa mencintaimu dek, tapi itu karena ia tidak tahu apa yang terjadi dengan kita sebenarnya. Aku takut, hal itu malah akan membuatnya kecewa dan membencimu, membenci kita. Ia memang sudah baik dengan kita selama ini, tapi pikirkanlah lagi hal ini."

Aku terdiam. Kak Vidia lalu memelukku. Benar apa yang dikatakan kak Vidia.
Mungkin sudah saatnya aku hapus saja semua gambar dan video itu. Kak Vidia masih memelukku dan kepalanya disandarkan ke dadaku.

"Malam ini, adalah masa suburku dek," kata Kak Vidia. "Sudah tiga tahun kita
beginian, tapi belum juga berhasil. Kali ini Kakak sangat berharap." Tangan kak Vidia menelusup ke dalam celana kolorku. Ia lalu memainkan isinya.
Diurut-urutnya penisku, penisku pun otomatis menegang. Aku mendongakkan
wajahnya, lalu menatap wajahnya dalam-dalam. Kemudian aku cium bibirnya, kami berpanggutan, tangan kiriku memainkan putingnya yang berwarna pink itu. Walaupun kami sering bercinta tapi buah dadanya sama sekali tak kendor, malah makin menantang saja tiap hari.

"Hamili aku dek," bisik kak Vidia. "Berikanlah benih-benihmu ke rahimku. Aku
rela." Aku kemudian membaringkan tubuhnya telentang. Kemudian kuciumi lehernya, kuhisap, kujilat. Permainanku kali ini lebih panas dari malam-malam
sebelumnya. Aku menciumi dadanya, kupijat, kuremas, dan bergantian aku cupangi kiri dan kanan, kemudian kuhisap puting pinknya bergantian. Aku juga gigit-gigit kecil dengan gemas. Hal itu memberikan rangsangan yang membuat Kak Vidia mengangkat punggungnya.

"Ohh...dekkk...enak dek," katanya.
Tangan kiriku beralih ke vaginanya, Kugesek-gesekkan jari telunjukku, kucari
clitorisnya dan kugesek-gesek. Kak Vidia makin bergairah, ia memelukku, tangan kanannya masih meremas-remas penisku, aku kemudian menciumi ketiaknya, kujilati dan itu membuatnya menggelinjang lagi. Aku ciumi tubuhnya bagian samping, lalu aku hisap. Ia menggelinjang lagi. Kutelusuri seluruh tubuhnya dengan bibirku, kemudian ke pahanya, hingga bibirku dan bibir kemaluannya bertemu.

"Ohhh...papah...terusin yaa..enaaakk...," kata kak Vidia.
Aku jilati bibir kemaluannya, kuciumi, lalu tepat di klitorisnya aku sapu
lidahku di sana. Ia mengangkat pantatnya sambil memekik tertahan. Ia
remas-remas rambutku, seiring aku menjilati rongga-rongga vaginanya. Saat
lidahku menari-nari di dinding vaginanya, ia mengapit kepalaku, terkadang
menjambak rambutku.

"Deek...udah dong,..masukin aja dek, kakak udah ndak tahan," katanya.
Aku mematuhinya. Kini aku siapkan diriku di atasnya. Pakaianku kulepaskan
semua, aku lalu mengangkat sedikit pahanya, lalu lututnya aku pegang dan
kutekan hingga berada di samping kepalanya, pantatnya sedikit terangkat dan
aku berlutut, penisku sudah siap di depan mulut kemaluannya. Satu hentakan dan penisku masuk.

"Ooohh....iya dek...papah...hamilin mamah ya..," katanya.
Aku goyang pinggangku. Kak Vidia memejamkan matanya, merasakan kenikmatan ini. Ia mengusap-usap dadaku, untuk memberikan kepadaku kenikmatan juga. Aku resapi setiap rangsangan pada urat-urat penisku yang diremas-remas oleh vaginanya. Rongga kemaluan kakakku benar-benar membuatku seperti terbuai oleh obat bius. Aku kemudian melebaran pahanya dan ambruk di atasnya, kupeluk dirinya. Pinggangku tetang bergoyang kali ini lebih cepat. Kedua bibir kami pun bertemu, saling menghisap. Cukup lama aku bertahan dengan posisi itu, hingga entah berapa menit kemudian kak Vidia orgasme, ia menjerit keras ketika orgasme. Mungkin kalau saja ada orang di luar kamar akan kedengaran.

Tapi aku belum orgasme, mungkin karena tadi siang bercinta dengan mbak Juni. Sehingga produksi spermaku sedikit terhambat. Aku lalu membalikkan tubuhnya. Kak Vidia mengerti, ia menungging. Aku pun menyodoknya dengan doggy style. Puas dengan doggy style, aku lanjutkan dengan WOT. Kak VIdia tahu kalau aku suka dengan buah dadanya. Maka dari itulah ia membiarkan tanganku meremas buah dadanya dan mempermainkan putingnya. Kak Vidia orgasme lagi. Karena pada dasarnya wanita lebih banyak menyerah kalau melakukan WOT. Kalau ingin cepat punya anak ada dua macam gaya, yaitu doggy style bagi yang rahimnya sulit dibuahi, dan gaya misionari bagi yang mudah dibuahi. Itu hanya mitos sih. Aku tak peduli, aku kemudian pakai gaya misionari. Aku peluk kakakku dengan erat dan kugoyang pantatku. Karena sepertinya sudah mentok ingin keluar.

"Kak...aku mau keluu....aaarrr....oohh...ini..ini..," kataku.
"Iya pah, mamah udah mau keluar lagi," kata kak Vidia.
"Papah ngecreeeettt....ohh...bunting dah kamu, bunting kamu kak Vidia,
oh...kakakku yang punya puting pink, tubuh semok, tubuh mulus, rasain pejuh
panasku!" kataku.
"OOhh...papah, kak Vidia dientot adek sendiri....enakkk....kuterima
pah...penismu enakkk....aawwww!!" kak Vidia tampak matanya memutih, serasa iamerasakan sperma hangatku membasahi ruang rahimnya. Penisku serasa ngilu sekali. Baru kali ini aku bercinta seperti ini. Aku diamkan posisi ini beberapa saat. Kemudian penisku mengecil sendiri, seluruh energiku rasanya habis, tulang-tulangku rasanya mau copot.

Kak Vidia kemudian mengambil bantal dan mengganjal pinggangnya.
"Kenapa kak?" tanyaku.
"Ini katanya biar cepat hamil," jawabnya.
Kami kemudian tidur dalam satu selimut. Kupeluk dia hingga pagi menyapa.

***
Memang mungkin semestinya aku jujur kepada mbak Juni. Aku perlu waktu
memikirkan itu. File-file video dan gambar hasil keisenganku sudah aku hapus semuanya semenjak hari itu. Mungkin sudah saatnya aku full mencintai semua keluargaku dan mulai mencari pendamping hidup. Tapi tidak mudah seorang wanita mau menerima keadaanku yang seperti ini.

Tiap kali bertemu dengan mbak Juni aku kini agak lain. Selalu terdiam. Atau
kadang pikiranku menerawang. Mbak Juni pun mencium ketidak beresan ini. Ia selalu bertanya kepadaku ada apa, tapi aku menjawab aku belum bisa
mengatakannya sekarang.

Kuubah konsentrasiku kepada pekerjaan. Tapi tak bisa. Tiap hari aku bertemu mbak Juni dan setiap ada kesempatan kami pasti bercinta. Baik ketika keluar kota, di kantor atau bahkan kami menyewa kamar hotel untuk bermalam.

Kak Vidia pun hamil, ia mual-mual pada hari itu. Dan ia memberikan hasil
testpack-nya kepadaku. Betapa senangnya aku. Kak Vidia lebih senang lagi.
Sebentar lagi aku bakal jadi ayah dari dua orang anak. Tinggal bunda yang
belum. Padahal beliaulah orang yang pertama kali aku setubuhi. Tapi karena ia sering keluar kota dan beberapa waktu ini sibuk untuk mengurus bisnis
waralabanya, akhirnya hubunganku dengan bunda libur sejenak.

Ketika aku ke kantor bertemu mbak Juni ia pun mengabariku sesuatu yang lebih mengejutkan lagi. "Aku hamil mas." Aku sangat senang sekali bahkan hampir tak percaya. "Tok cer ya?"
"Habis kita sering begituan, ndak kenal tempat. Aku yakin ini jadinya waktu di
hotel kemarin itu," katanya. "Kalau hitunganku tak salah lho ya."
Mungkin sekarang saat yang tepat aku mengatakannya.
"Trus, bagaimana hubungan kita selanjutnya? Mau serius?" tanyaku.
"Hmmm...gimana ya, masa' atasan mengawini bawahan?" ia bertanya kepadaku dengan nada serius campur bercanda.
"Terserah kamunya, tapi kalau pun engkau tak mau aku tetap akan bertanggung jawab atas anak itu," kataku.
"Tentu aku mau serius," katanya.
"Baiklah, cuma aku ingin cerita sedikit tentang diriku. Kalau kamu bisa
menerimaku, maka kita lanjut. Kalau tidak maka itu semua kembali kepada
dirimu," kataku.
Mbak Juni serius mendengarkan ceritaku. Tentu saja ia sangat kaget mendengar penjelasanku tentang masalah mother complex dan sister complex. Ia bahkan hampir saja tak percaya terhadap apa yang terjadi. Saat itulah ia pun menangis. Ia tak percaya aku adalah orang seperti itu.

"Inilah aku mbak, aku jujur kepadamu sekarang. Aku tak ingin menyimpannya
lagi. Kalau mbak menerimaku, maka kita lanjut dengan segala kekuranganku.
Kalau mbak tidak bisa menerimaku, maka aku bisa mengerti," kataku.
"Aku tak percaya aku bertemu dengan lelaki sepertimu, lalu kenapa kamu
melakukannya sama mbak? Aku tak bisa menerimanya, tapi....aku bingung, anak ini bagaimana?" katanya.

"Aku tetap akan bertanggung jawab, mbak tidak perlu khawatir," kataku.
"Bukan masalah itu, aku takut ketika ia bertanya kepadaku tentang seperti apa ayahnya, apa yang bisa aku jawab?" tanyanya.
"Kita akan lewati bersama mbak, aku sudah berjanji kepada diriku sendiri
apapun yang akan terjadi aku tetap akan menerima mbak, baik mbak menolakku atau apapun aku akan selalu ada buat mbak," kataku.
Mbak Juni menarik nafas panjang. "Aku perlu berfikir, sebab ini tak mudah
bagiku. Maaf mas, mungkin aku harus menyendiri dulu untuk sementara waktu."

Itulah kata-kata terakhir yang aku dengar dari mbak Juni. Sebab setelah itu ia
tak masuk kantor lagi. Dan setelah beberapa minggu ia pun mengajukan surat pengunduran diri. Sungguh aku terpukul sekali. Apalagi mbak Juni adalah orang kepercayaan bunda sejak dulu. Ponselnya tidak aktif lagi, bahkan kontak BBMnya pun tidak aktif. Ia bagai menghilang begitu saja.

Peristiwa itu pun aku ceritakan ke seluruh keluargaku. Bunda lalu menghiburku. Kak Vidia juga, dan Nur. Mereka membesarkan hatiku bahwa sulit untuk mencari wanita yang bisa menerima apa yang kita punyai sekarang.

BAB 6
*****************
TETANGGAKU DIAN

Aku mulai membangun rumah sendiri, terlebih ketika Nur melahirkan anak
pertama kami yang imut dan lucu. Berjenis kelamin perempuan. Anaknya sangat montok. Kami semua bahagia dan usia kehamilan Kak Vidia pun udah masuk ke empat bulan, mulai kelihatan perutnya membuncit.

Aku bangun rumah sendiri untuk Kak Vidia, juga Nur. Walaupun tak begitu mewah seperti rumah kami sekarang, tapi cukup untuk membangun rumah tangga di sini. Posisinya juga tidak terlalu jauh, masih satu kota walaupun beda perumahan. Identitasku sekarang kuubah, agar hubungan incest kami tak ketahuan. Kami membayar beberapa orang pengurus catatan sipil untuk bisa memalsukan identitasku. Dan sekarang aku pun punya tiga istri. Yang mana aku harus adil dalam membagi jatah.

Aku benar-benar ingin membahagiakan mereka semua. Terutama bunda. Jatah bunda sekarang lebih banyak. Ini adalah inisiatif dari Nuraini dan kak Vidia. Mereka sepakat untuk melakukannya. Mereka malah yang menyemangati bunda agar bisa menyusul mereka.

"Rumah jadi sepi ya Don, semenjak kedua saudarimu ke rumah mereka
masing-masing," kata bunda.
"Ini kan juga untuk membahagiakan bunda juga, kalau semuanya di sini bingung ngurus cucu-cucunya bunda," kataku. Bunda memakai kerudung lebarnya dan ia sedang duduk di sofa ruang tamu sambil
melihat halaman dari jendela. Walaupun sekarang usianya sudah kepala 4, tapi tubuhnya masih sintal. Masih bagus, beliau sering melakukan perawatan tubuh, aku bisa melihatnya sendiri. Ini adalah hari pertamaku membagi jatah ke bunda. Karena aku dapat jatah 4 hari di rumah bunda.

"Masih belum ada kabar mengenai mbak Juni, Don?" tanya bunda.
"Belum ada, Doni sudah cari kemana-mana tapi tidak ketemu. Rumahnya yang dulu pun sudah sepi tak ada barang-barang apapun. Dia seperti hilang ditelan bumi," jawabku. "Aku menyesal sekali sepertinya."

"Kalau dihitung berarti usia kehamilannya hampir sama seperti Vidia," kata bunda. "Lebih muda dikit."
"Iya," kataku singkat.
"Tapi jangan khawatir. Kalau ia mencintaimu, ia pasti akan mencarimu, atau
bahkan ia tak akan bisa melupakanmu. Ia cuma belum siap menerima keadaan ini. Kau sendiri tahu kan? Ia masih mencintaimu bunda yakin karena bunda ini juga wanita," kata bunda menghiburku. "Bunda yakin ketika nanti anaknya lahir engkau pasti akan diberi tahu, bahkan mungkin bunda yakin ia pasti akan menerimamu apa adanya."
"Bagaimana bunda bisa yakin?" tanyaku.
"Sebab, Juni itu sudah suka kepadamu sejak lama. Bunda tahu itu, saat
melihatmu ia sering melamun dan senyum-senyum sendiri. Bahkan ketika kalian berhubungan wajahnya lebih sumringah daripada sebelumnya. Ia memang janda muda, tapi ia masih memiliki cinta. Dan ia baru saja menemukan cinta sejatinya," kata bunda. "Sebagaimana bunda juga masih mencintai ayahmu sampai sekarang walaupun sudah ditinggalkan. Dan sekarang bunda melihat sosok ayahmu pada dirimu. Bunda makin cinta kepadamu."

Aku menghampiri bunda dan duduk di sebelahnya. Tanpa dikomando aku mencium bibirnya.  "Bunda tahu, apapun yang bunda lakukan, tubuh bunda tetap menarik bagi Doni," kataku.
"Kamu sudah kepingin?" tanyanya.
"Kalau melihat bunda rasanya kepingin terus," jawabku.
Kami berpanggutan lagi dengan hot. Lidah kami menari-nari saling menghisap. Aku membuka kancing gamisnya, kulepas gamis itu, branya juga kulepas. Bunda menarik T-Shirt-ku dan menurunkan celana trainingku.

"Isep dong bunda," kataku.
Aku berdiri di hadapannya. Bunda duduk di sofa ia majukan wajahnya dan melahap penisku. Ia mengulumnya dengan ganas. Ia jilati ujungnya, lalu ia kulum lagi, tangan kirinya aktif meremas-remas testisku. Tangan kanannya mengusap-usap perutku, lalu terkadang memijat-mijat batang penisku, mengurutnya dan mengocoknya lembut.

"Ohhh...bunda....hhmmhhh...,"
Bunda masih memakai kerudungnya. Beliau agak aneh dengan fantasiku yang bercinta dengannya tapi memakai kerudung. Tapi ia sama sekali tak masalah dengan itu. Berkali-kali spermaku harus aku keluarkan di wajahnya di saat oral mengenai kerudung hitamnya. Ia menganggap fantasi sex tiap lelaki berbeda. Ia pernah bercerita kalau fantasi sex ayah dulu adalah ngentotin bunda di kebun atau di alam terbuka. Bahkan katanya hamilnya anak pertama dulu, karena mereka berhubungan intim di pegunungan. Pantas saja Kak Vidia suka banget hiking.

Sedangkan aku? Bunda menceritakan sesuatu yang tidak pernah diceritakan kepada Kak Vidia maupun Nuraini. Yaitu ayah pernah menyukai keponakannya sendiri. Dan ia jujur kepada bunda. Karena itulah bunda bersedih. Setiap bercinta selalu yang ada pada bayangan ayah adalah keponakannya itu yang bernama Laura. Aku pernah bertemu sepupuku itu tapi sudah lama, sekarang ia punya anak bernama Anisa. Dan boleh dibilang ayah pernah sekali bercinta dengan keponakannya itu, tapi tidak sampai hamil. Bunda terpukul dengan itu, namun ketika melihat bunda hamil diriku, akhirnya ayah pun mengakui dirinya salah dan akhirnya mulai menyayangiku seperti anaknya. Mungkin karena itulah sifatku seperti ini. Dan secara tak disangka aku sangat mirip ayahku.

Hari ini aku tak mau menyia-nyiakan spermaku, aku ingin semua spermaku tumpah di rahimnya. Kita punya banyak waktu hari ini. Aku ingin mengentot bunda sampe ngilu penisku. Maka dari itulah, sebentar saja bundaku mengoralku. Aku sekarang sudah menciumi seluruh tubuhnya. Kujilati dadanya, kuhisap kuat-kuat putingnya hingga mengeras. Bunda mengeluh. Ku hisap pula klitorisnya kumainkan dan kugigit gemas. Bunda makin tergelepar-gelepar seperti ular. Berkali-kali ia berusaha mendorongku karena rangsanganku telalu membuatnya geli. Dan bunda pun orgasme hingga menjambak rambutku kuat-kuat. Nyaris itu rambutku dicabut dari tempatnya.

"Don...kamu bener-bener lain hari ini, rasanya nafsuin banget," katanya. Aku tersenyum. Aku kemudian melumat bibirnya. Punyaku pun langsung kumasukkan sambil kutekan. Bunda kaget dan tersentak. Pinggulnya terangkat. Saat itulah aku menggoyan tubuhnya, ku benamkan sedalam-dalamnya otongku hingga mentok. Bunda mengeluh lagi. Kami berpelukan erat, kerudungnya masih menempel dan aku menghisap lidahnya. Ia mencakari punggungku ketika kenikmatan demi kenikmatan menjalar di selakangan kami.

"Don..enak...bunda keenakan... terusss... ssshhh.. .aahhh... hhmmmhh," katanya. Aku konsentrasi di bawah sana. Aku terus mengobok-obok vaginanya hingga dia kayaknya hampir orgasme lagi, dahinya mengerut, alisnya menyatu dan ia menatap mataku. Mulutnya membentuk huruf O.

"Bunda...ohhh mau keluar....," katanya.
"Bunda keluar? keluar aja bunda," kataku. "Papah masih belum."
Bunda pun mengapit pinggangku erat-erat. Pantatnya bergetar, kuku-kukunya
menggaruk punggungku, ia memelukku erat seakan tak ingin melepaskanku. Kutunggu hingga bunda merasakan rilex sejenak dan pegangannya melemah. Kubalikkan tubuhnya, kini ia menungging di sofa. Aku kemudian menghujamkan penisku ke vaginanya dari belakang. Bunda bertumpu pada pinggiran sofa. Ia masih mengeluh ah dan uh...saat kusodok ia mengimbangiku dengan memaju mundurkan pantatnya. Rongga kemaluannya menggesek setiap syaraf kemaluanku, membuatku terbuai oleh ekstasi persetubuhan yang panas. Pantatnya yang montok memberikan sensasi tersendiri kepada area pribadiku. Testisku berkali-kali menghantam bibir vaginanya karena aku menyodoknya sampai dalam. Yang aku suka dari ketiga keluargaku adalah vagina mereka benar-benar bisa meremas penisku. Bunda juga demikian. Aku meremas-remas toketnya ketika menusuknya. Sesekali ku remas juga bongkahan pantatnya yang bahenol itu. Puas dengan doggy style, aku lalu berbaring.

Kami berhadapan. Pahanya kuangkat, penisku masuk lagi. Vagina bunda udah sangat becek. Dada kami berhimpitan, terasa debaran jantung kami. Bunda sudah lelah, ia hanya bisa menerima panggutanku saja dan mendesis pelan. Aku pelan-pelan menggesek kemaluanku keluar masuk. Sambil aku mantapkan tusukanku, rasanya kepala penisku geli sekali.

"Don, bunda rasanya ngilu banget, belum keluar juga?" tanya bunda.
"Ini mau keluar bunda. Peluklah Doni. Peluk yang erat bunda," kataku.
"Ohh...papah, keluarkan pejuh papa yang banyak yah buahin bunda," katanya. Pantatku kugoyangkan agak cepat, kepala penisku sudah gatal ingin menyemburkan sperma. Makin cepat-makin cepat, bunda pun memelukku 1erat sekali, dan kami pun orgasme bersamaan lagi. Bunda melingkarkan kakinya ke pinggulku, aku menghujam penisku dalam-dalam sampai mentok, dan semburan demi semburan cairan kental membasahi rahimnya.

"Ohh...bunda udah lama tidak merasakan ini. Enak....enak banget...," katanya. Orgasme itu serasa sangat lama, penisku benar-benar ngilu. Kubiarkan penisku di dalam kemaluannya, hingga mengecil sendiri. Kami pun tertidur di sofa. Kelelahan. Senggama yang hebat. Hari itu kami tak pernah habiskan waktu yang sia-sia. Bercinta, bercinta dan bercinta. Berbagai gaya kami coba. Kami istirahat hanya untuk makan, tidur dan mandi. Kemudian bercinta lagi. Empat hari yang tidak sia-sia. Hampir tiap hari kami tidak pakai baju. Dan hampir tiap waktu kami hanya bicara dengan sentuhan, rayuan dan cumbuan.

****

Keesokan harinya aku ke tempat Nur. Ia sangat kangen denganku. Ia juga senang dengan buah hati kami dan setiap hari bermain dengannya. Aku menyewa seorang pembantu yang membantunya di rumah. Kebetulan ia juga adalah tetanggaku sendiri namanya Dian.

Dian ini orangnya imut. Rambutnya seleher. Bibirnya tipis. Suaminya bekerja
sebagai buruh pabrik dan ia ini pengantin baru. Entah bagaimana cepat sekali
ia akrab dengan Nur. Bahkan sering aku dengar mereka ketawa ketiwi sendiri
kalau sedang ngerumpi. Pekerjaan Dian juga telaten. Semua pekerjaannya rapi dan bersih. Semuanya OK, tapi ada satu yang tidak. Apa itu? Pakaiannya itu lho. Kalau bekerja di rumah, ia selalu pakai baju lengan pendek dengan
ketiaknya yang bisa dilihat. Bagian atasnya sangat longgar sehingga kalau ia
membungkuk aku bisa melihat toketnya yang menggantung dan kulitnya yang putih. Ditambah ia pakai hotpants. Dan ia tidak risih.

Bisa jadi pakaiannya itu agar ia mudah untuk bekerja. Mungkin Dian tidak tahu kalau aku selalu melihatnya ketika bekerja, dan pelampiasanku, tentu saja ke Nur. Nur hanya mengira aku memang lagi kepengen karena lama tidak menyentuhnya tapi sebenarnya bukan itu sih.  Satu atau dua kali kuanggap wajar, tapi karena sudah berkali-kali akhirnya aku
kepingin juga ngentotin dia. Tapi bagaimana caranya? Aku sudah membuang
kloroformku dulu. Dan tak mungkin pakai cara itu. Dan sebenarnya peristiwa ini kebetulan saja sih. Kebetulan inilah yang membuat Dian akhirnya takluk juga.

Suami Dian yang buruh pabrik itu sering pergi jam 5 sore pulang jam 5 pagi.
Jadi malam hari ia sering tidak di rumah. Pagi hari sampai sore selalu di
rumah, sedangkan pagi sampai sore Dian bekerja di rumah kami. Karena frekuensi jarang ketemu inilah yang membuat kebutuhan Dian akan urusan ranjang kurang. Mereka jarang main, kecuali di hari minggu. Ini kuketahui nanti.

Di RT kami kebetulan pak RT-nya mengadakan inisiatif untuk mengadakan ronda. Ronda ini selalu digilir oleh bapak-bapak kampung. Namun sekali pun tidak ada jadwal boleh koq siapa saja ikutan. Pos rondanya agak jauh sih dari rumah kami, ada di ujung jalan. 
"Mah, papah mau ikutan ronda," kataku.
"Lho, emang jadwalnya?" tanyanya.
"Hehehe, nggak sih kebetulan kepengen nonton bola bareng di pos ronda. Jadi ya sekalian saja ikutan ama bapak-bapak di sini biar akrab," alasanku. Aku lalu melihat anakku yang sedang lucu-lucunya tampak bicara sendiri. Aku
lalu mengajaknya bicara sampai ketawa. Nur tampak senang sekali melihat polah tingkahku yang bercanda dengan anakku.

"Udah ah pah, ntar malah ndak tidur-tidur dibecandain melulu," kata Nur.
"Papah gemes banget ama pipinya ini lho," aku lalu mencium anakku.
"Apa sih sayang? Ikut papah yuk, nonton bola di pos kamling. Hehehe, ketawa lagi." Nur lalu memelukku dan mencium pipiku. "Udah, berangkat sana!" Ia mengusap-usap pipiku.
"Agak nanti aja, masih jam 9 koq," kataku.
"Kalau ndak berangkat sekarang ntar malah ndak tidur-tidur Si Laila," kata Nur sedikit ngambek. "Dari tadi siang dibecandain melulu soalnya."
Aku lalu bangkit dan mencium kening Nur. "Ya udah, berangkat dulu."
Aku mengusap kepalanya.
"Pah, mamah cinta kamu," kata Nur.
"Papah juga koq," kami berpisah dengan berciuman bibir untuk sepuluh detik.
Aku selalu melakukannya kalau ingin pergi keluar rumah. Hal itu menambah
kemesraan kami. Dan pernah sih hal ini ketahuan ama Dian. Dan ia buru-buru
menyingkir. Aku pun pergi keluar rumah. Di pos kamling aku bertemu dengan beberapa orang bapak-bapak yang juga tidak ada jadwal ronda tapi ikutan ronda. Di perumahan ini memang belum ada satpamnya, makanya kami mengambil inisiatif seperti ini. Pertandingan bolanya sih jam 2 malam. Dan kami sudah mengobrol ngalor ngidul sampai jam 12. Entah kenapa waktu itu udara dingin banget, sehingga aku lupa bawa sarung. Mau pulang dulu ambil sarung. "Awas pak Doni, nanti kalau udah pulang takutnya ndak bisa balik lagi. Hawanya dingin banget," kata salah satu bapak-bapak. "Kayaknya sih begitu," candaku. Kemudian disambung ketawa bapak-bapak yang lain.  "Maklum pak, penganten baru ya seperti itu," sahut yang lain.

Aku pun segera menuju rumahku. Perumahan ini benar-benar sepi kalau malam. Ndak ada satu pun penjual makanan yang lewat. Aku kemudian sudah sampai di rumah. Namun tampak tetanggaku Dian sedang ada di luar rumah membawa senter dan menerangi sekering listriknya di luar rumah. Lampu rumahnya mati. "Kenapa mbak?" tanyaku.
"Ini mas, listriknya mati, bingung nyalainnya gimana," jawabnya. Ini mungkin
kesempatannya. Pikirku.
Agak tak jelas sih ia pakai baju apa, karena gelap.
"Boleh saya bantu?" tanyaku.
Ia diam sejenak. Mungkin berpikir panjang, karena aku bukan suaminya. Tapi
kemudian ia mempersilakan. Aku lalu meminta gunting dan obeng. Kulihat
kabel sekringnya putus. Kusuruh untuk mencabut seluruh peralatan listrik
kemudian aku mengambil kabel dan membetulkan listriknya. Setelah sekeringnya aku betulkan di bawah sorot lampu senternya dan terus terang bau parfumnya sangat menggoda, akhirnya listriknya bisa nyala lagi. Aku memperbaiki sekering di dalam rumahnya, dan tentu saja karena hawanya dingin pintu tertutup.

"Makasih ya mas, malah merepotkan," katanya.
"Oh tidak masalah," jawabku. Dan saat itulah aku terkejut karena tiba-tiba
tvnya nyala dan kulihat tampak ada adegan bokep. Rupanya ia lupa mencabut saklar tv dan DVD-nya. Walaupun tidak bersuara otomatis kami berdua tahulah film apa itu yang sedang diputar. Wajah Dian memerah, ditambah lagi di meja aku menemukan sesuatu yang mirip penis. Dildo!?

Dian yang memakai sarung itu buru-buru mematikan dan mengambil dildonya lalu masuk ke kamar. Aku tersenyum aja. Barangkali ia sedang mastrubasi sambil nonton film itu kemudian lampunya mati.  Tak berapa lama kemudian ia keluar kamarnya. Wajahnya memerah, ia sepertinya
malu sekali. "Yang tadi maaf ya mas."
"Tidak mengapa aku tahu koq kebutuhan wanita itu seperti apa," kataku.
"Maklum, Mas Joko sering keluar malam, jadinya ya ini satu-satunya pelampiasan kalau sedang sendiri," katanya sambil sedikit tertawa kecil.
"Tadi sudah tuntas belum?" candaku.
Dian bingung menjawab, lalu ia menggeleng.
"Trus kalau belum apa yang dilakukan habis ini? Melanjutkan?" tanyaku.
Ia mengangguk, sebentar kemudian menggeleng, sebentar mengangguk lagi. Ini kesempatan bagiku, setan sudah menguasai otakku. Aku lalu mendekat dan memeluknya, ia kaget dan menatap wajahku.

"Mas, jangan mas. Bagaimana dengan mbak Nur?" tanyanya.
"Kamu mau dituntaskan tidak?" tanyaku. "Ndak enak kalau main sendiri."
"Tapi mas, a..aa..ku...," ia kaget ketika aku mencium keningnya. Kemudian
pipi, hidung dan bibirnya. Kami berciuman hot. Awalnya ia diam, lama kelamaan ia memanggut juga. Ia menghisap mulutku dan ia sangat panas mainnya. Ia sangat ahli dalam frenchkiss. Aku pun meraba dadanya yang ternyata tak memakai bra, aku bisa merasakan putingnya mengeras. Sarungnya aku lepaskan hingga jatuh ke lantai. Ia pun menarik kaosku ke atas dan menciumi dadaku yang bidang. Ia mengusap-usap dadaku dan menciumi dadaku hingga ke perut, lalu ia buka celanaku. Burungku langsung melompat keluar saat ia menurunkan celana dan CD-ku. Ia berhenti sejenak.

"Pantas mbak Nur suka sama mas, ininya gedhe banget, aku sudah horni banget mas, maaf ya mbak Nur," kata Dian. Ia pun melahap penisku, dikulum dan disedot. Dimainkan kepala penisku. Mendapat perlakuan ini aku pun memegangi kepalanya dan memaju mundurkan penisku. Dian sangat ahli sekali. Tidak butuh waktu lama untukku bisa menarik bajunya ke atas, ia sekarang sudah tak memakai baju lagi. kepalanya maju mundur sambil melirik ke arahku yang mengamatinya. Ia bahkan terkadang melakukan deep throat. Yang membuatku makin melayang. Setelah aku beri kode ia untuk berbaring di sofa ia pun menghentikan oralnya. Ia menarikku kemudian terjadilah pergumulan di sofa. Aku memastikan kalau dadanya ukurannya hampir sama seperti Nur, tapi lebih kecil sedikit dengan puting yang sudah mengeras seperti kacang berwarna coklat.

"Ohh...mas...puasin aku mas," katanya. Tanpa dikomando aku sudah menyusu kepadanya. Menghisap dan memainkan puting susunya sambil meremasnya bergantian. Dian menggelinjang dan memeluk leherku. Tanganku yang lain sudah mengobok-obok vaginanya. Kuusap-usap bibir memeknya, lalu jari tanganku leluasa masuk ke dalam lubangnya yang udah basah, sisa-sia mastrubasinya tadi.

"Ohhh...mass...baru kali ini ada jemari lelaki lain masuk di sana," katanya. Aku gesek-gesek sambil kumainkan buah dadanya yang berwarna putih itu.
Kemudian aku naik ke lehernya, lalu menyusuri pipi dan kugigiti telinganya.
Hal itu membuatnya makin terangsang ia pun mengigiti telingaku. Aku lalu ke
bawah, dan kuciumi perutnya, selakangannya, pahanya, kemudian kulahap juga itu bibir memeknya yang berwarna pink kecoklatan.

"Ahhkk...enak mas, enak...ahhkk terus..!!" katanya. Kuhisap dan kuemuti bibir
memeknya, lalu lidahku menyapu sampai ke ujungnya dan kutemukan daging
menonjol. Klitorisnya itu bisa kurasakan dengan lidahku, ujung lidahku
merasakan asinnya lendir kewanitaannya yang terus memancar setiap kali aku mengusap-usap klitorisnya. Pantat Dian terangkat dan ia terus-menerus
mendesis.

"Udah mas, udah...Dian mau keluar...mau keluar...jangan digituin...geli...geli
mas...udahh...aduuuuhh....pipis deh...mas nakaaal..memek dian basah
deh....aaaahkk!" Dian menggelinjang hebat dan mengangkat pantatnya
tinggi-tinggi. Aku biarkan ia sejenak. Dian meringkuk seperti bayi. Sesekali pantatnya maju mundur sendiri. Ia seperti ulat kesetrum. Matanya memejam erat, bibir bawahnya digigit dan tangannya memeluk lututnya. Aku siapkan senjataku sekarang. Ia tak kuijinkan berlama-lama menikmati orgasmenya. Aku lalu mengatur posisi. Lututnya aku angkat sampai ke pundaknya, buah dadanya aku atur hingga ia seperti menjepit dadanya sendiri. Dengan begitu memeknya terlihat jelas. Aku bertumpu pada lututku, kemudian penisku cukup aku tekan sedikit dan masuk begitu saja. Tapi...ada sesuatu yang aneh. Di dalam sana penisku seperti merobek sesuatu. BRETT...!!

Mata Dian terbelalak. Ia menatapku agak berkaca-kaca, mulutnya ternganga. Ia melingkarkan tangannya ke leherku. 
"Mass...perih...," katanya.
"Lho, kamu masih gadis?" tanyaku.
"Tidaklah mas, sudah dipake koq," jawabku.
"Lha trus ini?" tanyaku.
"Aku tidak tahu, mas Joko penisnya kecil, ndak sampe penuh masuknya. Aku juga kaget lihat penis mas segitu, ndak tau tapi aku kerasa perih," jawabnya.
Mungkinkah penis suaminya ndak sampai merobek selaput daranya? Kalau iya, ini rejeki yang langka. Aku lalu menggoyangnya pelan-pelan. Tarik, tekan, tarik, tekan. Biar ia tak terlalu sakit dulu.

"Yang cepat aja mas, ndak apa-apa!" kata Dian.
Aku pun mengikutinya. Kupompa agak cepat. Dian pun bereaksi. Ia mengeluh, menggelinjang. Matanya terpejam, bibirnya menggairahkan sekali, berkali-kali aku menghisapnya. Wajahnya meringis seperti kesakitan padahal ia terasa nikmat. Memeknya benar-benar meremas-remasku dan menyedot-nyedot seperti vakum. Sepertinya Dian ini benar-benar masih gadis, aku tak peduli. Hal ini membuatku makin kepingin cepat keluar saja.

"Dian...keluar nih," kataku.
"He-eh mas, keluarin aja...barengan yuk," katanya.
"Ohh...Dian...kamu sexy sekali, mas kepengen ngentotin kamu
terus...keluar..kkellluuuaaarr!!" aku menjerit.
Dian pun menjerit, "Maasss....aaahhkk!"
Spermaku pun tumpah di rahimnya. Ia memelukku erat untuk beberapa saat hingga kemudian ia lemas. Aku lalu menarik penisku. Saat itulah aku melihat sesuatu yang aneh. Cairan sperma yang meleleh dari lubang memeknya bercampur bercak darah. Ia beneran masih gadis ternyata. Lha trus? Sebesar apa sih penis suaminya sampai ndak bisa menjebol milik istrinya sendiri??

Untuk beberapa saat kami terdiam. Dian sedang menikmati multiple orgasmenya. Tampak wajah kepuasan terpancar dari wajahnya.  "Mas, makasih ya, udah nemenin aku malam ini," katanya. Ia pun kemudian
bangkit dan melihat bercak darah bercampur sperma di sofanya. Diambilnya
tissue lalu dibersihkannya noda itu.

"Koq bisa kamu masih perawan?" tanyaku.
Ia kemudian memelukku sambil bercerita. Ceritanya sih ia dan suaminya sudah pacaran lama. Dan setelah menikah ia baru tahu kalau penis suaminya kecil. Meskipun kecil, mereka pun bisa koq terpuasi di ranjang. Malam pengantin mereka lewati seperti layaknya suami istri. Memang awalnya sakit banget ketika penis suaminya masuk. Tapi tidak seperti teman-teman wanitanya yang bercerita kalau malam pengantin itu sakit ketika selaput daranya robek. Namun robeknya seperti apa Dian tidak tahu. Yang jelas awal dimasuki memang perih, setelah itu ia terbiasa. Namun entah kenapa ketika baru saja melakukan denganku rasanya perih banget sampai merasa ada yang robek. Aku menduga suaminya memang tidak pernah merobek selaput daranya. Ketika ia memberitahu ukuran penis suaminya aku pun terkejut. Sangat kecil, seperti penisnya anak kecil. Dian memang heran karena ketika ia lihat bokep sendiri bule-bule punya penis besar. Awalnya ia tak protes, karena mungkin rata-rata orang Indonesia sama bule berbeda. Tapi ia baru sadar ketika melihat penisku ternyata punya suaminya jauh lebih kecil. Ia pun bercerita karena suaminya jarang dirumah ia seperti jablay.

"Oh begitu ceritanya, kenapa ndak dibawa ke dokter aja tuh, biar penis suamimu gedhe?" tanyaku. "Orangnya kolot mas, ia biasa-biasa saja punya penis sebesar itu. Seperti ndak ada beban," katanya. Dian kemudian memain-mainkan penisku. "Aku jadi ketagihan ama punyamu mas, gimana nih?"

Ia mengusap-usap kepala penisku dengan telunjuknya. Penisku otomatis berdiri lagi.  "Kalau mau, tiap ada kesempatan boleh koq," jawabku. 
"Maaf ya mbak Nur, tapi penis suamimu emang menggoda, mmuuuacchh...," ia mencium penisku. Aku remas dadanya lagi. Kami berpanggutan. Libido kami naik lagi. Kali ini Dian jongkok di atas tubuhku. Ia duduk di atas penisku. Sengaja tak dimasukkan, hanya digesek-gesek. Sepertinya ia sedang mengujiku. "Enak mas, kalau diginikan?" tanyanya.

Aku yang bersandar disofa ini segera menyusu kepadanya. Kuremas-remas
pantatnya dan tanganku satunya mengarahkan penisku ke lubang memeknya. Dan SLEB....
"Aww...aww..mass...ohh...," keluhnya.
Pantat Dian naik turun memompa penisku.
Aku tahu pada posisi ini wanita lebih cepat keluarnya. Aku tetap sabar untuk bisa memberikan kepuasan kepadanya. Buah dadanya naik turun, kadang-kadang menampar-nampar bibirku. Aku jadi gemas sehingga memencet dan menghisap puting susunya dengan mulutku. Ia kelonjotan dan makin beringas. Tak hanya naik turun, ia juga memutar-mutar pantatnya.

"Mas, koq cepet keluar ya? Aduh...udah mau keluar lagi....aahhhhkk," Dian
menghentikan aktivitasnya. Ia benamkan penisku dalam-dalam ke rahimnya. Ia memelukku erat seperti orgasmenya tadi. Perlahan-lahan aku mencabut senjataku. Kubimbing Dian untuk menungging di sofa. Ia mengerti apa yang aku inginkan. Aku berdiri dan pantatnya diangkat. Kubuka kakiku untuk menyesuaikan tingginya. Lalu kuarahkan pionku menuju sarangnya. Dengan satu sentakan ia mengeluh dan menengadahkan kepalanya.

Pantatnya kusodok berkali-kali. Sensasinya nikmat sekali. Sesekali aku meremas toketnya yang bergerak naik turun seiring goyanganku itu. Rambut Dian sudah awut-awutan. Tangannya bertumpu kepada sofa, sesekali sofa di ruang tamu itu terdorong karena hentakanku.

"Mas, mentok mas, penis mas kerasa penuh," katanya.
"Memekmu juga, rasanya enak," kataku.
"Aduhhh...enak mas, mas...ahhh....ohh."
Aku percepat goyanganku. PLOK PLOK PLOK PLOK, suara pantat Dian beradu dengan selakanganku. Kepalanya menggeleng-geleng, ia tampak merasakan nikmat yang luar biasa.
"Mas...Dian mau keluar lagi," katanya.
"Aduuh....enak mas..masss...udah mas..Dian ndak kuat...Dian...keluar lagi."

Aku pun begitu, kurasa penisku udah siap menyemburkan laharnya lagi. Dan
benarlah. Kupercepat goyanganku, "Aku juga nih...mau keluar lagi."
Aku lalu menarik kedua lengannya ke belakang dan pantatnya aku goyang. Makin lama makin cepat dan keluarlah laharku. Dian pun menangkat wajahnya ke atas. Ia mendongak dan matanya memutih. Penisku seperti disiram cairan hangat. Ia sudah orgasme. Kami berbarengan, ia kemudian ambruk, penisku langsung keluar begitu saja ketika ia ambruk ke atas sofa. Tampak leleran lendir panjang terbentuk ketika kedua kelamin kami berpisah. Beberapa cairan spermaku sisa-sisanya masih menetes dan jatuh di atas pantatnya. Aku juga lemes banget.

"Mas hebat, pantas mbak Nur sayang banget ama mas," katanya.
Aku melihat jam dinding, sudah jam 2 pagi. Berarti kami cukup lama bercinta.
"Boleh nih, pinjam kamar mandinya dulu," kataku. Ia mengiyakan. Aku lalu membersihkan diriku. Biar ndak disangka macam-macam kalau balik ke pos ronda. Setelah itu aku keluar kamar mandi tampak Dian sudah berpakaian dan membersikan sisa-sisa sperma yang tumpah ke sofa. Ia juga menyemprotkan wewangian biar ndak ketahuan suaminya kalau ada sperma tumpah di situ.

"Udah ya, mau balik," kataku.
 "Ntar bapak-bapak curiga malahan."
"Iya, mas. Makasih ya," katanya.
"Kalau boleh, mas main lagi ya? Tapi jangan sampai mas Joko tahu."
"Iya deh, bisa diatur," kataku.
Aku pun mencium bibirnya sebelum keluar rumahnya.

Setelah itu aku pulang sebentar mengambil jaket dan sarung. Nur tampak
tertidur sambil menjaga anakku. Aku mencium keningnya sebentar. "Koq udah pulang mas?" tanya Nur tak curiga.
"Ngambil jaket dan sarung. Dingin banget soalnya," kataku.
"Ohh...ya udah," katanya.

Sekembalinya ke pos ronda, bapak-bapak meledekku lagi.
 "Nah iya kan, lama banget baliknya."
Kami pun akhirnya nonton bareng sampe subuh. Lalu kembali ke rumah
masing-masing. Pagi itu aku tidur sampe siang. Untungnya istriku pengertian
banget karena mengira aku memang beneran nonton bareng ama bapak-bapak. Di kamar aku terkapar karena kelelahan habis main sama Dian. Aku tahu paginya Dian sudah ke rumahku untuk membantu-bantu istriku. Hanya saja, siangnya ada sesuatu yang aneh. Penisku geli banget. Seperti ada sesuatu yang menggelitikinya. Aku kira itu Nur. Mataku masih terpejam. Mungkin Nur sudah kangen karena beberapa waktu ini kita memang tidak main. Semenjak setelah nifasnya selesai lebih tepatnya. Aku biarkan saja. Penisku dikocok-kocok, lalu setelah itu diemut. Diputar-putarnya kepala penisku dengan lidah. Setelah itu testisku disedot-sedot. Kemudian dijilatlah dari pangkal hingga ujung. Kemudian batangnya disedot dan diciumi. Setelah itu dimasukkan ke mulutnya hingga mentok. Aku bisa merasakan itu dari nafas hidungnya yang hampir menyentuh perutku. Aku jadi bingung, Nur ndak mungkin melakukan ini, sebab mulutnya terlalu kecil dan ia tak pernah melakukan deep throat kecuali.....

Mataku lalu terbuka, aku melihat Dian tampak mengoral penisku.
"Dian?" aku terkejut.
"Udah bangun mas? Enak nda?" tanyanya.
"I...iya, Nur dimana?" tanyaku.
"Dia sedang ke puskesmas, imunisasi katanya.
Takut bangunin mas jadi dia pergi sendiri," katanya.
"Lha trus kamu? Nanti ketahuan lho," kataku.
"Nggaklah, mas. Aku tahu koq sudah kuatur. Aku kangen ini soalnya," katanya sambil mengocok penisku.
"Tapi...,"
"Udah, deh. Pake toket aja ya?" katanya.
Ia lalu membuka bajunya, kemudian branya, tampaknya buah dadanya menggantung bebas. Ia lalu berbaring di atas kakiku dan memposisikan penisku dijepit oleh bukit kembarnya. Ouuhh...nikmat. Penisku dipijat-pijat, ia sesekali menghisap dan menciumnya. Penisku makin tegang dan mau muncrat.

"Dian, udah aku mau keluar...ooouuuhhhh....!!" aku menjerit tertahan. Dian
malahan mempercepat kocokan toketnya. Maka menyemburlah air maniku. Tumpah semuanya di dada dan sebagian ke lehernya. Ia tertawa menyaksikan ini.  Setelah penisku lemas ia meratakan spermaku di dadanya. Kemudian ia menghisap penisku dan menjilati sisa-sisa spermanya. Penisku ngilu banget. "Udah ya,hihihi," ia cekikikan lalu meninggalkanku yang ngerasain penis ngilu.

BAB 7
****************
TETANGGAKU ISTI

Sebenarnya hubunganku dengan Nur masih baik-baik saja. Dia adikku sendiri, dan aku tak bisa meninggalkannya. Dian dan aku melakukannya sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan Nur. Nur sangat mencintaiku, aku tahu itu. Kami pun masih berhubungan seperti layaknya suami istri dan masih hot di atas ranjang. Tapi aku mengakui kalau permainanku dengan Dian hanyalah atas dasar kebutuhan saja. Dian juga tahu kalau aku sangat mencintai istriku dan sangat menghormati istriku.

"Mas, aku hamil," kata Dian.
"Hah? Yang bener?" tanyaku. "Trus, suamimu bagaimana?"
"Dia seneng banget, tapi aku jamin koq ini anak mas," katanya.
"Koq kamu bisa yakin?" tanyaku.
"Jelas dong, yang sudah menjebol keperawananku cuma mas, dan mas sering nyemprot di rahimku. Jadi deh," katanya. "Tahu kalau aku hamil mas, dia seneng banget. Dia sombong banget, sampe bilang, 'Aku perkasa juga'. Padahal dalam hati aku ketawa."
Kami berdua tertawa.
"Trus gimana dong?" tanyaku.
"Jangan khawatir, ini rahasia kita. Aku akan pelihara anak kita. Ya walaupun
nanti manggilnya bukan papa ke mas. Rahasia ini akan tetap kita jaga hingga
entah kapan. Aku suka sama mas, aku cinta, tapi aku masih harus menghormati suamiku," jawab Dian.
"Nanti kalau anakku mirip denganku gimana?" tanyaku.
"Ndak bakal deh, semoga aja ndak. Kalau mirip ya biarin," jelasnya sambil
ketawa.
"Tapi biasanya anak mirip ibunya koq, kalau mirip ayahnya ya...ndak tau juga."
"Kalau misalnya nanti suamimu tahu bagaimana?" tanyaku.
"Yah, itu sudah nasib berarti. Masnya sendiri gimana, mau nerima aku?" tanyanya. Aku terdiam sebentar, "Harus ijin istri dulu, dan kamu mau menerima aku apapun kekuranganku."
Dian tersenyum. "Susah juga ya, pastinya mbak Nur ndak bakal mau.
Soalnya ia sangat cinta banget sama mas. Kalau misalnya ndak bisa pun tak mengapa. Aku bahagia banget bisa punya anak dari mas. Aku jadi simpanan mas pun aku rela koq. Sementara ini dijalanin dulu aja. Yah, semoga aku bisa dapat anak juga dari suamiku. Masa' mas terus yang ngasih benih."

Aku tersenyum dan kami pun berpelukan.
"Untuk terakhir kalinya, boleh dong mas bercinta denganku malam ini, please," rayunya.
"Aku tak bisa mbak, aku harus ke rumah istriku yang satunya," kataku.
"Oh iya, aku lupa kalau mas poligami," katanya.
"Istrinya berjilbab semua ya, aku nggak. Pastinya susah kalau mereka semua menerima aku."
"Siapa tahu, semuanya tergantung dari mbak Dian koq," kataku.
"Mumpung Nur, masih ke pasar. Kita bercinta cepat yuk mas, terus terang aku sudah horni banget, gatel banget," katanya. Ternyata nafsu Dian ini besar
banget.

Saat itu kami berada di dapur. Aku buru-buru membuka resleting celanaku,
menurunkan celanaku dan Dian berpegangan di wastafel. Ia melihat ke jendela sambil mengamati kalau-kalau ada yang masuk ke rumah. Jendela dapur kami ditutup oleh korden tipis, kalau dari luar tak kelihatan tapi kalau dari dalam bisa melihat keluar. Aku langsung menurunkan hot pants Dian, lalu kumasukkan penisku yang sudah tegang juga. Disiram oleh pelumas Dian, penisku langsung on 100%. Aku pun menyodoknya.

"Ohh...mass...enak banget. Ini yang Dian suka, berjanjilah mas jangan lupakan aku!" katanya. "Tidak bakal Dian, ohh...enak banget memekmu," kataku. "Kontol mas, enak banget, gurih...aahh...memekku penuh rasanya," rancaunya.

Aku menggoyangkan pantatku maju mundur. Dian merem melek, sambil sesekali melihat pagar rumah. Aku pun percepat goyanganku takut kalau Nur pulang. Dan Dian melihat Nur sampai di pagar. "Mas, ada mbak Nur!" bisiknya. Aku percepat goyanganku.
"Udah mas, udah...! Ntar ketahuan!" bisik Dian.
Tanggung penisku udah mau keluar, aku pun tuntaskan sekalian.
"Dikit lagi, aku keluar. Ohhh....Diann...hhhmmmhhh,"
Kuremas toketnya kuat-kuat saat spermaku menyembur keluar membasahi rahimnya. Pantatku menghujam beberapa kali. Nur tampak disapa oleh tetangga kami, ia kemudian meletakkan kresek belanjaannya di teras kemudian kembali ke luar rumah untuk berbicara ama salah seorang ibu-ibu komplek.

Dian lega banget, aku mencabut penisku. Lahar putih spermaku mengalir ke
pahanya. Ia mencari-cari tissue dan membersihkannya kemudian kami berpakaian lagi. Sex tercepat yang pernah aku lakukan. Ini adalah terakhir kalinya aku bersenggama dengan Dian, karena setelah itu ia
lebih menjaga kehamilannya dan melayani suaminya. Hubungan kami setelah itu adalah seperti tetangga biasa. Bahkan setelah anaknya lahir yang memang sedikit mirip aku, tapi lebih banyak mirip ibunya, kami tak pernah melakukan hubungan itu lagi. Suaminya makin sayang kepadanya dan sekarang berkat nasehatnya suaminya mau terapi biar penisnya lebih besar lagi. Dan sampai saat itu ia tak pernah curiga. Tak tahu nanti seperti apa.

Setelah hubungan panas kami di dapur itu. Aku pun kemudian pergi ke rumah Kak Vidia. Sekarang ini sudah hampir lahiran. Aku menjadi suami siaga. Kak Vidia makin merindukanku. Orang hamil besar biasanya lebih horni. Dan benar, setiap kali aku berkunjung ke rumahnya, Kak Vidia pasti bercinta denganku. Apalagi aku suka sekali sekarang susunya sudah keluar. Aku bisa menyusu kepadanya seperti bayi sekarang. Dan ia sangat terangsang karena perlakuanku kepada putingnya itu. Ia sampai bilang, "Kalau nanti dedeknya lahir, kayaknya papah bakal ada saingan nih. Ini aja nyusunya kayak orok."

Sama seperti Nur, kak Vidia punya tetangga juga. Sudah punya anak satu.
Namanya Isti. Umurnya hampir sama seperti bunda. Anaknya udah kelas 4 SD. Suaminya sendiri bekerja di sebuah perusahaan besi baja di luar kota. Pergi hari Senin, pulang pasti hari sabtu. Dan mereka berkumpul hanya pada hari sabtu dan minggu. Ada juga tetanggaku yang sering mengunjungi kami selain Isti, namanya Erna. Pekerjannya adalah SPG di salah satu mall, walaupun berjilbab, tapi jilbab yang dipakai masih terbilang sexy. Tapi itu ceritanya nanti.

Aku saat itu masih di toko ketika Kak Vidia sudah kontraksi, untunglah
tetangga kami bernama Bu Isti ini bisa membantu. Dipanggil taksi kemudian
pergi ke rumah sakit. Mendengar kabar itu aku segera pergi ke rumah sakit
bersama bunda. Tentu saja bunda sangat senang karena ia akan punya cucu. Ia pergi dengan perut buncit, cikal bakal anakku, dan juga cucunya tentunya. Di rumah sakit aku pun langsung masuk kamar bersalin dan mendampingi kak Vidia. Kami bahagia sekali ketika sebuah kepala nongol, lalu disusul tubuhnya yang lain. Kami bersyukur lahir normal tanpa cacat. Anaknya laki-laki. Aku kemudian menamainya Zahir. Bunda bahagia sekali punya cucu baru. Nur juga bahagia, ia kuberitahu ketika Kak Vidia lahiran. Ia langsung pergi ke rumah sakit. Wajah anakku ini mirip denganku, bahkan Kak Vidia mengatakan, "Papah kecil."
 
"Setelah ini kita pake pembantu aja ya?" usulku ke Kak Vidia.
"Iya deh mas, kalau bunda membantu juga ndak bakal bisa kayaknya ya bund?" kak Vidia menoleh ke arah bunda. Tampak anakku sedang menggeliat-geliat mencari puting susu istriku. Lalu ia pun menyusu.

"Bunda masih kuat koq, masa' sudah ngelahirin 3 orang anak cuma bantu gini
saja ndak kuat. Bunda udah biasa," katanya sambil mengedip ke arahku.
"Ya sudah, kalau begitu kak Vidia tinggal di rumah bunda aja ya?" kataku.
"Trus, rumahnya bagaimana?" tanya Kak Vidia.
"Ya nggak apa-apa kan? Ditinggal sementara waktu, Kan ndak lama sampai nifasmu selesai baru balik lagi ke rumah. Sementara ini kan kamu masih lemes," kataku.
"Iya deh pah," kata kak Vidia. "Tetapi minta tolong dong, itu kayaknya ada
atap yang bocor. Papah bisa benerin nggak?"
"Di sebelah mana?" tanyaku.
"Di kamarnya dedek, yang udah kita siapkan itu. Coba deh dibenerin dulu, ntar dedek kalau bocor kamarnya pas hujan kan kasihan," katanya.
"Iya, iya, nanti aku cek," kataku.
"Haii Zahir, lucunya. Tuh Laila, itu sepupu Laila, namanya Zahir," anakku
tampak matanya yang bulat mengamati Zahir sambil mengoceh entah bahasa apa. Kami semua tersenyum melihat tingkah polah anak bayi ini. Bunda lalu mencium Laila karena gemes.

Dua hari kemudian aku ke rumah Kak Vidia untuk benerin atap yang bocor. Aku menyewa tukang untuk benerin. Saat itulah Bu Isti menyapaku.
"Gimana mas, lahirannya?" tanyanya.
"Cowok bu," jawabku.
"Waahh..selamat ya, namanya siapa?" tanyanya.
"Zahir Putra Pratama," jawabku.
"Alhamdulillah kalau begitu," katanya. "Mau renovasi mas? Koq ada tukang
segala?"
"Iya, atap bocor," tukasku.
"Mbak Vidianya ke mana? Ke rumah orang tua?" tanyanya.
"Iya, sementara tinggal di sana dulu," jawabku.
Aku pun kemudian ngobrol ngalor ngidul ama tetanggaku ini. Mulai dari
pendidikan, keluarga hingga tempat tinggal. Bu Isti memang tak punya teman
untuk diajak bicara di rumah, makanya itu ia sering cerita sana-sini dengan
ibu-ibu tetangga yang lainnya.
Ternyata atap bocor karena ada genteng yang retak serta talangnya bocor.
Kurogoh kocek untuk membeli apapun yang dibutuhkan oleh tukang. Udah siang hari dan aku belum makan siang.

Bu Isti menyapaku lagi, "Udah makan siang belum mas? Nih buat tukangnya." Ia membawa nampan berisi gorengan dan kopi.
"Waduh bu, merepotkan saja," kataku.
"Nggak apa-apa, lagian kasihan tuh mas-mas tukangnya masa' ndak dikasih
minum?" tanyanya.
"Itu udah ada di dalem," aku menunjuk satu dus minuman ringan dan beberapa potong kue.
"Ini tambahan, mas Doni kalau laper makan di rumahku gih," ajaknya.
"Gimana ya?" aku agak ndak enak.
"Nggak apa-apa," katanya.
Aku pun mengangguk. Aku menerima nampannya lalu kuletakkan di meja di dalam rumah. Sementara para tukang bekerja istirahat dulu sambil menikmati suguhan kami. Aku pergi ke tetangga sebelah. Bu Isti langsung mempersilakan masuk. Anaknya tampak sudah pulang dan sedang menonton tv. Anaknya seorang cewek namanya Luna. Melihatku masuk ia tampak senang sekali.

"Om? Boleh ya main ke rumah Om seperti kemaren?" tanyanya.
"Ya...boleh-boleh aja," jawabku. Ia suka menonton home theater yang aku punya di rumah. Bahkan terkadang ia main ke rumahku cuma untuk menyetel film kesukaannya dengan DVD. Karena tv-ku besar, makanya ia sangat suka sekali kalau nonton tv di rumahku.
"Hush,...ndak boleh seperti itu," kata Bu Isti.
"Ibu, kan om bolehin," katanya.
"Iya koq boleh, ndak apa-apa, tapi harus juga belajar ya? Ndak nonton terus," kataku. "Agak nanti ya, soalnya rumah Om masih dibenerin."Ia setuju.

Aku pun akhirnya makan siang di rumah Bu Isti. Orangnya ramah dan masakannya juga enak. Setelah kenyang aku pun akhirnya pulang. Pekerjaan tukang sudah selesai.

Malamnya Luna main ke rumahku. Ia pun akhirnya menyetel kaset DVD
yang ia bawa. Banyak banget. Bu Isti mengijinkan asal jangan lupa untuk
pulang. Aku masih di rumah itu sambil sesekali beres-beres dan bersih-bersih rumah sampai malam. Dan itu si Luna betah saja nonton. Sampe akhirnya ia tertidur di sofaku yang nyaman. Waduh aku bingung juga mau bangunin. Akhirnya kubiarkan saja. Saat itu Bu Isti datang ke rumahku. Untuk mengajak Luna pulang.

"Udah tidur bu," kataku.
"Waduh trus bagaimana mas?" tanyanya.
"Biarin aja tidur di sini, sudah saya selimuti koq," kataku.
"Maaf kalau merepotkan," katanya. "Ya sudah, aku tinggal dulu deh kalau
begitu, kalau nanti ia bangun suruh pulang ya mas?" Aku mengangguk.

Tapi tampaknya Luna tak bangun-bangun juga, mungkin karena capek atau sofaku terlalu nyaman. Dan sudah pukul 10 malam. Perumahan ini memang sepi kalau jam segini. Bu Isti pun datang lagi. Aku saat itu masih membuka pintu dan duduk di teras. "Belum bangun juga mas?" tanya Bu Isti.
"Belum bu, kalau ndak keberatan Bu Isti tidur di sini saja," kataku
menawarkan.Ia agak ragu. "Tapi nanti dilihat tetangga ndak enak mas."
"Tetangga yang mana bu, wong perumahan sepi seperti ini koq," kataku.
"Kalau mbak Erna sih sekarang malah belum pulang dari mall. Saya juga ndak enak kalau bangunin Luna."
"Ya udah deh, makasih tawarannya," katanya.
Awalnya aku tak ada niat untuk punya pikiran ngentotin dia.
Akhirnya ia pun masuk rumahku. Karena sudah malam aku menutup pintu.
"Bu Isti tidur di kamarku saja, saya mau tidur di bawah, maaf kalau cuma punya satu tempat tidur. Soalnya yang satunya lagi tempat tidur bayi" kataku.
"Ndak mas, saya tidur di bawah aja dekat Luna," katanya.
"Jangan, ntar kalau Bu Isti sakit saya yang bingung," kataku.
Bu Isti kemudian terdiam sejenak. "Ya udah deh mas, gini aja kita tidur
seranjang tapi jangan berdempetan ya?"
"Wah, nanti bisa berabe bu, takut saya," kataku.
"Saya juga bingung, soalnya kebiasaan saya biasa ngelonin Luna dan takut tidur sendirian di rumah, gimana ya?..." Bu Isti tampak khawatir.
Aku pun berpikir keras. Hingga akhirnya. "Ya udah deh, kita tidur seranjang.
Tapi ndak berdempetan. Misalnya nanti kalau sampai kelewat batas, saya tak
tanggung jawab lho ya?"
"Emangnya kelewat batas seperti apa mas?" katanya sambil tersenyum.
"Ya, ibu tahu sendiri," jawabku. Bu Isti tertawa kecil. "Iya, iya, ibu tahu koq. Mas Doni ini paling setia sama istrinya."

Akhirnya kami pun beneran tidur seranjang. Ada sesuatu yang unik. Sebelum
tidur Bu Isti melepaskan bra-nya ia bilang biar ndak sakit kalau tidur. Dan
kami pun tertidur saling membelakangi. Aku memang bisa tidur bahkan terlelap selama beberapa jam, hingga kemudian hawa dingin mulai masuk melalui angin-angin yang ada di kamar.

Secara tak sengaja aku dan Bu Isti berpelukan. Aku tak sadar dan dia tak
sadar. Wajah kami bertemu kedua tangan kami saling merangkul. Bibir kami pun bertemu secara tak sengaja. Dan kami terbangun. Kami kaget dan saling
membelakangi lagi.
"Maaf, mas," katanya.
"Maafkan saya Bu, ndak sengaja," kataku.
"Saya juga," katanya.

Setelah itu kami terdiam. Aku tahu kami sama-sama tidak bisa tidur setelah
itu. Sementara itu hawa dingin makin menusuk. Sialnya juga aku cuma punya satu selimut dan itu sudah aku berikan ke Luna. Ia pasti hangat dengan selimutnya. Aku menggigil.
"Mas, maaf apakah mas ngidupin AC kamar? Tolong matiin dong!" katanya.
"Saya ndak punya AC bu, ini memang hawanya dingin," kataku.
Kami terdiam lagi.
"Mas ndak punya selimut lagi?" tanyanya.
"Tidak bu, udah dipakai oleh Luna," jawabku.
Kami terdiam lama sekali, aku makin menggigil.
"Maaf, ibu kedinginan. Mas Doni kedinginan juga kan? Kalau boleh kita berpelukan biar hangat, sekali lagi maaf," katanya.

Akhirnya tanpa berpikir panjang lagi aku memeluknya dari belakang.
CESSSS...rasanya. Jantungku berdebar-debar. Dan aku bisa rasakan jantung Bu Isti juga berdebar-debar.
"Saya punya sarung bu, buat ibu kalau mau," kataku.
Kemudian aku mengambil sarung dari lemari, Bu Isti bangun lalu menerimanya. "Tapi buat mas apa?" tanyanya.
"Saya ndak apa-apa," jawabku.
"Kita satu sarung saja mas, dingin banget hari ini," katanya.
"Maklum kita kan ada di kota M, makanya dingin apalagi ini pegunungan."
Aku pun tak bisa berpikir panjang lagi, kami pun satu sarung. Saling
berpelukan. Tubuh Bu Isti masih bagus. Dadanya masih kencang, kulitnya juga masih halus. Walaupun mungkin perutnya sedikit buncit. Aku memeluknya dari belakang, Kami sudah pakai dua sarung. Sebagian menutupi kaki kami, sebagian lagi badan kami. Sudah mulai hangat. Namun ternyata penisku tak bisa diajak kompromi. Karena terus menekan pantat Bu Isti akhirnya tegang juga.

"Mas, ada yang keras," kata Bu Isti.
"Maaf bu, saya juga lelaki. Wajar kalau begini," kataku.
"Iya, saya tahu. Keras banget tapi," katanya.
"Mas Doni sering main sama istrinya?"
"I..iya, kenapa bu?"
"Pantes saja, istrinya takluk begitu," jelasnya.
Entah siapa yang memulai, kini mulutku yang ada di tengkuknya sekarang
menciuminya. "Bu Isti, maaf, tapi saya ndak tahan lagi bu. Saya kepengen bisa menjinakkan senjata saya ini. Udah kepingin," kataku.
"Saya ngerti koq mas, ibu juga kepengen," katanya. Ia lalu berbalik di dalam
sarung yang sempit ini. Kami lalu berciuman. Tangannya yang dingin kemudian menuju ke penisku. Ia mengelus-elusnya dari luar kolor. "Besar ya mas?"

Kami berpanggutan, panase kali, aku tak sabar meremas-remas dadanya. Akhirnya Kami duduk, kemudian saling melepas baju kami semuanya. Kemudian saling berpelukan di dalam sarung lagi. Dada kami bersatu. Mulut kami berpanggutan dan kemaluan kami pun bertemu. Tak kusangka Bu Isti ini sudah becek di bawah sana.

"Saya sudah becek dari tadi mas, mikirin kita seperti ini," kata Bu Isti.
"ohh..masss...puasin ibu...ibu sudah lama ndak begituan sama suami." Penisku langsung masuk begitu saja memeknya. Memeknya memang jarang dipakai, akibatnya agak seret waktu digesek. Hawa dingin yang menusuk ini, kini sudah mulai menghangat, karena pergumulan kami makin hot di atas ranjang. Kami saling menciumi, ia menghisap leherku, aku juga. Kuhisap puting susunya menonjol itu kuat-kuat. Dadanya masih kencang walaupun usianya sudah kepala 4. Aku menekan-nekan pantatku, hingga Bu Isti terdorong ke tembok. Posisi ini ternyata lebih cepat membuatku untuk ejakulasi. Demikian juga Bu Isti.

"Mas, Ibu mau keluar, soalnya geli banget," katanya. Mungkin juga karena hawa dingin yang membuat tubuh kami menggigil, karena itu membuat getaran-getaran tertentu yang merangsang testisku untuk cepat berproduksi. "Sama bu, enak banget," kataku. Kami pun sama-sama keluar. Spermaku tumpah di rahimnya. Kami kemudian berguling-guling di atas ranjang, dan aku menindihnya. Bu Isti dan aku berpandangan sesaat. Kemudian kami berpanggutan lagi. Setelah itu kami saling berpelukan erat untuk mengusir hawa dingin yang menusuk.  Boro-boro untuk tidur. Kami malah saling bicara.

Bu Isti terus terang kalau ketika pertama kali berkenalan sudah naksir aku,
tapi cuma dipendam saja. Ndak nyangka kalau berakhir di atas ranjang. Dan ia pun cerita kalau karena frekuensi bertemu dengan suaminya jarang, makanya ia susah mendapatkan kepuasan. Walaupun sudah lama hidup berumah tangga. Sessat kemudian kami punya energi lagi dan melanjutkan gairah ini. Aku sodok sekarang ia dari belakang sambil tetap berbaring di dalam sarung. Setelah orgasme lagi, aku mengulanginya lagi dari atas. Rasanya aku seperti menghianati Kak Vidia, karena bersenggama dengan orang lain di atas kasur kami.

Kami pun akhirnya tertidur kelelahan dan penisku serasa ngilu karena bercinta sampai 5 ronde malam itu. Paginya Bu Isti bangun duluan. Karena aku mendapati tidur sendirian dengan sarung. Aku bangun dan melihatnya berpakaian.  "Sudah pagi mas, makasih ya semalam," katanya. "Besok atau kapan-kapan diulang lagi. Ibu suka dengan ketahanan mas di atas ranjang." Kemudian kami berpisah dengan panggutan yang hot. Setelah itu ia membangunkan anaknya untuk pulang, karena Luna masih sekolah hari ini.

BAB 8
*************
TETANGGAKU ERNA

Kak Vidia pun kembali ke rumah. Dan Zahir anakku yang masih kecil itu sangat menggemaskan. Sama seperti Laila yang juga montok. Kak Vidia lebih
mencintaiku lagi. Kami lebih selalu bermanja-manja dengan kehadiran anak kami. Kami pun menyewa pembantu, namun Bu Isti menawarkan dirinya untuk menjadi babysitter. Karena kami sudah kenal baik, "tentu saja aku lebih baik lagi mengenal Bu Isti" maka kami pun mempersilakannya. Setelah bayaran disepakati, apalagi Bu Isti di rumah juga tak bekerja hanya menjaga Luna. Sehingga ketika pulang sekolah, Luna langsung bermain dan menjaga anakku. Jadi punya teman main. Sedangkan aku? Tentu saja harus menggilir istri-istriku yang lain. Jadi setiap hari tidak di rumah Kak Vidia.

Aku setelah malam dengan Bu ISti itu tidak lagi main dengannya lagi walaupun sekali. Aneh memang dan Bu Isti sendiri tak pernah mengajakku ataupun aku mengajaknya. Tapi setiap kali kami bertemu selalu pandangan kami penuh arti. Mungkin karena memang kita tidak punya kesempatan untuk melakukannya, sebab Kak Vidia selalu di rumah.

Suatu hari ketika anakku sudah usia 2 bulan dan sudah bisa tengkurap, saat
itulah satu-satunya kesempatanku untuk bisa bertemu dengan Bu Isti dan
satu-satunya kesempatan. Pak Joko sakit. Kerja shift malam membuatnya sakit paru-paru basah. Ia dirawat di rumah sakit untuk beberapa waktu sampai kondisinya membaik. Otomatis Bu Isti untuk sementara waktu tak bisa menjadi baby sitter anakku. Malah istriku yang jadi baby sitter untuk Luna, karena Bu Isti masih menunggui suaminya di rumah sakit.

Suatu pagi aku akan berangkat ke toko. Saat itulah istriku minta tolong, "Pah,
tolongin Bu Isti ya, berangkat ke rumah sakit, sekalian anterin anaknya ke
sekolah. Kasihan beliau udah banyak nolong kita."
"Oh, iya, ndak masalah," kataku.

Bu Isti pun diberitahu oleh istriku untuk barengan aja. Ia pun tidak menolak.
Sekolah Luna sebenarnya tidak jauh dari komplek. Lima menit saja sudah sampai dengan mobilku. Kemudian Bu Isti pindah duduk di sebelahku. Saat itulah kami pun ngobrol.
"Gimana kabarnya bu?" tanyaku.
"Baik-baik saja mas," jawabnya. "Masnya tanya kabar yang mana?"
"Suaminya sekarang sakit, bagaimana pelampiasannya?" tanyaku. Ia pun
mencubitku.
"Masnya ini lho, koq ya ngeres aja. Ntar kubilangin istrinya lho kalau genit-genit seperti ini," katanya.
Aku mengemudikan mobilku melewati tempat yang agak sepi. "Ya, Bu Isti sendiri bagaimana perasaannya setelah malam itu?"

Dia menarik nafas panjang. Aku menghentikan mobilku. Jauh dari keramaian.
Kanan kiri kami adalah perkebunan dan sawah. Jalanan ini 500meter ke depan barulah ada pemukiman.

"Mas, sebenarnya aku agak besalah sama suamiku," katanya. "Tapi, mas juga tak bisa aku lupakan. Karena tiap hari ketemu. Memang, ada rasa kepengen kalau ketemu sama mas. Tapi, aku ndak enak sama istri mas."

"Trus, kita bagaimana Bu enaknya sekarang?" tanyaku. Bu Isti mengusap pipiku. "Ibu masih mecintai suami ibu, tapi apau yang kita
lakukan kemarin, anggap saja sebagai kecelakaan. Ibu menyukainya, saya yakin kamu juga demikian. Kita kubur saja ini sebagai kenangan. Aku tak enak kepada istrimu dan menghancurkan rumah tangga kalian. Bagaimana?"

Aku terdiam dan menatap kesungguhan di matanya. Senyumannya menyungging. "Aku ingin mengajak Ibu ke sebuah tempat, kalau boleh?" kataku. Bu Isti bertanya, "Tempat apa?"
"Ada aja, boleh ya?" tanyaku.
Bu Isti agak ragu kemudian ia membolehkan. Aku punya tempat istirahat yang
baru saja aku beli setahun lalu. Tempat ini biasanya aku pakai kalau sedang
liburan. Tempatnya ada 1 jam perjalanan. Bu Isti tampak penasaran. Aku
merahasiakan tempat ini sampai kemudian kami sampai.

"Tempat apa ini mas?" tanyanya.
"Ini rumah istirahatku," kataku.
"Kaya' villa," gumamnya. "Ndak ada yang jaga?"
Aku menggeleng. "Tidak ada. Sementara ini tidak ada. Masih kosong, tapi
perabot-perabotannya sudah ada."
"Trus, tujuan kita ke sini buat apa?" tanyanya.
"Karena kita ingin menyudahi semua ini, aku ingin seharian ini kau menjadi
wanitaku," kataku.
"Oh..mas, trus nanti Luna gimana pulang sekolahnya? Aku juga harus menemani suamiku," katanya.
"Luna kan pulangnya ke rumahku, biasanya juga kan pulang sendiri. Nanti
sebelum sore kita sudah balik kuantar ke rumah sakit. Bagaimana?" tanyaku.
Bu Isti tersenyum. "Terserah deh mas."
Aku kemudian menggandeng tangannya. Kubuka rumah itu. Kuncinya selalu ada di mobilku. Begitu masuk, aku langsung memanggutnya, Bu Isti pun rasanya sudah tak tahan lagi. Ia langsung menyambutku. Kami pun melucuti pakaian kami. Aku langsung masuk ke kamar dan membopongnya ke tempat tidur. Setelah itu kami pun menghabiskan waktu sebaik-baiknya untuk bercinta. Aku tak menyia-nyiakan spermaku, kutumpahkan semuanya ke vaginanya. Berbagi gaya kami lakukan dan setelah itu rasanya tulang kami rontok semua setelah itu. Tapi kami mengumpulkan tenaga karena harus kembali lagi. Terus terang setelah bercinta hari itu, kami ada perasaan sedih. Dan komitmen kami adalah tidak melakukan hal ini lagi setelah ini.

Sorenya aku sudah kembali dan mengantarkan Bu Isti ke rumah sakit. Aku pun memberi alasan bertemu teman, untuk urusan bisnis karena itu tak ke kantor. Bu Isti pun memberi alasan mampir ke rumah temannya dulu untuk bantu-bantu karena ada pengajian.

Hari itu aku tak ke mana-mana, langsung pulang ke rumah Nur karena jatah hari ini ke tempatnya Nur. Aku langsung tidur dan istirahat, karena capek sekali. Untunglah Nur memijitiku ketika aku tidur, sehingga capekku bisa terobati.

****

Hari minggu, aku ke mall. Karena saat itu sedang ada tamu artis, mall sangat
ramai. Para muda-mudi sudah standby di depan panggung dan menunggu artis pujaannya. Kalau aku sih cuma belanja aja. Aku ke mall bersama bunda. Perutnya sudah besar, mungkin bulan depan udah lahiran. Kami belanja untuk kebutuhan bayi.

"Capek sekali bunda pah," kata bunda kepadaku.
Aku melihat ke sebuah stand pijat. "Mau pijit dulu bunda? Mumpung ada tuh."
"Ide bagus, istirahat dulu ya pah. Papah jalan-jalan dulu deh beli kebutuhan,
nanti temui bunda lagi di sini," katanya. Aku pun mengantarkan bunda ke tempat pijit itu. Tempat pijat itu memakai kursi pijat dan tampaknya sedang antri dari 5 kursi, masih dipakai. Bunda tak masalah, karena memang ia sudah capek berjalan. Aku pun pamit dulu untuk belanja.

Aku pun berjalan-jalan berbelanja sendiri. Saat itu aku melintasi sebuah stand
kosmetik. Aku sepertinya kenal dengan seseorang.
"Lho, mbak Erna?" sapaku.
"Eh, pak Doni. Apa kabar pak?" sapanya balik.

Ia adalah tetanggaku di rumahnya Kak Vidia. Saat itulah aku cukup cuci mata
dengannya. Ia pakai rok pendek, setengah paha, ia memakai blazer, dan stocking berwarna hitam. Rambutnya sebahu, bibirnya cukup sensual dan ia tersenyum manis kepadaku.
"Sama siapa pak? Koq sendirian?" tanyanya.
"Sama istri, masih di stand pijat. Ini sedang belanja buat si kecil," kataku.
"Oh, begitu. Ndak nyoba kosmetiknya pak? Buat nyonya?" tanyanya.
"Boleh deh, coba apa aja yang ada?" tanyaku.
Kemudian Erna menjelaskan segala hal tentang produknya. Bahkan aku pun disuruh untuk mencoba pelembabnya. Kami juga kadang sesekali bercanda.
"Gimana pak? Mau beli?" tanyanya.
"Wah, gimana ya?" aku bingung juga. Namun aku teringat tentang SPG-SPG yang gatel dan bisa diajak kencan. Apa mungkin Erna tetanggaku ini mau? Tapi kucoba aja deh, namanya juga iseng.
"Mumpung ada promo lho pak?" katanya.
"Aku bisa saja sih beli, tapi mungkin ada tambahannya," kataku sambil
tersenyum.
"Tambahan apa?" tanyanya.
"Aku ingin membayar lebih, itu kalau kamu mau sih," jawabku.
Erna penasaran, "Bayar lebih gimana sih pak?"
"Mungkin dengan kita kencan gitu," kataku dengan suara hampir tak terdengar. "Ih, bapak genit. Kubilang ke istrinya tahu rasa lho," katanya.

"Yah, ini beneran koq. Aku bisa beli beberapa produkmu. Kamu untung dan
tentunya aku juga untung. Toh kita tak ada ruginya. Gimana?"
Erna menggigit bibirnya, "Gimana ya...?"
"Udah berapa lama kamu di sini? Daripada ndak laku lho. Kalau setuju besok
kita ketemuan di sini jam seginian," kataku.
Erna tak menjawab. Aku pun lalu berjalan meninggalkannya.
Jual mahal dikitlah.
"Pak, pak tunggu!" panggil Erna.
Aku pun berhenti, lalu menoleh kepadanya.
"I...iya deh, beneran lho ya borong semua," katanya.
Aku mengangguk. "Kamu tahu nomor teleponku kan?"
Ia menggeleng. Kemudian aku memberikan nomor ponselku. Dan aku melanjutkan berbelanja lagi. Aku meninggalkan Erna dengan wajah yang menerawang jauh. Entah apa yang ada di pikirannya. Setelah berbelanja aku kembali ke tempat bunda. Ia sudah selesai ternyata dan kami pun pulang.

Esok sorenya. Sesuai janjiku aku menunggu Erna di tempat parkir. Ia pun
menelponku. "Bapak di mana?" tanyanya di ponsel.
"Di tempat parkir. Turun aja aku ada di pintu deket tangga koq," kataku.
Tak berapa lama kemudian ia muncul. Kali ini bajunya agak lain. Masih pakai
blazer dan rok mini tapi warnanya merah. Dan ia tak pakai stocking.
"Bagaimana suamimu?" tanyaku.
"Aku udah ijin koq, nginap di rumah temen," jawabnya.
"Kalau kamu tidak mau atau berubah pikiran, sekarang saja. Sebab aku tak mau ketika di tengah jalan nanti kamu berubah pikiran," kataku.
Ia menggeleng. "Aku siap koq pak."
"Ok, ayo!" aku pun mengajaknya ke mobilku. Di dalam mobil aku mencoba untuk meraba tangannya. Ia tak menolak. Bahkan tersenyum kepadaku.
"Kau sudah pernah seperti ini sebelumnya?" tanyaku.
"Sejujurnya, ini yang pertama pak," jawabnya.
"Yang bener? Trus kenapa koq mau?" tanyaku.
"Lagi kepepet pak," katanya.
"Panggil saja mas, saya masih belum 30 tahun koq," kataku.
"I..iya pak, eh mas..," katanya.
Aku memancingnya lagi, "Sekarang kita sudah masuk mobil. Kalau misalnya engkau berubah pikiran tidak mengapa."
Ia menggeleng. "Tidak apa-apa mas."
Aku pun kemudian mendekat kepadanya, ku sentuh wajahnya, kemudian aku tarik kepalanya untuk mendekat kepadaku. Bibirku pun maju menyentuh bibirnya. Aku kemudian menghisap bibirnya, mulutnya sedikit terbuka dan menerima lidahku masuk ke mulutnya. kami pun saling menghisap. Untuk beberapa saat ciuman itu membuatku yakin ia sudah siap.

"Aku ingin mengajakmu ke sebuah villa, jangan ke hotel," kataku.
Ia mengangguk, "Terserah saja deh mas."
Mobilku pun melaju meninggalkan kota menuju ke villa. Selama perjalanan, aku mengusap-usap paha Erna. Ternyata ia tak memakai hotpants. Aku bisa langsung merasakan celana dalamnya ketika merogoh ke dalam rok mininya. Aku menyetir mobil dengan tenang, ketika aku tidak mengubah gigi kopling aku kembali mengusap-usap kemaluannya dari luar celana dalamnya. Erna hanya menggigit bibir saja kuperlakukan seperti itu. Terkadang ia bermain ponselnya mencoba menahan rangsangan yang aku lakukan. Tapi sepertinya percuma, karena ia sesekali memejamkan mata, dan menggigit bibirnya. Hingga kemudian ia bersandar di kursi menengadahkan kepalanya dan memegang tanganku erat-erat.

"Udah mas, udah....," aku mengerti ia orgasme. Celana dalamnya becek sekali. "Dilepas saja dong, becek tuh," kataku.
"Mas sih, nakal banget!" katanya.
Aku tersenyum. Ia pun segera melepas celana dalamnya dan membuangnya ke belakang jok. Aku kemudian membuka resletingku. Penisku yang sudah tegang pun nongol.
"Nah, kalau ini enaknya diapain?" tanyaku.
"Ih, genit ya mas ini. Udah gedhe aja," katanya.
Ia kemudian memegang benda itu. Diremas-remasnya, lalu dikocok-kocoknya.
"Gedhe banget mas, ntar kalau masuk sakit pastinya," katanya.
"Koq bisa?" tanyaku. "Emang punya suamimu seberapa?"
"Hmm...sepertiganya kayaknya," jawabnya. "Tapi itu aja udah enak koq mas."

Selama perjalanan itu penisku dikocok, diremas dan dibelai-belai. Dan sampai di tujuan, kayaknya Erna cukup capek karena belum keluar-keluar penisku. "Mas kuat juga ya, padahal suamiku dikocok gini aja keluar lho," katanya. Setelah tiba, aku langsung mengajaknya masuk. Kubetulkan celanaku dan kuambil kunci villa. Setelah masuk aku persilakan ia untuk masuk ke kamar. Kami tak perlu dikomando. Aku sudah melepaskan bajuku. Bahkan ia kubantu untuk melepaskan bajunya. Kami pun berciuman panas. Kupeluk Erna kubuka pakaian dalamnya, branya kemudian aku lempar sehingga pakaian kami berserakan di lantai.
"Mas, ohh...," desahnya.
Aku melihat dadanya cukup besar. Kulitnya putih mulus aku langsung menghisap putingnya. Kuhisapi lehernya, kujilati dan kuremas-rems dadanya. Aku kemudian berlutut, penisku menantang di hadapannya. Ia mengerti tugasnya, langsung ia duduk dan mengisap penisku. Penisku pun disentuh oleh bibirnya, lidahnya menjilati kepalanya dan ia memasukkan penisku ke mulutnya, ia hisap dan lumuri dengan ludahnya. Kemudian ia kocok dengan lembutnya. Testisku di remas-remasnya, terkadang sesekali bibirnya menciumnya bergantian. Lalu disedotnya sebentar, dan konsentrasi lagi mengulum batang penisku. Sensasi yang ditimbulkannya sangat mebuatku geli.

"Erna...nikmat banget," kataku.
Tanganku tak tingal diam. Aku memilin-milin putingnya sampai mengeras. Ia
terangsang ternyata. Aku lalu mendorongnya, ia pun berbaring. Aku kemudian menciumi dadanya, perutnya lalu pergi ke bawah. Di sebuah tempat yang rambutnya tumbuh melindungi tempat pribadinya. Aku kemudian menjilati bibir vaginanya. Erna menggeliat sperti ulat. Ia memejamkan mata menerima rangsangan-rangsanganku di rongga vaginanya. Klitorisnya aku sapu, beserta rambut kemaluannya. Ia menggelinjang. Aku ulangi lagi dan aku kemudian menggigit-gigit gemas klitorisnya.

"Maasss....aakhhh...jangan gitu dong...geli...aduhh duuhh....duh...mass....!!"
Aku terus ulangi dan ulangi hingga ia tak kuat lagi. Ditekannya kepalaku dan
pantatnya mengangkat, pahanya mengapitku dan ia berjinjit.

"Maasss....aaaaahhhhkkk,.. mas ganteng, aku jebol nih...!!" katanya. "Aku
pipis mas...pipis..." Aku kemudian duduk, melihat polah tingkahnya yang menggeliat-geliat seperti ulat kesetrum. Tubuhnya sangat mulus, walaupun sudah bersuami dan punya anak. Pantatnya masih kelihatan montok, mulus. Aku lalu membalikkannya untuk menungging.
"Aku masuk lho ya, kepingin merasakan benda ini ndak?" tanyaku.
"Iya mas, masukin. Pelan-pelan ya," katanya.
Aku lalu perlahan masuk. Batang penisku yang sudah tegang dengan urat-uratnya itu perlahan-lahan memasuki rongga asing, yang sama sekali asing baginya. Perlahan-lahan daging itu menggelitik sebuah lubang yang sudah diberi pelumas agar mudah untuk masuk. Aku pun masuk separuh, karena tampaknya masih seret. Dan aku tarik lagi, lalu kudorong lagi, terus aku ulang seperti itu. Pantatnya benar-benar menggairahkan. Aku meremas-remas pantatnya. Dan setiap aku hentakkan penisku ke dalam, pantatnya pun menekan ke perutku.

"Nikmat sekali mbak," kataku. "Pasti suamimu puas banget ya ngentotin kamu." Aku lalu mempercepat goyanganku. PLOK PLOK PLOK PLOK, suara pantatnya beradi dengan selakanganku. Penisku makin masuk saja dan Erna tampak keenakan. Ia terus mendesah, mendesis dan meraba-raba vaginanya yang dimasuki penisku.

Aku kemudian menghujamkan penisku lebih dalam hingga mentok ke rahimnya. "Mas,...enak banget kontolnya mas...," katanya.

Aku kemudian membalikkan badannya. Kutuntun ia untuk duduk di pangkuanku. Kami saling beradapan. Kucium ia, lalu dadanya pun naik turun seiring tubuhnya yang naik turun. AKu menghisapi buah dadanya, kuberi sebuah cupangan. Lalu aku hisap putingnya. "Mas...aduh, koq dicupangi sih? ahh...hhh...ohh... enak mas, iya dipilin-pilin gitu...eh-eh....mas...geli..," katanya. Kujilati bagian di bawah ketiaknya. Ia menggelinjang dan memeluk tubuhku. Vaginanya terangkat sedikit, pantatnya bergetar. Ia makin erat memelukku.

"Mas..aku keluar lagi..", katanya.
Aku perlahan-lahan membaringkannya. Kemudian aku naik turunkan pantatku. Erna sangat menggairahkan. Penisku terus mengobok-obok vaginanya. Memeknya tidak melakukan empot-empot, tapi cukup seret. Mata kami beradu, mulut Erna menganga. Ia melingkarkan lengannya ke leherku. Pahanya mengapit pinggangku.

"Erna, aku keluar nih," kataku.
"Iya mas keluar aja, aku udah," katanya.
Penisku seakan-akan mengumpulkan semua kekuatannya di ujung dan kuhujamkan penisku sedalam-dalamnya ketika keluar. CROOT...CROOT CROOOOTT, muncratlah penisku sebanyak-banyaknya ke rahimnya. Mata Erna memutar dan kami berciuman lama sekali. Kami kemudian kelelahan dan istirahat sebentar.

Malam itu kami bercinta terus sampai pagi. Erna cukup kaget dengan staminaku. Kami pun bermain hingga lima ronde dan baru selesai pukul 3 pagi. Saking lamanya kemaluan kami benar-benar ngilu rasanya.

***

Erna dan aku tidur saling berpelukan. Aku terbangun terlebih dulu. Aku bisa
menilai Erna ini benar-benar sexy. Tubuhnya boleh dibilang sangat langsing,
tapi tidak kurus.
"Erna...udah pagi nih," kataku.
"Bentar mas, masih dingin," katanya sambil makin erat memelukku.
"Mandi bareng yuk?!" ajakku.
"Tapi masih dingin," katanya.
"Ada air hangatnya koq," kataku.
"Ayo deh," kata Erna. Ia segera bangun.

Kami menuju kamar mandi, masih telanjang. Aku kemudian menyalakan air di bank mandi dan keluar air panas. Di dalam kamar mandi ada cermin sehingga Erna bisa melihat dirinya di sana. Sembari menunggu air bak mandi penuh, penisku tegang lagi melihat tubuhnya, atau boleh dibilang kalau pagi memang seperti ini sih. Kami pun berpanggutan lagi di dalam kamar mandi. Saling membelai dan memberikan rangsangan. Aku mendorongnya hingga duduk di atas toilet, lalu kuhisap buah dadanya, puting susunya pun kulahap dan kumainkan dengan lidahku.

"Ohh...mas,..pagi-pagi udah ngentot aja," katanya.
"Iya nih, habis kamu seksi sih," jawabku.
"Sayang cuma ini kesempatan kita ya."
"Kalau mas mau, kapan pun bisa koq. Aku rela mas," katanya.
"Aku kan cuma membayarmu untuk beli kosmetikmu," kataku.
"Tak apa-apa mas, oh...kalau mas kepingin tinggal telpon aku aja atau kita
pakai kode khusus gitu, biar mbak Vidia ndak curiga," katanya.
Penisku ku pasang di bibir memeknya, kemudian aku tekan. Memek Erna sudah becek. Dengan leluasa aku keluar masukkan penisku.
"Aku ketagihan ngentot ama mas," katanya.
"Baiklah, ini jadi rahasia kita ya," kataku.
"Iya mas, ohh...penis mas penuh banget. Aku pikir bisa-bisa robek memekku," katanya.
"Tapi nggak kan?" tukasku. "Lagian memekmu peret banget."
"Ohh...mass," desahnya.
Aku cukup bermain satu ronde di kamar mandi. Dan aku percepat goyanganku. Aku pun keluar, tapi tak sebanyak tadi malam. Mungkin habis produksi testisku. Setelah itu kami mandi bareng, saling menggosok dan menyabuni. Kami juga sempat berbaring sebentar di bak mandi dan bermanja-manjaan. Pukul 9.00 ia harus sudah balik ke mall. Aku mengantarnya. Dan kami berjanji kalau ada kesempatan akan mengulanginya lagi.

BAB 9
***********
VENUS PREGNANT

Perut Bunda makin membuncit. Hasil dari USG menyatakan bayinya sehat dan sepertinya akan lahir bayi laki-laki. Sekalipun hamil ternyata bunda makin
lama makin menarik. Aku sebenarnya takut untuk bercinta dengan wanita hamil. Oleh karena itulah aku tak pernah terlalu bersemangat bercinta dengan kak Vidia ataupun Nur ketika hamil. Walaupun aku suka ketika mengisap tetek mereka yang ada isinya. Namun pengalaman bunda melebihi pengalaman Kak Vidia dan Nur dalam masalah bercinta ketika hamil. Bunda mengerti kebutuhanku, dan beliau tahu cara untuk memenuhi kebutuhanku. Akan aku ceritakan pengalamanku ketika bunda hamil anakku.

Usia kandungannya sudah hampir 7 bulan. Bunda juga ngidamnya ndak aneh-aneh seperti Kak Vidia ataupun Nur. Ngidam yang paling sulit aku lakuin adalah Nur. Ia kepengen banget untuk bisa makan bebek peking tapi dagingnya harus dimasak dengan bumbu ayam betutu. Ribet kan? Tapi Nur punya alasan kayak enak kalau bebek peking dibuat seperti itu. Ndak wajar, kubilang. Tapi begitulah, kata orang Jawa kalau ngidam nda keturutan anaknya bakalan ngiler. Akhirnya aku masak sendiri. Beli bebek peking trus setelah itu dimasak seperti ayam betutu. Dan bisa diprediksi dapur berantakan. Kak Vidia ketawa kerasa diceritain masalah itu. Bunda juga ikut-ikutan.

Kata beliau waktu hamil aku dulu ngidamnya ndak aneh-aneh, paling kepingin
buah sawo padahal tidak lagi musimnya. Ayah sampai kebingungan nyari, bahkan harus ke daerah pelosok hanya dapat 1 kg sawo itu saja masih muda. Tapi bunda nikmat banget makannya. Kak Vidia ngidamnya ndak terlalu, cuma agak aneh saja. Hampir seluruh novel-novel percintaan diborong olehnya selama ngidam. Kalau biasanya ngidam itu buah mangga atau apa, tapi Kak Vidia ini tidak. Malah ngidam buku. Ndak cuma novel percintaan saja sih. Kalau ada buku lain yang sepertinya menarik pasti juga dibeli. Katanya kalau nggak baca buku seharian rasanya ndak enak banget kepengen marahan melulu.

Nah, bunda ndak aneh-aneh ngidamnya. Paling disuruh nyariin nasi padang pas jam 2 malam. Itu pun karena pas siangnya kami menikmati nasi padang. Entah kenapa siang itu rasanya panas sekali. Saking panasnya bunda pun
menyalakan AC dengan suhu dingin. Bunda, duduk di sofa sambil mengelus-elus perutnya. Aku rasanya tergoda sekali ingin mengelus-elus perutnya. Bunda hari itu hanya pakai tank top dan celana legging. Sehingga perutnya kelihatan banget. Kayaknya dadanya makin besar. Terus terang, aku sedikit membayangkan kalau misalnya sekarang ini aku bercinta dengannya.

"Ndak ngantor pah?" tanyanya. Semenjak identitas kami sebagai suami istri,
semuanya memanggilku dengan sebutan papah. Itu membuat hubungan kami tambah hot.  "Nggak mah, papah kepingin di rumah saja," kataku kemudian menghampiri bunda yang duduk sambil mengelus-elus perutnya.
Aku duduk di sebelahnya. "Males keluar, panas banget."
"Iya, panas banget. Mamah sampe nyalain AC," kata bunda.
Aku tahu kalau bunda itu jarang banget nyalain AC, tapi hari ini panasnya benar-benar di luar batas. Bunda tidak pakai kerudung tentunya. Wajahnya masih cantik, bodynya masih bahenol. Tapi karena hamil ini lengannya sedikit gemuk. Pipinya sedikit chubby. Tapi tetap hal itu membuatnya menarik.

"Pijitin mamah dong pah, pinggul mamah pegel," katanya. Aku kemudian
memasukkan tanganku ke belakang tubuhnya. Bunda menggeser tempat duduknya untuk memberikan ruang gerak.
"Aduh duh duh...," bunda mengaduh lalu tersenyum.
"Kenapa mah?" tanyaku
"Ini, oroknya gerak-gerak, lihat!" aku melihat perut mama tampak menonjol.
Sepertinya adik bayi sedang menendang. Kudekatkan wajahku, lalu kuciumi perut bunda tepat di tonjolan kecil itu. Lalu tonjolan kecil itu menghilang.
"Sudah bisa gerak ya sekarang?" tanyaku.
"Sering, terutama pas ndak ada papahnya di rumah, hampir gerak tiap hari,"
jawab bunda. Tangan kiriku membelai-belai perutnya, tangan kananku tetap
memijiti pinggulnya di atas tulang ekor.
"Mah, aku makin cinta ama mamah," kataku.
"Aku juga pah," kata bunda. Aku lalu mencium bibirnya. "Kamu kepingin?"
Aku mengangguk. Lalu menciumnya lagi. Kami saling memanggut hot. Tangan kiriku sekarang meremas-remas susunya. Aku bisa merasakan buah dada bunda mengeras. Tidak seperti dulu. Mungkin sudah ada isinya.

"Ohh...mah...," desahku.
Bunda lalu melepaskan tanktopnya. Bunda memang tak pakai bra, karena dari tadi aku meremasi buah dadanya, aku langsung bisa merasakan kerasnya puting susu yang kecoklatan itu. Begitu dadanya terekspos, perhatianku pun beralih ke dadanya. Sesuatu yang aku suka yaitu ASI. Mulutku sudah mencaplok puting susunya, kulumat, kujilati, kukulum dan kuhisap. Air susunya pun keluar. Rasanya agak manis.
"Ohh...pahh...papah netek," keluh bunda.
Juniorku makin tegang aja. Kini serasa sesak celana pendek yang aku pakai.
Bunda membiarku menyusu kepadanya bergantian kiri dan kanan. Tangan kirinya mencari-cari pionku yang sudah mengeras. Ketika menemukannya, tangannya pun menelusup ke dalam celana pendekku. Kemudian kepalanya dipencet-pencet dan diputer-puter. Ouugghh...enaknya.

Yang aku sukai dari bunda dalam bercinta adalah ia sudah berpengalaman. Ia juga tahu titik-titik kelemahan lelaki. Jadi setiap bercinta dengan bunda,
pasti aku mendapatkan dua hal yaitu kepuasan bunda dan kepuasanku. Dengan tangannya saja ia bisa memberikanku kepuasan seperti bersenggama. Sebab caranya memainkan penisku dengan tangannya berbeda dari sekedar coli. Juga ketika oral. Bunda sangat jago. Ketika bunda belum hamil dulu, benar-benar aku lemes dengan perlakuannya kepada penisku. Bahkan bunda tak ragu-ragu untuk menelan seluruh spermaku hingga kering. Dalam bercinta pun seperti itu, bunda
selalu berusaha memuaskan dirinya, baru kemudian mengimbangiku. Aku
dibimbingnya untuk memuaskan titik-titik sensitifnya sehingga percintaan kami sangat panas dan sangat bergairah. Selalu dan selalu ingin diulang.

Kupuaskan menghisap air susu bunda. Tanganku sudah tidak memijat lagi
sekarang. Tangan kiriku masuk ke celananya dan mengelus-elus bibir
kemaluannya. Bunda mendesis dan mengeluh. Kusibak bibir vaginanya yang sudah mulai basah. Perlahan-lahan jari tengahku mencari lubangnya. Dengan lancar jari tengahku masuk dan menggesek-gesek lubangnya. Bunda menyandarkan kepalanya ke sofa. "Paahh..ohh...iya itu pah, digesek-gesek," kata bunda. Beberapa kali ia menggeliat ketika jari tengahku menyentuh klitorisnya. Sementara itu bibirku masih di putingnya menyedot seluruh ASI yang ada. Aku tak peduli kalau misalnya ASI-nya habis. Setelah yang kanan kulanjutkan yang kiri.

Tangan bunda berhenti mengocok penisku, kini ia menggenggam erat batangnya hingga aku ngilu. Tanganku makin cepat keluar masuk di kemaluannya. "Pahh...mamah mau nyampe, ooohh...iya begitu paahh... ooouuucchh!" pantat bunda terangkat aku mengeluarkan tanganku dan bunda memeluk kepalaku hingga wajahku terbenam di lautan toketnya. Tiga hentakan pinggul bunda naik ke atas. `1`ewwwwq    APerutnya yang buncit itu makin membubung. Lalu bunda lemas. Ia menutup
keningnya dengan lengan kanannya, sehinga aku bisa melihat ketiaknya yang
putih. Aku lalu menuju ke ketiaknya dan kujilati. Bunda kegelian dan mendorongku, "Geli pah, jangan...!" Aku tak peduli kujilati dan kuciumi keteknya sampai puas. Bunda makin berusaha mendorongku karena kegelian, hingga kemudian ia tertawa. Ia mencubit pinggangku. "Aduh," aku mengaduh. "Kamu ini dibilang geli koq, udah ah. Masukin dong, mamah udah kepengen nih," katanya.

Bunda melepaskan sisa pakaiannya yang masi menempel. Tubuh wanita hamil itu agak eksotis. Kulit perutnya halus, aku beberapa kali mengelusnya dulu dan kuciumi. Bunda berbaring dibuka lebar kakinya. Aku bisa melihat liang senggamanya sudah basah. Bunda menggeliat-geliat minta dimasukkan. Aku posisi agak berlutut. Aku maju, kepala otongku udah ada di bibir memeknya yang lembut. Bunda tak sabar, ia yang pertama majukan pantatnya. Langsung saja otongku masuk begitu saja.

"Ohh...pahhh....enak paaaahhh," seru mamah.
Aku juga merasakan hal yang sama. Penisku mengobok-obok memeknya sekarang. Tangannya menggapai tanganku dan kami berpegangan. Wajah bunda mendongak, beliau sepertinya ingin menggapai lagi kenikmatan untuk kedua kalinya setelah orgasme tadi. Itulah sebabnya kini pinggulnya ikut bergoyang, kiri kanan. Dan kemudian ketika beliau menggoyang ke kiri, kepala bunda menggeleng-geleng. Rambutnya awut-awutan. Dan seperti biasa, memeknya dibuat seperti meremas-remas otongku. Walaupun hamil, memek bunda tetap bisa memberikan pijatan-pijatan hangat yang meremas batangku.

"Ohh...maaahh...hhmmmhh...memek mamah tetep enak, papah suka....."
"Pahh..nungging yuk!?" mamah mengusap-usap dadaku. Aku menghentikan
aktivitasku, kuusap-usap perut mamah yang buncit. Saat itu aku meraskan
sesuatu yang menendang. "Mah, dedeknya gerak," kataku.
Mamah tersenyum. Ia pun merasakannya. Sepertinya anakku ini juga merasakan dia digoyang-goyang. Mama pun bangkit, kemudian di sofa mama menungging. Pantatnya makin semok, aku remas-remas bongkahan pantat itu dan kuhisapi dengan gemas. Aku menggerakkan wajahku sampai mendekat ke duburnya. Lalu aku jilati bagian antara dubur dan memeknya. "Ouchh...pah...geli...," katanya.  Bunda memajumundurkan pantatnya, tampaknya ia suka. Setiap kali lidahku menjilatinya, ia memajukan pantatnya.

"Udah pah, jangan mamah geli!" bunda membenamkan wajahnya ke sofa. Walaupun ia bilang begitu tapi sepertinya merasakan nikmat. Kenikmatan-kenikmatan bisa jadi sekarang sedang mengguyur mamah. Jilatanku makin cepat dan menggelitik. Lidahku menelusup ke vaginanya. Dan dengan sapuan buas lidahku menyapu klitoris, belahan memeknya sampai duburnya. Mama menggoyang-goyangkan pantatnya lalu memajukan pantatnya.

"Pahh...mamah...mamah pipis paahh...!"
Aku kaget ketika bunda mengeluarkan cairan menyemprotku. Semprotannya tak Cuma sekali dua kali, tapi berkali-kali sampai ia lemas. Ternyata itu titik
sensitif bunda. Sofa kami jadi basah dengan squirtnya bunda.  Aku kemudian memposisikan senjataku ke depan mulut memeknya. Aku meraih buah
dadanya dan kuremasi gemas. Bersamaan dengan itu pantatku maju. Rudal coklat dengan kepala pelurunya berwarna kemerahan mulai menerobos liang kewanitaan bunda. Kulitnya sudah berkilat-kilat memantulkan cahaya karena terkena lendir senggama. Kemudian gesekan-gesekan lembut mulai dilakukan. Penetrasi untuk kedua kalinya ini sensasinya bikin kepala penisku gatal. Mungkin karena banyak squirt bunda yang keluar. Atau mungkin karena memang aku sudah benar-benar horni. Setiap aku menghujamkan penisku, aku selalu menghantamkan perutku ke pantat bunda. Dan bunda setiap terkena hentakan menjerit.

"Aww...oohh...Aww...Awww...ppaahhh....te...rruuuss ...yang cepet paahhh," kata bunda. Aku kemudian mulai mempercepat temponya. Maju mundur dengan cepat. Terus aku pompa makin cepat, kepala bunda pun menggeleng-geleng.

"Paah...mamah keluar lagi pah...he-eh...pah....cepet gitu,
cepet...teruss...fuck me pah....fuck meee.....!" rancau bunda. Aku makin percepat, suara benturan pantat dengan perutku memenuhi ruangan.
Memberikan kesan erotis. Tak pernah kubayangkan sebelumnya aku bakal bisa ngentotin bundaku. Bunda yang selalu mendidikku sejak kecil. Ketika kecil aku yang dimandikan olehnya sekarang kita biasa mandi bersama. Aku yang dulu menyusu sekarang aku menyusu lagi. Dulu aku yang keluar dari lubang kecil ini sekarang aku masuk lagi. Dulu dari rahim ini aku keluar sekarang aku sudah menabur benihku di sana. Aku dulu tak pernah membayangkan bakal menjadi suami dari bundaku. Bunda yang selalu meyayangiku. Kini kasih sayang itu lebih besar lagi, tak hanya sekedar seorang anak, tapi lebih kepada suami, sebuah cinta yang tak akan dimengerti oleh orang lain. Kami merengkuh birahi bersama
dan kedudukanku sekarang mengisi hatinya menggantikan ayah.  Aku hampir orgasme bahkan mungkin beberapa saat lagi benih-benih cintaku yang
kental akan menyemprot di dalam rahimnya. Aku ingin mengingat setiap memory bersama bunda. Entah kenapa tapi sebelum orgasme aku ingin mengingat semuanya, mengingat semuanya hingga aku yakin setiap waktu, setiap kesempatan, setiap kenangan. Memory itu makin jelas. Bunda, aku butuh bunda, aku butuh bunda untuk birahiku.

"Pah....punya papah makin keras, enak pah...mamah dientot
papah...ohhh....suamiku....mamah keluar paahh...oohhh...punya papah sesek di dalam.....," bunda mengimbangi goyanganku.  Ujung penisku mulai gatel. Testisku sudah sesak, sepertinya sudah benar-benar tak kuat lagi ingin mengeluarkan sperma. Benar kata bunda, punyaku udah benar-benar tegang. Kubayangkan seluruh memory ketika aku orgasme ke dalam
rahimnya, ketika aku merasakan nikmatnya menyemprotkan spermaku ketika
melakukan titfuck kepadanya, atau ketika ia mau menerima semburan spermaku di mulutnya, semua memory itu terkumpul untuk sebuah momen ini. Momenku menyemburkan seluruh isi testisku.

"Bundaaa.....bundaku...kuentoooott.... terimalah buah cinta anakmu ini!!!"
teriakku.
"Ohh....anakku sayang, papahku....ohhhhhh!"
CROOTT CROOTT CROOOOTT CROOOTTT CROOOTT

Banyak sekali semburan spermaku. Aku tak bisa menghitungnya tapi
setiap punyaku berkedut maka setiap itu pula spermaku keluar. Bunda yang
tersirami sperma hangat itu mendongakkan kepalanya sambil menjerit, memanggil namaku. Tubuhnya menegang, pantatnya bergetar hebat. Punyaku seperti diremas-remas. Aku tak bisa membohongi diri kalau aku sebenarnya sangat mencintai bunda. Melebihi Kak Vidia maupun Nur. Mungkin karena bunda adalah wanita pertama yang melepas keperjakaanku. Wanita pertama yang menerima spermaku di rahimnya, wanita pertama yang mau mengoralku dan keluar di dalam mulutnya. Mengingat itu semua membuatku terus meledak dalam kedahsyatan orgasme yang tak pernah kurasakan selama ini.

Bunda bertahan dalam posisi menungging. Punyaku masih di dalam, dan itu dalam keadaan tegang, walaupun sudah menyusut sedikit. Perlahan-lahan aku mencabutnya. Aku lalu duduk di sofa. Kuamati batangku yang terbungkus cairan putih, campuran antara spermaku dan cairan kewanitaan bunda. Bunda masih menungging nafasnya tampak tersengal-sengal. Butuh waktu sejenak untuk bunda bisa tenang rupanya. Kulihat dari belahan memeknya tampak spermaku meleleh. Rupanya aku keluar banyak sekali. Aku bisa melihat lubangnya penuh dengan cairan kental berwarna putih. Bunda lalu perlahan-lahan mulai duduk. Tubuhnya disandarkan ke sofa. Aku duduk di sampingnya. Kemudian bunda bersandar ke bahuku. Tangan kirinya menggenggam tangan kananku.

"Pah...tadi... papah hebat sekali...bunda sampai ngerasa papah keluarnya
banyak banget," kata bunda.
"Iya mah...papah mengingat-ingat semua peristiwa persenggamaan kita, itu
membuat papah bergairah dan bisa orgasme sedahsyat ini," kataku.
PReeettt!! terdengar suara dari memek bunda.
"Apa itu mah?" tanyaku.
"Hihihi, sperma papah keluar, ditolak ama rahim, kan udah ada isinya," jawab
mamah sambil tertawa kecil. Bunda kemudian bangkit dan melihat sofa. Dari tempatnya duduk, kulihat ada cairan kental berwarna putih di situ.
"Ini bersihinnya gimana ya? Kalau ada tamu masa' harus bilang kalau kita maen di sini," kata bunda.
Aku tertawa. "Beli sofa baru?"
"Pemborosan ah, coba deh papah yang tanggung jawab bersihin.
Kan itu punya papah, horni koq di ruang tamu," bunda menjulurkan lidahnya.
Melihat beliau berdiri telanjang. Dadanya besar, perut besar, pantat montok
membuat aku tegang lagi. Gila nih otong. Ndak puas-puas. Otongku langsung
mengembang lagi.
"Wah, udah kepingin lagi?" tanya bunda.
"Iya nih mah, lihat mamah tanpa baju sehelai pun, membuat papah horni,"
jawabku.
"Tapi mamah capek pah," kata bunda, lalu berlutut di hadapanku. Buah dadanya bertumpu di atas pahaku. "Pake oral aja yah?"

Aku mengangguk. Aku menggeser tubuhku untuk maju. Agar perut bundaku tidak menyentuh pinggiran sofa. Lutut mamah ditekuk, jadi ia duduk di atas kakinya. Saat itu terdengar suara lagi. PREEETTT..."Benih papah keluar lagi nih. Sebanyak apa sih tadi keluarnya? Masa' sampe seliter?" canda bunda.

"Ndak tau mah, pokoknya setiap kedutan tadi keluar terus," jawabku.
"Apakah bunda ini sebegitu membuat anak bunda yang sudah jadi suami bunda ini horni?" tanya bunda. Bunda mulai beraksi. Aku duduk dipinggir sofa. Pahaku terbuka lebar, jemari bunda mulai mengusap-usap pahaku lalu selakanganku. Bunda mulai merangsang titik-titik sensitifku. Diciumnya seluruh bagian pahaku.

"Mamah, mamah memang sangat hebat kalau merangsangku," kataku. Bunda konsentrasi menciumi dan menghisapi pahaku. Kemudian mulai mendekat ke batangku yang sedang di pegangnya. Batangku dikocok lembut, bagian kepalanya dielus-elus oleh telunjuknya. Wajahnya pun kemudian ke bagian buah zakarku. Menciumi apa saja yang ada di sana. Senjataku makin mengeras dan on lagi. Bunda mengejar-ngejar buah zakarku. Aku merintih-rintih keenakan dengan perlakuannya. Kedua tanganku mengusapi tangannya yang melakukan kocokan lembut.  Mulutnya lalu bergerak ke batangku sekarang. Dijilatinya batangku yang masih ada campuran spermaku dan cairan kewanitaannya. Lidah Bunda menari-nari di
batangku, hingga sampai ke ujung lubang kencing, lalu mulutnya dibuka dan
bibirnya maju untuk menghisap penisku. OOOuuwww.... Terlihat ujung bibirnya menutupi lubang kencingku dan lidahnya menari-nari di lubang penisku. Sensasinya ndak bisa dikatakan.
"Mah..mamah..mamah apain itu? Enak banget?" tanyaku.
"Vidia ama Nur ndak pernah giniin kamu?" tanyanya.

"Tidak pernah mah, aku selalu bebaskan cara mereka memuaskanku," jawabku. "Besok aku ajarin mereka biar tahu cara memuaskan suaminya ini," kata bunda. Kembali lagi mempermainkan lubang kencingku. Lalu sesaat kemudian mulutnya tiba melahap kepalanya lalu kembali lagi mempermainkan lubang kencingku. Alamaakk...enak banget aku diperlakukan seperti itu. Lalu pinggiran kepalaku yang cukup sensitif dijilatinya memutar. Dan tangannya mengocok batangku dengan cepat sembari mengerjai kepalanya.

"Mahh...mahh...aduhhhh...nikmat banget mah...," kataku.
Bunda mengulumnya sekarang, tapi lidahnya tetap mengerjai pinggiran kepalanya, melumeri kepala penisku dengan lidahnya lalu menghisap kuat-kuat. Kemudian diulangnya lagi. Sedangkan tangannya terus mengocok dengan cepat.

"Maahh...udah mah.., boleh dong papah ngerasain titfuck?" kataku memohon. Bunda menghentikan aktivitasnya. Ia tersenyum mengetahui imajinasiku. Diangkat buah dadanya. Rudalku yang sudah sangat tegang itu lalu kumajukan agar bisa diapit oleh bukit kembarnya yang benar-benar montok. Bunda menggerakkan dadanya naik turun. Ohhh....nikmat sekali. Wajah bunda menunduk dan setiap kepala penisku mendekat ia menjilatnya. Pantatku pun tak mau diam, ikut naik turun. Aku lalu ikut memegang toketnya yang biadab itu. Dadanya kumainkan naik turun mengapit batangku. Otot-otot penisku makin mengeras, agaknya ingin keluar lagi.

"Kayaknya mau keluar ya pah?" tanya bunda.
"Koq tahu mah?" tanyaku.
"Akukan ibumu, jadi tahu semua tentang anaknya, apalagi kita telah jadi suami istri dan selalu tahu bagaimana tegangnya kepunyaan suaminya ketika ingin menembak," jawabnya.

"Maahh....papah mau keluar mah...," kataku.
"Semprotin aja pah," kata bunda.
"Ohh...maahh...keluar di wajah mamah ya?" kataku.
Bunda mengangguk, kemudian wajahnya mendekat. Penisku aku kocok dan
menyemprotlah spermaku ke wajahnya. Lima tembakan ke wajah bunda. Setelah 5 kali tembakan, bunda memasukkan penisku ke mulutnya dan mengocoknya lembut. Sisa spermaku keluar di mulutnya. Bunda menelan sisa-sisa yang keluar di penisku. Kulihat keningnya, matanya, hidung dan pipinya terkena spermaku. Aku lemas di atas sofa. Bunda kemudian menjilati spermaku yang ada di wajahnya. Ia masukkan semua itu ke mulutnya dengan bantuan tangannya. Terlihat sangat rakus. Aku suka pemandangan itu dan menyaksikannya hingga wajahnya bersih lagi. Bunda lalu berdiri.

"Udah ah, ngeres mulu pikiran papah. Ingat lho mamah lagi hamil, cepet capek," katanya sambil meremas batangku.
"Aduh!" kataku. Batangku ngilu rasanya. "Habis mamah seksi sih."
"Simpan tenaga buat malam nanti ya pah, malam nanti dilanjut kalau masih
kepengen," katanya. "Sekarang bersihin tuh, sofa ama lantainya!"
Aku tertawa kecil, "Iya iya mah."

Malam harinya aku mengulanginya lagi dengan bunda di ranjang. Bunda
memperingatkanku agar jangan sering-sering ML, karena capek juga. Aku
mengerti kondisi beliau. Maka dari itu kalau ML aku selalu berakhir dipuaskan
dengan jurus oralnya atau titfuck. Satu yang aku sukai dengan bunda adalah
beliau cukup sabar dengan perlakuanku selama bercinta. Menerima seluruh
keinginanku, dan tahu bagaimana cara memuaskanku. Maka dari itulah, ketika setelah oral aku minta oral lagi beliau tak menolak. Bahkan ketika beliau capek beliau berbaring miring dan aku menggarapnya dari belakang. Beliau tetap bersabar sambil terus menerima sodokanku. Akhirnya setelah puas 4 ronde. Aku tertidur di dalam selimut sambil memeluk bunda dari belakang. Dalam rumah tangga kami selalu harmonis. Walaupun aku harus membagi waktuku dengan kedua saudariku yang lain. Itu karena aku selalu memberikan sentuhan. Baik itu sentuhan sekedar mengelus tangannya, atau menciumnya. Atau sentuhan-sentuhan yang lain. Apabila sentuhan itu makin hot, maka yang terjadi adalah dituntaskan di ranjang. Mereka sangat mencintaiku, maka dari itulah kalau misalnya tahu ada wanita lain yang aku sukai, mereka pasti akan bertanya siapa wanita itu? Apakah mau menerima keadaanku ataukah tidak? Dan aku jujur ketika menyukai mbak Juni yang sekarang entah ada dimana itu. Sedangkan yang main-main aku tak pernah menceritakannya kepada semua istriku. Bukan berarti aku tidak jujur, tapi agar keluargaku tetap utuh. Aku anggap itu semua Cuma variasi saja dalam berhubungan. Toh, kebanyakan mereka yang telah berhubungan dengaku adalah menginginkan aku. Bukan sebaliknya.

Bab 10
************
ANAK TETANGGAKU NAURA


Setelah pengalamanku dengan tetanggaku Erna. Aku pun jadi iseng. Penyakit lamaku agaknya kumat. Aku sendiri lebih ngelirik ke para ABG. Aku pun browsing di internet, mencari anak-anak ABG. Tapi semuanya tak menarik buatku. Aku mencari yang imut dan berjilbab. Agaknya kenanganku dengan NUr ketika memperawaninya tak bisa aku lupakan.

Saat itulah aku sedang jalan-jalan sendirian di sebuah taman. Terus terang, pekerjaan, kemudian mengurusi bunda dan lain-lainnya membuatku stress dan capek. Aku lalu kemudian duduk di sebuah bangku sambil menyaksikan bintang-bintang di langit. Malam-malam begini di taman pasti lagi banyak para ABG pacaran. Dan memang benar. Mereka lalu lalang. Cukup ramai. Saat itulah ada seorang cewek yang tiba-tiba duduk di bangku. Aku cukup kaget, karena sepertinya aku pernah melihat cewek ini tapi entah di mana.

Cewek ini sedang menangis. Ia mengusap air matanya dengan tissue. Aku melihatnya berjilbab tapi bukan jilbab lebar seperti bunda, Kak Vidia, maupun adikku Nur. "Kenapa non?" tanyaku.
Ia tak menjawab.
"Diputus pacar?" tanyaku lagi.
Ia mengangguk. Owalah.
"Om, bisa bantu saya om?" tanyanya kepadaku.
"Bantu apaan?" tanyaku.
"Pura-pura jadi pacarku," jawabnya.
"Aku mau beri pelajaran ama dia. Plis ya om. Nanti aku bayar deh, berapapun om minta. Sebentar aja koq."
"Aku ndak mau ah, itu kan urusan pribadi koq aku ikut-ikutan? Ntar kalau biniku tahu berabe," kataku.
"Ayolah om, plisss...ndak bakal ketahuan koq. Aku ingin buktiin kalau aku juga bisa punya pacar baru dan dia bukan satu-satunya lelaki di dunia ini," katanya.
Ia mengiba dan aku paling benci untuk menolaknya. "Oke deh, sebentar lho ya? Tapi aku tak mau membayarmu. Ini kulakukan untuk menolongmu, tulus."

Ia pun tersenyum. Ia mengusap air matanya.
"Masih kelihatan baru nangis ndak om?" tanyanya.
"Coba cuci muka di situ, di pancuran taman," kataku.
Ia pun segera pergi untuk cuci muka. Lalu setelah itu ia bersihkan pakai tissue. Ia cukup cakep. Aku jadi teringat ketika Nur masih muda dulu, ketika masih perawan. Ia pun menghampiriku lagi.
"Namaku Naura om, om siapa namanya?" tanyanya.
"Doni, panggil Mas aja deh," jawabku. "Usiaku baru 28 tahun."
Ia tersenyum, "Tapi kelihatan tua, apa karena kumis tipisnya ya?"
Aku tertawa. "Atau mungkin karena aku bawa mobil, punya istri dan punya perusahaan besar. Biasa aku dipanggil pak. Tapi para tetanggaku banyak juga koq yang manggil mas, karena memang aku masih muda."

"Ndak nyangka om...eh...mas masih muda, yuk om. Nemuin cowokku yang bangsat itu," katanya. Aku pun digandengnya. Kami akhirnya berjalan menyusuri taman yang cukup luas sih menurutku. Hingga sampai di sebuah sudut pohon yang ada batunya. Tampak di sana ada dua sejoli yang sedang duduk berduaan. Dan pemandangannya tak kalah menariknya. Tangan si cowok sudah masuk ke bajunya si cewek. Melihat aku dan Naura datang, ia buru-buru mengeluarkan tangannya dari sana.

"Heh, Andi! Nih lihat aku juga punya cowok, emangnya cuma kamu saja yang bisa dapatin cewek semaumu. Aku juga bisa!" katanya.
Cowok itu pun berdiri, "Oh, selamat deh kalau begitu. Ya udah habis ini kita ndak usah ketemuan lagi. Aku udah muak ama kamu."

"Dasar cowok playboy. Bajingan, kurang ajar. Hei kamu, ntar kamu nyesel hubungan sama dia. Dia tiap kota ceweknya beda!" Naura membentak-bentak.

"Urusan gue dong," kata si cewek.
"Pergi yuk, percuma ngeladenin cewek murahan kayak dia!" kata si cowok.
Terus terang, aku paling tidak suka kalau ada yang menghina seorang cewek baik-baik disebut murahan. Aku langsung menarik kerah baju si Andi ini. Aku lalu memukul perutnya. Ia mengaduh sambil memegangi perutnya. Ceweknya tampak panik melihat aksiku.
"Kurang ajar, loe bilang apa? Cewek murahan? Lo bilang Naura cewek murahan? Kurang ajar banget lo ya? Habis manis sepah dibuang? Lo sendiri apa? Sekali lagi lo bilang aneh-aneh ama Naura, gua habisi lu!" aku melotot ke arah matanya. Tampak Si Andi ketakutan. Naura juga terkejut ia tak menyangka aku berbuat sejauh itu. Aku lalu mendorong Andi hingga ia terjatuh.

Cewek Andi segera menolong. "Pergi yuk, pergi. Udah jangan ditanggepin."
Andi lalu berdiri dan meninggalkan kami. "Awas kalau lo sampai deketin Naura lagi, gua hajar lo!" kataku. Naura cuma bengong. Ia seakan-akan tak percaya terhadap sikapku. Aku lalu berbalik menghadapnya. Naura diam. "Kenapa?" tanyaku.
"Eh..ee..enggak om...eh, mas. Cuma kaya'nya terlalu jauh deh kalau sampai begitu," kata Naura.
"Cowok kayak gitu harus dikasih pelajaran. Bagiku wanita baik-baik seperti kamu dikatakan murahan ya ndak bener juga kan?" kataku.
"Makasih mas," katanya.
"Ya udah, aku mau pergi kalau begitu. Udah ya membantunya," kataku.
"Tunggu!" katanya. "Bagaimana aku ngucapin terima kasih?"
"Ah, ndak usah, aku tulus koq membantu orang," kataku. "Aku masih sayang istriku, ndak mau kena apa-apa nantinya."

Aku pun meninggalkan Naura setelah itu. Tapi ternyata di luar dugaan ia mengikutiku. Aku pun bingung sekarang.
"Lho, kenapa? Ndak pulang?" tanyaku.
"Sebenarnya aku lari dari rumah mas, cuma untuk ketemu ama dia," jawabnya.

"Trus?"
Naura pun bercerita kalau ia lari dari rumah karena hubungannya ama Andi tidak disetujui. Naura telah berkorban segalanya. Ponselnya dijual untuk biaya kuliah Andi. Bahkan mereka pun tinggal di kontrakan yang sama. Naura lari dari rumah dan tinggal di kontrakan Andi. Maka dari itulah ketika tahu Andi punya cewek lain ia sangat terpukul. "Tinggal satu kontrakan? Apa kalian sudah melakukan itu?" tanyaku.  Naura mengangguk pelan.

"Sekarang Naura bingung mau pulang mas. Papa dan mama pasti malu."
"Kamu tinggal di mana?" tanyaku.
Naura memberitahukan alamatnya. Dan ternyata rumahnya satu komplek denganku. Ia tetangganya Nur. Itulah sebabnya aku sepertinya pernah tahu dia. Ia anak Pak Rusdi, seorang General Manajer perusahaan telekomunikasi swasta. Ia memang terkenal punya anak cewek yang cakep. Ternyata ini anaknya. "Ya amplop, kamu anaknya Pak Rusdi?" kataku.
"I..iya mas, mas kenal?" tanyanya.
"Ya kenallah, dia tetanggaku," jawabku.
"Oh my god, berarti mas ini tetanggaku dong. Koq ndak pernah tahu?" tanyanya sambil ketawa.
"Makanya aku pernah ngelihat kamu di mana gitu, eh ternyata," kataku.
"Dunia memang sempit ternyata," katanya.
"Ya udah, trus sekarang gimana?" tanyaku.
"Pak Rusdi itu orangnya baik lho. Sayang kalau kebaikannya kamu abaikan. Pulang saja dan minta maaf. Kamu pasti dimaafkan."

Ia pun diam. Dan tiba-tiba merangkulku. Naura menangis lagi.
"Tapi aku masih takut untuk pulang mas, bawa aku kemana gitu deh, asal jangan pulang," katanya.
"Lha, terus istriku gimana?" tanyaku.
"Mau aku bawa ke mana kamu?"
"Aku juga bingung mas," jawabnya.
"Kalau tinggal di rumahku, nanti pasti akan ada pertanyaan dari istriku. Ini siapa, dari mana, koq bisa ketemu, hubungannya apa? Nah, berabe kan?" kataku.

"Aku tak punya teman lagi mas, plis..aku sudah korbankan segalanya buat si Andi itu. Ternyata ini yang aku dapatkan. Ia cuma pingin hartaku aja," katanya.

Aku pun terdiam. Gila ini bocah, toketnya padet banget nempel dipunggung. Bikin aku greng aja. Pikiran ngeresku pun mulai muncul lagi. Tidak, tidak, aku tak mau terburu-buru. Kalau memang jadi ya jadi tapi jangan terlalu cepat dong.

"Oke deh, aku akan bantu. Aku punya villa kosong. Engkau boleh tinggal di sana. Cuma ada syaratnya, engkau tak boleh lama-lama tinggal di sana. Nanti anggota keluargaku curiga. Para pekerjanya masih libur. Jadi bener-bener kosong. Cuma ada satpam aja sih yang berjaga di gerbang masuk. Tidak mengurusi villa. Jadi kalau misalnya ada yang tinggal di villa mereka nggak bakal mengganggu kecuali darurat. Kau bisa tinggal di sana, tapi paling lama cuma seminggu. Dan setelah seminggu aku ingin kau harus pulang dan minta maaf ke orang tuamu. Bagaimana?"

Naura melepaskan pelukannya. Ia jadi sumringah. "Beneran mas?"
"Iya bener, kamu bisa tinggal di sana," kataku.
Akhirnya aku mengantarkan Naura untuk pergi ke Villa. Aku menyapa penjaga gerbang dan mengatakan bahwa temanku mau nginap di Villa ini untuk seminggu. Setelah itu aku masuk ke Villa.
"Kamu ndak ada baju?" tanyaku.
"Kutinggalkan semua di rumahnya Andi," jawab Naura.
"Wah, susah nih. Di lemari ada baju-baju istriku. Coba kamu lihat. Kalau misalnya pas ya selamat deh," kataku.
"Sekali lagi makasih mas. Mas sudah tulus banget bantu aku," katanya.
"Iya, iya. Aku tinggal dulu ya. Jaga baik-baik villa ini," kataku.
"Mas...," panggilnya setelah aku berbalik. Aku menoleh lagi ke arahnya.
"Ada apa lagi?" tanyaku.
"Anu...kalau mas ndak keberatan, jangan bilang ke orang tuaku ya," katanya
mengiba.

"Iya, aku tak akan bilang," kataku.
"Makasih mas," katanya.
AKu pun meninggalkannya.

***
Sudah 3 hari aku meninggalkan Naura di villa itu. Aku disibukkan oleh pekerjaanku. Dua hari lembur terus. Membuatku capek. Bunda pun mengusulkan agar aku istirahat saja. Ke mana gitu. Kak Vidia juga mengusulkanku demikian. Nur juga yang paling khawatir. Ia sempat menangis melihat kondisiku yang sedikit stress. Maklum Nur tidak pernah pacaran. Akulah satu-satunya lelaki yang sangat spesial baginya, maka dari itulah ia sangat mengkhawatirkanku. Kak Vidia sebenarnya juga demikian, tapi ia lebih marah-marah ke aku dan sewot. Aku tahu ia peduli, bahkan ia sempat mentoyorku karena kecapekan.

Mereka bertiga berkumpul di rumah bunda. Karena bunda mendekati masa-masa lahiran. Maka dari itu mereka ingin menjaga bunda di saat-saat aku sedang tidak bisa di sana. Sebenarnya sama aja sih ketika Kak Vidia atau Nur lahiran, semuanya berkumpul. Hanya saja ini spesial karena mereka tahu aku sangat sayang kepada bunda. Dan mereka semua tahu bunda itu wanita yang sangat spesial bagiku. Maka dari itulah mereka ingin memberikan perhatian yang lebih.

"Istirahat dululah mas, masa' sampai lembur tiga hari gitu?" Nur menasehatiku. Matanya tampak sembab.
"Nur sampai nangis semaleman, mikirin papah," kata Kak Vidia.
"Yah, mau bagaimana lagi. Ngurusin pajak ini ribetnya bukan main. Kayaknya kita butuh akuntan deh. Sayang mbak Juni ndak ada, padahal selama ini dia yang ngurusin," kataku.
Kak Vidia lalu duduk di sebelahku. "Sudah, ndak usah mikirin mbak Juni lagi. Ntar malah tambah sakit. Kalau ia cinta sama papah, ia pasti akan datang. Kami semua tahu koq perasaan papah ke mbak Juni. Kalau misalnya ia jadi istri keempat kami rela, asalkan papah senang. Tapi mbak Juninya sendiri yang tak mau menerima kita."
"Iya, pah, kami bertiga ikhlas koq. Apapun keputusan papah," kata bunda sambil tersenyum.

"Sementara biar Antok saja deh yang mengurusi. Aku ingin istirahat dulu selama seminggu di villa," kataku. "Toh pembukuannya sudah selesai."
"Nah, begitu," kata Nur. "Aku senang kalau papah begini."
Aku mencium kening Nur. Ia suka dan menciumku balik. "Tapi telpon ya kalau bunda udah pembukaan, aku ndak mau melewati masa-masa anakku lahir."
"Tenang aja pah, pasti kami telepon koq," kata Nur.
AKhirnya aku pun pergi ke Villa. Untuk sesaat, aku lupa kalau di dalam Villa ada Naura. Karena aku masih ingat pekerjaanku dan juga menunggu kelahiran anakku. Pak Satpam penjaga menyapaku. Mobilku pun masuk ke halaman villa yang mana cukup luas. Butuh beberapa menit untuk sampai tepat di depan villa. Aku lalu keluar dari mobil dan mengambil tas di bagasi yang berisi baju-bajuku.
Aku lalu masuk begitu saja ke villa yang tidak dikunci. Aku tidak begitu perhatian dengan detail villa ini sebenarnya, walaupun kata pengurusnya beberapa kali mengganti perabotnya karena dimakan rayap. Foto-foto keluarga terpampang di ruang tengah begitu aku masuk. Mejanya berdebu, berarti tidak ada orang yang membersihkannya ya iyalah, para pengurusnya masih libur koq. Aku kemudian naik ke lantai atas, ke kamarku. Sungguh aku lupa kalau aku mempersilakan Naura tinggal di villa ini. Karena urusan pekerjaan buyar semua hal-hal sedetail ini. Aku pun merasa aneh ketika melihat pintu kamar terbuka.

Saat itulah aku kaget bukan main. Tas yang aku bawa pun terjatuh. Aku terbengong menyaksikan pemandangan ini. Naura tergeletak di atas ranjang. Sprei ranjang itu acak-acakan. Aku mencium bau yang aneh, seperti bau kemaluan wanita. Tangan kanannya berada di buah dadanya sepertinya ia baru saja meremas buah dada itu, tangan kirinya dijepit oleh kedua pahanya. Dan ia tak berbusana sehelai pun. Sebagai lelaki normal aku pun terangsang. Penisku langsung bereaksi.

Gila anak ini, mastrubasi di atas kamarku. Dan aku sangat terkejut tak jauh dari tempat ia berbaring ada fotoku. Ia tak menyadari aku ada di kamar. Langsung deh seluruh pikiranku tentang pekerjaan hilang semuanya, yang ada adalah, "ngentotin dia"

Aku langsung membuka bajuku satu persatu. Hingga telanjang. Aku lalu naik ke ranjang. AKu mendengar dengkuran halusnya. Dadanya benar-benar masih kencang. Montok. Putingnya kecil pink kecoklatan. Aku lalu berada di atasnya. Ku buka kakinya, ia tak terbangun. Aku lalu tarik tangannya yang basah dengan lendir itu. Kubuka pahanya lebar lebar. Kemudian ku tindih dia. Kulit kami bertemu. Mendapatkan sensasi sentuhan itu Naura membuka sedikit matanya.

"Ohh...mas Doni...entotin Naura mas," katanya. Ia mungkin masih mengira bermimpi. Aku kemudian menciumi bibirnya. Saat itulah ia kaget. Matanya terbuka semuanya.  "Mm..mmass??? Apa yang mas lakukan?" tanyanya. "Udah, ndak usah dipikirkan. Dinikmati saja," kataku. Naura sebentar bingung. Tapi tak lama kemudian ia mengerti, bahwa sekarang orang yang diimpikannya sudah ada di atas tubuhnya. Bibirnya kemudian menyambutku dengan kecupan lembut. Kurasakan bibir itu masih lembut, aku bisa rasakan lipgloss yang ia pakai. Lidah kami bertemu dan berpanggut. Kami saling menghisap ludah dan bermain lidah. Lalu aku menciumi lehernya, kuberi cupangan-cupangan di sana. Kemudian turun ke belahan dadanya yang menggoda. Ku hisap, kuciumi dan kujilati buah dadanya. Kuremas dan kuhisapi pentilnya yang mungil itu.

"Ohh...mass...aku tadi mastrubasi sambil bayangin beginian ama mas, sekarang jadi nyata....ohh...terus mas...terus...," katanya.  Aku jilati dadanya, kulingkari putingnya dengan lidahku, lalu kucolok-colok dengan ujung lidahku. Lalu kuhisap kuat. Hal itu membuatnya menggelinjang. Aku melakukan itu bergantian. Tangannya memelukku, menikmati kegelian rangsangan ini. Aku lalu turun, ke perutnya dan kemudian aku melihat memeknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Ia terkejut ketika lidahku menari-nari di sana. Membasahi rongga kenikmatan dan menyedot-nyedot klitorisnya.

Pantat Naura terangkat, beberapa kali ketika klitorisnya kumainkan kedua pahanya mengapitku. Kuciumi pahanya yang mulus itu. Kuberikan rangsangan ke selakangannya, membuat setiap rangsangan itu adalah sebuah pelukan dan erangan yang kluar dari mulutnya. Bibir bawahnya digigit dengan giginya yang putih. Matanya memutih menikmati setiap sensasi rangsangan yang aku berikan. Ia sudah becek sekali di bawah sana. Aku lalu kembali ke atas. Perutnya aku ciumi, kujilati, lalu ke dadanya lagi, kemudian ke lehernya. Kemudian kami berciuman penuh nafsu, aku lalu menciumi pipinya dan telinganya ku gigiti. Naura mendesah. Ia pun aktif, kini ia yang menciumiku, menggigiti telingaku, kemudian menghisap leherku, menciumi dadaku. Ia mendorongku untuk berbaring ke sampingnya.

Naura tak tinggal diam, ia terus menciumi seluruh tubuhku, menjilatinya. Kemudian ia memegang penisku. Diurut dan dipijatnya penis tersebut. Ia lalu berbisik ke telingaku, "Penis mas gedhe banget, punya Andi ndak ada apa-apanya."

Aku tersenyum. "Diisep dong!"
Ia tersenyum, kemudian menciumi kepala penisku. Dijilatinya kepalanya, lalu ia membuka mulutnya dan memasukkan penisku ke mulutnya. Ia hisap-hisap dan kocok.Enak sekali. Kepalanya naik turun dan tangannya mengocok penisku. Walaupun tak seenak apa yang dilakukan bunda, tapi it's OK-lah, mungkin ia belajar dari bokep amatir.

"Kamu sering nonton bokep ya?" tanyaku.
Ia mengangguk. Naura lalu menciumi testisku, kemudian menjilatinya, ia juga menjilat bagian bawah testisku. Membuat penisku makin tegang aja. Darah berdesir ke kepalaku.

"Udah Naura, masukin aja, aku ingin merasakan memekmu," kataku. Ia lalu duduk di atasku. Ia angkat pantatnya dan menyesuaikan kepala penisku di lubang memeknya. Ia gesek-gesek, lalu ditekannya ke bawah.

"OOOuuwww....maaasss...hhhmmmhh...," desahnya. Penisku meluncur ke dalam memeknya. Memeknya meremas-remas penisku. Sepertinya kaget dengan ukurannya. "Itunya mas penuh, sampai mentok ke rahimku."

Kedua telapak tangan kami saling berpegangan. Ia berjongkok dan bergerak naik turun. Buah dadanya naik turun seperti pohon pepaya. Penisku mendapatkan sensasi yang sangat nikmat. Naura kebingungan dengan posisinya karena penisku terlalu panjang dan besar. Karena itu gerakan apapun yang ia lakukan baik diputar, digesek, dikocok, naik turun atau sekedar diam, selalu memberikan efek nikmat yang luar biasa. Gesekan demi gesekan kulit kemaluan kami menimbulkan suara kecipak yang menggairahkan. "Mas, Naura ndak kuat. Mau pipis lagi," katanya.
"Barengan dong, sebentar," kataku. Aku lalu duduk. Kuhisap lagi teteknya
sebentar, kemudian aku membaringkannya. "Nah begini dong. Aku ingin ngentotin kamu pake gaya ini."

Aku kemudian memeluknya. Dan sekali lagi pantatku naik turun memompanya. "Ndak mas, Naura ndak kuat, mau pipis," katanya.
"Sebentar lagi sayang, aku percepat ya," kataku. "Biar bisa keluar bareng."
Naura memejamkan mata. Kedua tangannya melingkar di leherku, dan ia menggigit bibirnya. Sepertinya ia sudah tak tahan lagi. Vaginanya benar-benar banjir. Suara gesekan kemaluan kamilah yang menghiasi ruangan ini. Benar-benar nikmat memeknya. Walau sudah ndak perawan lagi sih. Agak sayang sebenarnya. Aku percepat goyanganku. Penisku pun mau menembak. Tiga hari ndak main, spermaku sangat matang. Kalau Naura sedang subur, bisa hamil dia sekarng ini.

"Naura...keluar aku..keluaaarrrr," kataku.
"Aku juga mas.....aaaahhkkk....," katanya.
Kujambak rambutnya yang panjang berombak itu. Matanya memutih, mulutnya menganga. Aku dipeluknya erat, kedua pahanya mengapitku dan pantatnya naik ke atas menekan penisku. Dan semburan air maniku yang tak terhitung membasahi rahimnya. Ia meraba pantatku dan menekannya seolah-olah tak ingin penisku lepas begitu saja dari sana. Sekali, dua kali, tiga kali, entah berapa kali spermaku menyembur. Setelah gelombang orgasme dahsyat itu reda. Naura lemas. Aku kemudian mencabut penisku pelan-pelan. Dan ketika sudah berpisah kedua kemaluan kami, tampak wajah Naura memberikan rasa puas.

AKu lalu tidur miring di sampingnya. Tangan kiriku memegang toketnya. Tampak dadanya naik turun karena nafasnya berat. Ia terengah-engah. Tangan kanannya menutupi keningnya.

"Mas...ini tadi ML terhebat yang pernah aku rasakan," katanya.
"Oh ya?" tanyaku.
"Iya, Andi ndak pernah seperti ini kalau bercinta. Ia tak pernah bisa membuatku orgasme sampe berkali-kali kayak tadi," katanya.
"Lagian punya mas juga gedhe."
Aku masih meremas-remas toketnya. "Dada kamu indah banget. Dan memek kamu masih enak koq." Di depan wajahku tampak ketiak putih Naura. Aku jadi bernafsu ingin menciumnya. kuciumlah ketiak putih tanpa bulu itu.
"Ahh..mas...ih geli," katanya sembari menghindar.
Tapi tangan kiriku menahan tubuhnya untuk tidak lari. Akibatnya Naura menerima saja. Aku tersenyum.
"Geli mas," katanya sambil cemberut.
"Kamu ini cantik ya, aku baru tahu kamu ketika tak pake jilbab cantik seperti ini. Bodoh itu si Andi ninggalin kamu," kataku.
"Mas, kalau aku nanti hamil gimana?" tanyanya. "Aku lupa ndak minum pil hari ini. Lagian biasanya aku ngelakuin Andi pake kondom. Ini pertama kalinya aku ngelakin ama orang lain ndak pake kondom lagi."
"Perasaanmu gimana?" tanyaku.
"Seneng sih, dari kemarin entah kenapa di pikiranku hanya ada mas. Bahkan sampe mastrubasi mikirin mas," katanya.
"Kalau kamu senang, berarti ndak masalah kan?" tanyaku. "Kalau pun nanti kamu hamil pun ndak masalah. Aku akan melamarmu ke ayahmu. Hanya saja satu syarat. Engkau mau menerima seluruh keadaanku."
"Menerima keadaan mas? Siapa yang ndak bakal nerima? Mas udah kaya, mungkin uang ndak masalah lagi. Aku pasti mau dong," katanya.
"Bukan itu sih masalahnya," kataku.
"Trus apa?" tanyanya.
"Aku belum bisa cerita. Biarin aku menikmati ini dulu," kataku.

Aku menciumi bibirnya. Gairah kami pun kembali naik dan mengulangi lagi pergumulan ini. Kali ini kami melakukannya dari samping. Naura membelakangiku dan aku menyodoknya dari belakang. Pantatnya pun membuatku nikmat saat menyodok. Seharian itu aku habiskan hanya untuk ngentot dan ngentot.  Setelah makan malam, kami ngentot lagi. Esoknya juga. Bahkan selama 4 hari penuh kami seperti pasangan penganten baru. Mandi bareng, kami ngentot. Di dapur setelah makan dan cuci piring kami ngentot. Bahkan kami jarang pake pakaian. Toh setelah dipakai kami pasti buka baju lagi. Penetrasi demi penetrasi aku lakukan tiap hari. Istrihat kami hanya tidur dan makan.

Ada kejadian yang aku tak akan lupa, yaitu saat menelpon keluargaku di rumah terutama Nur. Ia yang paling khawatir terhadapku, aku bilang aku baik-baik saja dan istirahat di rumah. Saat itu aku menyodok pantat Naura di ruang tamu sambil ia tertatih-tatih berjalan. Rasanya penisku tak ingin lepas dari memeknya. Mendapat perlakuan itu Naura sangat bergairah, ia ngikik tapi tertahan dan menutup mulutnya sampai aku selesai menelpon. Baru ia tertawa lepas. Aku lalu melanjutkannya menyodok pantatnya sedang ia berpegangan di sofa. Saat mau keluar aku suruh dia untuk berlutut. Aku ingin keluar di mulutnya. Naura pun membuka mulutnya dan kuarahkan penisku di mulutnya. Keluarlah spermaku dan ia tampung di sana. Lalu ia menelannya.

Sampai pada hari kelima ia sudah siap untuk pulang. Kemudian saat itulah aku bercerita tentang keadaanku. Betapa kagetnya Naura. Ia seakan-akan tak percaya terhadap apa yang aku ceritakan. Aku sudah menduga, tak banyak orang yang akan mau menerima keadaanku yang sesungguhnya. Aku pun udah siap Naura akan menolakku.

"Mas, aku tak menyangka kalau seperti itu," kata Naura.
"Memang benar, ini berat bagiku juga bagi semua orang. Dan aku sudah siap koq kalau kamu tidak mau menerimaku," kataku.
Naura terdiam sebentar. "Maaf mas, aku hanya ingin berterima kasih saja kepada mas atas peristiwa kemarin. Kalau sampai sejauh itu, aku bingung jawabnya. Dan juga harus menerima mas yang seperti ini. Tapi aku yakin mas kemarin nolong aku tulus, maaf ya mas."
"Tidak mengapa," kataku.
Kami pun balik lagi. Rasanya hubunganku dengan Naura ini juga singkat. Ndak bakal bertahan lama. Aku mengantarnya sampai muka gang. Takut kalau ditanyai macem-macem.
"Kejadian ini, jangan diceritakan ke siapa-siapa ya mas?" bujuknya.
"Aku tak mau nanti jadi sesuatu di komplek ini."
"Iyalah, bodoh apa aku bilang-bilang. Ini rahasia kita," kataku.
Demikianlah hubunganku yang singkat dengan Naura. Sekalipun setelah itu kami bertemu lagi, ada pandangan-pandangan aneh antara kami. Dan terus terang terkadang ia berkata kepadaku ia rindu dengan peristiwa di Villa itu. Ingin sekali rasanya mengulang saat itu. Naura pun kemudian berkata bahwa kalau aku kepingin bercinta dengan dia, kapan pun dia siap, tetapi kalau untuk serius dia tidak mau. Anggap saja kita melakukannya suka sama suka dan karena kebutuhan.

BAB 11
************
KEPONAKANKU ANISA


Bunda akhirnya lahiran. Anaknya cowok. Bunda sangat senang sekali. Bahkan anaknya sangat mirip aku. Aku seperti yang lainnya juga menunggu proses lahiran. Mulai dari muncul kepalanya hingga keluar semua. Kukecup kening bunda. Ia benar-benar wanita yang hebat. Nama anak kami kunamai Pandu.

"Habis ini bakal rebutan ama papahnya nih," kataku. Bunda ketawa.
"Papahnya ngalah dulu ya?" katanya sambil menciumku.
Kebahagiaan keluarga kami bertambah. Kemudian yang tidak disangka pun datang. Sepupuku yang pernah tidur dengan ayahku, Laura. Aku memang cuma sekali bertemu dengannya, mendengar bunda lahiran ia pun datang ke rumah sakit menjenguk. Ketika melihatku ia sangat kaget. Ia kira aku adalah ayahku. Tapi ketika melihat bunda ia pun jadi mengerti kalau aku bukan ayah.

Tampak seorang gadis yang kira-kira masih SMA bersama Laura.
"Bibi, apa kabar?" sapanya.
"La..Laura?" bunda tampak terkejut.
"Kudengar bibi lahiran, makanya aku ke sini. Anak siapa? Anak dia?"
"Mau apa kamu ke sini?" tampak bunda kesal dengannya. Pastilah, orang yang pernah merebut cinta bunda koq.
"Ternyata kita sama aja ya, suka ama keluarga sendiri. Tidak ayah tidak anak sama saja," kata Laura dengan senyum sinis. "Untung dulu ayahmu ndak pernah ngehamilin aku, sekarang aku sudah punya anak dari orang lain. Tapi aku ke sini cuma ingin memberikan pernyataan menang. Kutukanku berhasil bukan?"

Aku juga rasanya agak marah ama Laura.
"Apa maumu?" tanyaku.
"Tidak ada koq, aku cuma ingin mengucapkan selamat aja tidak lebih. Oh iya, kenalkan anakku Anisa," katanya sambil menunjuk Anisa yang baru saja masuk. Bunda menitikkan air mata.
"Sebaiknya kamu pergi aja deh!" kataku.
"Kalau ingin membalasku silakan saja, tapi toh kata-kataku benar bukan? Like father like son. Untungnya paman itu anak tunggal, coba kalau ndak, aku tidak tau apa yang akan terjadi ama kalian semua," kata Laura.

Sialan ini cewek. Kepengen aku kerjai aja. Ketika aku melihat ke arah Anisa alamaak cakep banget. Wajahnya mirip para personel Cherrybelle. Mulus dan bening. Aku tak tahu kalau Laura punya anak secantik ini.

Setelah memanas-manasi bunda, Laura pun pergi. Bunda sangat bersedih. Rupanya Laura mendendam kepadanya. Aku sangat sedih dengan apa yang terjadi kepada bunda. Dan aku punya rencana jahat. Sangat jahat, bahkan ia tak akan pernah melupakan seumur hidupnya.

***
Anisa duduk di bangku SMK. Ia adalah seorang blasteran. Ayahnya orang Kaukasia, pantas saja cakep. Hari ini aku ingin melakukan pembalasan. Aku sengaja mengikuti Anisa dari sejak pulang sekolah, tujuanku hanya satu, yaitu buntingin dia sama Laura. Biar itu si Laura bunuh diri sekalian deh. Karena ia sudah membuat bunda menangis semaleman.

Anisa jalan ama temen-temennya, kemudian dia ngemall, aku tetap ikuti dia. Hingga aku membuat sekenario. Aku secara tak sengaja bertemu dengannya di mall.
"Lho, Anisa?" sapaku.
Ia kebingungan. "Siapa ya?"
"Aku Doni pamanmu," jawabku.
"Oh, yang kemarin. Maafin mama ya om," katanya.
"Aku ndak tau ada apa di antara kalian sampai-sampai mama kayak gitu."
"Iya, aku bisa mengerti koq, sendirian aja?" tanyaku.
"Iya nih, sedang cari-cari buku," katanya.
"Oh, kebetulan aku juga sedang cari buku," aku berbohong.
"Sama-sama yuk?"

Ia tersenyum dan mengiyakan. Kami kemudian berjalan-jalan, sesekali bergurau. Kemudian setelah kami mendapatkan buku yang dicari, kemudian kami pun pulang, ia kuantar pulang. Aku memohon kepadanya agar tidak menceritakan pertemuan kita ke ibunya, nanti malah berabe. Ia pun setuju dan kami berjanji untuk ketemu lagi, saling tukar nomor hape.

Aku dan Anisa sering bertemu. Aku mulai mendekati Anisa, seperti merayunya, memberikan dia hadiah, dan kejutan-kejutan yang ia tak pernah sangka sebelumnya. Intinya semua sikap itu aku berikan kepada Anisa, hingga aku ingin ia takluk kepadaku. Dari ketika mengajak dia jalan, awalnya dia enggan untuk ku gandeng, kemudian setelah itu kami tidak enggan lagi. Bahkan Anisa lebih aktif untuk menggandeng tanganku setiap jalan.

Anisa termasuk gadis yang sedikit pemalu sebenarnya. Semenjak aku dekat dengannya dan memberikan kejutan-kejutan, ia pun sudah tidak malu-malu lagi. Katanya ia sangat nyaman kalau dekat denganku. Walaupun kami tak resmi bilang pacaran, tapi kami sudah sangat dekat, mendekati orang pacaran.

***

Hal yang mengejutkanku pun datang. Bunda sakit. Terkena stroke. Tentu saja aku kaget, bagaimana anak kami? Kubisa melihat wajah bunda yang sendu. Selama semingu aku menungguinya di rumah sakit. Beliau tidak sadarkan diri selama seminggu ini. Padahal beliau baru kurang dari sebulan ini lahiran. Ditambah tidak mendapatkan asupan makanan karena tidak sadarkan diri, bunda harus transfusi darah. Sebenarnya dokter tahu kalau aku hubungan incest dengan bunda tapi aku telah mengatakan kepadanya untuk merahasiakan ini. Ia pun mengerti dan aku bersyukur karena itu. Dengan darahku bunda yang mengalami pendarahan bisa tertolong.

Akulah yang setiap hari menjagai selang infusnya. Aku juga yang setiap hari membersihkan dia kalau sedang buang air. Aku juga yang setiap hari menyeka tubuhnya. Kak Vidia menawarkan diri untuk menjaga bunda, tapi aku tolak. Aku lebih memilih agar anakku saja dijaga. Hampir tiap hari Kak Vidia dan Nur datang ke rumah sakit menjenguk kami berdua. Mereka mungkin bisa merasakan capeknya diriku. Mataku pun mulai sembab. Tiap malam aku selalu disampingnya, bahkan sampai lupa makan.

"Pah, papah jangan begitu dong. Masa' sampai lupa makan?" Nur marah-marah kepadaku. "Aku tahu papah lebih sayang kepada bunda, tapi ingat kondisi juga, jangan sampai kami semua lebih sedih lagi!"

Kak Vidia pun ikutan marah, "Malu-maluin papah sampe jatuh tadi di lorong gara-gara lupa makan. Kalau papah sakit juga, kami bagaimana?"
"Iya, aku minta maaf," kataku. "Aku sangat khawatir kondisi bunda sehingga nggak tau lagi harus bagaimana."
Kak Vidia lalu mencium keningku, lalu menggosok-gosok bekas ciumannya. "Aku tahu koq papah sangaaaaat cinta ama bunda. Bahkan, mamah bisa tahu setiap kali bercinta ama mamah, papah pasti ingat bunda. Tapi itu tak membuat mamah marah. Mamah akan lakukan apapun untuk kalian berdua."

"Kak Vid," aku pun memeluknya. "Makasih ya."
Nur juga memelukku untuk membesarkan hatiku. Ia pun berbisik, "Optimis saja mamah pasti sembuh."
Akhirnya setelah kejadian itu, setiap pagi Nur datang ke rumah sakit, sorenya kak Vidia. Sudah 2 minggu bunda di rumah sakit. Untung sekali kami punya asuransi, jadi dokter akan berusaha sebaik-baiknya untuk menolong bunda. Terlebih kami punya fasilitas asuransi gold dengan premi yang besar, sehingga penanganan bunda nantinya bisa maksimal. Selama menunggui bunda aku selalu memegang tangannya yang lembut. Sambil sesekali aku kecup keningnya. Aku perlu mempersiapkan tissue dan menyeka bibirnya berkali-kali ketika busa keluar. Entah kenapa koq rasanya sekarang aku jadi anak yang tidak durhaka, padahal selama ini aku berbuat yang sangat buruk kepada bunda. Menyetubuhi ibu sendiri itu dosa, sungguh hal itu sekarang aku rasakan. Apakah ini cobaan ataukah ini siksaan? Aku sudah lama juga tidak sholat. Sekali-kali saja aku sholat, kalau ingat, kalau nggak ya nggak. Akhirnya entah siapa yang menggerakkanku. Malam itu aku pun jadi religius. Aku sholat malam dan berdo'a hingga subuh. Melihat bunda seperti ini pun aku tak tega. Akhirnya aku berdo'a, "Tuhan, kalau misalnya kematian lebih baik bagi bundaku, aku rela. Asalkan jangan engkau perlihatkan kepadaku ia menderita sakit seperti ini. Kami sadar kami lakukan banyak hal yang salah, tapi....apa yang bisa aku lakukan sekarang?"

Malam itu pun aku menangis mengharap kesembuhan bundaku. Pagi sudah memunculkan mentari dari ufuk timur. Dan aku masih di kamar bunda menanti-nanti suster atau dokter yang mengecek dan mengontrol kondisi bunda. Setelah mereka selesai mengecek, aku sholat lagi. Entah kenapa akhir-akhir ini aku banyak sholat. Ketika Kak Vidia menjengukku dan bunda, dia menyaksikanku bersujud, ia pun duduk menantiku selesai. Setelah itu aku bangkit menghampirinya. Dia menitikkan air mata dan memelukku. Kami menangis.

Perasaanku hari itu tak enak. Rasanya aku harus ada di dekatnya. Tak cuma aku tapi juga Kak Vidia dan Nur pun begitu. Mereka ada di kamar bunda dan berdekatan denganku. Saat itulah bunda membuka matanya. Aku tak bisa menahan haru akhirnya bunda siuman. Aku segera memanggil suster ketika tahu bunda sudah siuman. Bunda tak bicara, mereka hanya melihat kami.

"Bunda, bunda sudah siuman?" tanyaku gembira.
Semuanya gembira, namun ketika dokter hadir semuanya jadi cemas. Dokter memeriksa bunda. Melihat matanya dan mengecek tekanan darahnya. Ia pun menggeleng.

"Kenapa dok?" tanyaku.
"Maafkan saya pak, kayaknya istri anda tidak bisa ditolong," jawabnya.
"Tapi dok, dia siuman dia membuka matanya!" kataku.
"Iya, tapi itu pengaruh pembuluh darahnya sudah pecah di otak. Sehingga merangsang syaraf mata di otak, dan akibatnya ia bisa membuka matanya. Tapi ia tak bisa apa-apa. Tapi sekarang ini ia mendengar kalian semua. Yang bisa saya katakan adalah waktunya tak banyak, ucapkanlah kata-kata terakhir karena ia akan menghadap sang kuasa sebentar lagi," kata dokter sambil memegang pundakku kuat-kuat.

Tubuhku gemetar. Aku melihat bunda membuka matanya tapi ternyata justru ini saat-saat terakhirnya. Aku bersedih, sangat bersedih. Aku pun berkali-kali berkata, "Maafkan aku, maafkan aku bunda maafkan aku."

Kak Vidia dan Nur ikut bersedih. Aku pun merasakannya, ketika tangan bunda mendadak dingin dan kemudian seluruh tubuhnya mendingin. Matanya kini menutup dan sebuah senyuman menyungging di bibirnya, seperti ia hendak ingin bicara. Tapi ternyata nyawanya telah pergi. Bunda telah tiada hari itu. Kak Vidia dan Nur bersedih, mereka menangis tanpa henti.

Aku berdiri di depan nisan bunda. Kak Vidia dan Nur ada di belakangku. Kak Vidia mengajakku untuk pergi, tapi rasanya aku tak bisa meninggalkan bunda di dalam kuburannya. Aku pun meremas tanah kuburannya. Orang yang aku cintai pergi lagi. Tapi yang ini pergi untuk selamanya. Tak ada lagi orang yang mau memelukku dengan hangat, tak ada lagi yang selalu menyanjungku, tak ada lagi bunda. Saat itulah aku teringat Laura. Bunda pasti perasaannya tertekan dengan kata-kata Laura. Sebab setelah itu aku bisa melihat bunda berubah. Aku pun punya satu tujuan. Yaitu kuhancurkan hidupnya. Aku kemudian berdiri dan kuajak Kak Vidia dan Nur pergi. Aku pun merancang rencana balas dendamku.


Perusahaanku makin besar. Aku pun bekerja sama dengan investor asing untuk bisa memperluas bisnisku ke luar negeri. Untuk sesaat, aku bisa melupakan bunda dengan kesibukanku. Dan hubunganku dengan Anisa tetap jalan selama setahun ini. Dan kami malah lebih tepatnya seperti seseorang yang pacaran. Aku pun mulai melakukan hal yang gila. Kami pun mulai berani kencan itu pun sembunyi-sembunyi agar tak ketahuan sepupuku Laura.

Pada malam minggu kami kencan untuk nonton. Kami pun sempat terlibat pembicaraan. Padahal itu minggu-minggu akan ujian nasional. Ya, Anisa mau lulus. "Kalau misalnya Anisa nanti lulus, aku akan ajak ke luar negeri. Terserah deh mau pilih yang mana," kataku.

"Serius? Tapi ndak ah. Ntar diapa-apain sama paklik," katanya sambil ngikik.
"Yah, yaudah kalau tak mau. Aku bisa sendiri koq," kataku.
"Ya udah deh, sebenarnya aku ndak mau ke luar negeri. Maunya di dalam negeri saja," katanya.
"OK, tak masalah," kataku.
Waktu pun bergulir. Setelah kelulusan aku pun mengajak Anisa selama seminggu untuk pergi liburan jalan-jalan di Indonesia. Sebenarnya hal ini adalah ideku untuk bisa tidur sama Anisa. Tujuan awal kami adalah pantai Losari. Kami satu pesawat, bahkan semenjak di pesawat kami asyik sendiri. Ngobrol ngalor ngidul dan aku pun mulai berani untuk pegang tangan bahkan tanpa dikomando, bibir kami menyatu begitu saja. Setelah itu kami diam, tapi tangan kami makin erat menyatu.

Semenjak turun pesawat kami seperti orang pacaran. Kemana-mana nempel terus, bahkan ketika sampai di hotel dan check in, kami memesan one room, one bed. Awalnya aku pesan 2 kamar, tapi ia menolak. Aku pun keheranan. Aku sih OK OK aja. Saat masuk kamar itulah aku tahu kenapa. "Mas, Anisa kepingin berduaan saja ama mas," kata Anisa.
"Kamu kenapa Nis?" tanyaku.
"Aku suka ama mas. Sewaktu mas mengajakku liburan aku sudah siap koq mas melakukan ini," katanya.
"Melakukan apa?" tanyaku memancing.
"Aku sudah tahu semua tentang mas dari mamah. Dan aku tahu mas berusaha mendekatiku selama ini. Mungkin mas kesepian karena selama ini hanya berhubungan dengan keluarga mas saja. Apalagi bibi sudah meninggal. Mas, perasaanku setiap ketemu mas selalu berdebar-debar. Aku selalu membayangkan mas, aku selalu ingat mas. Tiap makan ingat ama mas, tiap belajar ingat ama mas. Tahu nggak sih kalau aku sangat suka ama mas?" kata-kata Anisa itu tak pernah kuduga sebelumnya. Aku saja tidak merencanakan kalau ia akan seperti ini. Jadi rencanaku lebih cepat dari jadwal.

Aku memegang dagunya lalu mengangkatnya, "Mas juga punya perasaan yang sama ana Nisa." Kami lalu berciuman dan berpelukan. Anisa memelukku erat sekali, seakan-akan tak mau melepaskanku. Dari dadanya aku bisa merasakan debaran jantungnya. Anisa lebih pendek dari aku sebahu, sehingga ketika ciuman ia perlu berjinjit. Setelah berciuman ia tersenyum kepadaku.

"Hari ini, maukah mas memberikanku sesuatu yang tak terlupakan?" tanyanya.
"Apa itu?" tanyaku.
"Aku ingin memberikan keperawananku kepada mas," jawabnya.
"Waduh, ntar ibumu nanti bagaimana kalau tahu?" tanyaku.
Ia menggeleng. "Aku tak peduli ama mamah. Obsesi mamah cuma kepingin kaya saja, aku saja di rumah dicuekin. Plis mas, aku ingin merasakan robeknya keperawananku!"

Aku takjub dengannya. Kuambil nafas sebentar. Ini bakal jadi hubungan sedarahku lagi. Aku belai rambutnya. "Baiklah kalau itu maumu, tapi kita lakukan nanti ya," kataku. Aku ingin melihat kesungguhannya dulu. Siapa tahu dia cuma main-main. "OK," katanya.

Wajah Anisa tampak cerah. Kami berdua mengeluarkan isi koper, kemudian ganti baju. Saat itulah aku melihat Anisa membuka bajunya, ia ganti baju tanpa risih kepadaku. Aku bengong.
"Koq bengong?" tanyanya. "Kesengsem?"
Aku tertawa. Kemudian aku juga mencopot bajuku, kami berdua telanjang di kamar. Anisa gantian yang bengong. Ia menelan ludah.
"Kenapa Nis?" tanyaku.
"Tidak apa-apa mas, boleh aku peluk mas?" tanyanya.
Aku diam saja, lalu mengangguk. Ia pun maju dan memelukku. Kulit kami pun bersentuhan memberikan rasa horny. Saat puting susunya menempel di dadaku darahku berdesir ke ubun-ubun. Sialan, bau parfumnya menusuk hidungku dan menggoda, penisku pun mulai tegang.

"Mas, tolong jangan pergi ya, pliiss. Aku suka sama mas, tolong jangan tinggalin aku. Aku rela pergi dari rumah, aku rela ninggalin mamah asalkan bisa bersama mas," katanya. Tangannya melingkar ke punggungku. Ia tampak nyaman bersandar di dadaku. Gilaaaa...aku bisa nafsu ama dia sekarang. Dan akhirnya OK deh, let's go.

Aku lalu menatap wajahnya. Kami berciuman lagi. Tapi kali ini lebih hot. Lidah kami saling menghisap, melumat, bertukar ludah dan lidahku sudah menjelajahi rongga mulutnya. Merasakan rasa permen yang ia makan tadi ketika di dalam pesawat.

"Koq kepengen sekarang mas? Katanya nanti?" tanyanya.
"Kamu kepengen sekarang apa nanti?" tanyaku.
"Terserah mas sih," katanya.
"Ada bidadari secantik ini di hadapanku masa' aku diam saja?" tanyaku. Lalu aku mencium lehernya, kuhisap, kujilat dan kucupangi. Ada tiga cupangan di sana dan itu membuat Anisa merinding.
"Ohh...maasss..hhhmmmhh...," desahnya.
Aku kemudian mengajaknya berbaring. Karena ia masih perawan, aku tak mau terburu-buru. Kunikmati pelan-pelan dulu tubuhnya. Aku tak mau menyia-nyiakan tubuh yang belum pernah terjamah lelaki mana pun ini. Aku menciumi pipinya, hidungnya, kelopak matanya, keningnya, dan kujilati wajahnya. Aku lalu mengigiti daun telinganya, beralih ke leher kirinya kuberi cupangan lagi. Aku bisa merasakan bulu kuduknya merinding.

"Mas...ohhh," desahnya.
Tangan kananku pun aktif meremasi toketnya yang ndak terlalu besar sih, mungkin karena masih ABG. Putingnya yang kemerahan aku pelintir-pelintir. Aku lalu menciumi buah dadanya, kuhisapi hingga bercupang, kemudian aku hisapi juga putingnya, kujilati dan kumainkan.
"Ohh...terus mas...Nisa suka mas gituin, rengkuh kenikmatan dari tubuh Nisa. Jadiin Nisa istri mas," katanya merancau.
Aku kini konsentrasi untuk menciumi seluruh tubuhnya. Kuberikan stimulus-stimulus yang bisa merangsangnya. Akhirnya aku tahu titik-titik sensitifnya sekarang, yaitu di bawah ketiak, perut bagian bawah dekat dengan memeknya, pinggangnya dan jempol kakinya. Setiap kali aku mencium atau menghisap tempat itu ia menggelinjang hebat. Apalagi ketika jempol kakinya aku hisap, ia meronta-ronta untuk dilepaskan. Aku makin kesetanan mengemut jempol kakinya ia pun orgasme tanpa aku apa-apain. Cuma ngisep jempol kakinya. Ternyata apa yang aku lakukan bisa merangsangnya seperti itu. Beda dengan Kak Vidia maupun Nur, walaupun itu juga titik sensitifnya tapi tak sebegitunya juga. Aku jadi yakin kalau sepertinya Anisa sudah horni dari tadi.

"Mas, masukin dong mas.... pliiiss Nisa udah geli, udah kepingin merasakannya. Kumohon maasss....," Nisa mengeluh. Pinggulnya sekarang bergerak kiri kanan, aku bisa mencium bau cairan kewanitaannya yang memabukkan. Aku lalu menciumi pahanya, kakinya kuangkat sedikit agar bisa kubuka dan melingkar di pinggangku. Wajah Anisa tampak pasrah, ia memejamkan mata. Badanku maju menindihnya. Penisku sudah berada tepat di mulut memeknya. Aku gesek-gesek dulu kepala penisku, pelan-pelan kugesek. Rasa kenikmatan langsung menyebar ke seluruh tubuhku dan naik ke ubun-ubun. Rasa ini mirip ketika aku memerawani Nur.

"Maass...oohhh..geli mas...," katanya.
Aku kemudian mendorong sedikit kepala penisku. Susah, memang cairan pelumasnya banyak, tapi kepala penisku yang cukup besar itu begitu susah masuk. Apa karena dia masih ABG? Pinggangku pun maju mundur dengan pelan-pelan. Kepala penisku geli sekali, berkali-kali cairan kewanitaannya keluar membuat kepala penisku gatel. Susah sekali untuk bisa masuk, maklum tentunya karena tak pernah dimasuki. Anisa memelukku. Dan makin erat ketika aku makin menekan ke dalam. Untuk mengurangi rasa sakit aku merangsang dirinya pada bagian tubuh yang lain seperti leher dan dada. Kuhisap-hisap teteknya, kemudian ketika ia sakit lagi, kuhisap lehernya. Ketika mendorong dan ia meringis kesakitan aku tahan sebentar. Kutarik lalu kudorong lagi. Penisku berkedut-kedut, bahkan vaginanya pun makin meremas-remas batangku. Permukaan penisku mulai disirami oleh cairan pelumasnya. Dan serasa makin gatel ingin terus masuk.

"Sakit Nis?" tanyaku.
"He..eh...sakit, tapi teruskan saja mas, aku ingin menjadikan hari ini sebagai
hari yang tidak terlupakan," katanya.
Dan aku agak menghentakkan pantatku. Hal itu membuat ia kaget, seketika itu juga batangku bisa masuk semua hingga penuh. Di dalam memeknya yang hangat dan berkedut-kedut itu penisku benar-benar merasakan kehangatan. Anisa mencium bibirku, aku tak pernah tahu bagaimana rasa sakitnya ketika keperawanan dirobek. Tapi rasa sakit itu cuma sebentar. Tergantung dari perlakuan pihak laki-lakinya. Terkadang ada yang sampai brutal. Sudah tahu pasangannya sakit tapi diterobos terus hingga itu menjadikan sebuah mimpi buruk. Bahkan sampai berminggu-minggu rasa sakitnya belum hilang. Untunglah aku tidak pernah melakukan hal itu kepada siapapun. Baik kepada Kak Vidia ataupun Nur. Mereka menikmati percintaan yang aku berikan kepada mereka.
Kak Vidia sudah memendam perasaan kepadaku ketika aku memerawaninya di gua waktu itu. Dan setelah keperawanannya lepas, ia tak merasakan sakit lagi setelah itu. Itu merupakan sebuah perasaan psikologis yang ada pada diri seorang wanita. Ketika ia harus menerima cinta dan kerelaan, maka secara psikologis, ia merasakan dirinya tercabik untuk pertama kalinya. Dan ketika kerelaan itu dibarengi dengan rasa nyaman ketika berhubungan hal itu membuat dirinya rileks, membuat percintaan yang hangat tanpa takut ketika keperawanan telah direnggut oleh orang yang ia cintai.

Sekarang aku tak perlu ragu lagi menggagahi Anisa. Ia sekarang pasrah. Aku bisa merasakan sekarang pinggulnya ikut mencari kenikmatan bersamaan dengan goyangan pantatku. Tangan Anisa menekan pantatku, seolah-olah adalah instruksi agar aku lebih dalam lagi menghujamkan senjataku. Aku pun makin bersemangat untuk menggenjot. Bulir-bulir keringat sebesar jagung bisa keluar dari kamar hotel ber-AC ini. Tubuh kami sekarang sedang dibakar oleh bara api asmara. Panggutan demi panggutan, remasan demi remasan membuat kami mabuk kepayang. Setiap gerakan pinggul kami membuat sensasi kenikmatan birahi yang tak bisa diucapkan lagi dengan kata-kata.

Anisa menikmati sensasi setiap gesekan kulit kelamin kami. Matanya terpejam dan menyipit. Ia meringis, mengeluh, mendesah, ia berusaha mencari-cari bibirku untuk diciumi. Setelah itu ia kembali menjerit. Desahan-demi-desahan membuat ia mabuk. Ia sudah tak ingat lagi akan dunia ini. Baginya menuju kepuasan adalah sebuah perjuangan yang maha dahsyat. Pinggul Anisa bergoyang-goyang seperti goyangan penyanyi dangdut, berusaha memancingku agar cepat orgasme. Senjataku yang ada di dalam sana makin enak saja dengan perlakuannya. Kupompa makin cepat keluar masuk.

"Aduh Nis...kamu apain punyaku???" kataku.
"Yang penting enak mas...enaakk...ooohh...jangan berhenti...terus...!!" katanya. "Nis, maaf aku ndak kuat lagi...," kataku.
"Massss....oohhh keras banget Nisa ngerasa mau pipis juga!" katanya.
"Niss...nisss.....nyemprot NIIIS!!!" kataku menghentak-hentakkan pinggulku dan kuhujamkan ke dalam, aku ndak kuat lagi ingin mengeluarkan benih-benihku. Aku tak peduli ia orgasme atau tidak. Tapi rasanya kami keluar bersamaan, karena kurasakan ia memelukku erat dan kakinya melingkar di pinggangku. Aku menindih Anisa yang sedang terlena karena air mani hangat sekarang membasahi rahimnya.

Anisa memejamkan mata. Di ciuminya wajahku. Bibirku pun mendekat ke bibirnya, mencari-cari bibirnya. Kami berpanggutan, nafas kami memburu karena baru saja melakukan aktivitas yang setara naik turun tangga 3 kali. Perlahan-lahan kucabut burungku dari sarangnya. Kubangkit sejenak melihat hasil perbuatanku. Aku melihat bercak darah di kepala penisku. Dan cairan sperma di vagina Anisa meluber keluar bercampur warna merah. Aku lalu berbaring di samping Anisa.

"Mandi yuk?" ajakku.
"Sebentar mas, Anisa masih capek," jawabnya. "Tunggu sebentar ya sayang. Mas hebat banget. Aku sering diceritain kalau selaput dara ketika robek itu sakit, tapi ketika mas melakukannya tadi Nisa hanya merasa perih di awalnya setelah itu tidak."
"Nis, boleh om tanya?" tanyaku.
"Apa mas?" tanyanya.
"Kalau misalnya kamu hamil, gimana?" tanyaku.
Nisa membuka matanya dan menoleh ke arahku. Ia mengangguk, "Tidak apa-apa mas. Kalau sampai hamil Nisa siap. Mas juga jangan pergi ya? Nikahi Nisa, Nisa rela berbagi ama mbak Vidia ataupun ama mbak Nur."

"Tidak semudah itu Nis, aku ingin bercerita kepadamu sesuatu," kataku. Nisa lalu mendengarkanku dengan seksama rahasia keluarga kami. Apa hubungan Laura ibunya Anisa dengan ayahku dan semuanya. Dan aku menceritakan bagaimana perlakuan Laura kepadanya. Nisa pun menitikkan air mata. Ia sepertinya faham akan kesedihanku. Lalu memelukku.

"Tidak apa-apa mas, ini semua salah mamah. Aku mengerti bagaimana perasaannya bibi, aku mengerti," katanya.
"Aku ingin menghamilimu Nis, aku ingin memberikan hukuman kepada Laura. Kamu bersedia kan? Aku ingin menghamilimu," kataku.
Anisa tersenyum dan menciumku, "Aku bersedia, entot aku sepuasmu mas. Hamili aku, hamili aku sesukamu. Aku suka kalau punya anak dari mas. Kalau misalnya itu bisa menghukum mamah Nisa akan sangat senang."

"Satu hal lagi," kataku.
"Apa mas?"
"Aku ingin membalas mamamu dengan cara yang lain, aku ingin dia merasakan penderitaan," kataku.
"Mas mau apain mamah?" tanyanya. "Jangan sakiti mamah!"
"Aku bukan orang bodoh yang mau menyakiti dia sampai mati. Tidak, aku ingin dia tunduk kepadaku. Dan memohon ampun. Aku tak mungkin membunuh dia," kataku. "Aku ingin kau bekerja sama denganku. Maukan?"
"Janji mas ndak bakal nyakitin mamah?" tanyanya.
"Kalau nyakitin iya, tapi ndak sampai melukainya, dan aku janji," kataku.
"Apapun deh kata suamiku," Anisa memelukku.
"Mandi yuk?!" ajakku. Anisa mengangguk. Kami kemudian bangkit dan menuju kamar mandi.

Liburan itu ibaratnya kami berbulan madu. Bagaimana tidak? Kami terus-menerus bercinta hari itu. Anisa rela aku hamili, maka dari itulah aku tak menyia-nyiakan spermaku begitu saja. Aku pasti semprotkan ke rahimnya. Selain itu ndak maulah aku sia-siakan liburan selain jalan-jalan. Maka kami pun jalan-jalan di tepi pantai dan menikmati keindahannya. Anisa dan aku seperti orang yang dimabuk cinta, kami bermanjaan dan kemana-mana bergandengan tangan. Kemudian tibalah hari di mana kami harus pulang.

"Mas, ini sprei bekas darahnya gimana?" tanya Anisa. "Kata mas-masnya disuruh beli, karena dianggap merusak properti hotel."
"Lho, koq bisa?" kami berdua tertawa. "Bawa juga ndak mungkin kan?"
"Trus gimana? Aku juga ndak mungkin bawa," katanya.
"Kita paketkan saja deh, buat kenang-kenangan," kataku.
"Mas, aku akan mengingat saat-saat ini. Aku tak akan lupakan liburan ini bersama mas," katanya. "Walaupun sedikit kita lebih lama di sini."
"Iya, aku juga. Sesampainya di rumah. Aku akan melakukan rencanaku kepada mamahmu," kataku. "Sebagaimana yang aku katakan kemarin."

"Aku mengerti mas, aku tak sabar menunggu saat kita bersama nantinya," kata Anisa.

BAB 12
***********
PEMBALASAN UNTUK LAURA

Kejujuran kepada Kak Vidia dan Nur tentang Anisa membuat keduanya sedikit cemburu. Mereka ngambek. Mereka tak rela kalau anak dari musuh bunda malah ingin aku nikahi. Tapi aku meyakinkan kalau aku melakukan ini untuk membalas Laura dan aku berjanji akan melakukannya. "Pah, ini gila pah. Aku tak setuju papah menjalin hubungan dengan anaknya si pelacur itu. Tidak mamah ndak setuju," kata Kak Vidia. "Kalau Kak Vidia tidak setuju, Nur apalagi. Apa papah lupa perbuatannya ke bunda? Nur sangat bersedih kalau sampai papah menikah dengannya," kata Nur.

"Tunggu dulu, aku ingin jelaskan semuanya dulu, kalian jangan sewot begitu dong," kataku. "Jujur selama ini aku diam pah dan sabar ketika papah lebih mencintai bunda daripada kami, tapi kalau sampai papah melakukan hal itu juga kepada cewek itu, mamah ndak rela," kata Kak Vidia. "Kalau sampai papah menikah dengannya, jangan sampai ia menyentuhkan kakinya ke rumah kita. Mamah ndak rela. Mamah ndak mau melihat wajahnya."

"Mamah juga begitu, ndak suka. Papah lebih baik menghamili tetangga kita Bu Dian itu daripada harus menikah dengan Anisa itu!" kata Nur sewot. Oh iya, ia tidak tahu kalau aku sudah meniduri Dian, tetanggaku sendiri. "Pokoknya mamah ndak setuju."

"Dengarkan dulu, semua ini aku lakukan untuk membalas perbuatan Laura. Aku ingin menghukumnya dan Anisa tahu hal ini. Ia pun mendukungku!" kataku. Semuanya diam. Kak Vidia menoleh ke arahku. Nur pun demikian. Mereka agak kaget dengan kalimatku.  "Membalas si pelacur itu?" Kak Vidia tak mengerti. "Ya, aku akan membalasnya terhadap apa yang dilakukannya terhadap bunda. Aku akan buat dia menyesal seumur hidupnya," kataku.

"Caranya?" tanya Nur. "Aku sudah melakukannya, aku menghamili Anisa," jawabku. "Apaa???" mereka semua kaget. Kak Vidia lemes, ia pun duduk di samping Nur. Nur menutupi wajahnya. Ia tak percaya terhadap apa yang barusan terjadi. Rasanya dunia sudah hampir kiamat pikirnya.  "Ini baru tahap pertama aku menghancurkan kehidupan mereka. Aku masih terus melakukannya, kuharap kalian mau membantuku," kataku.

"Tapi...tapi kenapa harus menghamili cewek itu?" Nur seakan-akan tak percaya. "Apakah tak ada cara lain? Aku...tak percaya papah mau melakukan hal itu dengannya." "Aku telah menceritakan keadaan kita kepadanya dan dia rela menerimaku apa adanya. Ia rela menerima kalian sebagai saudara, Laura akan menderita setelah ini aku yakin itu," kataku. "Aku akan tetap melakukan rencana ini, tanpa kalian setujui atau tidak."

Setelah itu aku pun pergi. Aku tak tahu bagaimana perasaan Nur dan Kak Vidia setelah itu. Aku seperti mengkhianati cinta mereka dengan melakukan hal itu bersama Anisa. Tapi mau bagaimana lagi, ia ternyata mau juga denganku dan tergila-gila kepadaku. Aku sudah rencanakan semuanya. Aku ingin Laura merasakan penyesalannya seumur hidup.

***

Laura sebenarnya mengetahui kedekatan Anisa denganku. Ia juga sering memergoki Anisa BBM-an denganku. Bahkan ketika membaca buku harian anaknya sedang dekat dengan seseorang maka kemudian Laura mulai curiga, siapakah pria yang mendekati anaknya itu. Rasa penasaran Laura pun makin menjadi ketika anaknya pergi liburan ke luar pulau. Anisa beralasan liburan dengan teman-temannya. Tapi sebagai naluri seorang ibu, ia tak akan mungkin percaya begitu saja. Akhirnya, setelah pulang dari liburan itu Laura mencerca anaknya dengan banyak pertanyaan. Terjadi perang mulut hebat antara dia dengan Anisa, ketika Laura mengetahui bahwa anaknya dekat denganku.

Akhirnya pertengkaran itu membuat Anisa harus dikurung di kamar tidak boleh keluar menemui siapapun. Suaminya menasehati Anisa bahwa terlalu keras menghukum anaknya. Laura lagi-lagi melakukan pembelaan bahwa apa yang dilakukannya sudah benar. Suaminya pun akhirnya tak bisa berbuat apa-apa. Mungkin dia tipe suami yang mematuhi apa kata istrinya.

Laura ini lebih tua dari aku, kurang lebih usia kami terpaut 14 tahun. Usiaku sekarang adalah 25 tahun, Jadi sekarang usianya sudah 39. Tapi ia masih terlihat kencang dan cantik. Kulitnya putih, matanya agak sipit, bahkan ia sempat dianggap sebagai keturunan Chinese. Namun ia itu pribumi tulen. Perawatan tubuhnyalah yang membuatnya seperti itu.

Aku kemudian mengetahui bahwa Anisa dikurung di kamarnya. Kutelepon Laura agar jangan menghukum Anisa karena ini adalah urusan antara aku dan dia. Aku sempat adu mulut dengannya. Ia mungkin tipe wanita yang harus mendapatkan apa yang ia maui dan ingin menang sendiri. Namun aku tak bisa menang melawannya dalam adu mulut. Alasan apapun yang aku utarakan pasti ia mentahkan. Akhirnya aku tutup teleponnya. Aku kemudian menghubungi salah seorang pesuruh yang bisa aku suruh apapun. Pembalasan harus segera dilaksanakan.

Seminggu setelah itu, ketika Laura bersama suaminya jalan-jalan ke mall, mereka mengunjungi sebuah stand. Stand itu sedang ada promo yang digelar oleh salah satu produk. Dan ia kemudian coba-coba untuk dapat peruntungan, dan akhirnya ia mendapatkan hadiah jalan-jalan ke Bangkok. Betapa bahagianya si Laura ini. Ia dapatkan tiket plus uang saku. Hanya saja tiket itu untuk satu orang saja. Ia sangat senang dan di hadiahnya itu tertulis bahwa tiket tersebut bisa digunakan kapanpun sampai setahun. Apabila telah lewat setahun maka hangus.

Siapa yang tak senang mendapatkan liburan itu? Laura pun merencanakan liburannya. Ia minta ijin suaminya untuk pergi. Suaminya memperbolehkan dan berjanji akan mengirimkan foto-foto dari Bangkok. Namun ternyata keberangkatannya harus bersama rombongan dari tim pemberi hadiah, maka dari itu Laura tidak menaruh curiga terhadap hal ini. Ia ikuti saja, ketika diajak makan bersama kru sebelum berangkat pun ia diam ikut saja tak menaruh curiga. Dan akhirnya ketika di mobil menuju bandara ia tak ingat apapun. Ia hanya ingat rasanya mengantuk dan lelah.

Butuh waktu lama mempersiapkan ini semua. Aku menyewa orang satu kru sebuah produk minuman ringan. Aku tahu kebiasaan Laura yang sering pergi ke mall. Maklum suaminya tajir. Dan ia sangat suka promo sebagaimana kebanyakan wanita lainnya. Dan aku tak kebingungan menyiapkan ini semua. Orang-orang suruhanku kebanyakan adalah teman-teman gengku dulu. Dan mereka sangat senang kuberikan pekerjaan seperti ini. Tak sia-sia kalau dulu pernah bergaul dengan anak berandal. Rencana jahat ini pun sukses. Bahkan aku merencanakan yang lebih jahat lagi dan itu sudah kusiapkan.

Laura sekarang tak berdaya. Dia berada di atas ranjang. Ia berada di sebuah rumah yang aku beli beberapa waktu lalu. Rumah itu cukup jauh dari keramaian. Aku tak pernah memperkosa orang sebelumnya, yah, kalau misalnya apa yang kulakukan dengan bunda atau ke kak Vidia dianggap memperkosa, bisa aja sih. Tapi mereka toh juga mencintaiku. Tapi ini tidak. Ia sangat benci aku. Tubuh Laura terikat, tangannya di belakang terikat erat oleh tali plastik yang sering dipakai untuk packing kardus. Kakinya pun terikat. Aku tak perlu menunggu dia siuman. Aku akan biarkan dia di sana seharian sambil aku awasi dia melalui kamera pengawas yang ada di kamarnya. Dinding-dinding kuberi wallpaper sehingga kalau misalnya ia berteriak suaranya tak akan keluar. Perfect. Dan sisanya, sudah aku siapkan kejutan untuknya.

***

Laura terbangun keesokan harinya karena memang obat bius yang diberikan ke makanannya cukup tinggi dosisnya. Ia sedikit pusing. Ketika tahu tangan dan kakinya terikat ia pun berteriak minta tolong. Tapi tak akan ada yang mendengarkan suaranya. AKu saat itu ada di kantor mengawasinya dari komputerku. Aku senyum-senyum sendiri. Hari itu aku konsen dengan pekerjaan.

Hari itu juga aku sempat makan malam bersama seluruh keluargaku di rumah bunda yang sekarang sepi. Makan malam kami luar biasa nikmat. Aku juga sampai kenyang. Anak-anakku sudah mulai ngoceh sendiri dan menirukan orang bicara. Aku sangat bahagia melihatnya. Kedua istriku tak tahu apa yang aku rencanakan. Dan memang aku rahasiakan dulu.

"Aku besok ingin keluar kota beberapa hari, ada orang yang ingin bekerja sama dengan waralaba kita, katanya mau buka untuk beberapa outlet," kataku.
"Wah, pengusaha gedhe ya pah?" tanya Nur.
"Iya, ya semoga lancar," kataku.
"Semoga saja, iya kan Zahir?" Kak Vidia yang memangku anaknya mengajaknya bicara juga. Zahir memelototkan matanya sambil bergumam bahasa bayi. Ia sudah bisa merangkak. Aku menikmati untuk sejenak suasana ini. Karena aku jarang sekali mendapatkan suasana seperti ini di rumah. Terlebih lagi, setelah ini mungkin aku akan kembali melakukan hal yang sangat jahat kepada orang lain.

Malam harinya setelah menidurkan anak-anak kami. Aku masuk ke kamar Kak Vidia. Nur mengetuk pintu. Ia juga masuk ke kamarnya Kak Vidia. Mereka berdua memakai baju tidur. Dan aku agak kaget juga kenapa Nur ikutan masuk. Lalu pintu kamar ditutup. Sepertinya mereka ingin bicara denganku.
"Pah, kami sudah merundingkan sesuatu," kata Nur.
"Merundingkan apa?" tanyaku.
"Terus terang kami tak mau papah menikah dengan wanita lain. Terlebih lagi ia anak si rubah betina itu. Terus terang hati kami sakit pah," kata Nur.
"Biar pun bunda adalah orang yang papah cintai, tapi sesungguhnya Kak Vidialah orang yang sangat mencintai papah. Dia sudah banyak berkorban buat papah. Mulai dari rela diperistri oleh papah, rela tidak meniti karirnya, rela juga aku menjadi istri papah. Namun tadi kak Vidia mengatakan sesuatu hal yang tidak pernah Nur bayangkan sebelumnya." Aku menyimak.

"Sebaiknya Kak Vidia sendiri yang bicara," kata Nur.
"Aku akan menghormati segala keputusan suamiku, kalau papah ingin menikahinya, mamah ndak masalah. Karena mamah kasihan ama anak yang dikandungnya itu. Itu juga adalah keluarga kita juga. Aku pasrah pah, tapi kalau ia memang mencintai papah juga, maka ia harus bersaing dengan kita. Malam ini kami akan menggempur papah, hingga papah nggak akan pernah lupa kepada kami selamanya," kata Kak Vidia.

Aku tak tahu apa maksudnya, tetapi ketika Kak Vidia dan Nur kemudian maju lalu memelukku aku jadi mengerti bahwa mereka akan menyerangku malam ini. Aku segera dirubuhkan ke atas ranjang. Nur segera melucuti pakaianku, ternyata mereka berdua tak memakai daleman. Dua tubuh bidadari yang mulus sekarang terpampang dihadanku tanpa sehelai benang pun yang menutupi. Rambut mereka terurai, dua saudari yang wajahnya hampir mirip itu kini ada di atasku. Kaosku pun ditarik oleh mereka. Aku sudah tak berbusana dalam hitungan detik. Nur langsung ke perutku menciumi perutku, menghisapnya, lalu menuju ke bawah pusarku. Aku lupa belum mencukur rambutku, tapi itu tak masalah bagi Nur. Ia sudah menyapukan lidahnya di sana. Dan senjataku yang masih tidur langsung menegang dengan perlakuannya itu. Tak ada sedetik kemudian kepala rudalku sudah ada di dalam mulutnya. Kak Vidia menyerangku dari atas. Dihisapinya leherku, dan jemari tangannya menggelitiki putingku. Ouuwwhh...

"Kalian??..." aku tak bisa berkata-kata ketika sebuah ciuman ganas langsung mendarat di bibirku. Mulut Kak Vidia serasa panas. Nafasnya memburu menghisap lidahku.

"Pah, kami benar-benar akan bikin papah puas. Akan bikin papah kering malam ini," kata Kak Vidia. Ia kemudian menduduki perutku dan menciumiku. Dadanya yang montok itu kini diarahkan ke wajahku, kemudian ia geser kiri kanan sehingga aku seperti ditampar oleh dua kantung susu itu. Aku mencoba menangkap putingnya, tapi ia selalu menghindar. Kak Vidia menggodaku.

Aku terangsang hebat dari atas dan bawah. Nur menjilati kepala penisku dengan gaya lidah yang aku tak pernah merasakannya sebelum ini dari dia? Apakah bunda mengajarinya? Aku bisa rasakan ia mengulum penisku, menyedotnya, sedangkan kulit penisku ditekan sampai ke pangkal, lalu lidahnya menari-nari di pinggiran kepalanya. Owwhh.... apalagi Kak Vidia menggelitiki putingku dengan jemarinya, dengan kedua buah dadanya menyapu wajahku. Nur kemudian mengocok rudalku dengan cepat. Tidak, aku bisa jebol kalau mendapat serangan mendadak seperti ini.

"Sebentar dong, aku ndak bisa nafas nih....bisa jebol nanti..??" kataku. Tapi itu tak dihiraukan oleh mereka berdua, kini kak Vidia beranjak turun, kemudian menciumi dadaku, putingku dijilatinya, kemudian pinggangku. Aku sangat geli, geli atas bawah. Nur sangat jago dalam mempermainkan lidahnya aku bisa merasakan sekarang lidahnya sudha ada di bawah pelerku. Menjilati area di antara zakar dan duburku. Lalu buah zakarku disapu dengan lidahnya dan dihisap-hisap. Maaakkk...., itu ia lakukan sambil mengocok batangku. Tanganku ditindih oleh Kak Vidia dengan kedua tangannya. Aku seperti orang yang diperkosa, dipaksa menikmati apa yang mereka lakukan. Aku tak diberi kesempatan untuk bisa menyentuh mereka berdua.

"Sudah dong, pliss aku...mau keluar nihhh!!!" kataku.
Benarlah, aku pun mau keluar. Penisku menegang maksimal.
Kocokan Nur makin kencang.
Dan...aku akan keluar....
"Aku keluaarrrr....!!!" seruku.
Nur langsung berhenti. Tangannya tetap menggenggam penisku. Batangku berkedut-kedut, tangan kiri Nur meremas zakarku. Pinggangku tiba-tiba digigit oleh Kak Vidia. Puncak orgasmeku tiba-tiba buyar sudah. Beneran nih, mereka ingin menyiksaku. Aku benar-benar ingin keluar tapi tertahan dan tidak jadi.

"Udah dong jangan siksa aku!" ku memohon. Tapi rasanya percuma. Kini gantian. Kak Vidia turun ke bawah, Nur naik ke atas. Nur langsung memanggut bibirku. Dadanya menempel di dadaku, membuat darahku berdesir. Kak Vidia memainkan lubang kencingku yang sekarang keluar cairan sedikit berwarna bening dengan lidahnya sebentar. Ia lalu menciumi kepalanya dan mengusap-usapnya dibibirnya lalu di pipi. Aku lalu merasakan kehangatan ketika penisku masuk ke mulutnya. Ia menghisapnya kuat-kuat sambil kepalanya naik turun. Tak hanya begitu, buah pelerku diremas-remas dan pangkal penisku ditekan, sensasinya bikin aku kelonjotan.

Apalagi Nur yang walaupun sudah beranak satu tapi wajahnya masih imut ini, menciumi wajahku, leherku dan memberikan cupangan-cupangan hangat di leherku. Ia melakukan hal yang sama dengan Kak Vidia, mengerjaiku. Mereka berdua melakukan hal yang serupa hanya berganti posisi.

"Gimana pah? Aku yakin Anisa ndak pernah beginiin papah kan?" tanya Nur. Aku cuma mengangguk. Rangsangan demi rangsangan yang mereka lakukan benar-benar memabukkan aku. Penisku makin tegang dan terus disiksa oleh Kak Vidia. Sebentar-sebentar toketnya yang paling aku suka itu menjepit batangku. Batangku berkedut-kedut sampai ketika nyaris keluar, pahaku ditindih oleh tubuh kak Vidia dan lagi-lagi ia meremas buah zakarku. Nur pun demikian, ketika tahu aku mau keluar ia mencubit pinggangku. Akhirnya ndak jadi lagi. Sepertinya mereka benar-benar ingin mengosongkan isi testisku.

Saat aku tak bisa apa-apa itulah. Kemudian Kak Vidia memposisikan tubuhnya di atas selakanganku. Ia gesek-gesekkan penisku di bibir vaginanya yang sudah basah. Sementara itu Nur memposisikan pantatnya di depan wajahku. "Pah, jilatin mamah ya!" kata Nur. Aku pun mengikutinya. Kujulurkan lidahku untuk menari-nari di bibir vaginanya. Sementara itu Kak Vidia sudah memasukkan batangku yang super tegang ke dalam memeknya.

Aku tak pedulikan rasa asin-asin gurih dan bau buritnya. Karena otakku sudah benar-benar terkontaminasi oleh resapan rangsangan-rangsangan yang diberikan oleh gesekan kemaluan Kak Vidia. Nur berpegangan kepada tangan Kak Vidia dan mereka berciuman hot. Tanganku berada di paha Nur, lidahku terus memberikan rangsangan-rangsangan ke klitorisnya. Nur mendesah dan melenguh menerima perlakuanku, ketika lidahku menyentuh titik-titik sensitif di klitorisnya, pantatnya diangkat-angkat.

"Ohh..iya pah...enak...mamah mau keluar....terus pahh,...teruuusss...!!," kicau Nur. Memeknya makin banjir. Kak Vidia makin cepat memompa keluar masuk batangku.
"Pah...mamah juga nih...penis papah enak banget....!" kata Kak Vidia. Aku pun ikut menggoyangkan pantatku. Pantat Kak Vidia tiba-tiba menekan penisku dalam-dalam. Ia mendongak ke atas, pahanya menutup mengapit pinggangku. Jemari tangannya menyatu dengan jemari Nur. Nur pun demikian ia juga menekan pantatnya ke wajahku sambil ia menggoyang-goyang sendiri membuatku tak bisa bernafas. Ia pun keluar. Bersamaan dengan Kak Vidia yang ambruk. Mereka kemudian terkapar di sampingku. Kak Vidia tampak sedang menikmati sisa-sisa orgasmenya.

"Pah, papah enak?" tanya Kak Vidia sambil mendekap dan menciumi pipiku.
"Sekarang gantian yah!" kataku. Kak Vidia tertawa kecil, aku kemudian menciumnya dan bangkit dari posisiku. Aku memiringkan Kak Vidia sehingga Nur berhadapan dengannya. Nur beringsut maju dan mendekat ke kak Vidia mereka lalu berciuman, aku ada di atas tubuh Kak Vidia dan menyiapkn senjataku yang sudah siap untuk mengocok memek Kak Vidia. Sebelum beraksi aku menyusu sebentar, kuciumi dan kuhisapi puting susunya yang menggemaskan itu. Kemudian dengan satu sodokan batangku sudah amblas masuk ke sarangnya. Kak Vidia memejamkan mata menikmati sensasi gesekan kulit kemaluan kami.

Nur kemudian menciumi dada kakaknya dan menjilati puting kakaknya. Aku ibaratnya disuguhi pemandangan lesbi yang merangsang dengan menyodokkan penisku ke rahim Kak Vidia. Tangan Kak Vidia menggapaiku dan ku pegang dengan tangan kanannku. Tangan sebelah kiri meremas-remas pantatnya. Dari kedua tubuh saudariku ini, aku paling suka tubuh montoknya Kak Vidia. Maka dari itulah sebenarnya frekuensiku bercinta antara Kak Vidia dan Nur lebih lama Kak Vidia. Setiap berdekatan dengan Kak Vidia pasti kepingin ngentot. Parfumnya benar-benar menggodaku, mirip parfumnya bunda. Oleh karena itulah Kak Vidia adalah istriku yang paling kucintai daripada Nur. Namun Nur punya kelebihan selain Kak Vidia. Tubuh Nur itu kecil, dan memeknya lebih sempit daripada Kak Vidia. Dan ia paling ngikut terhadap apa yang aku inginkan. Hanya saja kali ini aku mendapatkan surprize dari mereka.

"Ohh...Kaaakkk...enak kak?" kataku.
"Iya....enak deek.....ooowwhhh," kata Kak Vidia.
Ranjang kami bergetar seiring goyanganku. Pantat Kak Vidia benar-benar memabukkanku. Selakanganku serasa nikmat dan ingin selalu membenturkannya ke sana. Penisku makin keras saja menusuk-nusuk. Kak Vidia menggeleng-geleng nikmat.

"Dek...ohh...Kakak keluar...keluar...lagi...," katanya.
"Aku belum kak...," kataku.
"Ohh...udah...deek...hhhmmmhh...aaaaaahhhkkk!! " jeritnya.
Aku lalu mempercepat goyanganku. Posisiku yang berlutut ini kubuat senyaman mungkin agar jangan sampai mengganggu kenikmatan kami berdua. Kulihat penisku yang keluar masuk itu telah mengkilat terkena cairan pelumas dari liang kenikmatan Kak Vidia. Kak Vidia sudah keluar pastinya. Kedua tangannya memegang tanganku erat-erat, ia hanya pasrah menunggu aku keluar. Aku makin percepat goyanganku dan aku hampir meledak. Lubang kencingku serasa gatal, sesuatu akan keluar dari sana. Sepertinya ini adalah orgasmeku yang paling hebat, karena aku harus menahan dua orgasme sebelumnya.

"Kak Vidiaku yang seksi....mau keluar di mana?" tanyaku.
"Terserah deh...," katanya. "Hamilin aku lagi pah....aku ingin punya banyak anak darimu, aku ndak mau kalah dari Anisa...."
Aku lalu melentangkan tubuh Kak Vidia. Posisinya yang miring aku lentangkan. Dan Ia menerima goyanganku lagi tanpa mencabut penisku. Buah dadanya yang naik turun itu dihisap-hisap dan dicupangi oleh Nur. Nur melakukan aktivitas itu sambil memuaskan dirinya sendiri. Tangannya juga mengocok-kocok memeknya yang banjir tadi.

"Ohh....Vidia...vidia.....ohh.... aku keluar lagi. Banyak...banyak banget......tubuhmu seksi, nagih banget. Jadilah ibu dari anak-anakku lagi...ohh...kakak...ahhhkkh....aaaakkhh!" rancauku di saat-saat ledakan dahsyat spermaku sudah di ujung. Tak butuh waktu lama untuk penisku menyemburkan benih-benih anakku ke rahimnya. Benar apa yang kuduga. Orgasme yang ditahan tadi mengakibatkan aku menyemprot sangat banyak. Aku menindih kak Vidia sambil mendekapnya erat. Sementara itu kedua kakinya melingkar di pinggangku rasanya tak ingin melepaskan aku. Kami berciuman sangat panjang dan lama sambil saling menghisap ludah masing-masing.

Kedutan penisku rasanya tak berhenti. Entah berapa kali, tapi sangat banyak dan lama. Kak Vidia lemas. Ia dilanda orgasme lagi ketika aku semprot barusan. Maka dari itu ia lama memelukku dan pantatnya bergetar. Aku melepaskan ciumanku dan mencabut penisku yang menyusut sedikit. Lendir kami yang bersatu mengakibatkan penisku seperti menarik benang putih terjulur panjang keluar dari memeknya. Sebagian spermaku keluar ketika aku cabut penisku. Kak Vidia memejamkan mata, menikmati sisa-sisa orgasme.

Nur yang menungguku ia sudah siap. Penisku masih On, walaupu sudah menyusut sediki, tapi masih bisalah untuk main lagi. Aku langsung menyuruh Nur untuk menungging. Aku tak beri kesempatan Nur untuk mengatur posisi, begitu ia nungging langsung aku sodok masuk ke lubangnya yang licin.

"Aaahhkkh...Kaaak...enak kak!" kata Nur.
Kupegang kedua lengannya dan aku bergoyang menyodok bokongnya yang cukup berisi. Aku seperti menarik tali kekang kuda dengan posisi seperti ini. Rasanya nikmat banget memeknya Nur ini. Walaupun ia sudah beranak, tapi memeknya masih sempit dan masih bisa mengerjaiku. Bagian tubuh Nur yang kusukai adalah memeknya, karena imut dan belahannya berwarna kemerahan. Disamping itu ia yang paling rajin merawat bagian tubuhnya yang paling sensitif itu.

"Nuurr...memekmu enak banget," kataku.
"Kaak....ohhh...kakakku ngentotin aku lagi...enak...terus kak," katanya.
"Nuurr...ohh...!" kataku.
Aku terus bergoyang dengan kecepatan yang terus aku tambah setiap menitnya. Seolah-olah aku sudah bisa menebak bahwa menit demi menit, detik demi detik adalah waktu yang bisa aku manfaatkan untuk menghajar memeknya. Aku makin keras ngentotin dia. Penisku penuh masuk ke dalam rahimnya. Nur menggeleng-geleng dan terus menjerit nikmat.

"Kaak...hamilin Nur juga yah!" pintanya.
"Iya dong...aa...ku...akan hamilin ka....muu," kataku.
"Kak keluar yuk, Nur ndak kuat lagi," katanya.
"Iya, keluar bareng yak," kataku.
Goyanganku makin cepat demikian juga Nur yang memaju mundurkan pantatnya. Aku lalu menekannya kuat-kuat saat maniku menyembur. Aku memegang toketnya dan meremas kuat-kuat. Aku lalu menindihnya jadi Nur dalam keadaan tengkurap karena pegangannya lepas, dan aku berada di atasnya merasakan penisku berkedut-kedut menyiramkan cairan sperma. Butuh beberapa saat agar penisku berhenti menyembur. Aku lalu berbaring di antara mereka. Kak Vidia dan Nur beringsut mendekatiku dan mereka berdua memelukku.

"Pah...papah hebat malam ini, Mamah kewalahan," kata Kak Vidia.
"Iya, papah nafsu banget ama mamah," kataku.
"Kalau aku?" tanya Nur, tampaknya ia agak cemburu.
"Iya, aku juga nafsu. Memekmu nafsuin banget," kataku.
Setelah itu kami semua saling berciuman dan terlelap dalam pelukan.

***

Setelah bertempur threesome malam harinya. Kami dibangunkan oleh tangisan anak-anak kami. Segera mereka berdua menyusui anak-anakku, tanpa memakai baju dulu. Aku kemudian mandi dan bersiap untuk berangkat. Yang sebenarnya aku mempersiapkan diri untuk menemui Laura. Setelah sarapan dan berciuman hot dengan kedua istriku, aku pun pergi.

Siangnya aku sampai di rumah kosong itu. Mobil aku masukkan ke pagar. Tampak tiga orang yang kusuruh menjaga, sedang berjaga-jaga sambil nonton tv di ruang tamu. Mereka adalah teman-teman gengku. Bejo, Tanto dan Parto. Mereka dulu adalah teman SMAku. Profesi mereka beragam. Bejo adalah seorang sekuriti di salah satu bank swasta sekarang. Ia meminta cuti untuk membantuku. Tanto adalah seorang anggota kepolisian. Ia mau membantuku untuk membalaskan dendam ini. Sekalipun ia polisi kenakalannya pas remaja belum pernah ia tinggalkan, makanya aku sangat berani dan mau saja melakukan ini. Yang terakhir Parto. Ia adalah seorang pelaut. Badan mereka tegap-tegap dan kekar. Mereka kubayar mahal untuk menjaga Laura dan melancarkan rencanaku.

"Siang bos!?" seru Bejo.
"Halah, pake panggil bos segala, kita kan fren, iya ndak?" kataku.
Mereka semua tertawa.
"Bagaimana keadaannya?" tanyaku.
"Tenang aja, ndak kami sentuh sedikit pun," kata Tanto.
"Semuanya sudah diatur."
"Bagus, kalian akan dapatkan bagian kalian nanti," kataku.
"Cepetan digarap Bro! Udah ndak sabar nih," kata Parto.
"Belom dapat jatah dari istri lo?" tanyaku.
Parto meringis, "Belum, hehehehe..."
Kami semua bilang, "Huuuu...."
"Tenang saja, aku akan kasih ke kalian nanti, sabar dikit!" kataku.
"Tenang saja, bro. Selama ini kita fren. Lo sekarang bosnya, jadi kami ngikut saja. Ndak dikasih juga ndak masalah, bayaran elu bisa buat kita makan setahun," kata Parto disambung dengan tawanya.

"Oke, aku mau masuk dulu," kataku. Aku kemudian naik ke tangga. Laura ada di lantai atas. Di lantai atas ada 3 kamar. Aku lalu masuk ke sebuah kamar. Kamar itu kosong, tapi sudah ada tempat tidur dan lemari. Koper yang aku bawa langsung aku letakkan begitu saja di kamar itu. Aku kemudian mencuci muka di wastafel. Aku sudah siap untuk bertemu dengan orang yang kubenci itu. Ia ada di kamar sebelah. Kemudian, aku pun beranjak meninggalkan kamar dan masuk ke kamar tempat Laura berada.

Ketika aku masuk, kudapati tubuh seorang wanita yang terikat. Ia masih memakai baju terakhirnya tapi wajahnya sangat awut-awutan. Aku ambil sebuah kursi dan kemudian duduk. Kuambil sebatang rokok GG Mild yang tinggal sebatang dari dalam kotak rokok yang ada di sakuku. Sebenarnya aku sudah tidak merokok sejak lama, tapi kali ini aku ingin merasakannya sekali saja. Ku taruh batang nikotin itu ke mulutku dan kunyalakan apinya dengan korek api. Suara korek api yang kunyalakan itu membuat Laura yang sedari tadi tak sadar, kemudian terbangun.

Kunikmati ekspresi wajahnya yang melihatku. Ia terbelalak. "K..kau...kurang ajar! Bangsat! Lepaskan aku!" ia meronta-ronta dan semua sumpah serapah keluar dari mulutnya.

"Teriak saja, ndak bakal ada yang dengar," kataku.
"LEpasin! cepet lepasin!" katanya.
Dengan tenang aku taruh rokokku di sebuah asbak yang berada di atas buffet. Aku perlahan-lahan melepaskan seluruh pakaianku.

"Mau apa kau? Lepasin! Dasar anak penyuka ibunya sendiri!" umpatnya lagi. Aku makin benci kepadanya. Aku menikmati saat dia mengumpat-umpat diriku. Hingga kemudian aku telanjang. Kudekati Laura yang meronta-ronta. Kemudian aku tampar wajahnya sekuat-kuatnya. Laura pun diam. Aku bisa melihat pipinya berwarna merah akibat tamparanku. Kuambil cutter untuk melepaskan tangan dan kakinya.

Laura agak bingung mungkin dengan perlakuanku. "Lo mau apa?"
"Emangnya aku mau apa?" tanyaku.
"Lo mau ngontolin gue kan? Aku tak sudi!" katanya.
"Dengar, lo di sini ada pada kekuasaanku. Lo tak bisa ngapa-ngapain. Mau kabur? Kabur kemana? Kamar ini terkunci. Dan di luar sana ada preman-preman yang menjaga. Sekali elu keluar tanpa ijinku, elu mati. Mau bunuh diri? Saat ini anakmu dalam bahaya, apa kamu mau mengorbankan anakmu?" dengan ancamanku itu. Raut muka Laura berubah. Ia menjadi sangat takut.

"Lepasin aku kumohon....Don..kumohon, lepasin aku. Lepasin Anisa, kumohon lepasin dia. Dia tak bersalah," katanya.
"Lo tahu kenapa lo ada di sini?" tanyaku.

Laura diam. Ia berpikir keras. Tapi karena rasa takutnya, ia tak bisa berpikir.
"Tahu ndak?" tanyaku.
Ia menggeleng. "Kepingin tahu?" tanyaku.
Ia mengangguk.
"Isep otongku dulu, baru akan kukasih tau," kataku.
"Apa? Aku tidak sudi" katanya.
"Ya terserah sih, ingat engkau dan anakmu ada pada kekuasaanku, dan bagaimana kau bisa keluar dari sini kalau tak melakukan ini?" tanyaku.

Laura mulai bimbang. Tangan Laura memang sudah bebas. Tapi ia masih berbaring. Aku kemudian perlahan-lahan membuka seluruh bajunya. Kancing bajunya aku lepaskan satu-satu. Ia benar-benar takut, bibirnya gemetar. Saat aku turunkan roknya ia masih diam. Kulepaskan seluruh bajunya hingga tertinggal celana dalamnya. Aku lalu menindihnya dengan cara menduduki perutnya. Laura tampaknya pasrah. Kulitnya yang putih, mulus sepertinya selalu melakukan perawatan. Aku tak melihat lemak di perutnya. Penisku sudah mulai menegang.

"Ayo isep!" kataku. Buah pelerku menempel di atas buah dadanya dan penisku mulai maju ke arah mulutnya. Laura agak ragu, kemudian membuka mulutnya. Ia memasukkan penisku ke mulutnya. Ia mulai menghisapnya, tapi agak kasar. "Bangsat, kamu bosan hidup? Ingat saat ini kau berada di mana!? Isep seperti kamu ngisep suamimu!" kataku.

Laura pun akhirnya menjilati kepala penisku. Dihisapnya kepala penisku, lalu ia mengulumnya. Kemudian ia memasukkan ke dalam mulutnya, mengemutnya dan menggelitikinya dengan lidahnya. Ohhh..nikmat sekali. Entah kenapa aku bisa merasakan nikmat dari pelacur ini.

"Tanganmu jangan diem aja, aktif juga!" bentakku.
Tangannya pun mulai membelai perutku, lalu membantu mengocok-kocok batangku. Kupegang kepalanya dan aku menggerakkan pinggulku maju mundur. Laura gelapan. Beberapa kali penisku yang panjang itu menyodok tenggorokannya hingga ia tersedak. Berkali-kali ia menahan agar jangan sampai terlalu dalam aku menyodok penisku. Kupercepat goyangan pantatku dan kulakukan deepthroat. Hingga ia hampir muntah. Lalu kucabut. Ia terbatuk-batuk. Antara bibir dan kepala penisku ada benang lendir yang panjang.

"Sialan, enak juga mulutmu," kataku.
Laura diam. Ia beberapa kali menelan ludah dan terbatuk-batuk. Aku kemudian berbaring di sebelahnya. Laura tatapannya kosong. Ia lalu menoleh ke arahku.

"Aku sudah melakukannya, sekarang katakan, kenapa kau melakukan ini?" tanyanya. "Aku ingin balas dendam kepadamu. Karena kau telah membuat bundaku meninggal. Dan itu adalah luka yang tak akan bisa terhapus begitu saja," jawabku. Terbelalaklah mata Laura. Ia sama sekali tak mengira aku akan melakukannya.

"Doni..Doni maafkan aku, maafkan aku," katanya.
"Aku bisa memaafkan kamu, asalkan satu hal," kataku. Tanganku kutaruh di dadanya yang cukup montok untuk orang seumuran dia. Kemudian putingnya aku jepit agak keras, hal itu membuatnya sedikit begidik.

"Apa itu?" tanyanya.
"Kau jadi pelayanku seumur hidup ....," kataku berhenti sejenak.
Mata Laura berkaca-kaca ia sadar ia tak akan bebas dari tempat ini.
"Atau....kau mau memenuhi 3 syarat dariku," kataku. "Pertama, kau bolehkan aku menikah dengan anakmu. Kedua, aku ingin kau meminta maaf kepada kedua istriku, Ketiga, aku ingin menghamilimu dan kau pergi selamanya dari hadapanku jangan menemuiku, jangan menemui anakmu, jangan menemui siapapun dari kami."

Laura lalu bangun dan menutup wajahnya. Ia menangis. Rambutnya yang lurus itu tampak makin awut-awutan. "Bagaimana?" tanyaku.

"Aku tidak mau," kata Laura. "Apa tidak ada cara lain? Aku akan minta maaf kepada kalian semua.
Aku minta maaf, ku akan bersujud kepada kalian semua."
"Enak saja," kataku.
"Kau sudah membuat bunda menderita lalu kau seenaknya saja minta maaf?"
Laura lalu berdiri dan berjalan ke kursi sofa yang ada di kamar. Ia berkali-kali menutupi wajahnya, mengusap lali kembali berdiri. Melihatnya berjalan berlenggak-lenggok saja membuat penisku berdiri. Pantes ayah dulu nafsu banget ama orang ini. Pantatnya bergeal-geol, berjalan kesana-kemari. Ia tampak berpikir keras.

"Tiga syarat? Ataukah kau mau menjadi pelayanku seumur hidup?" tanyaku.
"Baiklah, aku akan jadi pelayanmu seumur hidup!" jawabnya.
Ia lalu menghampiriku dan berlutut di hadapanku. "Kumohon lepaskan aku."
"Melepaskanmu? Yang benar saja. Jadi pelayanku maka kau tak bisa aku lepaskan!" kataku.
"Kumohon aku akan oral lagi penismu, aku akan hisap dan berikan oral terbaik, tapi kumohon lepaskan aku. Aku tak akan mungkin hamil anakmu.
Kumohon, aku masih mencintai keluargaku.
Donnnn....lepaskan aku," Laura menangis meraung-raung.

"Aku tak peduli, itu syaratku. Kau harus pilih!" kataku.
"B..baik...baik, aku akan jadi pelayanmu," katanya.
"Deal?" tanyaku.
Ia mengangguk.

"Ingat, aturan kau menjadi pelayanku, kau tak akan bisa bebas dan harus melayaniku baik kau bisa atau pun tidak. Mengerti?" tanyaku.
Laura mengangguk.
"Dasar perek, padahal kalau kalu pilih yang pilihan satunya hidupmu tidak akan menderita," kataku.
Aku lalu bangun, kemudian aku tarik dia. Tinggi Laura adalah setelingaku. Dada kami bertemu. Terus terang Laura tampak menahan diri untuk tidak terangsang. Tapi aku berusaha bersabar. Kemudian ku sosor saja bibirnya. Bibir yang dulu mungkin sudah pernah dinikmati oleh ayahku ketika berselingkuh dengan keponakannya sendiri. Sepupuku ini cukup menggoda sebenarnya. Aku coba untuk menikmatinya saja. Ku hisap lidahnya. Awalnya Laura diam saja. Ia pasif. Aku pun mulai aktif meremas buah dadanya, putingnya aku pilin-pilin. Hal itu membuat ia akhirnya mau tak mau harus mengimbangi hisapanku. Tanganku yang lain mulai aktif membelai pinggulnya, kemudian dengan kasar aku tarik CD-nya hingga robek.

Kini Laura tak punya CD lagi. Rambut memeknya ternyata bersih dan mulus. Aku tak menyangka ia begitu sangat merawat bagian pribadinya itu. Aku makin gemas akhirnya kuremas lalu kumasukkan jari tengahku ke bibir vaginanya. Mendapatkan perlakuan itu, sontak ia melotot dan makin memelukku. Ia memejamkan mata berusaha menahan agar tak takluk olehku tapi sia-sia. Tubuhnya menyerah pasrah. Ia memundurkan pantatnya tapi aku terus kejar, ku gesek-gesek klitorisnya, lalu kukocok vaginanya dengan cepat.

"Oh...Don..., aaahhkk, jangan!....maaf,...jangan pliiissss!" ia memohon.
Aku makin cepat mengocoknya. Detik demi detik tak kubiarkan memeknya beristirahat dari kocokanku. Tanganku sudah seperti mesin mobil yang melakukan pembakaran. Makin banjir saja itu memek Laura, dan ia makin erat melingkarkan tangannya ke leherku. Pantatnya yang tadi mundur sekarang maju. Tubuhnya melengkung, matanya terpejam dan mulutnya menganga.

"Don...sudah....aku mau keluar...aku...keluaaaarr!!" Laura menjerit sekeras-kerasnya. Dari memeknya ia squirt! Menyemprot berkali-kali. Aku lihat cairan bening menyembur. Cairannya sebagian mengenai tanganku dan sisanya berceceran di lantai.
Laura mau ambruk, aku pun menangkapnya. Langsung ia kusosor lagi. Kuciumi, kuhisapi lehernya hingga bercupang, kemudian aku dorong dia ke tempat tidur. Ia sudah pasrah. Pikirannya sekarang hanya ada birahi. Aku bisa merasakan dari tatapan matanya yang pasrah. Ia mulai reaktif dengan ciumanku. Laura mulai mau memegang penisku yang menegang, sedangkan aku menyusu kepadanya. Kuhisap puting susunya sekuat tenaga. Laura menggelinjang, kumainkan lidahku di sana, lalu kuhisap lagi dengan kuat. Laura meringis, entah nikmat entah kesakitan. Kuberi juga cupangan-cupangan di buah dadanya yang cukup montok itu. Dadanya yang putih kini ada bekas-bekas cupangan. Saking kuatnya Laura memelukku dan tangan yang satunya meremas penisku dengan kuat. Sampai ngilu rasanya. Saat aku membuka kakinya, ia melihatku. Mata kami beradu. Ada rasa penyesalan di dalam tatapan matanya itu.

Ia pasti tegang sekarang, tangannya masih meremas-remas penisku. Aku lalu tuntun ia untuk pasrah. Tangannya sekarang ke atas. Ketiaknya yang putih terlihat. Makin membuatku terangsang saja ini cewek. Kemudian aku gesek-gesek penisku di belahan vaginanya, sesekali klitorisnya kusentuh dengan ujung penisku.

"Ohhh...Donn....pelan-pelan!" kata Laura.
"Kamu suka dientot olehku Laura?" tanyaku.
Laura diam. Ia tak menjawab. Ia hanya menggigit bibir bawahnya. Aku memukul pantatnya, sehingga ia kaget. "Ii..iyaa...aku suka dientot olehmu."
"Kontolku sama kontol suamimu lebih besar mana?" tanyaku.
"Besar...besar kontolmu," katanya.
"Beneran?" tanyaku.
"I...iya...beneraan. Aooww...Aduh...Don, jangan permainkan aku. Kalau kau mau masukin, ya masukin saja. Puaskan dirimu. Aku siap...aaahkkk...," katanya.
"Puaskan diriku? Yang benar saja," kataku.
Aku lalu lebih cepat menggesek-gesekkan kepala penisku di bibir vaginanya sampai ke klitorisnya. Ia menggeliat-geliat dan memegangi tanganku untuk menghentikan aktivitas itu.

"Jangan...jangan...kalau kau teruskan aku keluar lagi!" katanya.
Aku makin percepat gesekan-gesekanku di bibir vaginanya. Ia pun mengapit pinggangku. Memaksa pinggangku maju dan BLESS. Saat Laura orgasme, saat itu pula penisku masuk. Ouucchh....licin sekali. Vagina Laura meremas-remas, Laura pun terbelalak. Ia kaget entah karena ukurannya entah karena efek syarafnya yang secara langsung mengejutkannya. Mungkin juga keduanya. Mata kami sekarang beradu. Kami saling berpandangan. Laura melirik ke bawah. Penisku benar-benar habis ditelan oleh liang senggamanya.

"Don....ayo lakukan, jangan diam saja!" kata Laura.
"Lakukan apa?" tanyaku.
"Ngentot, entotin aku, entotin aku!" katanya.
"Entot pake apa?"
"Entot pake kontol, kontolmu...ohhh...gedhe...hhmmm...tolong jangan siksa aku! Pliiss!" katanya.

Aku tertawa penuh kemenangan.
"Dasar lonte kamu Laura!" kataku.
"Dulu ayahku pernah nyicipin kamu,
sekarang anaknya pun masuk ke sini juga."

Aku lalu memaju mundurkan pinggangku. Laura tampak merasa nikmat. Ia meremas sprei ranjang. Setiap kali aku hentakkan penisku, buah dadanya pun naik turun. Sungguh pemandangan yang tidak biasa. Sekali lagi anggota keluargaku sendiri aku gagahi. Aku bertumpu kepada kedua tanganku dan bergaya misionari melesakkan batang berototku ke dalam ruang lunak, lembab, basah dan cukup seret. Setiap goyangan kunikmati buah dadanya dengan hiasan cupangan itu naik turun. Pentil Laura berwarna coklat kemerahan, sekarang benda multifungsi itu mulai mengeras. Aku cukup lama dengan gaya misionari, mungkin karena malamnya aku bermain threesome dengan saudari-saudariku.

Kucabut batangku, kemudian aku suruh dia nungging. Langsung ia kusodok lagi. Pantatnya cukup bahenol dan bisa bikin penisku ereksi maksimal di dalam memeknya. Aku goyang lagi. Kurasakan sensasinya. Dalam bercinta kali ini aku tak berfantasi apapun. Aku ingin benar-benar bisa menikmati memeknya dan membuatnya tersiksa. Laura sebenarnya sudah orgasme lagi. Berkali-kali mungkin sekarang memeknya sedang ngilu-ngilunya.

"Don sudah, sudah! Memekku ngilu, aku.... tak.... kuat lagi....kalau kau giniin terus....sss!" katanya.

"Bentar yah, habis ini ku keluarin!" kataku.

Aku cepatkan goyanganku. Aku remas buah dadanya dan kuhujamkan kuat-kuat penisku hingga mentok. Penisku serasa gatal sekali. Tapi belum juga keluar. Aku cabut lagi penisku dari posisi doggy style. Aku kemudian duduk di ranjang. Kutarik tubuhnya, dan kubalik. Laura pasrah, menurut dan tubuhnya seperti tak bertenaga lagi. Kini Laura berhadapan denganku. Ia kupangku, penisku masuk lagi ke sarangnya. BLESS...Laura tersentak. Lagi-lagi ia kaget dengan seranganku. Kini kami berusaha lagi mereguh kenikmatan-kenikmatan yang tak bisa dibayangkan lagi dengan kata-kata. Aku menaik turunkan tubuh Laura yang sudah tak bertenaga. Pantatku kugoyangkan ke atas. Laura menyandarkan dagunya ke pundakku. Sisa-sisa tenaganya digunakannya untuk memelukku.

"Ohh....Laura...enak banget memekmu," kataku.

"Udah...Don...aku tak kuat lagi," katanya.

Aku sesekali berhenti sejenak untuk mengenyot puting susunya. Lalu aku menaik turunkan lagi tubuhnya. Makin lama, Laura mulai mempunyai tenaga lagi walaupun lemah, ia berjongkok dan naik turunkan pantatnya. Masih dengan memelukku ia pun mengeluh keras ketika penisku keluar masuk. Laura kehabisan nafas. Aku bisa rasakan nafasnya memburu, jantungnya berdegup kencang. Ia benar-benar becek, bahkan penisku pun bermandikan lendir. Aku kemudian membaringkannya. Penisku kucabut. Kuambil tissue yang ada di meja dekat ranjang. Kubersihkan lendir-lendir yang ada di batangku, agar lebih nikmat lagi nantinya kalau masuk. Begitupun Laura, kukeringkan bibir vaginanya yang becek. Entah berapa tissue kuambil.

Laura sudah tak ada energi lagi sepertinya. Iyalah, dia belum makan dari kemaren, gimana ada energi buat ngesex? Emang sengaja ia tak kuberi makan biar tak ada perlawanan yang berarti. Aku dengan agak sedikit kasar kembali menghujamkan penisku dengan gaya misionary.

"Ugghh...," Laura mengeluh. Tangannya menempel di dadaku. Aku lalu bergoyang lagi. Kali ini aku sudah rasakan penisku mau meledak sepertinya. Kembali rangsangan-rangsangan itu kunikmati. Benar-benar akibat pertempuran kemarin testisku kering, makanya aku keluar agak lama dari biasanya. Kini aku sudah benar-benar seperti orang kesetanan, pantatku maju mundur seperti drill. Aku peluk Laura, dengan lemah ia pun memelukku.

"Ohh...ahh...aahhh...ahhh...Laura kontolku ngilu banget, mau keluar nih," kataku.

"I..i..yyaaa....Don...keluarin saja," katanya.

Penisku pun menyemburkan sperma. Orgasme itu benar-benar membuat kepalaku plong. Laura hanya mendongak sedikit, kemudian kembali lemas. Spermaku kubenamkan dalam-dalam ke rahimnya. Setelah kuyakin tak keluar sperma lagi, kucabut perlahan. Kunikmati hasil kerja kerasku di memeknya, kulihat spermaku meleleh keluar. Laura udah tak berdaya lagi. Nafasnya mulai teratur setelah pertempuran kami. Aku kemudian keluar kamar sebentar. Aku kemudian turun ke dapur. Melihatku tanpa pakaian, tampak ketiga orang yang menunggu di bawah bengong melihatku.

"Gimana bro? Mantab?" tanya Bejo.

"Iya, bentar ye. Mau cari makanan dulu, kayaknya dia kelaparan," kataku.

"Oh pizza masih banyak di dapur, kami beli banyak tadi," ujar Tanto.

Aku ke dapur melihat kulkas. Mengambil sebotol air mineral dan mengambil sekotak pizza. Kemudian kubergegas naik lagi ke atas. Aku masuk lagi ke dalam kamar. Tampak Laura sudah mulai mengumpulkan kekuatannya. Ia berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar itu. Ia membersihkan tubuhnya sebentar. Aku menunggu dia sambil minum air dan makan pizza. Setelah lima menit di kamar mandi Laura pun kembali lagi. Ia tampak mencuci mukanya dan membersihkan memeknya. Tubuhnya kini terbungkus handuk.

"Kau dari kemarin belum makan bukan? Makan aja!" kataku.

Laura duduk di ranjang. Ia agak ragu mengambil pizzanya.

"Ndak usah takut, ndak aku racunin koq. Tenang aja, kau tak akan aku bunuh. Ndak ada gunanya," kataku.

Laura makan dengan lahap. Ia habiskan kurang lebih tiga potong pizza. Kemudian ia minum air putih lumayan banyak. Perutnya kini sudah kenyang. Aku cukup lama diam menyaksikan dia makan. Aku lalu ke kamar mandi membersihkan tubuhku yang lengket dengan keringat hasil pertempuran tadi. Kemudian setelah selesai aku keluar kamar mandi. Laura masih terbengong dengan tatapan mata kosong.

Aku kemudian memakai pakaianku. Laura hanya menatapku saja. Ia dalam kondisi yang aneh sekarang. Ia baru saja diperkosa oleh sepupunya dan sangat menikmatinya.

"Ingat, kau jadi budakku sekarang. Karena jadi budakku maka kau harus patuh. Kau tak boleh keluar dari kamar ini! Mengerti?"

Laura mengangguk.

"Bagus," kataku. "Option yang lainnya masih terbuka lho. Aku mau jalan-jalan dulu. Mau refreshing, sementara itu...aku ingin kau mau melayani tiga orang lagi."

Wajah Laura berubah.

"A...apa kau bilang?"