Selasa, 04 September 2012

Pengalaman Marini


Kisah ini adalah merupakan lanjutan rangkaian pengalamanku, yang mengungkapkan bahwa selama ditinggal suamiku tugas ke luar kota, ada temannya yang menjadikanku sebagai istri yang suka menyeleweng, dan penyelewenganku itu menjadi berantai. Dan kini aku sedang menghadapi teman-teman Mas Adit yang bak serigala lapar yang berusaha untuk bisa membawaku ke tempat tidur.

Semuanya ingin merasakan bercumbu denganku. Dari Rendi, kemudian beralih ke Burhan dan Wijaya, kemudian Basri petugas Satpam yang suka mengantar Mas Adit suamiku. Aku tak bisa mengelak, karena aku takut kalau di antara mereka ada yang kecewa dan kemudian melaporkanku pada suamiku. Tetapi kuakui bahwa semua hal yang berlangsung itu kulakukan dengan penuh kesadaran dan bahkan kunikmati.

Pada malam setelah Basri si Satpam yang terpaksa kuterima untuk menyetubuhiku di atas ranjang pengantinku, aku akhirnya jatuh tertidur pulas kelelahan. Pukul 9 pagi esoknya, terdengar tukang koran membangunkanku. Dia menagih rekening bulanan koranku. Dengan daster tidur, aku keluar menemuinya dan kusodorkan bayarannya. Kemudian aku mandi dengan air panas hingga kesegaranku pulih kembali.

Mas Adit akan pulang ke Jakarta 2 hari lagi. Mudah-mudahan aku sudah sepenuhnya segar dan tak ada sisa-sisa apapun yang bisa dibaca pada tubuhku atau mengundang kecurigaan akan penyelewenganku. Pukul 10.30 setelah sarapan pagi, aku menyempatkan diri menyiangi dan menyiram tanaman kembangku. Ini merupakan acara rutinku dalam rangka mengisi kegiatan di rumah. Sekitar pukul 12 siang, setelah mengurus tanaman, terasa perutku sangat lapar. Dari lemari es kuambil persediaan sirloin steak 200 gram di chiller. Dalam 20 menit aku sudah menghadapi seporsi besar steak lengkap dengan tumis buncis dan kentang goreng. Dengan penutup orange juice dan segelas besar air mineral, aku makan besar siang ini hingga kekenyangan. Kubaca koran pagi yang belum sempat kubuka lembaran-lembarannya.

Pukul 3 siang, tetanggaku, Bu Tommy mampir ke rumahku untuk meminjam alat pemotong bunga. Di halaman, kami mengobrol tentang berbagai tanaman yang kurawat hingga selalu nampak sehat dan berbunga indah. Pada pukul 4 sore terdengar dering teleponku. Bu Tommy pamit, kemudian aku masuk mengangkat telepon itu.
"Selamat sore, Bu Adit", kudengar suara bariton di ujung telepon.
"Masih ingat saya..,?"
Aku ingat, itu Pak Anggoro, boss di kantor suamiku. Ada apa ini? Pikiranku dipenuhi tanda tanya.
"Selamat sore Pak Anggoro, apa kabar?".
"Baik, Bu. To the point saja ya. Ada dua hal yang ingin saya sampaikan, Bu".
Aku langsung jadi deg-degan nih, ada apa. Tumben-tumbenan seorang boss besar seperti Pak Anggoro meneleponku, kok langsung berbicara serius seperti ini.
"Pertama, saya dapat laporan dari Pak Samin penjaga villa saya di Bogor". Degg, rupanya rahasiaku petualanganku dengan teman-teman suamiku terbongkar. Matilah aku, pikirku.
"Kedua, saya barusan menelepon Pak Adit".
Wah, benar-benar celaka, kiamat, pikirku.
"Saya minta Pak Adit menyelesaikan tugasnya hingga mendapatkan Surat Ijin Prinsip dari Pak Bupati Kalimantan. Itu artinya Bu, Pak Adit baru bisa sampai Jakarta hari Rabu, 2 hari mundur dari rencananya yang harusnya Senin besok sudah pulang".

Aku mencoba mencari kaitannya antara hal pertama dengan hal yang kedua. Ah, aku mulai curiga. Aku membaca ada tanda-tanda yang tidak benar dari Pak Anggoro. Rupanya serigala-serigala kelaparan terus berkeliaran mencari mangsanya.

"O iya Pak. Ya bagaimana lagi, khan Mas Adit memang harus menyelesaikan tugasnya", aku berusaha menanggapinya dengan ringan dan tenang.
"Benar Bu, dan saya sudah merencanakannya, apabila Pak Adit berhasil menyelesaikan tugasnya, akan mendapatkan surprise dari perusahaan, kami sudah sepakat untuk mengangkatnya jadi Wakil Direktur. Itu artinya dia akan mendapat loncatan promosi 2 kali. Hal tersebut belum pernah kami berikan kepada karyawan lain sebelumnya. Tetapi tolong untuk hal ini menjadi rahasia kita dulu ya Bu, biar Pak Adit merasakan surprisenya itu".
"Ooo, baik, Pak. Terimakasih, Pak".
Wah, Pak Anggoro berusaha memamerkan kebaikan hatinya.
"Tt.., tte.., tapi.., B.., Bbu.., ini berkaitan dengan hal yang pertama tadi. Saya rasa kita perlu membicarakannya berdua, Bu".
"Maksud Bapak?", aku menempatkan diri seakan aku tidak tahu apa-apa dengan yang dimaksudkannya laporan Samin.
"Begini Bu Adit, Ibu sudah tahulah. Samin bilang bahwa selama 2 hari berturut-turut karyawan saya yang teman-teman Pak Adit datang bersama Ibu di villaku. Jadi.., yy.., ya.., inilah yang saya maksud dengan kita perlu membicarakan berdua, agar Pak Adit tidak tersendat promosinya di kantor".

"Saya sudah booking President Suite Grand Hyatt di jalan Thamrin, jam 5.30 sore ini. Bu Adit saya tunggu di Dome Coffee Shop. Jangan dilewatkan ya Bu.
Saya tunggu lho", nadanya memerintah, seakan aku bawahannya dan dia bisa seenaknya memerintahku.

Aku masih bengong saat Pak Anggoro menutup teleponnya tanpa memberikan kesempatan padaku untuk berbicara. Dara serigala kelaparan bermental pemeras, umpatku dalam hati. Yang satu ini adalah serigala tua yang sangat kelaparan sehingga begitu mendengar kasusku saat berada di villanya di Bogor, dia merasa mendapat kesempatan. Dia pikir bisa seenaknya memilih dan menetapkanku sebagai mangsanya. Pak Anggoro itu adalah boss suamiku yang walaupun fisiknya masih gagah, sehat dan segar tetapi usianya telah gaek, mendekati 60 tahun.

Bagaimana lagi ini. Gara-gara Rendi, aku dibuatnya super sibuk selama beberapa hari ini. Tetapi kalau masalah ini sampai pada Pak Anggoro, terus terang sama sekali tak pernah kuperhitungkan sebelumnya. Dengan mendengar pembicaraannya di telepon tadi, kalau kuabaikan akan bisa mengancam posisi suamiku di kantor. Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Dengan penuh tanda tanya, ragu, takut, khawatir, kesal karena orang-orang mendekatiku dengan cara memeras, akhirnya aku pergi mandi dan bersiap-siap memenuhi panggilan Pak Anggoro.

Di atas taksi yang menuju ke Grand Hyatt Hotel di Thamrin, aku mencoba membayangkan sosok Pak Anggoro. Menurut Mas Adit, walaupun lahir di Jawa dan Bapaknya orang kraton Solo, tetapi dia masih memiliki darah keturunan dari timur tengah. Memang dari profil wajahnya, cukup nampak garis-garis Semitnya. Kalau sedang berkumpul, Ibu-ibu para istri teman-teman Mas Adit sering berbisik-bisik bahwa Pak Anggoro mirip Omar Syarif, bintang film Mesir yang memang tampan. Dalam beberapa kali kesempatan mendampingi Mas Adit, kuperhatikan mata Pak Anggoro yang tak lepas-lepasnya memandangiku walaupun istrinya, Bu Retno yang terkenal cantik pula di masa mudanya, yang katanya juga masih keturunan raja Solo itu selalu berada di sampingnya. Aku sudah tahu dan terbiasa akan hal seseperti itu. Para lelaki memang selalu haus. Apa lagi kalau mendengar perkataan Rendi, menurut istri-istri teman sekantor Mas Adit, akulah yang paling cantik dan sensual. Bibirku mengingatkan para lelaki itu pada bibir Sarah Ashari. Demikian pula rambutku yang panjang yang lebih suka kulepas terurai.

Dengan kepalaku yang hanya setinggi dadanya, aku perkirakan tingginya mendekati 180 cm. Tetapi dengan badannya yang cukup gemuk, aku kira bobotnya tak kurang dari 75 kg, dengan tangan-tangannya berbulu lebat. Seperti lebatnya orang timur tengah pada umumnya. Kulitnya yang putih, membuat bulu-bulu itu nampak kontras tumbuh di atas kulitnya. Aku sering tergetar kalau melihat lelaki berbulu seperti itu. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa bulu-bulu yang ada di bagian tubuh lainnya. Suaranya yang bariton, menambah wibawa kepemimpinannya selaku Direktur Utama perusahaan tempat Mas Adit bekerja. Dia juga nampak sangat matang, baik sebagai pimpinan, maupun sebagai pribadi. Pak Anggoro, orangnya nampak sangat "gentleman". Beberapa kali dia membukakan pintu mobilku saat aku sedang bertandang ke rumahnya dalam rangka kegiatan antar para istri karyawan perusahaannya, di mana Ibu Anggoro selaku ketuanya.

Sedikit banyak aku juga tahu, "booking" President Suite Grand Hyatt itu, setidaknya sekitar US$ 2.500 yang harus dia keluarkan dari koceknya. Itu artinya tidak kurang dari Rp. 20 juta semalam atau 4 bulan gaji Mas Adit yang penuh kerja keras itu. Dan pengeluaran sebesar itu hanya untuk bisa "ngeloni" aku, istri Mas Adit, bawahannya. Ada juga terselip sedikit rasa tersanjung di hati kecilku dengan apa yang telah Pak Anggoro lakukan untukku itu.

Persis di depan pintu kaca besar di Dome Coffee Shop Grand Hyatt, Pak Anggoro menjemput dan membukakan pintu Dome untukku.
"Selamat sore, Bu", ucapannya yang bariton dan begitu "gentleman" itu sambil sedikit menundukkan kepalanya.
Dia telah "reserve" meja persis di depan kaca lebar yang menghadap ke patung Selamat Datang yang terkenal itu. Kepada pelayan dia memesan sesuatu. Dia tersenyum kepadaku.

"Bu Adit, jangan tanya pesanan saya ya. Ini sengaja tidak saya tawarkan pada Ibu. Ini surprise dari saya untuk Ibu karena Ibu sangat cantik malam ini, eh, sore ini", dan tanpa ragu, tangannya yang berbulu lebat itu meraih tanganku dan meremasnya. Ah.., Bapak ini PD-nya kelewatan, begitu bathinku.
"Dan maaf, saya telah merepotkan Bu Adit", lanjutnya berkaitan dengan pemerasan lewat telepon yang dia lakukan sore tadi padaku.

Dia perhatikan aku sepenuh mata dan hatinya. Dia juga perhatikan aku sepenuh laparnya seekor serigala lapar. Aku merasa seakan hendak dikunyah-kunyahnya. Seakan hendak dia telan bulat-bulat. Aku merasa dia seakan mendapatkan makanan yang terlezat dengan mendapatkanku sekarang ini. Kurasa air liurnya tak lagi tertahankan untuk mulai merobek-robek diriku. Aku berusaha tenang, walaupun sesungguhnyalah aku merasa "nervous", agak takut, agak gemetar. Tetapi, tidak tahu juga, hatiku sekaligus juga tergetar. Bahkan gigiku terasa gemerutuk saling beradu karena gemetarku.

Aku merasakan seperti ada birahi yang menjalar pada diriku. Birahi selaku perempuan yang harus menyerahkan diri dan menyerahkan tubuhnya ke meja altar untuk dijadikan korban nafsu dan mangsa serigala yang lapar. Tetapi anehnya, situasi yang harusnya menyeramkan itu justru menyimpang menjadi sensasi erotik yang membakar darahku. Dan sensasi erotik itu menimbulkan perasaan nikmat penuh birahi yang terasa mulai merambati libidoku. Kenikmatan birahi karena aku telah ditaklukkan, dikalahkan, ditawan, ditundukkan, diinjak-injak, diperbudak dan dimusnahkannya harga diriku. Penyelewenganku di villa Bogor itu telah membangunkan Pak Anggoro, serigala tua yang kelaparan ini.

Sepintas kuperhatikan dia. Nampak sangat segar dan penuh percaya diri. Yang pasti, kecukupan dan kesenangan duniawinya tak akan pernah kekurangan. Tubuhnya yang besar tetap nampak serasi, tidak terlampau gemuk dan sedap dipandang mata, khususnya oleh orang yang sedang dilanda birahi sebagai orang taklukan seperti aku sekarang ini. Gerakannya lincah, tanpa nampak adanya kendala usia pada tubuhnya. Dengan "trengginas" dia tarik kursi dan membimbingku untuk duduk. Senyumannya menebar keluar dari wajahnya yang memancarkan nuansa rasa tenteram dan terlindungi bagi siapapun yang dekat dengannya.

Kulitnya yang putih, dengan wajah sedikit mengingatkan wajah-wajah timur tengah seperti Omar Syarif itu, memancarkan kesan sebuah pribadi yang anggun dan penuh kharisma. Dengan brewok dan kumis yang selalu tercukur licin hingga menyisakan bayangan keunguan dari akar rambutnya pada dagu dan sekitar mulutnya, wajah Pak Anggoro nampak sangat jantan. Sangat macho. Alisnya yang tebal dan matanya yang nampak tajam seperti elang gurun terasa menusuk langsung ke jantungku.
Kembali aku tergetar hingga gigiku bergemerutuk. Aku menggigil, tetapi bukan oleh dinginnya ruang AC Coffee Shop Dome ini. Sedikit botak di kepalanya justru menunjukkan daya tarik seksualnya. Para perempuan akan membayangkan alangkah indahnya apabila botak seperti itu berkesempatan bersandar pada buah dada mereka. Giginya yang putih dan sangat terawat nampak membuat gaya bicara maupun senyumannya menjadi simbol keramahan, kesantunan dan penuh sensualitas.

Sore ini beliau memakai kemeja lengan pendek dengan gambar bunga-bunga yang menunjukkan bahwa dia sangat santai, tak ada beban, tak ada masalah-masalah yang menggelayutinya. Tercium sedikit semburat parfum khusus untuk pria. Tidak dominan, sehingga bau keringat alaminya masih bisa tercium lewat hidungku.

"Bu Adit sungguh sangat cantik. Sangat mempesona", begitu dia mengawali pembicaraannya sesaat setelah membisikan pesanan rahasianya pada pelayan Dome.

Matanya tak pernah melepaskan pandangannya padaku, pada bagian-bagian tubuhku. Aku tersenyum dan hatiku membumbung ke langit penuh bunga-bunga. Diraihnya tanganku dan diremasnya dengan penuh keyakinan bahwa aku telah menyerah menjadi tawanannya. Aku tidak mampu lagi berkutik, dan siap menjadi budaknya untuk dikorbankan pada meja altar nafsu lapar birahinya.

Bulu-bulu tangannya sempat menyentuh tanganku. Aku langsung merinding. Aku tidak mampu berpikir apa-apa lagi. Otakku langsung tumpul oleh darahku yang sudah dikuasai birahi pula. Kurasakan mata Pak Anggoro tak sedetikpun melepaskan pandangan hausnya dariku. Ada sedikit rasa kikuk pada diriku. Adakah yang salah? Atau semata pandangan penuh kekaguman? Tetapi aku berusaha yakin bahwa yang kedualah penyebabnya. Untuk sore ini aku memang sangat hati-hati dalam menjaga penampilanku. Aku memilih dengan cermat apa-apa saja yang akan kupakai. Bagaimanapun aku adalah seorang perempuan yang selalu merindukan kehormatanku. Setidak-tidaknya mata lelaki yang terpesona akan kecantikanku pasti akan sangat membahagiakanku.

Setelah mandi air panas dengan segala pewangi alami yang biasa kugunakan, aku menyiapkan pakaian, aksesori, parfum yang tepat dan make up. Beberapa pilihan dan model baju, rok dan sepatu kupertimbangkan masak-masak. Aku ingin tampil sebagai wanita yang cantik, penuh percaya diri, sensual dan seksi namun anggun. Terakhir, ada 2 baju yang harus kupilih, modelnya hampir sama. Hanya warnanya yang berbeda, yang satu merah muda, dan yang lainnya ungu tua. Akhirnya kupilih yang ungu tua. Ini cocok dengan deskripsiku tadi, penuh percaya diri, sensual dan seksi namun anggun. Model ini mirip dengan yang kupakai saat berjalan bersama Rendi. Dengan tali kecil tipis pada bahuku yang akan sangat menawan para lelaki, begitu komentar suamiku saat aku memakai baju ini, kain sutra Thailand yang mahal, membuat lekuk tubuhku membayang dengan sangat lembut. Bagi pria penuh selera, begitu kubayangkan lelaki seperti Pak Anggoro ini, penampilanku akan sangat menyentuh selera birahinya. Aku tersenyum sendiri membayangkan kepuasan yang akan kuraih, demi melihat Pak Anggoro yang bersimpuh memujaku.

Untuk bibirku yang tak perlu diragukan lagi mirip bibir Sarah Ashari ini, kulekatkan lipstick Margo yang membuat kesan wet look hingga seakan bibirku basah dan mencuat siap menerima lumatan bibir lelaki manapun. Aku juga memakai parfum La Roche yang sangat lembut tetapi tak akan pernah terlupakan selama bertahun-tahun oleh siapapun yang sempat menyentuhnya. Mengenai rambutku, aku paling senang melepas urai rambutku. Aku merasa kesan kewanitaanku akan sangat nyata karena rambutku ini. Saat terkena angin, kunikmati geraiannya yang sesekali terbang menutupi mukaku, dan saat tanganku menyibakkannya akan menunjukkan pesona diriku bagi lelaki yang berada di dekatku. Dan sesekali kusibakkan rambut ke belakang dengan leherku, yang merupakan pesona sensual sendiri yang terpancar dari gayaku.

Aku juga memakai sepatu warna ungu tua bertali dengan hak tinggi. Warnanya kebetulan pas dengan warna gaun yang akan kupakai. Ini sesungguhnya sepatu murah. Tetapi aku memang tidak gila merk berkat kesadaran dan pengetahuanku tentang desain yang baik. Kuperoleh sepatu ini dari sebuah boutique kecil di Pondok Indah. Dengan sepatu ini nampak tumitku yang lembut mirip telur ayam kampung dan betisku yang sangat aduhai, begitu kata Indri tetanggaku, istri pelaut yang lesbi dan sangat suka menggigiti betisku ini.

Makanan pesanan Pak Anggoro datang. Pelayan menurunkan makanan tersebut dari meja dorongnya. Kusaksikan surprise Pak Anggoro untukku. Pertama, tiram rebus yang diimpor khusus dari Laut Tengah dengan kaviar ikan sturgeon dari sungai Mekong. Disuguhkan di atas kulit tiram keperakan yang cukup besar. Kedua, salad mangga dengan lemon yang dibubuhi prosciutto atau ham Itali. Kemudian segelas red wine. Pak Anggoro sangat tepat dalam membaca selera makan impianku. Semua makanan itu sangat ideal bagiku yang selalu mempertimbangkan bobot tubuhku. Makanan-makanan pilihannya itu tepat energi dan tidak mengancam kolesterolku. Aku tidak tahu berapa harga untuk semua makanan super mahal itu. Dan untuk Pak Anggoro sendiri, dia hanya minum teh Assam dari India dengan gula batu.

"Silakan, Bu Adit. Ini sekedar apetizer. Nanti makan besarnya di kamar saja.
 Saya sudah atur".
Sekali lagi dia meremas jari-jari kiriku. Selangit rasanya aku tersanjung.
"Aku memang hanya minum teh seperti ini, dimana saja, kapan saja".

Diam-diam setiap kali kulirik Pak Anggoro. Dia terus menerus menatapku bak serigala yang benar-benar lapar. Tetapi dengan usianya yang sudah cukup sepuh, walaupun birahinga datang memacu, dia adalah serigala yang bijak dengan ketenangannya yang luar biasa. Dia sangat menguasai medan dan iramanya yang terus mengalir penuh improvisasi. Dan dia selalu memiliki jalan keluar untuk menghindarkan suasana kebisuan. Sambil meremas jari-jariku, dia menanyakan cat kukuku, gaun sutraku, warna lipstick-ku, aksesorisku dengan penuh antusias.

Setelah aku menikmati hidangan hebat ini, Pak Anggoro mengajakku beranjak. Pada billingnya kulirik tagihan makannya, US$ 250. Wow, paling tidak hanya dalam tempo 5 menit telah kutelan Rp. 1,5 juta masuk ke perutku.
President Suite Pak Anggoro berada di lantai 7. Dari tempat ini nampak panorama malam Jakarta yang penuh lampu-lampu. Begitu memasuki kamar, kuperhatikan ruang tamunya yang besar dengan sofa-sofanya yang mewah. Tempat tidurnya King Size yang mewah pula. Pak Anggoro duduk di salah satu sofa yang tersedia, kemudian memanggilku, memintaku duduk di pangkuannya. Dengan kesadaran birahi seorang perempuan taklukan dan budak yang harus patuh pada tuannya, aku mendekat. Bukankah aku tawanannya, kini?

Belum pernah seumur-umur aku mengalami tremor hingga gigiku menggerutuk menggigil seperti ini. Seorang bapak, boss yang sangat gentleman, kharismatik, memanggilku dan memintaku duduk di pangkuannya. Dia begitu percaya diri, bahwa semuanya pasti akan beres. Sikapnya itulah yang membuatku langsung bertekuk lutut. Dan saat telah berada di dekatnya, tangan kanannya menjemput, meraih pinggulku dan dengan penuh kelembutan ditariknya aku ke pangkuannya. Sambil membenamkan wajahnya ke leherku, Pak Anggoro berbisik.
"Bu Adit, kamu sangat mempesonaku. Bu Adit sangat cantik. Sangat seksi".
Tangan kananku secara otomatis merangkul bahunya agar aku tidak terjatuh. Sementara itu tangan kanan Pak Anggoro meraih paha kiriku agar posisi dudukku lebih ke tengah pangkuannya. Mendengar bisikannya, semangat birahiku langsung hadir. Aku ingin mendapatkan lebih dari sekedar bisikan di leherku. Tangan kiriku kurangkulkan ke lehernya hingga kedua tanganku saling berpegangan di belakang kuduknya. Posisi seperti itu menggiring wajah Pak Anggoro lebih bergeser ke dadaku. Tenggelam ke bukit-bukit ranumku yang sudah setengah terbuka karena model gaunku yang memang menampilkan belahan payudaraku. Pak Anggoro menyapukan wajahnya pada dadaku. Menghirup aroma dari dadaku itu.

"Paakkhh.., hh..".
Kurasakan tangan Pak Anggoro mulai menyingkap gaunku. Tangannya mengelus pahaku yang sintal ini. Aku semakin merinding. Akhirnya kami saling melumat. Ciuman Pak Anggoro sungguh maut. Ciuman seorang pria yang telah matang dan penuh perasaan serta penghargaan pada lawan mainnya. Dari sebuah ciuman, kurasakan bahwa Pak Anggoro bukanlah lelaki egois. Dia mau menerima dan sekaligus juga menikmati saat memberi. Lidahnya yang besar menyeruak ke rongga mulutku, mengorek dan mengisap ludahku sambil tangan kanannya mulai menelusuri celah selangkanganku. Aku mulai menggelinjang dan serasa terbakar darahku. Birahiku mulai memanas dan menanjak.

Ciuman Pak Anggoro membuatku benar-benar terhanyut. Mau tak mau aku tergerak untuk memberikan respons dengan penuh perasaan juga. Aku menyedot lidahnya, juga ludahnya. Dan Pak Anggoro memberikannya untukku. Aku rasakan kini, bahwa dengan ciuman saja kita bisa mendapatkan ribuan warna dan nuansa, dimana setiap warna dan nuansa itu benar-benar memiliki bentuk kenikmatan yang berbeda-beda. Dan itu berkat pemahaman akan makna ciuman dengan gerakan anggota tubuh yang lain yang sama-sama menggiring sensasi kita dalam menapaki birahi yang diharapkan akan terus memuncak.

Saat menyedot lidah dan ludah itulah, tangan Pak Anggoro menelusuri tepian celana dalamku di celah selangkanganku. Paduan kerja lidah dan tangan seperti inilah yang membuatku terbawa melayang-layang dalam langit penuh kenikmatan. Dan aku harus belajar menyelami irama dan makna dalam menapaki birahi ini. Saat aku harus melakukan balasan ciuman atau sedotannya, aku mulai dengan sedikit menggoyang pinggulku, untuk menunjukkan pada Pak Anggoro betapa nikmat sentuhan yang dilakukannya pada tepian celana dalamku itu.

Tidak keliru jika dikatakan bahwa seks itu sesungguhnya merupakan suatu seni. Ciuman, rabaan, desahan, rintihan, goyangan bahkan sibakan rambut atau cubitan kecil di pinggul atau jambakan rambut hingga lawan cumbunya merasakan pedihnya kulit kepalanya atau cakaran kuku-kuku pada punggung. Hal seperti itulah yang harus dimiliki oleh para suami dan istri. Dan hal seperti itulah yang kuanggap tidak pernah secara serius diusahakan oleh suamiku sendiri, Mas Adit. Dia hanya seorang egois yang hanya asyik dengan pekerjaannya. Dia tak pernah mengusahakan bagaimana agar istrinya juga mendapatkan kepuasan. Bukan sekedar kepuasan materi. Dia sama sekali tidak pernah merasakan apa sesungguhnya yang kubutuhkan. Lembutnya bercumbu dalam ciuman, nikmatnya sapuan lidah yang sesekali merambah ke daguku, gigitan bibirku pada bibirnya atau sebaliknya, erangan dan desahan kecil dari mulut-mulut kami, remasan-remasan jari-jari lentikku pada kuduk Pak Anggoro, rabaan jari-jari Pak Anggoro pada tepian celana dalamku yang sesekali melewati batas tepian itu dan menyentuh atau mengusap atau bahkan memilin bibir-bibir vaginaku telah menggiring semakin jauh dan tingginya nafsu birahi kami.

Kurasakan Pak Anggoro semakin terbakar hingga panasnya juga langsung membakar diriku. Nafsu ini setapak-setapak menanjak. Dan rasanya pada saatnya akan meroket. Aku sudah dapat merasakan kalau pangkuan yang sedang kududuki menggelembung. Kontol Pak Anggoro sudah mengganjal di bokongku. Setiap kali aku harus memepetkan tubuhku agar lebih mepet ke tubuhnya. Sekali lagi Pak Anggoro menunjukkan improvisasi matangnya.

Dia raih kaki kananku dan diangkatnya hingga kini aku setengah miring dan setengah membelakangi tubuhnya. Kakiku di sandarkannya ke sandaran jok sofa. Dan akibatnya selangkanganku menjadi terbuka dan gaunku melipat ke pinggulku hingga celana dalamku langsung tampak.

Kini tangan kananku yang tidak lagi menggelayut pada lehernya kuangkat ke atas belakang jatuh ke tangan sofa kiri tanpa pegangan. Ketiakku terbuka lebar, demikian pula dada dengan belahan payudaraku.
Bibir Pak Anggoro lepas dari bibirku. Pagutan dan ciumannya berubah menjadi sedotan dan jilatan pada ketiakku. Sementara tangan kanannya mulai meliar meremas memekku dan jari-jarinya mulai menembus lubang vaginaku. Aku mulai mendesah histeris. Tangan kiriku serta merta meraih rambutnya yang setengah botak itu dan meremasnya dengan penuh kegatalan birahi. Betapa kenikmatan birahi dalam kualitas yang sangat tinggi tengah menyeruak dalam relung tubuhku dan terus memacu libidoku untuk terus menapaki ke jenjang puncaknya. Kegatalan pada liang vaginaku memaksaku untuk menjerit lembut sembari mengangkat pantatku untuk menjemput jari-jari Pak Anggoro yang telah menari-nari dalam liang surgaku.

Tiba-tiba aku ingin sekali meraba dan mengelus dada Pak Anggoro yang tentu bulunya lebat sebagaimana yang kulihat pada tangan-tangannya. Tangan kiriku melepaskan remasan rambutnya menuju ke kancing-kancing kemejanya untuk melepaskannya. Walau hanya 2 atau 3 kancing yang terlepas, telah cukup bagi tanganku untuk menyeruak masuk mencapai dadanya yang gempal penuh bulu itu. Perasaan merinding kembali menyergap nafsuku saat tapak-tapak tanganku merasakan lebatnya bulu dada Pak Anggoro. Kuraba tubuhnya lebih ke dalam seakan hendak memeluknya. Lagi-lagi aku mendesah hebat.

Goyangan pinggul serta gerakan pantatku untuk menahan kegatalan serta menjemput tusukan jari-jari Pak Anggoro dalam liang vaginaku membuat ciuman dan jilatannya semakin meliar pada seluruh wilayah dadaku. Dengan bantuan tanganku, Pak Anggoro kini juga sudah menyedot putingku yang semula masih tersembunyi dalam BH-ku. Kenikmatan ciuman dan jilatan Pak Anggoro telah mendorong tanganku untuk merogoh payudaraku keluar dari gaun dan BH-ku.

Kini irama percumbuan sudah berganti menjadi upaya intensif untuk secepatnya meraih puncak kenikmatan. Mulutku meracau hebat menahan derita dan sekaligus siksaan yang nikmat. Pantatku naik turun menjemput jari-jari Pak Anggoro agar lebih intens mengocok nonokku. Tangan kiriku meremas belikat dan ketiak Pak Anggoro yang penuh bulu. Dan Pak Anggoro dengan tenang dan dinginnya terus melahap dadaku, payudaraku, puting-puting payudaraku sekaligus jari-jari tangan kanannya merogoh liang vaginaku dan mengorek-orek saraf-saraf pekaku di dalamnya.

Tiba-tiba perasaan ingin kencing-ku hadir. Ini hebat sekali. Kami belum melepas selembar pakaianpun dari tubuh. Tanda-tanda aku akan kembali meraih orgasmeku dimulai dengan perasaan kencingku yang seperti ini. Seperti perasaan yang sama saat aku disetubuhi Rendi, Burhan, Wijaya dan Basri kemarin, rasa ingin kencingku ini sangat mendesak-desak datang dari dalam vaginaku. Mungkinkah aku akan meraih orgasme hanya dengan ciuman dan permainan jari-jari tangan Pak Anggoro?

Pak Anggoro sangat pengertian akan apa yang sedang berlangsung pada diriku. Dan beliau pasti juga sangat tahu bagaimana cara menyelesaikannya. Beliau biarkan tangan-tanganku yang liar mencubit dan mencakar-cakar tubuhnya. Beliau bebaskan aku untuk mendesah dan merintih sekeras-kerasnya. Beliau penuhi keinginanku akan jari-jarinya agar lebih menembus lagi dalam-dalam ke liang vaginaku. Beliau tingkatkan sedotan, ciuman dan jilatannya ke ketiakku, ke dada ranumku, ke payudaraku, ke puting-putingku. Dan aku kini bak kuda betina yang penuh kelaparan dan kehausan.

Sampai dengan saat, yang pada akhirnya, orgasmeku datang, kuangkat pantatku tinggi-tinggi. Kakiku bergerak kesana kemari merangsek apapun yang bisa kujadikan tempat pijakan agar cairan birahiku bisa tumpah tanpa hambatan. Tangan kananku meraih, meremas dan nyaris merobek kemeja Pak Anggoro. Aku berteriak sekeras-kerasnya dalam kamar President Suite yang sangat mewah dan kedap suara itu. Dan akhirnya, cairanku, cairan birahiku, air mani keperempuananku meledak, membanjir panas membasahi tangan-tangan Pak Anggoro, tanpa lagi ada yang mampu membendungnya.

Yang kuingat setelahnya hanyalah aku merasakan tubuhku diangkat ke kasur dan di telentangkannya dengan kaki-kakiku tetap terjuntai ke karpet kamar mewah ini. Kulihat sepintas Pak Anggoro menjilati tangan kanannya yang basah oleh cairan birahiku. Kemudian beliau membungkukkan tubuhnya, kepalanya dia benamkan ke selangkanganku dan tenggelam ke celana dalamku. Aku rasakan kemudian mulut Pak Anggoro menyedoti basahnya celana dalamku dan menjilati cairan-cairanku. Aku biarkan, sementara sambil menikmati derasnya cairan yang belum kunjung habis, terasa nonokku mengempot-empot memompa dan memeras cairanku agar keluar dengan tuntas. Aku menarik nafas panjang. Kumaklumi bahwa Pak Anggoro masih menapaki nafsunya dan masih jauh dari puncak kenikmatannya. Aku juga ingat kata seorang temanku bahwa perempuan seperti aku bukan tidak mungkin meraih orgasme secara berturut-turut berkesinambungan, multiple orgasm.

Saat darahku sudah sedikit mereda, kesadaranku akan kehadiran Pak Anggoro telah pulih secara utuh, sementara aku yakin dengan kemungkinan multiple orgasm itu, kuraih bahu Pak Anggoro ke atas tubuhku. Kuraih tubuhnya agar menindih tubuhku. Kucoba kuraih celananya, kulepas ikat pinggang dan kancing-kancingnya. Pak Anggoro tahu keinginanku yang juga memang keinginannya pula. Dengan celananya yang masih setengah merosot hingga ke pahanya, dia mengeluarkan kontolnya dari celah celana dalamnya. Aku sempat sekilas melihatnya. Ukurannya tidak luar biasa. Biasa-biasa saja. Sedikit lebih kecil daripada kontol Basri tetapi yang pasti lebih besar daripada kontol Mas Adit suamiku. Kontol Pak Anggoro sangat tegang dan keras. Dalam usia beliau, mungkinkah dia menggunakan obat-obatan khusus agar kontolnya bisa ngaceng sebegitu rupa?

Aku merenggang melebarkan pahaku. Nonokku telah siap menerima tusukan kontol Pak Anggoro. Setelah beliau menempelkan kepalanya tepat pada lubang vaginaku dari celah celana dalamku yang sebelumnya dikuaknya, direbahkannya tubuhnya ke tubuhku. Tubuhku menggeliat hebat saat disentuh bulu-bulu yang tumbuh di sekujur tubuhnya. Tubuhku yang lembut dan halus serta relatif kecil ditindih dengan tubuh Pak Anggoro yang putih gempal penuh bulu-bulu. Perasaan merinding langsung merasuki sanubariku. Gelombang nafsu birahiku dengan cepat kembali melandaku. Kontol yang mulai didesakan ke memekku terasa menembus lubang vaginaku. Aku menjerit kecil. Selanjutnya Pak Anggoro mulai mengayun.

"Jeng Marinii.., Jeng Marinii, Jeng Marinii, Jeng Marinii..", dia mendesah dengan memangil-manggil nama asliku.

Begitu terus berkepanjangan setiap kali kontolnya dengan pelan masuk dan dengan pelan pula ditariknya keluar. Cara seperti itu terus terang sangat menyiksa birahiku. Aku meracau. Mataku membeliak-beliak. Kepalaku menggoyang ke kanan dan ke kiri menahan nikmatnya tusukan. Dan rasanya aku kembali ingin kencing. Kuisyaratkan pada Pak Anggoro agar ayunannya dipercepat. Pantatku menggelinjang-gelinjang naik turun ingin mempercepat ayunan dan pompaan kontol Pak Anggoro ke memekku. Apakah aku akan merasakan yang namanya multiple orgasm?

Genjotan Pak Anggoro semakin dipercepat. Bibirnya langsung mencaplok bibirku. Aku kembali menikmati ciuman hebat Pak Anggoro. Lidahnya yang besar itu menyeruak ke rongga mulutku, mencari ludahku, mencari lidahku. Aku berikan semuanya. Aku mengimbangi genjotannya dengan memutar-mutar pantatku dengan bayangan dan harapan bahwa kontol Pak Anggoro akan lebih menghunjam dan menikam memekku dengan lebih keras. Keinginan dan desakan kencing dari dalam vaginaku tak mampu lagi kutahan. Aku menjadi sangat haus.

"Aaahh, Pak Anggoroo.., ludahi mulutku Paakk, aku hauuss, oohh.."
Setelah sadar nanti aku tidak habis heran, dari mana keinginan mulutku untuk diludahi Pak Anggoro. Aku terus mengangakan mulutku. Aku lihat di bibirnya, Pak Anggoro membuat gumpalan-gumpalan air liur untuk diludahkan ke mulutku. Dan setiap gumpalan yang jatuh kukecapi kemudian kutelan. Berkali-kali gumpalan itu jatuh dari mulutnya dan kutelan. Birahiku meledak, meletup-letup dan mendongkrak seluruh tubuhku. Genjotan kontol Pak Anggoro serta ludah-ludahnya yang dijatuhkan ke mulutku membuatku kehilangan kendali. Orgasmeku telah kembali muncul di ambangnya. Dan Pak Anggoro sendiri kurasakan juga sudah mencapai ambangnya. Kontolnya terasa semakin sesak memenuhi rongga vaginaku. Saraf-saraf pekaku pada dinding vaginaku terus memijat dan meremas batangan kontol itu. Dan isyarat terakhirpun akhirnya muncul.

Dengan pagutan keras serta jambakan pedih pada rambutku, kontol Pak Anggoro menyemburkan lahar panas di dalam vaginaku. Kedutan-kedutan besar kurasakan memompa keluar seluruh cadangan air mani dari kandungannya. Air mani Pak Anggoro terasa sangat kental dan legit. Entah sebanyak apa yang tumpah ke kemaluanku itu. Dan yang kemudian aku rasakan sangat luar biasa hebat adalah, pada saat bersamaan, multiple orgasm-ku juga muncrat tak tertahan. Berjuta rasanya. Lebih dalam dan lebih memeras nikmat daripada yang pertama, dengan tanpa mengurangi kenikmatan yang pertama tadi.

Kukuku menancap dan telah membuat punggung Pak Anggoro sedikit terluka. Pak Anggoro tidak mempersalahkan nafsuku yang menggila itu. Kami berpacu dalam dera nikmat tak terhingga hingga nafas kami mereda. Keringatku bersimbah walaupun AC kamar mewah ini sangat dingin. Kami langsung rebah. Sepi. Kecuali nafas-nafas panjang kami.
Untunglah, akhirnya suhu dingin AC kamar mewah ini menyelimuti tubuh-tubuh kami yang baru saja terbakar, hingga dengan cepat kami merasakan kesegaran kembali. Keringatku akhirnya hilang. Kami terlelap dalam nafas dan jiwa yang sangat lega. Hening.

Aku terbangun saat kurasakan ada yang menyibakkan wajahnya di selangkanganku, di nonokku. Rupanya Pak Anggoro sedang menjilati kemaluanku. Dia menyedot cairan-cairan di dalamnya. Kali ini cairan campuran antara milikku dan miliknya sendiri. Rupanya hal demikian bukan jadi masalah bagi Pak Anggoro yang nampaknya termasuk kategori "pengejar kenikmatan" ini. Dan kulihat juga, ternyata kontolnya belum juga surut dari ereksinya. Aku jadi teringat, mungkin itu karena pengaruh obat perangsang seperti Viagra, barangkali.

Dia tahu bahwa aku terbangun. Aku mengelus kepalanya. Kubiarkan dia memuaskan dirinya. Bahkan aku membantunya dengan cara mengeluarkan desahan-desahan. Orang seusia Pak Anggoro akan peka terhadap desahan perempuan seperti aku yang usianya sama dengan usia anaknya. Itu memang fantasi seks orang-orang seumurnya. Menyetubuhi daun-daun muda dan masih mampu menunjukkan kejantanannya dan bahkan masih mampu membuat perawan mudanya blingsatan menahan nikmat.
Aku lihat kini tangannya meremas kontolnya sendiri. Ah.., aku jadi iba. Aku tiba-tiba merasa bersalah. Apakah aku belum sepenuhnya memberikan kepuasan padanya. Sementara dia telah memberikan kepuasan padaku. Aku telah dibuatnya orgasme berturut-turut sebanyak 2 kali, sesuatu yang tak pernah kudapatkan dari Mas Adit suamiku. Aku harus menolongnya. Aku mencoba beringsut menjangkau tubuhnya, kakinya. Tanpa melepas sedotan bibirnya pada vaginaku, aku berusaha menindihkan tubuhku dan mendekatkan wajahku ke selangkangannya. Aku mainkan hubungan gaya 69 untuk Pak Anggoro.

Nampaknya Pak Angoro langsung menikmati apa yang kulakukan padanya. Desahannya langsung kudengar. Desahan yang tersendat-sendat, setiap kali aku melakukan jilatan ataupun isapan pada kontolnya, pelirnya, jembutnya atau yang lain lagi di sekitar selangkangannya. Aku lakukan dengan sepenuh nikmat yang bisa kurasakan dan kudapatkan. Selangkangan Pak Anggoro yang sangat bersih, putih dengan bulu-bulu di pahanya, aromanya, sangat merangsang birahiku. Aku menciumi dan menjilati selangkangan dan kontol Pak Anggoro dengan nafsu binalku. Dan ketika saatnya datang, Pak Anggoro bangkit. Tubuhku dibangunkannya dan disenderkannya ke "back-drop" tepian ranjang hotel itu. Diberikannya bantal pada punggungku. Kemudian dia turun ke lantai mendekatkan selangkangannya kepadaku. Tepat di wajahku. Dengan kaki kirinya naik ke kasur dan kaki lainnya tetap di lantai, dia sorongkan ujung kontolnya ke bibirku. Dia menginginkanku mengulum kontolnya. Dia ingin memompa mulutku. Aku langsung melahap kontolnya. Aku ingin Pak Anggoro mendapatkan kepuasan dari layananku. Aku ingin tunjukkan padanya bahwa aku juga mampu memberikan yang terbaik dari yang terbaiknya yang pernah dia dapatkan dari orang lain.

Aku terus mengulum sambil menggenggam kontolnya agar tetap pada lubang mulutku. Kemudian sesekali kukeluarkan dan kusapu kepalanya dengan lidahku. Dengan membeliak sambil mendongakkan kepalanya ke langit-langit kamar mewah ini serta menikmati kulumanku, pantat Pak Anggoro maju mundur mendorong kontolnya untuk merespons pompaan mulutku. Desahan nikmatnya terus datang bertubi. Tangannya meraih kepalaku untuk memastikan bahwa mulutku selalu mengulum kontolnya. Tangan kananku berpegang pada pahanya yang berbulu lebat itu. Aku masih merinding setiap kali tanganku menyapu bulu-bulu itu.

Aku merasakan betapa Pak Anggoro sangat menikmati posisi ini. Beberapa kali jari-jari tangannya mengelus bibirku yang monyong karena kontolnya yang menyesaki mulutku. Dia elus-elus bibirku. Mungkin dia melihat dan menikmati keindahan yang kontras dari sebuah bibir cantik, lembut dan mungil milikku ini dengan kontol miliknya yang kaku penuh urat-urat yang dengan kasarnya menyesaki mulut itu. Akhirnya kurasakan kedutan besar dari kontol Pak Anggoro. Spermanya memancar dari kantongnya. Aku akan selalu mengenang saat-saat seperti ini. Kedutan inilah yang selalu kunantikan dan kurasakan nikmatnya pada tanganku yang menggenggamnya. Kedutan ini berasal dari saluran besar berupa pipa urat spermanya yang terpompa keluar dikarenakan desakan birahi yang sudah sampai di puncaknya. Kedutan pertama disusul dengan kedutan kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam sampai ke tujuh.

Mulutku sengaja diam untuk menampung semua cairan kental yang tumpah ini. Pada kedutan yang ketujuh, mulutku sudah penuh. Aku menganga dan menunjukkannya pada Pak Anggoro. Dia meraih kepalaku, mengelus dan mencium sedikit bibirku. Dia menginginkanku menelan seluruh spermanya. Dan hal itu langsung kulakukan sekaligus untuk membasahi tenggorokanku yang selalu haus sperma ini.

Pak Anggoro langsung rubuh ke ranjang. Tangan-tangan dan pahanya terentang seluas ranjang King Size itu. Sepertinya aku sedang menyaksikan beruang putih yang kelelahan setelah menyetubuhi betinanya. Bulu-bulu dadanya itu, aku sedemikian terobsesinya, bahkan setelah orang ini menumpahkan demikian banyaknya lendir kontolnya ke mulutku.
Sementara Pak Anggoro masih tergolek, aku menyiapkan air panas untuk mandi. Kini jam menunjukkan pukul 10 malam. Kami telah berasyik masyuk tanpa jeda selama hampir 2 jam. Dan kepuasan orgasme yang telah kuraih, benar-benar karena pasanganku, Pak Anggoro yang sangat mengenal seninya bercinta. Dia sungguh menikmati setiap detail cinta yang kupersembahkan padanya. Entah itu berupa sentuhan, pijitan, kecupan, jilatan, sedotan dan gigitan yang telah kulakukan pada lembah dan bukit-bukit tubuhnya ataupun yang sebaliknya dia lakukan pada tubuhku.

Aku juga sangat kagum betapa semua ulahnya langsung mendongkrak saraf-saraf erotisku. Hanya dengan permainan jarinya pada klitoris serta dinding-dinding dalam vaginaku, Pak Anggoro telah melemparkanku ke langit kenikmatan yang sangat tinggi, hingga aku bisa meraih orgasmeku. Aku sangat puas. Aku jadi teringat Mas Adit. Kamu juga bisa Mas, pasti bisa kalau kamu tidak egois. Aku sudah membuktikan, bahwa kepuasan bukan semata-mata diperoleh karena ketampanan atau kecantikan, muda, besar ataupun panjangnya ukuran, tetapi lebih kepada wawasan, kecerdasan, sikap toleransi untuk tidak egois, selera dan kepekaan, daya imajinasi, kreatifitas dan kemauan yang serius. Aku ingin berterus terang Mas, kalau saja aku diberikan kesempatan, aku selalu siap menolongmu.

Segarnya air panas. Aku membersihkan semua sisa-sisa persetubuhanku tadi. Lendir mani dalam vaginaku belum sepenuhnya bersih, walaupun Pak Anggoro sudah menyedotnya tadi. Dengan kimono lembut yang tersedia untuk sepasang tamu kamar mewah itu, aku keluar dari kamar mandi. Pak Anggoro sudah bangun, sedang duduk setengah telanjang di sofa. Lagi-lagi aku tetap tergetar menyaksikan bulu-bulu dadanya itu. Mungkin karena baru kali ini aku mendapatkan dan merasakan nikmat birahiku pada saat tersentuh bulu-bulu itu. Pak Anggoro bangkit untuk mandi setelah sebelumnya dia menelepon room service untuk menghidangkan makan malam yang menunya telah dia pesan bersamaan dengan kedatangannya sore tadi.

Aku mengeringkan rambutku. Beberapa saat setelah kami mandi dan sama-sama memakai kimono lembut hotel ini, terdengar bel pintu yang lembut. Pak Anggoro membukanya. Dia persilakan para pelayan menyiapkan perjamuan malam di ruang yang tersedia. Aku beranjak ke beranda menyaksikan lampu-lampu Jakarta. Aku tidak ingin bertemu dengan orang lain. Siapa tahu saja di antara mereka ada yang mengenalku. Sekitar 10 menit kemudian Pak Anggoro menjemput dan menggandengku menuju perjamuannya. Wah, kulihat kemewahan Resto Grand Hyatt pindah ke ruang kamar mewah Pak Anggoro. Dengan lampu ruang yang cahayanya difus (buram temaram), nampak lilin-lilin di meja perjamuan menjadi sedemikian romantisnya. Aku sepintas ingat kemewahan suasana makan di kapal Titanic yang tenggelam itu.

Dengan latar belakang desah nyanyian Julio Iglesias, penyanyi Latin yang seksi dan lembut pujaan jutaan wanita itu, suasana dalam ruangan ini menjadi sedemikian fantastik dan eksotik. Aku merasa Pak Anggoro sungguh-sungguh ingin memanjakanku. Aku merasa sangat tersanjung juga terharu. Sedemikian hebatnya dia menghargaiku. Entah benar atau tidak kesanku ini. Atau mungkin juga sekedar pernyataan kepuasannya pada kesediaanku untuk mengulum kontolnya tadi. Ah, tentu saja bukan. Bukankan makanan ini sudah dia pesan sejak awal kedatangannya tadi. Pak Anggoro menarikkan kursi untukku. Kusaksikan makanan serba laut yang mahal terhidang berlimpah di meja. Rasanya ini makanan yang cukup untuk orang se-RT. Demikian banyak dan beragam. Ini semua dimaksudkan untuk memicu dan memacu selera makan kami berdua.

Aku lihat ada lobster dalam "chinese cuisine" yang ditampilkan utuh dengan cangkangnya di atas dagingnya yang telah diiris-iris. Ada kakap yang diiris tipis-tipis untuk dicelupkan dalam saus yang spesial. Ada tumis sirip hiu yang dimasak dalam saus tomat dan arak china. Ada tim kerapu yang pasti masih segar karena berasal dari aquarium restoran hotel ini, dengan daun bawang, seledri dan arak China juga. Di samping kananku, yang juga sebelah kanan Pak Anggoro, kulihat sup kepiting Alaska dengan abalone dan jamur China. Ah, akau tidak tahu lagi dengan yang lain. Aku banyak tidak tahu masakan apa saja ini. Tetapi aromanya yang merebak memang langsung membuat perut kami jadi terasa sangat lapar.

Dibuka dengan minum teh cina yang pahit, Pak Anggoro di seberang meja sana mengajakku untuk mulai melahap hidangan perjamuan di meja. Di akhir perjamuan kulihat Pak Anggoro meraih sebuah botol berisi anggur, menuangnya satu sloki dan menenggaknya. Dia bilang itu adalah anggur tua asli yang dicampur ramuan sehat dari China. Untuk menghargai tawarannya, aku minum satu sloki. Kurasakan nikmat dan sangat segar. Terasa sedikit keras, tetapi lebih tepat jika disebut lembut. Badanku langsung merasa hangat.

Selesai makan yang berlangsung hampir 1,5 jam karena juga diisi obrolan santai sana sini hingga makanan benar-benar turun ke perut, kusampaikan pujian kepada Pak Anggoro akan selera pilihannya yang hebat pada jamuannya malam ini. Kusampaikan kagumku mengenai lilinnya, Julio Iglesias-nya, lobsternya, kepiting Alaskanya, tumis sirip hiunya, minuman anggur Chinanya dan sebagainya.

Dia hanya tersenyum. Kedua tangannya meraih kedua bahuku yang kemudian bergeser turun menyusup masuk ke kimonoku, yang memang tanpa kancing kecuali tali pinggang yang kuikat kendor. Dia meraih dan merangkul pinggulku hingga membuatku langsung merinding oleh sentuhan bulu-bulu tangannya itu. Kemudian dengan pandangan yang penuh makna dan dalam, dia berbisik kepadaku. "Bu Adit, semua ini tak ada artinya dibandingkan keindahan dan kenikmatan yang telah dan akan saya rengkuh kembali darimu. Rekah bibirmu, ranum payudaramu, puting-putingmu, wangi ketiakmu, lembut bokongmu, lembut lubang pantatmu, getas betismu, wangi pahamu, wangi selangkanganmu, legit memekmu, keras itilmu, gurih cairan birahimu. Bu Adit, sungguh-sungguh kenikmatan surgawi yang aku telah temukan di dunia. Saya, Bu Adit, akan terus menerus memendam hasrat birahi pada Ibu Adit sepanjang hayat saya. Akan selalu merindukan indah dan nikmatnya celah, lembah dan bukit-bukit yang Bu Adit miliki ini. Tak ada kata-kata yang sepadan untuk mengucapkan kenikmatan yang kurasakan selama 2 jam terakhir bersama Bu Adit ini". Kemudian dia mencium dan melumat lidahku sambil tangannya meremas bokongku.

Wow, aku mabuk kepayang oleh romantisnya Pak tua ini. Nafasku seketika terasa sesak. Aku berada dalam keadaan antara tersipu, terharu dan tersanjung. Kalau toh ini semua semata sikap emosi romantisnya Pak Anggoro, bagaimanapun ia telah mengucapkannya secara langsung dan lugas kepadaku hingga pantaslah apabila membuatku yang saat ini bagai tawanannya bertekuk lutut padanya. Aku sungguh-sungguh sangat tersipu, sangat terharu dan sekaligus sangat tersanjung.

Selepas mencium dan melumat bibirku, tanganku beranjak menyusup ke celah kimononya. Aku memeluk tubuhnya. Kusandarkan kepalaku pada dadanya yang penuh bulu itu. Saat bibirku menyentuh puting susunya, secara refleks aku mencium kemudian mengulum dan menggigit kecil putingnya itu. Bulu-bulu tubuhnya yang lekat pada tubuhku semakin membuat mabuk kepayangku tak tertolong lagi. Aku menciumi dada Pak Anggoro sambil merintih lembut. Demikian pula Pak Anggoro mengeluarkan desahan beratnya sambil tangannya menyapu rambutku. Masih kudengar samar-samar rayuan Julio Iglesias tadi.

Pelan, sambil terus saling berpelukan dan melumat, kami beringsut menuju peraduan. Begitu melewati ambang pintu ruang makan, Pak Anggoro merengkuh punggung dan pahaku kemudian mengangkatnya, menggendongku. Dibawanya aku dan direbahkannya ke ranjang. Aku merasa, sekaranglah perjamuan besar yang sesungguhnya bagi Pak Anggoro. Akulah yang akan jadi santapan utama perjamuannya. Dan yang 2 jam pertama tadi hanyalah "apetizer" atau makanan pembuka bagi beliau untuk mengawali jamuan besarnya sekarang ini. Bagai kijang yang telah lumpuh oleh panah beracun cinta yang dilepaskan Pak Anggoro, aku sepenuhnya menjadi tawanan birahinya. Dan aku sendiri memasuki ambang kenikmatan penyerahan diri. Suatu bentuk kenikmatan nafsu birahi yang hadir karena ketidak mampuan untuk berkata "tidak" karena dengan penyerahan diri tersebut aku sedang menyongsong pucuk-pucuk birahiku yang penuh kenikmatan.

Tanpa ada yang dilepaskan dari tubuh-tubuh kami, aku dan Pak Anggoro kembali bercumbu. Ternyata dia tidak langsung menindihku sebagaimana yang kubayangkan sebelumnya. Aku diseretnya ke tepian ranjang hingga setengah kakiku terjuntai. Pak Anggoro bersimpuh di lantai meraih kakiku dan mulai mencium. Mulai dengan kaki kiriku, bibir dan lidah Pak Anggoro menyisiri telapak kaki, betis dan jari-jari kakiku. Lidahnya menari di antara celah-celah jari kakiku dan bibirnya mengulum. Gelinjang yang sangat dahsyat langsung menerpaku. Aku tak bisa menghindar untuk tidak menggeliat-geliat. Kegelian yang amat sangat menyerangku pada setiap jilatan dan sedotan bibir Pak Anggoro. Puas menggauli telapak, tumit dan jari kaki kiriku, ganti tangannya meraih kaki kananku. Dia melakukannya seperti yang sebelumnya dilakukannya pada kaki kiriku. Dan kembali aku menggeliat menahan kegelihan yang amat sangat. Aku juga mendesah dan merintih, meminta agar Pak Anggoro menghentikan manuver bibir dan lidahnya. Tapi tentu saja tidak bisa, kenikmatan yang demikian saja dipotong di tengah jalan. Justru desahan dan rintihan serta gelinjang kaki-kakiku memacu nafsu Pak Anggoro naik semakin menggila. Entah berapa kali aku dengan tanpa sengaja menendang mukanya.

Setelah puas menciumi dan menjilati kakiku, bibir dan lidahnya merambat ke kedua betisku. Betisku yang getas (keras tetapi mudah patah, atau pecah, sebagai gambaran tentang betisku yang sekal tetapi sangat peka terhadap berbagai sentuhan lelaki) dia lumat hingga kuyup oleh ludahnya. Kegelian yang amat sangat segera menyerangku setiap kali lidahnya yang terasa sedikit kasar itu menyapu pori-pori betisku. Ketika dia terus naik menuju ke nonokku sebagai pusat kenikmatan dunia digigitnya lututku. Langsung kakiku berontak kegelian. Tangan-tangannya yang kuat menahan kakiku, sementara bibir dan lidahnya terus melumat lututku. Aku sangat tersiksa rasanya. Seluruh punggungku seperti dirambati jutaan semut, bulu kudukku berdiri. Perasaan sangat merinding merata pada bagian belakang tubuhku. Kini tangankulah yang kuharapkan bisa melepaskanku dari siksaan yang nikmat ini. Aku bangkit setengah duduk. Kurenggut kepala Pak Anggoro dan menolaknya dari ciuman di lututku. Tetapi aku tidak cukup kuat, perempuan ringkih lemah seperti aku ini melawan ganasnya beruang yang menancapkan rahang-rahangnya pada lututku ini. Tapi aku terus melawannya, berusaha menendangnya, berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya.

Setelah dari lututku, wajah Pak Anggoro merangsek ke atas lagi. Dengan tangan-tangan kuatnya yang memegang erat-erat kedua pahaku, kembali bibir dan lidah Pak Anggoro melumat pahaku.
"Ooouuhh, jangan, jangan! Aku bencii, aku benci kamuu Anggoroo! Setaann kamu Anggoroo!".
Aku melupakan rasa hormatku pada Pak Anggoro, mengumpat sambil berontak sejadi-jadinya. Aku mengumpat meracau layaknya perempuan kemasukan jin. Suaraku menjadi parau kehabisan suara. Untunglah, Pak Anggoro tenang saja. Sangat paham dan tenang. Hebat. Terus saja dia melakukan hal tersebut. Dia menjadikan dirinya seorang sadistis yang menikmati penderitaan dan kesakitan orang lain. Dan disinilah aku menemukan apa yang disebut sebagai "sensasi birahi". Mungkin bagi Pak Anggoro yang sudah matang dalam petualangan seksnya, dia tahu persis dan sering mengalami reaksi lawan cumbunya seperti begini. Sikapnya yang tenang merupakan bentuk toleransi birahinya agar lawan cumbunya berkesempatan meraih sensasi erotiknya.

Bagiku sendiri, dalam instingku yang sangat jauh, semua upaya perlawananku sebenarnya bukan untuk membuat lawanku menyerah. Semua perlawananku itu adalah merupakan ungkapan kenikmatan tak terhingga yang disebabkan nafsu birahi yang melemparkanku jauh ke langit, ke bintang-bintang nikmat tak terperi. Kenikmatan yang menghempaskanku, jiwaku, saraf-saraf pekaku, darahku hingga ke titik yang paling ekstrim.

Seandainya saja karena kurang pengalaman dan pemahamannya, kemudian Pak Anggoro menuruti kemauan berontakku, pasti aku akan jatuh pada kekecewaan yang berkepanjangan. Bukankah kita sering mendengar, bahwa seorang istri baru bisa meraih orgasmenya pada saat dia diperkosa. Lelaki-lelaki kasar, penuh keringat dan debu telah memperkosanya. Semua perlawanannya sia-sia. Kontol lelaki itu dipaksakannya menembus kemaluannya. Dan pada saat kontolnya telah tenggelam dilahap vagina sang istri tersebut, dan sang pemerkosa mulai dengan kasarnya mengayun dan memompa kontolnya ke memeknya, baru sang istri tersebut mendapatkan kenikmatan yang tak terpana. Selanjutnya sang istri ketagihan. Tetapi suaminya tak pernah bisa memberikannya, walaupun suaminya tampan, bersih dan rapi. Tetapi tidak lagi mampu memicu birahi istrinya. Mungkinkah hal seperti itu juga mengidap pada diriku?
Pak Anggoro tidak menyelesaikan ciuman dan jilatannya hingga beliau mendekat ke pangkal pahaku. Dia lepas ikatan kimonoku. Dengan agak kasar dia balikkan tubuhku agar tengkurap. Dan dia merangkak diatasku. Dia menuju punggungku. Dia cengkeram bahuku. Dia gigit kudukku. Sekali lagi karena gelinjang birahiku, aku berusaha berontak. Untung saja tangan Pak Anggoro sangat kuat menjeratku. Ditindihnya aku dengan badannya yang berbobot 75 kg itu. Dan sedikit banyak hal itu telah membuatku benar-benar kesakitan dan menyesakkan nafasku.

Tetapi saat bibir dan lidah Pak Anggoro kembali melumat-lumat, hingga seluruh dataran serta lembah punggungku basah kuyup oleh ludahnya, segala siksaan tadi lenyap berubah menjadi nikmat birahi yang sangat kurindukan. Dengan terus merangsek tangan-tanganku agar tidak memberontak, ciuman dan jilatan Pak Anggoro melata ke pinggulku. Betapa tak tertahankan kegelianku. Di tempat ini, di pinggulku sedemikian banyak saraf-saraf peka birahiku. Aku hanya bisa berteriak mengaduh. Umpatanku tidak lagi muncul. Hanya teriakan karena deraan nikmat yang terus memenuhi kamar President Suite Pak Anggoro ini. Dan kembali kudapatkan sensasi erotik, saat tangan-tangan kuatnya membelah bukit pantatku disusul kemudian lidah Pak Anggoro menjilati duburku. Pak Anggoro yang boss besar kantor suamiku ini, kini sedang menjilati lubang pembuangan istri anak buahnya. Lidahnya yang besar dan panjang mencuci analku. Kerut-kerut analku di sedot-sedotnya. Lubang analku disedot-sedotnya. Kemudian aku ditunggingkannya agar lubang pantatku menjadi lebih terbuka hingga seluruh wajah Pak Anggoro mudah tenggelam ke dalamnya.

Aku sudah lelah menggeliat dan berteriak. Suaraku sudah parau. Aku hanya bisa menangis sekarang. Aku menangis karena rasa berjuta nikmat yang berbaur. Aku menangisi rasa nikmatku. Di sini aku mulai merasakan bahwa impianku akan hadir kembali. Rasa ingin kencing yang mendesak dari dalam vaginaku menandakan bahwa aku telah dekat dengan orgasmeku. Rasa ingin kencing itu terus menanjak. Aku seakan melihat dataran pasir yang empuk dan luas. Aku melihat kedamaian dan kelegaan birahi. Aku ingin mendarat di atasnya. Kurasakan kesempatan orgasmeku ini hadir semakin melaju menuju ambangnya. Kuisyaratkan pada Pak Anggoro. Aku menaikkan pantatku menjemput jilatan-jilatan lidahnya. Aku menaik-naikkan pantatku dan meregangkan kaki-kakiku menahan nikmat gatalnya memekku karena menahan keinginan kencingku. Pak Anggoro langsung memahaminya.

Dia bangkit berdiri di belakang analku. Kontolnya yang keras lurus ke depan dia sodorkan ke bibir vaginaku. Kurasakan kontolnya melekat dan kemudian dengan sedikit dorongan yang berulang, kontolnya amblas ditelan vaginaku. Aku seperti akan pingsan menerima kenikmatan ini. Seperti anjing jantan pada betinanya, Pak Anggoro setengah berdiri memelukku dengan kontolnya menerjang memekku. Mulailah ayunan dan pompaan kontol Pak Anggoro keluar masuk ke kemaluanku. Aku menggoyang-goyang dan maju mundur mengimbangi iramanya yang sangat membuatku kegatalan di seputar vaginaku. Terus terang inilah salah satu posisi favoritku. Aku merasakan kenikmatan yang maksimal dengan posisi begini. Bayangkan saja, bukankah kontol yang ngaceng cenderung mencuat ke atas dari akarnya. Saat menggosok dalam vagina, kontol seperti itu menggelitik dinding atas vaginaku dengan lebih kuat hingga titik pekaku rasanya di garuk dengan ulek-ulek sambal yang besar. Kemudian dalam posisi "Doggy Style" ini, vaginaku cenderung lebih sempit mengetat. Jadi semua urat-urat pekaku akan lebih mencengkeram kontol siapapun yang menembus memekku. Sayangnya Mas Adit tidak bisa melakukan cara seperti ini. Karena kontolnya yang terlampau kecil tidak akan mampu melewati bongkahan pantatku yang gede ini. Maka yang akan terjadi adalah, kontolnya hanya akan sedikit menyentuh gerbang vaginaku. Kontol Pak Anggoro yang jauh lebih panjang dan besar langsung bisa menggelitik tepi-tepi bibir rahimku.

Aku jadi binal. Kegatalanku sangat merasuk dalam vaginaku. Aku ingin menggaruknya. Kugoyangkan pantatku maju mundur sehingga gesekan batang kontol Pak Anggoro benar-benar kurasakan seakan-akan melumat dinding vaginaku. Aku mendesah dan merintih setiap kali Pak Anggoro menusuk maupun menarik kontolnya. Aku kagum dengan stamina Pak Anggoro. Apakah ini berkat minuman anggur Chinanya tadi? Apakah juga rasa birahiku yang semakin meninggi dikarenakan satu sloki anggur yang disodorkan Pak Anggoro kepadaku tadi? Mungkin saja. Badanku merasa lebih panas dan aliran darahku yang lebih cepat benar-benar membuat birahiku meletup-letup dan aku seakan kewalahan dalam melawan kegatalanku sendiri yang hebat melanda nonokku.

Desakan birahiku yang semakin menghebat dikarenakan kegatalan tak terkira dari vaginaku membuatku menjadi liar dan buas. Aku lupa daratan. Aku ingin jadi penguasa. Aku ingin Pak Anggoro menuruti mauku. Aku ingin Pak Angoro diam telentang dan biar aku saja yang akan memperkosanya. Aku benar-benar tak tahan lagi. Aku bangkit. Dengan tetap mempertahankan kontol Pak Anggoro dalam memekku, aku membelakanginya dan mencoba memompa dan menaikturunkan pantatku ke kontolnya. Kuraih leher Pak Anggoro yang diresponsnya dengan menjemput dan langsung memeluk buah dadaku sambil bibirnya mendekat ke bibirku. Kami saling berpagu dan melumat-lumat.

Pompaan pantatku diterima Pak Anggoro dengan erangan bak serigala yang mendapatkan mangsa dan dengan taring-taringnya merobek daging-dagingnya dengan buas. Dengan keliaran dan kebuasan nafsuku, aku akan mengubah posisiku. Aku menginginkan apa yang menjadi keinginanku. Kulepaskan kontol Pak Anggoro dari vaginaku. Kudorong dia agar telentang di kasur. Kemudian kunaiki tubuhnya yang besar itu. Aku beringsut hingga kontolnya berada tepat di bawah vaginaku. Kuraih dan kuarahkan kontolnya ke lubang memekku. Nonokku yang menyempit membuat terobosan kontol Pak Anggoro tidak langsung bisa tertelan vaginaku. Aku harus lebih menekannya dengan sekaligus menggeliat kecil memutar pantatku. Dengan cara itu lubang vaginaku akan lebih longgar. Dan akhirnya kemaluanku dapat menelan seluruh batang kontol Pak Anggoro.

Dalam posisi ini aku melakukan gerakan "tekan dan maju-mundur", sambil menekan lebih ke bawah, pantatku maju mundur untuk membuat batang keras Pak Anggoro bisa seakan menggaruki gatalnya rongga vaginaku yang dipenuhi peka birahi, dan Pak Anggoro akan merasakan nikmat kontolnya yang dilumat-lumat nonokku. Inilah kenikmatan yang sama-sama dirasakan oleh Pak Anggoro dan aku. Kegatalan yang tetap meruyak dalam vaginaku memaksaku mempercepat goyangan pantatku. Bahkan Pak Anggoro kuminta tidak bergerak agar dapat lebih merasakan betapa vaginaku meremas dengan ketat kontolnya. Dan Pak Anggoro patuh saja, karena dengan cara itu dia telah merasakan kenikmatan luar biasa tanpa harus melakukan gerakan yang melelahkan. Aku juga melakukan "tekan dan putar", dengan cara menekan nonokku ke bawah lebih keras kemudian memutar-mutar pantatku. Dengan cara itu aku dapat menikmati bagaimana kontol Pak Anggoro "mengobok-obok" rongga vaginaku, dan Pak Anggoro merasakan nikmat kontolnya yang diremas-remas oleh vaginaku. Dua cara tersebut kujadikan andalan di samping sesekali juga melakukan "pompa naik turun" atau pompa maju-mundur" yang selalu berulang kulakukan.

Variasi dan selang-seling teknik di atas akan menghasilkan sejuta nikmat birahi. Apalagi dalam melaksanakannya dibarengi dengan permainan remasan tanganku pada dada, ketiak dan pinggul Pak Anggoro, dan sebaliknya remasan tangan-tangan Pak Anggoro pada pinggulku dan buah dada serta puting-putingku. Sungguh kenikmatannya tak akan pernah kami lupakan. Kami secara berbarengan menjerit, mendesah, merintih dan mengerang. Dan lahirlah simfoni gerak dan suara-suara erotik bagaikan operet birahi oleh dua "artis penikmat seksual" yang sangat gaduh dalam kamar mewah President Suite Grand Hyatt Hotel itu. Dan akibatnya adalah aliran darah kami yang semakin cepat terpacu, birahi kami terbakar menyala-nyala. Kami bergerak mendekati keliaran.

Semua remasan, desahan, pompaan, sedotan, gerakan maju-mundur, sedotan, semuanya menjadi tingkah laku yang cepat dan kasar. Simfoni bibir-bibir kami menjadi racauan tak terkendali. Saling melukai, saling mencaci dan mengumpat dengan mata-mata kami yang terbeliak karena kesetanan birahi kami sendiri.
"Ayo Bu Adit pelacurku, sundalku, nikmat mana kontolku dan kontol Adit? Ayoo Buu jawab.., nikmat manaa.., hah?".
"Aaayoo Anggoroo, teruzz, kontolmu enhhaakk.., teruzz, Anggoroo.., anjingkuu.., terusszzhh".
Entah apa lagi. Semua kata-kata begitu saja terlontar tanpa takut akan ada sanksi sopan-santun maupun etika dan batas kesopanan. Semua kata-kata itu menjadi begitu indah dan nikmat di telinga-telinga kami.

Dan disinilah "puncak jamuan malam" bagi Pak Anggoro dan "puncak nikmat pesta perselingkuhan" bagiku, sama-sama kami raih. Rasa ingin kencingku yang sedari tadi telah mengalir membahana dan rasa ingin muntahnya kontol Pak Anggoro yang menerima kombinasi serangan nikmat dari nonokku secara bersamaan mewujud. Dengan teriakan keras mirip lolong serigala lapar di malam hari dari mulut lupa diri Pak Anggoro serta teriakan keras penuh beban histeris dari mulutku, Pak Anggoro memuntahkan spermanya. Dan cairan birahiku pun meledak tumpah ruah, mewujudkan orgasmeku yang paling nikmat yang pernah kudapatkan.
Gerakan kami tetap terus meninggi hingga kami berdua benar-benar tidak menyisakan apapun pada tubuh-tubuh kami. Seakan tubuh-tubuh kami secara menyeluruh mencair menjadi sperma dan cairan birahi. Kemudian segalanya hilang, lumpuh dan sunyi. Seperti laiknya orang jatuh pingsan, segala yang kami pegang terlepas. Tangan-tangan kami, jepitan dan penetrasi kami lumpuh kendor dan lepas. Kami jatuh ke ranjang. Terlena dan pulas. Kami tertidur.

Saat aku terbangun karena kedinginan ruang AC kamar, kusempatkan untuk turun membuang air kecil. Kulihat Pak Anggoro sudah meringkuk dalam selimutnya. Kemudian aku kembali tertidur. Kami terbangun sekitar pukul 9 pagi. Cahaya matahari yang hangat terasa menembus celah-celah tirai gorden hotel mewah ini. Aku menggeliat dan melepas senyum pagiku pada Pak Anggoro yang sudah bangun lebih dahulu dan sedang membaca koran pagi di sofa. Dia lempar koran itu dan menyongsongku rebah kembali ke "ranjang pengantin" kami malam ini. Dia jemput bau kecut tubuhku. Dia cium aku. Dia cium ketiak, payudara, perut maupun pahaku. Dia jilat dan kulum betis dan jari-jariku. Itulah "ucapan selamat pagi" Pak Anggoro padaku. Aku seakan putrinya yang baru terbangun setelah selama seribu satu malam terlena dalam ayunan sihir nenek sakti. Aku sangat bahagia dan perasaan tersanjungku terbit di pagi hari saat aku bangun ini.

Kuambil dan kupakai kembali kimono kamar tidurku. Aku bangkit menyusulnya duduk di sofa. Dari kursinya, Pak Anggoro menghubungi room service. Dia minta 2 American breakfast dengan masing-masing double, telur setengah matang campur madu Arab. Kami saling mendekat, mendekatkan tubuh. Aku bersandar di dadanya. Pak Anggoro memelukkan tangannya pada dadaku. Tak banyak kata-kata yang keluar dari mulut kami. Pikiran-pikiran kami berkelana sesuai dengan apa-apa yang telah rutin dan biasa menjadi kehidupan kami. Aku teringat bunga di rumah yang seharusnya sedang kusirami pada jam-jam ini.

Tak sampai 10 menit, American breakfast kami telah dihidangkan. Kami sarapan dengan tetap tidak banyak berkata-kata. Selesai sarapan aku mandi. Air panas hotel mewah ini sungguh menyegarkan semua sendi-sendi tubuhku. Keluar dari kamar mandi, kulihat Pak Anggoro sibuk telepon sana sini. Mungkin memang demikian kehidupan seorang eksekutif seperti dia. Kemudian Pak Anggoro pergi mandi. Selesai mandi, masih dalam kimono kami masing-masing, kami kembali duduk di sofa. Dan kembali tubuh-tubuh kami saling mendekat dan melekat. Kemudian kami saling berpagut. Saling melumat, bertukar lidah. Sesekali Pak Anggoro menggigit bibirku, dan aku membalasnya. Tanganku menyusup ke dalam kimononya. Bulu-bulu tubuhnya tetap saja membuatku merinding dan bergetar. Aku sedikit mendesah.

Pak Anggoro mengikuti tanganku, menyusupkan tangannya memeluk tubuhku. Pagutan kami menjadi lebih intim. Dan terdengar desahan-desahan kecil keluar dari mulut-mulut kami. Tanganku meremas punggungnya. Tangan Pak Anggoro mengelus punggungku. Kutempelkan payudaraku ke dada berbulu Pak Anggoro. Tiba-tiba terdengar bel di pintu. Pak Anggoro bangkit menghampiri. Kulihat seorang petugas dengan seragam dinasnya menyerahkan bungkusan besar dalam tas kantong yang cantik dan secarik kertas tanda pengiriman barang pada Pak Anggoro. Setelah ditandatanganinya lembar kertas pengiriman itu, dia raih bungkusan besar tersebut dan beranjak mendekatiku.

"Maaf Bu Adit, ini bukannya apa-apa. Saya hanya memperkirakan bahwa Bu Adit perlu ganti gaun setelah gaun yang kemarin lecek Ibu pakai. Coba lihat Bu. Mudah-mudahan pas buat Ibu".
Ini merupakan bagian dari sedemikian hebatnya Pak Anggoro menghargaiku. Semua detail ia pikirkan. Rasanya kalau aku tolak akan mengurangi kebahagiaannya. Dengan hati-hati dan ucapan terima kasih, kuterima bungkusan dalam tas kantong cantik itu. Aku buka kertas bungkusnya. Aku temukan dos besar dengan tulisan tanda logo Oscar Lawalatta Fashion. Ah, bukan main wawasan Pak Anggoro pada trend mode yang disukai ibu-ibu seusiaku. Aku pandang Pak Anggoro dengan senyum bahagiaku. Kemudian dos itu aku buka. Sungguh surprise bagiku. Ini sungguh luar biasa. Sutra Obin dalam jahitan "houture couture" Oscar Lawalatta. Sungguh luar biasa bagiku. Aku langsung memperkirakan harga gaun seperti ini. Paling tidak 5 juta rupiah Pak Anggoro telah membelanjakannya pada rumah fashion si Oscar. Kulihat, tidak lupa juga nampak bungkusan yang lebih kecil, pakaian dalam sutra pula berikut celana dalam dan BH-nya. Aku tidak dapat menyembunyikan kegembiraanku. Kucium Pak Anggoro di bibirnya. Kusampaikan kekagumanku. Dan ukuran gaun itu, yang ternyata pas dengan ukuranku, M, medium.

Untuk menyenangkan hatinya, kuambil dan kurentang gaun Oscar itu. Terdiri dari 2 potong, rock & blus. Sutra Obin, yang demikian lembutnya, dengan pola kembang berwarna hijau lumut dan ungu menyebar pada latar kain berwarna merah muda. Oscar yang terkenal dengan gaya sedikit liar, dimana bagian bawah sengaja diekspresikan bebas menampilkan bahan baku yang indah dari Obin, membuat gaun itu sangat berkarakter. Aku senang dengan hal-hal yang berkarakter seperti ini. Setelah kupantas-pantaskan di depan cermin rias, aku pamerkan pada Pak Anggoro. Dengan selera humor yang kumiliki, aku bergaya bak peragawati di atas catwalk-nya. Kami berdua tertawa terbahak penuh ceria dan bahagia di pagi itu. Sekali lagi kami saling merangkul dan berpagut. Aku tahu, Pak Anggoro masih ingin menikmati tubuhku. Ciumannya melepas nafsu birahinya dan tangannya menggerayang melepasi kancing-kancing baju Oscarku. Tali-talinya dilepaskan dari ikatannya.

Dengan senang hati kuserahkan tubuhku untuk dinikmatinya. Aku masih tetap tawanannya dan aku akan melayaninya hingga dia benar-benar merasakan kepuasannya secara total. Aku menyelinapkan tanganku ke celana dalamnya. Dan kini kontolnya yang hangat ada dalam genggamanku. Dia menuntunku ke sofa besar. Aku dipangkunya.

Pak Anggoro melepas ikatan kimononya sendiri hingga kami sama-sama setengah telanjang, hanya menyisakan celana dalam kami. Wajahnya langsung tenggelam ke ketiakku. Dia jilat dan lumat-lumat ketiakku. Kemudian merambat ke buah dadaku berikut puting-putingnya. Aku mulai menggelinjang. Birahi segera merambati tubuhku. Apalagi saat bulu-bulu tubuh Pak Anggoro kembali menyentuh bagian-bagian tubuhku.

Aku pasrah menerima serangan ciuman dan jilatan di seluruh tubuhku. Kubiarkan Pak Anggoro betul-betul seakan melahap tubuhku. Aku meraba, mengelus dan memijit kontolnya yang semakin mengencang dan membesar. Juga aku meraba bagian peka tubuhnya yang lain. Tangan kananku mencoba meremas bokongnya yang gempal itu. Jari-jari tanganku mencoba merambat ke analnya. Kuraba, bulu-bulu analnya sangat lebat hingga merimbuni lubang analnya. Ingin rasanya aku menikmati aroma wilayah ini. Aku mendesah. Pak Anggoro merebahkan tubuhnya ke sofa sambil menarik tubuhku yang membelakanginya. Kemudian dia raih kaki kananku ke atas. Aku tahu. Dia akan menembakkan kontolnya dari arah belakangku. Aku mencoba membantu dengan meraih kontolnya untuk kuarahkan pada memekku. Sambil saling berpagut dan melumat, kontol Pak Anggoro menembus memekku. Vaginaku melahap seluruh batangnya. Kemudian dia mulai memompa.
Saat itu dia berbisik di telingaku. "Bu Adit, aku sangat mengagumi Ibu. Ibu sangat mempesona dan berkarakter. Aku selalu ngaceng kalau mengingat Ibu. Tadi malam aku bangun dan perhatikan Ibu yang telanjang. Oh, indah sekali. Aku ingin lebih lama memandangi, tetapi karena AC kamar yang sangat dingin aku tunda keinginanku. Aku selimuti Ibu".

Aku tidak membalas perkataannya. Aku hanya melepas senyumku dan lebih melumatkan ciumanku. Aku sangat senang dan bahagia bertemu dengan pria seperti Pak Anggoro. Bisa bercinta dengannya. Dan dia sangat menghormatiku. Dia telah menunjukkannya pada setiap servicenya bahkan sejak awal pertemuan kami kemarin.

"Bu, Bu Adit mau nggak kalau..?", pertanyaannya tidak diteruskan. Aku hanya mendesah, "Heecchh..?". "Saya ingin sekali lagi ngentot mulut Bu Adit", dia melanjutkan maksudnya.

Sekali lagi aku tidak menjawabnya melalui kata. Aku memeluknya dengan penuh semangat dan nafsu. Dan Pak Anggoro yang langsung tahu, bahwa aku akan dengan segala senang hati melakukan keinginannya. Dia bangkit dan membopongku ke ranjang. Kali ini dia yang bergolek telentang. Dia ingin aku yang berperan aktif. Aku sambut keinginannya. Aku turun dari ranjang dan berlutut meraih kaki-kakinya. Seperti yang dilakukannya padaku kemarin, kulakukan hal yang sama padanya sekarang. Dengan segenap perasaan dan kelembutan, aku mulai menjilat dan menggigiti kaki, jari-jari kaki, telapak kaki dan tumit-tumitnya.

Pak Anggoro menggelinjang. Dia mengaduh-aduh kenikmatan. Tangannya meremas bantal di ranjang. Matanya membeliak ke atas menerawang menikmati birahinya yang terlempar dan terayun-ayun dalam alun gelombang samudra nikmatnya bercinta. Ciuman dan jilatanku merambati kaki-kakinya. Betis, paha dan selangkangannya. Bulu-bulu itu sangat membuatku bergairah. Aku meremas-remas bagian-bagian tubuhnya dengan penuh greget. Ciumanku menyedot hingga meninggalkan cupang-cupang memerah di paha dan selangkangannya. Aroma selangkangannya membuatku setengah gila menerima kenikmatannya. Kubenam-benamkan mukaku ke selangkangannya itu. Rambutku yang panjang beberapa kali kusibakkan agar tidak menghalangi isapan dan sedotan bibirku. Dan saat mulutku mulai mengulum biji pelirnya, tangan Pak Anggoro tak kuasa lagi untuk diam. Diraihnya rambutku dan dihelanya ke atas hingga terasa pedih pada kulit kepalaku. Rambutku yang meruapakan mahkotaku itu diremas-remasnya. Aku sengaja belum menyentuh kontolnya yang telah menjulang keras dan kaku. Batangnya penuh dilingkari urat-urat dan kepalanya yang tegang mengkilat-kilat masih belum menarikku untuk menjamahnya.

Ada keinginanku yang akan kulakukan terlebih dahulu. Ini adalah obsesiku yang terlahir tadi saat mulai bercumbu. Aku ingin menciumi lubang pantatnya. Aku ingin menenggelamkan mukaku ke celah bokongnya yang telah kuraba bulu-bulunya yang sangat rimbun tadi. Dan puncak keinginanku itu langsung didorong oleh gejolak libidoku. Kubalikkan tubuh Pak Anggoro yang tinggi besar itu. Kini aku seakan berubah menjadi betina yang dengan liar dan buasnya menggapai mangsanya. Tahu mengenai laba-laba betina yang akan dikawini oleh laba-laba jantannya? Begitu sang jantan selesai melakukan tugasnya, maka seketika itu pula si betina akan merangsek dan menangkapnya. Ya, sang jantan itu akhirnya dilahap dalam arti sebenarnya sebagai mangsanya.

Dan aku telah 'menangkap' Pak Anggoro. Dalam tingginya birahi yang sedang melandanya, Pak Anggoro akhirnya akan menyerah terhadap apapun yang akan kulakukan. Saat aku menyaksikan pesona bulu-bulu kelelakian yang tumbuh di mana-mana di tubuh Pak Anggoro, nafsu betinaku muncul. Aku langsung membenamkan diri di selangkangan belakangnya. Aku cium dan kujilati tempat itu. Dan aku terus merangkak lebih ke atas. Aku memintanya dengan isyarat agar Pak Anggoro menungging. Dan pesona bulu anal di celah pantat Pak Anggoro yang rimbunnya hingga menutupi analnya kini terpampang tepat di depan wajahku. Celah pantatnya kurekahkan. Kulihat samar-samar lubang duburnya. Kudekatkan wajahku. Aku mulai menciuminya. Semerbak bau analnya langsung menyergap hidungku. Aku sudah lupa daratan. Kubenamkan saja hidungku ke dalamnya. Lidahku menari-nari mencari lubang itu.

Pak Anggoro mengaduh. Tangannya menggapai-gapai untuk meraih kepalaku. Aku tahu, dia ingin agar aku lebih membenamkan kepalaku lagi ke dalam bokongnya. Sementara itu tangan kiriku meraih kontolnya yang menggelantung. Tetap tegang. Kukocok kontolnya itu pelan. Kuelus kepalanya, jari-jariku meraba lubang kencingnya. Rupanya Pak Anggoro telah menemukan puncak dari segala puncak nikmat birahinya. Dia langsung mengambil alih perananku. Dia kembali menjadi penguasaku. Dan aku kembali tunduk pada kemauannya. Dia balik telentang.
"Aku mau keluarr.., Bu Aditt.., isep kontolku, Buu.., ayyoo isepp Buu..".
Ah, saatnya datang. Kraih kontolnya dan kugenggam. Kudekatkan bibirku. Aku mulai menyapu kepalanya dengan jilatan-jilatanku. Kemudian kutelan kepala dan batang itu. Aku tahu, kalau sudah seperti ini, Pak Anggoro tidak akan mungkin mampu bertahan.

Dan saat cairan lendir panas menyemprot langit-langit mulutku, dengan teriakan histeris keras, Pak Anggoro kembali meremas-remas kepalaku. Pantatnya diangkat-angkat hingga menyodok tenggorokanku. Aku terus memompanya dengan mulutku hingga tangan Pak Anggoro merenggut kepalaku.
"Sudah, sudah Bu. Aku nggak tahan. Ngilu banget rasanya, Bu.., lepaskan Bu Aditt.., oohh". Kulepaskan kontolnya dari mulutku. Aku kecapi spermanya di mulutku. Dan kemudian kutelan. Wow, sarapan keduaku.

"Ah, maaf Bu Adit. Sakit ya?", tangannya mengelus kepalaku.
Aku menggeleng sambil merapat dan mencium dadanya. Aku masih terbawa emosiku. Rasa erotisku masih hinggap pada tubuhku. Tapi aku tidak akan memaksakannya pada Pak Anggoro agar membuatku menerima kemurahannya dan meneruskan cumbuannya setelah spermanya tumpah ini. Aku sendiri cenderung bersikap menggantung. Biarlah kusimpan untuk kesempatan yang lain saja.

Disinilah kelebihan seorang perempuan. Dia sudah cukup puas jika telah melihat pasangannya dapat menikmati kepuasannya. Itu merupakan kepuasan utamanya. Dan untuk para lelaki egois, menganggap hal itu masalah biasa. Dianggapnya memang para perempuan tak terlalu memerlukan orgasme pada setiap persenggamaan. Dan toh memang terbukti, anak-anak tetap lahir, kehidupan rumah tangga tetap berjalan seperti biasa dan sebagainya dan sebagainya. Tapi Pak Anggoro ternyata memang berbeda. Dia masih berusaha merespons ciumanku di dadanya. Hanya saja naluriku sudah berkata untuk mencukupkannya dulu. Aku katakan pada Pak Anggoro bahwa rasanya badanku sudah lelah dan ingin agar pertemuan ini segera disudahi. Dia dapat memakluminya.

Dia telepon ke front office untuk segera check out dan agar disiapkan administrasi pembayarannya. Aku pergi mandi sekali lagi. Aku perlu meyakinkan diri bahwa aku dalam keadaa segar dan bersih saat aku pulang nanti. Ketika Pak Anggoro juga telah kembali merapikan diri dan siap pulang, dia mendekatiku. Dari saku celananya, dia keluarkan amplop putih yang menggembung.

"Maaf Bu Adit, aku ingin menyatakan rasa bahagia dan terima kasihku. Ini sama sekali bukan pembayaran, Bu. Ini adalah kebahagiaan yang ingin kushare bersama Ibu. Terimalah".
Aku tahu dia memberiku uang. Kali ini aku menolaknya. Kusampaikan bahwa aku juga senang dengan apa yang telah kami alami bersama, bisa saling bertemu dan meraih kenikmatan bersama. Kukatakan bahwa apa yang telah ditunjukkan dan diberikannya padaku sangat luar biasa untukku. Kukatakan juga bahwa aku merasa sangat dihormati, dihargai dan aku merasa sangat tersanjung karenanya. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah mengaitkan hal-hal seperti ini dengan urusan uang. Kukatakan bahwa sebenarnya aku adalah "penikmat seksual" dalam arti sebenarnya. Aku tidak harus mencari yang tampan, kaya dan sebagainya. Aku akan suka pada siapapun yang memang kusuka. Dan itu semua harus ada nilai seninya. Nilai seni bercinta. Dan tak seorangpun mampu membeli kenikmatan seni bercinta itu.

Pak Anggoro memandangiku. Dia nampak mengagumi cara pandangku pada kehidupan seksualku. Dia baru memahami bahwa demikianlah aku adanya.
"Ah, maaf Bu Adit mengenai masalah villa Bogor itu. Dengan ucapan Ibu barusan, rasanya saya keliru kalau berprasangka buruk pada Ibu. Maafkan saya, Bu".

"Tetapi, janganlah Ibu tolak kebahagianku ini. Dengan pemahamanku mengenai bagaimana Bu Adit memandang seni cinta tadi, aku semakin menghormati Ibu dengan sepenuh hati saya".

Dan Pak Anggoro tetap memaksaku untuk menerimanya. Akhirnya aku membiarkannya saat amplop itu disisipkan ke kantong plastik indah dari Oscar, yang sekarang fungsinya adalah untuk membawa pulang pakaian kotorku. Kami sepakat, Pak Anggoro akan mengantarku hingga ke lobby Sogo Departement Store dalam bangunan yang sama dengan Grand Hyatt Hotel ini di lantai bawah.

Sebelum benar-benar keluar pintu kamar, sekali lagi kami saling berpagut dan melumat cukup lama. Pukul 2 siang aku sudah di rumah. Ada beberapa surat yang disisipkan ke bawah pintu. Saat aku mengeluarkan pakaian kotorku ke mesin cuci, kutemukan amplop pemberian Pak Anggoro. Tebal juga. Kutengok isinya. Oohh.., tidak salahkah ini..? Kudapati 2 ikat 100 ribuan rupiah dan 7 lembaran 100 US dollar-an. Bukankan ini artinya senilai lebih dari 25 juta rupiah Pak Anggoro telah membagi 'kebahagiaannya' untukku. Wow, bukan main orang itu. Bukan berarti aku bahagia karena nonokku telah dapat menghasilkan uang sebanyak itu, tetapi yang kurasakan adalah adanya getaran erotis saat memegang ikatan-ikatan uang itu. Bagaimanapun uang itu memang ada kaitannya dengan nonokku yang sempat dinikmati lelaki lain yang bukan suamiku. Dan untuk kenikmatan yang didapatkannya itu, dengan senang hati dia mengeluarkan uang sebanyak itu untukku. Kemana harus kusimpan ini? Tentu aku tidak ingin diprasangkai oleh Mas Adit dengan uang sebanyak ini. Menyenangkan sekaligus membingungkan. Ah biarlah, untuk sementara uang ini tidak akan kugunakan. Akan kumasukkan saja ke rekening bank-ku. Mungkin ini juga merupakan rejekiku yang harus kubagikan pada orang lain yang lebih memerlukannya.

Dan sesuai dengan janji Pak Anggoro, sekitar 10 hari sepulang bertugas dari Kalimantan yang dinilai sukses oleh perusahaan, Mas Adit kemudian diangkat menjadi Wakil Direktur. Hal itu terjadi 20 hari lebih cepat daripada yang pernah dibicarakannya padaku. Saat pengangkatan jabatannya yang baru, semua jajaran karyawan perusahaannya hadir untuk memberikan selamat pada Mas Adit dan juga kepadaku sebagai istrinya.

Tamat

1 komentar: