BAB 1 ANAK NAKAL
BAB 2 BUNDA
BAB 3 KAK VIDIA
BAB 4 NURAINI
BAB 5 MBAK JUNI
BAB 6 TETANGGAKU DIAN
BAB 7 TETANGGAKU ISTI
BAB 8 TETANGGAKU ERNA
BAB 9 VENUS PREGNANT
Bab 10 ANAK TETANGGAKU NAURA
BAB 11 KEPONAKANKU ANISA
BAB 12 PEMBALASAN UNTUK LAURA
BAB 1
*******
Namaku Doni. Aku anak nomor 2 dari tiga bersaudara. Kami adalah keluarga yang alim.
Ayahku sendiri seorang yang ta'at beragama. Kakakku seorang aktivis di kampus.
Kami benar-benar keluarga yang religius. Aku? Aku sebenarnya kalau dilihat dari
luar religius, tapi dibalik itu aku cuma anak biasa saja. Ndak sebegitunya
seperti kakak perempuanku.
Kakakku bernama Kak Vidia. Adikku bernama Nuraini. Ibuku? Oh ibuku ini seorang ustadzah.
Aku sendiri dikatakan anak nakal oleh ibuku, aku menyebutnya bunda. Ayahku
sering menasehatiku untuk tidak bergaul dengan anak-anak geng. Tapi apa boleh
dikata, dari sinilah aku banyak mengenal dunia. Memang sih, aku bergaul dengan
mereka, tapi tidak deh untuk berbuat yang aneh-aneh. Walaupun aku bergaul
dengan mereka tapi aku sadar koq norma-norma yang harus dijaga. Aku bahkan
sangat protektif terhadap saudari-saudariku. Ada temenku yang naksir saja
langsung aku hajar. Makanya sampai sekarang banyak orang yang takut untuk mendekati
kakakku maupun adikku.
Menginjak kelas 2 SMA, keluarga kami berduka. Ayahku kecelakaan. Ketika pulang kantor
beliau dihantam oleh truk. Ia berpesan kepadaku agar jadi anak yang baik di
saat-saat terakhirnya. Kami semua bersedih. Terutama bunda. Ia selalu menyunggingkan
senyumnya tapi tak bisa menyebunyikan raut wajahnya yang sembab. Otomatis
setelah meninggalnya ayah, keluarga kami pun banyak berubah.
Rasanya sangat berdosa sekali aku kepada ayahku. Aku sampai sekarang belum bisa
jadi anak yang baik. Namun aku berusaha untuk berubah, mulai kujauhi teman-teman
gengku. Aku pun mulai membantu bunda untuk bekerja, karena warisan ayah tak
bisa untuk membiayai kami semuanya ke depan. Setelah aku pulang sekolah, aku
selalu menjaga toko kami. Lumayanlah bisa mencukupi kebutuhan kami. Dari pagi
sebelum sekolah aku sudah harus pergi ke grosir, membeli sembako, kemudian
menyetok ke toko, setelah itu aku baru pergi sekolah. Pulangnya aku harus
menjaga toko sampai sore. Begitulah, hampir tiap hari. Jadi tak ada kegiatan
ekstrakurikuler yang aku ikuti.
Membiayai Kak Vidia kuliah, membiayai Nuraini sekolah, bukanlah hal yang
mudah. Kak Vidia bahkan untuk uang sakunya sampai rela kerja sambilan. Namun perlahan-lahan
kami pun bisa bernafas lega setelah toko kami mulai besar, walaupun begitu kami
makin sibuk. Akhirnya kami pun memperkerjakan orang. Anak-anak lulusan SMK. Aku
juga sudah kelas 3 SMA. Sebentar lagi lulus. Bingung mau kuliah ke mana. Apa
ndak usah kuliah ya? Melihat bunda kelimpungan jaga toko mengakibatkan aku pun
mengurungkan niatku kuliah.
Aku lulus dan adikku Nuraini masuk SMA. Dua tahun yang berat. Namun akhirnya toko
kami sudah besar, berkat ide-ide yang kami pakai tiap hari akhirnya toko ini
pun besar. Jarang ada toko sembako delivery order. Bahkan tidak sampai tiga
tahun kami sudah ada waralaba. Bisa beli mobil, bisa renovasi rumah dan sebagainya.
Kak Vidia pun sekarang jadi tidak bingung lagi kuliahnya. Ia sempat cuti 2
semester untuk membantu usaha kami.
Itulah profil keluarga kami. Tapi tahukah kalau dibalik itu semua ada sesuatu
hal yang sebenarnya menarik untuk diceritakan? Sebenarnya ini tak boleh
diceritakan karena aib tersembunyi keluarga kami. Dan karena inilah hubunganku dengan
kakakku, adikku dan ibuku jadi lebih akrab, bahkan aku dianggap sebagai kepala
rumah tangga.
Ceritanya ini dimulai setelah 6 bulan ayah wafat. Aku saat itu benar-benar
masih nakal. Menonton bokep sudah biasa bagiku. Bahkan sebenarnya, terkadang aku
membayangkan begituan dengan bunda, maupun kak Vidia, atau bahkan terkadang
juga dengan Nuraini. Iya, mereka semua pake jilbab, tapi hanya aku yang tahu
bagaimana lekuk tubuh mereka, karena di rumah mereka membuka jilbabnya dan
pakai pakaian biasa.
Awalnya aku benar-benar iseng sekali. Saat itu aku baru saja beli kamera
pengintip. Bentuknya seperti sebuah gantungan kunci, berbentuk kotak kecil. Ketika
ditekan tombol rahasianya, ia akan merekam selama kurang lebih 2 jam. Harganya
cukup murah kalau dicari di internet, sekitar 500ribu. Aku
menggantungkannya di anak kunci, sehingga ketika ke kamar mandi aku selalu mandi
duluan, dan kemudian aku taruh di tempat yang bisa mengawasi semuanya. Jadi
seluruh penghuni rumah, sama sekali tak curiga. Awalnya tak ada yang tahu, tapi
nanti yang pertama kali tahu adalah Kak Vidia, tapi nanti aku ceritakan.
Aku meletakkan kunci itu di gantungan baju. Aku posisikan agar kameranya
mengawasi seluruh ruangan kamar mandi. Yang pertama kali masuk setelah aku adalah
bunda, kemudian Kak Vidia, lalu Nuraini. Setelah semuanya mandi, aku masuk ke
kamar mandi untuk mengambil kamera pengintai. Aku kemudian ke kamar untuk
menikmati hasilnya. Aku bisa mengetahui tubuh mulus mereka semua tanpa sehelai
benang pun. Misalnya bunda, rambutnya lurus, tubuhnya sangat terawat, langsing,
dadanya besar, mungkin 34C, bahkan yang menarik beberapa minggu sekali bunda
mencukur bulu kemaluannya. Kak Vidia juga begitu, kulitnya putih, rambutnya
panjang, dadanya ndak begitu besar, 32B tapi putingnya yang bikin
aku kaget, berwarna pink. Ini orang bule atau gimana? Tapi begitulah Kak
Vidia. Ia juga sama seperti bunda, mencukur bulu kemaluannya, bahkan halus seperti
bayi. Terakhir Nuraini, jangan kira Nuraini cuma anak SMP, ia ini
sangat dewasa. Dadanya besar banget, sama kayak bunda 34C. Masih SMP saja dadanya
gedhe, gimana klo sudah SMA nanti? Ia pun sama, punya kebiasaan mencukur bulu
kemaluan. Sepertinya cuma aku saja yang tidak. Tapi bolehlah ntar coba dicukur.
Kayaknya lebih bersih.
Selama sebulan itu aku sering ngocok penisku di depan komputer sambil melihat adegan
demi adegan di kamar mandi. Hal itu membuat aku terobsesi kepada mereka. Saking
terobsesinya, aku kadang punya alasan untuk bisa menyentuh mereka, seperti
mencium pipi adikku, mencium pipi bunda, terkadang juga memeluk Kak Vidia. Tapi
mereka semua tak curiga. Dan satu-satunya yang membuatku kelewatan adalah
memesan kloroform kepada salah seorang teman gengku. Aku pesan beberapa botol.
Untuk stok pastinya. Pertama aku coba ke kucing tetangga. Ketika aku bekep pake
sarung tangan yang ada kloroformnya, pingsan tuh kucing. Aku pun menghitung
berapa kira-kira waktu yang dibutuhkan oleh kucing ini bisa sadar. Satu jam,
dua jam, tiga jam. Lama sekali.
Siapa yang ingin aku coba pertama kali? Kak Vidia ndak mungkin, ia bakal kaget nanti
kalau sudah tidak perawan ketika malam pertama dengan suaminya. Begitu juga
Nuraini, bisa berabe aku nanti kalau dia melapor ke bunda memeknya perih. Jadi
targetku adalah bunda.
BUNDA
Seperti biasa bunda menjaga toko waktu itu. Dan aku menyiapkan teh hangat
untuk beliau. Aku berikan setetes kloroform di minumannya. Tujuanku sih agar ia
pusing saja dan bisa aku suruh istirahat, baru kemudian aku bekap. "Kamu
ndak sekolah Don?" tanya bunda.
"Tidak
dulu bunda, mau bantu toko dulu," jawabku.
"Lho,
jangan. Ada bunda sama mbak Juni koq. Sekolah saja!" kata bunda.
Mbak Juni
adalah pegawai kami. Ia ada cerita untuk nanti. Ia janda, beranak satu, tapi
masih muda. Usianya baru 21 tahun. Menikah muda. Bodynya masih singset.
"Tidak
mengapa bunda, Doni udah ijin koq," kataku.
"Baiklah,
tapi cuma hari ini saja ya, jangan ulangi lagi," katanya.
Bunda lalu
meminum teh hangatnya. Aku pura-pura mencatat barang-barang di toko. Mbak Juni
juga melakukan hal yang sama. Dan memindah-mindahkan karung beras. Kemudian
datang seorang pembeli yang langsung dilayani oleh Mbak Juni. Efek obat mulai terlihat. Bunda memegang kepalanya.
Aku pura-pura peduli, "Kenapa bunda?"
"Entahlah,
bunda tiba-tiba pusing," katanya.
"Capek
mungkin, istirahat saja bunda," kataku.
"Iya
deh, aku istirahat sebentar. Mungkin nanti bisa baikan. Mbak Juni, tolong
ya!" kata bunda.
"Iya,
bunda," kata Mbak Juni.
Bunda agak terhuyung-huyung, lalu beliau masuk kamar. Aku pun menyudahi
pura-puraku, kemudian pura-pura ke kamarku, tapi sebenarnya menyusul beliau ke
kamarnya. Aku beri waktu sekitar sepuluh menit, hingga kemudian terdengar nafas
dengkurang halus bunda. Oh sudah tidur. Aku lalu beranikan diri masuk ke kamarnya.
Bunda masih pakai jilbabnya, aku siapkan kloroform ke sarung tanganku, dosisnya
seperti yang aku berikan ke kucing percobaan kemarin.
Dan BLEP!!
Bunda tak berontak, mungkin berontakannya tak berarti. Tangannya ingin menghalau
tanganku tapi lemas. Matanya belum sempat terbuka dan ia pun sudah pingsan. Aku
pun sangat senang, ini kemenangan. Aku lalu kunci pintu kamar bunda. Biar ndak
ada siapapun yang masuk. Jantungku berdebar-debar, antara senang, takut dan macem-macem
rasanya. Aku duduk di sebelah bunda. Di pinggir ranjang itu aku lihat ujung
rambut sampai ujung kakinya. Tanganku mulai bergerilya. Kuraba pipinya,
bibirnya, aku buka sedikit, rahangnya aku turunkan hingga ia membuka mulutnya.
Sesaat aku ingat ayah, tapi karena aku sudah bernafsu, rasa bersalahku pun aku
tepis. Aku panggut bibir bunda. Aku hisap lidahnya. Penisku mulai tegang, bunda
benar-benar tak bereaksi sama sekali, bahkan sekarang bibirnya mulai basah. Wajah
bunda sangat cantik, mungkin seperti Ira Wibowo. Bibirnya sangat lembut, tak
puas aku menciumi bibir itu. Aku pun mulai meremas-remas dadanya walaupun masih
tertutup gamis. Lalu tanganku mengarah ke selakangannya mengelus-elus tempat
pribadinya.
Karena semakin bergairah, aku pun melepas celanaku sehingga bagian bawah tubuhku
tak terbungkus sehelai benang pun. Penisku sudah mengacung tegang. Urat-uratnya
mengindikasikan butuh dipuaskan. Aku arahkan jemari bunda untuk menyentuh penisku,
Ohh...lemas aku. Lembut sekali jemari beliau. Aku tuntun tangannya untuk
meremas telurnya, aku makin keenakan. Seandainya beliau bangun dan mau
melakukannya kepadaku tentunya lebih nikmat lagi. Aku kemudian naik ke ranjang.
Aku berjongkok di depan wajahnya. Penisku aku gesek-gesekkan di pipi,
hidung dan bibirnya yang agak terbuka itu. Aku sangat bergairah sekali. Selain itu
juga takut ketahuan. Aku buka mulutnya, lalu kucoba masukkan kepala penisku,
uhhhh....nikmat banget. Walaupun tak muat, aku buka mulutnya lagi, tangan
kiriku mengangkat kepalanya dan tangan kananku membuka mulutnya lebih lebar,
lalu kudorong penisku masuk.
Di dalam mulutnya penisku berkedut-kedut. Nikmat sekali. Aku makin bergairah melihatnya
yang masih pakai kerudung. Kuambil ponsel dan aku abadikan ketika penisku masuk
ke mulutnya. Kumaju mundurkan penisku sampai mentok, walaupun giginya mengenai
penisku rasanya nikmat sekali. Lucunya lidahnya bergoyang-goyang, entah ia
mimpi apa, itu semakin membuatku terangsang. Pelan-pelan penisku menggesek
rongga mulutnya, kemudian aku tarik keluar. Sekarang aku posisikan telurku di
mulutnya. Karena punyaku sudah tercukur bersih aku bisa melihat semuanya.
Seolah-olah bunda sedang menjilati telurku.
"Bunda,
ohhh...nikmat banget," rancauku. Kalau
terus seperti ini, rasanya aku ingin muntahkan pejuku di wajahnya. Tapi aku
tahan. "Tidak bunda, Doni ingin merasakan ini, bolehkan?" aku meraba vaginanya.
Aku kemudian melepaskan gamis bunda, kancingnya aku buka semua, hingga ia
hanya memakai bra dan CD. Aku turun ke bawah. Kuciumi seluruh tubuhnya,
perutnya, pahanya, aku jilati semuanya sampai basah. Bahkan mungkin tak ada satupun
yang terlewat. Aku lepas BH-nya. Ohh...dada yang dulu ketika kecil aku mengempeng,
sekarang aku mengempeng lagi. Aku hisap teteknya, putingnya aku pilin-pilin,
kupijiti gemas. Tapi aku tak ingin memberikan cupang di dadanya, nanti ia
curiga. Belum saatnya. Ketiaknya yang bersih tanpa bulu pun aku hisap,
kujilati. Semuanya aku jilati. Aku pun mencium bau yang aneh, ketika aku
menghisapi jempol kakinya. Dan aku lihat CD-nya basah. Bunda terangsang?
"Bunda terangsang? Mau dimasukin bunda?" tanyaku. Aku pun segera
melepaskan CDnya, Dan kuikuti aku telanjang juga sekarang. Punyaku makin
berkedut-kedut dan di lubang kencingnya muncul cairan bening. Aku melihat memek
bundaku tersayang. Warnanya pink kecoklatan. Inikah tempatku
keluar dulu? Betapa bersihnya, ada cairan keluar. Aku segera membuka pahanya, kepalaku
mengarah ke sana, kujilati, kuhisap dan klitorisnya aku tekan-tekan dengan
lidahku. Intinya lidahku menari-nari di sana seperti lidah ular, menjelajahi
seluruh rongga vaginya. Setiap cairan yang keluar aku hisap, rasanya asin-asin
bagaimana gitu. Aku makin bergairah dan sepertinya bunda juga bergairah, ia
sangat banjir, bahkan ketika aku colok-colok dengan
lidahku, lebih dalam lagi kakinya bergetar. Ia mengeluh....dan mendesis,
walaupun masih tidur dan tidak sadarkan diri tapi dia merasakannya. Mungkin ia bermimpi
sedang begituan. Kepalanya yang masih memakai jilbab mendongak ke atas, Dan
kemudian pantatnya diangkat, tubuhnya bergetar hebat, memeknya mengeluarkan
cairan yang sangat banyak, menyemprot bibirku. Aku lalu duduk. "Bunda
orgasme?" tanyaku.
Tentu saja beliau tak menjawab. Sepertinya bunda sudah siap, aku posisikan
penisku di ujung vaginanya. Kepala penisku sudah ingin masuk saja. Aku tak
sabar, dan....BLESSS....lancar banget, ohhhh....HANGATT....ini ya rasanya
memek wanita itu. Aku lalu ambruk di atas tubuh bunda, ia kutindih. Toketnya
dan dadaku berpadu, Penisku berkedut-kedut dan anehnya memeknya juga seperti meremas-remas
penisku. Ngilu rasanya, tapi nikmat.
"Bunda,
seperti inikah bunda rasanya ngentot?" tanyaku. Aku mengabadikan
peristiwa ini ke ponselku, kuclose up wajah bunda yang tidur, vaginanya yang
sekarang penisku masuk ke sana juga kuabadikan, bahkan posisiku menindih
bundaku pun aku abadikan.
"Doni...ohh...puasin
bunda..." terdengar suara bisikan bunda. Apa maksudnya, apakah bunda
sadar? Sejenak aku bingung, ternyata
bunda memimpikan aku, bermimpi bersetubuh denganku. Itu membuatku makin
bergairah. Aku kemudian menaik turunkan pantatku perlahan-lahan, menikmati
saat-saat ini. Tapi aku hanya punya waktu 3
jam kurang lebih, tak ingin aku sia-siakan kesempatan ini. Kugoyang pantatku naik
turun, makin lama makin cepat.
"Bunda...oh....Doni kembali masuk ke tempat bunda," rancauku, makin
lama makin cepat. Bunda aku tindih, pahanya terbuka lemas. Dan aku sepertinya
akan keluar, oh sperma perjakaku....kemana ya harus keluar?
"Bunda,
ke wajah bunda aja ya keluarnya....oohhh...keluar bunda!!!" seruku.
Aku segera mencabut dan berlutut di depan wajah bunda. Penisku kuarahkan ke situ.
CROOT....CROTT...CROOTTT.... Banyak sekali tembakannya, aku sudah tidak perjaka
lagi. Bunda sendiri yang menghilangkannya, spermaku belepotan di wajah bunda,
sebagian masuk ke mulutnya, aku terus mengocoknya hingga tetes terakhir, lalu
aku bersihkan sisa di ujung penisku ke mulutnya. Momen ini tak bisa aku
lewatkan segera aku abadikan ke ponselku. Aku lalu berbaring lemas di sampingnya.
"Bunda, nikmat bunda," kataku. Aku peluk dia dari samping sambil
memeluk
toketnya. Butuh waktu 15 menit bagiku untuk istirahat sebentar, kemudian aku
bersihkan wajahnya dengan tisu yang ada di meja riasnya. Agar tidak bau sperma
aku seka wajah ibuku pakai pelembab, biar tak ketahuan. Disaat membersihkan
itulah aku terangsang lagi melihat payudaranya. Aku kenyot lagi dua buah toket
besar itu.
Kubenamkan wajahku ke tengah payudara, kuhisap aromanya yang harum. Aku kemudian
menghadapkan tubuh ibuku miring ke tepi ranjang. Ternyata tepat di depan
bundaku ada kaca lemari. Sehingga aku bisa melihat tubuhnya di sana. Penisku
yang tegang lagi ingin mencari mangsa. Kuposisikan kepala penisku dari belakang
pantatnya. Karena masih basah, mudah sekali penisku masuk. SLEB...Oh...kembali
kedut-kedut vaginanya. Aku angkat sebelah kakinya, sehingga aku bisa melihat
dari kaca penisku masuk di sana. Aku lalu bergoyang maju mundur, kuturunkan
kaki bunda, tanganku beralih ke toketnya. Pantatnya benar-benar membuatku terangsang
hebat. Enak sekali.
Aku tak sadar siapa yang kusetubuhi sekarang. Yang aku inginkan adalah puncak kenikmatan.
Tapi aku tetap pada pendirianku jangan keluarkan di dalam. Belum waktunya. Aku
terus menggoyang pantatku maju mundur. Pantat bunda beradu dengan selakanganku.
PLOK...PLOK....PLOK, bunyinya sangat menggairahkan. Dan sepertinya. Setiap kali
aku ingin orgasme. Aku istirahat sebentar. Menciumi bibirnya, ketiaknya, dan
menghisap putingnya. Dan akhirnya aku tak tahan lagi.
"Duh bunda, maaf ya aku keluar lagi," aku langsung cabut penisku dan
kukeluarkan di pantatnya. Spermaku masih banyak aja. Enak rasanya penisku sampai
berkedut-kedut berkali-kali setiap spermaku muncrat keluar. Aku istirahat
sebentar sambil mengumpulkan tenaga. Ngilu sekali penisku. Aku lalu bangkit
membersihkan pantat bunda yang belepotan dengan spermaku.
Aku melihat jam dinding, oh tidak, setengah jam lagi bunda akan sadar, tak
sadar aku sudah lama ngentotin bunda. Aku bergegas memakaikan lagi pakaiannya. Jilbabnya
yang terkena sedikit sperma aku bersihkan juga. Aku memakaikan lagi branya,
tapi entah kenapa aku terangsang lagi. Maklum masih perjaka dan ada mainan
baru. Aku lalu melakukan titfuck. Dada bunda mengocok penisku, aku melakukannya
sambil sesekali menengok jam dinding, masih ada waktu, aku harus cepat.
Aku bantu
payudara bunda untuk mengocok penisku, dan aku keluar lagi, spermaku muncrat di
belahan toket bunda. Tapi jumlahnya ndak sebanyak tadi, karena mungkin sudah
mulai kosong kantong produksinya. Aku segera bersihkan cepat-cepat, kuposisikan
tubuh bunda seperti tadi tidur, aku berpakaian lalu keluar dari kamar bunda.
Aku lalu mandi dan membersihkan diri.
BAB 2
****
Bunda terbangun setengah jam kemudian. Ia keluar kamar ketika aku masih
menghitung stok toko. Ia menggeliat.
"Kenapa
bunda?" tanyaku.
"Entahlah,
bunda koq tidurnya nyenyak ya? Tapi badan bunda pegel-pegel semua. Seperti
habis olahraga aja," jawab bunda. Tapi dalam hati aku senang sekali karena
tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hari itu aku membantu menjaga toko sampai
sore. Dan setelah itu aku habiskan
waktuku di kamar sambil melihat foto-foto hasil ngentotku dengan bunda tadi.
Aku melakukan coli berkali-kali sampai penisku ngilu dan lemas. Malam itu aku tidur
nyenyak sekali, entah berapa banyak tissu yang kuhabiskan yang jelas aku baru
sadar tissue di meja kamarku tinggal sedikit sekali.
Hari-hari setelah itu aku jadi berbeda. Siang hari setelah aku pulang sekolah,
aku menyiapkan teh hangat untuk bunda, kemudian pasti ia mengantuk dan tidur. Setelah
itu aku pasti ngentotin beliau seperti sebelum-sebelumnya, dan kini aku tidak
takut lagi seperti dulu. Tapi aku tak melakukannya setiap hari,
hanya kalau ada kesempatan saja. Dan itu tidak pasti atau jarang. Kalau aku
sedang kepingin saja. Kalau tiap hari bisa bikin bunda curiga. Aku ingin
bercinta dengan bundaku dalam keadaan sadar, karena aku setiap ngentot dengan bundaku
selalu aku dengar rintihannya memanggil-manggil aku dalam mimpinya. Ia seperti
membayangkan ngentot dengan aku. Ini tanda tanya besar. Dan itu terjawab ketika
aku melihat rekaman di kamar mandi pada suatu siang setelah aku pulang dari
ujian di sekolah.
Aku melihat rekaman video bunda mastrubasi dengan jarinya di kamar mandi. Ia mengocok-ngocok
memeknya, sambil berkali-kali memanggil namaku. Kenapa? Apakah ia mengalami
"mother complex"?? Setelah ia mengeluh panjang, ia lalu menutupi wajahnya
sambil menggumam. "Kenapa dengan aku? kenapa? Apa yang aku lakukan? Kenapa
aku menginginkan
anakku sendiri?" DEG....betapa kagetnya aku mendengar pengakuan bundaku sendiri
dari rekaman itu. Ternyata benar, bunda menginginkan aku. Aku jadi ingin saja
ngentotin dia setelah ini. Obsesiku kepada ibuku sendiri makin besar. Terlebih
ketika tahu bahwa bunda masih haidh, masih produktif berarti.
Malamnya
bunda sedang menghitung-hitung penghasilan. Kami di rumah sendirian. Nuraini
ikut mabid atau apalah namanya. Kak Vidia juga sedang nginap di kampus ada
kegiatan apa gitu. Aku sedang menonton tv sambil sesekali mengamati bunda,
mengamatinya saja bikin aku terangsang. Aku berusaha menyembunyikan tegangnya
penisku.
"Bunda, bunda capek kayaknya, ndak istirahat?" tanyaku.
"Nanti
dulu Don, masih kurang dikit lagi," katanya.
"Kalau
bunda capek, aku menawarkan diri untuk mijitin bunda kalau tidak
keberatan," kataku. Bunda tersenyum renyah kepadaku. Ia kemudian masih
melanjutkan pekerjaannya. Hingga kemudian acara tv selesai dan aku mematikan
tv. Bunda kemudian duduk di sampingku. Aku hampir aja beranjak.
"Lho,
katanya mau mijitin bunda?" tanyanya.
"Oh
jadi toh?" kataku.
"Iya
dong," katanya.
Bunda
kemudian membelakangiku. Aku lalu mulai memijitinya. Ia masih memakai kerudungunya
yang lebar. Aku mulai memijiti pundaknya.
"Oh,
enak sekali Don, pinter juga kamu memijat," katanya.
"Siapa
dulu dong," kataku.
Aku
berinisiatif kalau malam ini aku harus bisa ngentot ama bunda.
Aku pun
mulai pembicaraan.
"Bunda,
boleh tanya?" tanyaku.
"Tanya
apa?" tanyanya.
"Doni
waktu itu lupa sesuatu, trus pulang lagi ke rumah. Nah, Doni mendengar bunda
manggil-manggil nama Doni di kamar mandi sambil merintih, emangnya kenapa itu
bunda?" tanyaku.
Bunda
terkejut. Jantungnya berdebar-debar, ia bingung mau jawab apa.
Ia pun bertanya
balik, "Kapan itu?"
"Beberapa
waktu lalu, emangnya bunda ngapain sih di kamar mandi?" tanyaku. "I...itu...nggak
ada apa-apa koq," jawabnya.
"Tapi
koq, manggil-manggil nama Doni?" tanyaku.
Bunda
terdiam. Aku lalu memeluk bunda dari belakang. Dari situlah aku tahu
bahwa jantung beliau berdebar-debar. Bunda lalu bersandar di dadaku. Matanya berkaca-kaca.
Ia lalu menutup wajahnya.
"Bunda, kalau bunda misalnya rindu sama ayah, Doni bisa mengerti koq.
Mungkin wajah Doni mirip ama ayah," kataku. Bunda lalu terisak, kami
berpelukan. Bunda bersandar di pundakku. Ia tak berani melihat wajahku. Ia
terus memelukku dan aku membelai kerudungnya yang panjang. Cukup lama ia
bersandar di pundakku. Sampai aku kemudian mulai memberanikan diri untuk
melihat wajahnya.
"Maafkan bunda, engkau mirip sekali dengan ayahmu, dan bunda rindu dengan sentuhan
ayahmu," katanya.
"Boleh
Doni minta sesuatu bunda?" tanyaku.
"Apa
itu?" tanyanya.
"Doni
ingin mencium bunda," kataku.
Ia
tersenyum, "Boleh saja, kenapa memangnya?"
"Tapi
bukan di pipi, di sini," kataku sambil menyentuhkan telunjukku di
bibirnya. "Ah, Doni ini koq kolokan banget? Aku ini bundamu, bukan
kekasihmu," kata bunda.
"Sekali
saja bunda, Doni ingin tahu rasanya ciuman, please....sekali saja,"
kataku.
Bunda terdiam. Ia menatap wajahku. Ia mengangguk walau agak ragu. Aku senang sekali,
tersenyum. YES! dalam hatiku. Aku perlahan mendekatkan wajahku, wajah bundaku
tarik ke arahku dan bibirku menempel di bibirnya. Pertama cuma menempel,
selanjutnya aku mulai menghisap bibir bunda. Lagi dan lagi. Dan akhirnya kami
berpanggutan. Nafas bunda mulai memburu. Tiba-tiba bunda mendorongku.
"Tidak
Don, tidak. Kita terlalu jauh. Kita ini ibu dan anak. Ndak boleh
beginian," katanya.
"Lalu
kenapa bunda mastrubasi sambil manggil-manggil Doni?" tanyaku.
"Kamu
tahu?" tanyanya.
"Iya,
Doni tahu. Itu artinya bunda kepingin kan?" tanyaku.
"Sampai
berfantasi ama Doni."
Ia tak
menjawab. Tampaknya aku menang. Bunda sepertinya pasrah. Aku ingin coba lagi.
Kupegang kedua tangannya, aku memajukan wajahku lagi, kini ciumanku disambut.
Wajah kami makin panas karena gairah. Lama sekali kami berpanggutan, nafas ibuku
makin memburu.
Aku lalu menarik wajahku lagi, "Kalau misalnya bunda kepingin dan tidak
ada yang bisa memuaskan bunda, Doni bisa koq. Tapi jangan sampai semuanya
tahu."
"Tidak
Don...hhmm...", bibir bunda aku cium lagi sebelum selesai berkata-kata. Ia
berusaha mendorongku. "Sudah Don, sudah....bunda ndak mau, ingat kita ibu dan
anak."
"Lalu
kenapa bunda membayangkan dientotin Doni?" tanyaku lagi. Kucium lagi bibirnya.
"Itu...hmmmm...itu....itu karena bunda khilaf, maafin bund...hhmfff,"
bunda tak kuberi kesempatan melakukan penjelasan. Kuremas-remas dadanya dari
luar gamisnya. Bunda pun mendorongku lebih kuat lagi. "Baiklah,..baiklah...bunda
memang ingin kamu, bunda ingin ngentot dengan kamu, ayo ngentotin bunda!
Sekarang!" katanya. "Buka bajumu!"
Aku lalu
menghentikan aktivitasku. Melihat air matanya berlinang, aku
mengurungkan niatku. Aku berdiri. "Maafin Doni bunda. Maaf!" Aku
mencium tangannya lalu berbalik dan masuk ke kamarku. Perasaanku campur
aduk setelah itu. Beberapa kali bunda mengetuk pintu kamarku, tapi tak
kutanggapi, aku pun tertidur.
***
Paginya aku bangun, kemudian ingin ke kamar mandi. Saat itulah aku dikejutkan karena
ternyata bunda ada di dalam kamar mandi telanjang, bener-bener polos. Aku
terkejut dan mematung.
"Doni!!??"
bunda terkejut.
"Oh,
maaf bund," aku segera menutup pintu kembali.
Untuk
beberapa saat aku diam di depan pintu kamar mandi.
"Biasanya
DOni mandi duluan, ndak tau kalau bunda mandi duluan. Habis bunda ndak ngunci
sih."
"Kamu
mau mandi?" tanyanya.
"Masuk
aja!"
"Lho,
bundakan di dalam," kataku.
"Gak
papa, sama bunda sendiri koq malu?" katanya.
Aku agak
ragu, tapi kemudian aku pun masuk.
Bunda
melirikku sambil tersenyum, "Ndak usah malu, copot sana bajunya."
Aku pun
mencopot seluruh pakaianku.
Bunda
menyiram badannya di bawah shower.
Terus
terang hal itu membuatku terangsang banget. Penisku langsung menegang. Dan
setan pun masuk ke otakku, aku melihat bundaku seperti seorang bidadari, segera
aku memeluknya dari belakang, penisku yang sedang tegang maksimal menempel di
pantatnya.
"Bunda, maafin Doni, tapi Doni ndak tahan lagi!" kataku. Bunda
terkejut dengan seranganku. Aku meremas-remas toketnya, kupeluk erat bunda. "Doni...sabar
Don, sabar!" kata bunda.
"Tapi,
aku tak mau melepaskan bunda," kataku.
Bunda mematikan
shower, kemudian membelai tanganku. Aku menciumi lehernya dan menghisapnya
dalam-dalam. "Oh, Doni...anak bunda
sekarang sudah besar....," katanya. Tangan satunya tiba-tiba menyentuh
kepala penisku. Penisku yang sudah tegang itu dipegangnya, makin tegang lagi,
lebih keras dari sebelumnya. Kemudian bunda mengocoknya lembut. "Kamu
ingin ini kan?" Aku mengangguk. "Bunda tahu koq, kamu kan anak
bunda," katanya.
"Lepasin
bunda sebentar." Aku lalu melepaskan pelukanku. Bunda berbalik, tinggi
kami hampir sama, tapi aku lebih tinggi sedikit. Matanya menatapku lekat-lekat.
"Bunda, mengakui punya hasrat kepada anak bunda sendiri. Bunda tidak
bohong. Itu semata-mata bunda rindu dengan belaian ayahmu. Dan bunda selama ini
juga takut untuk bisa menjalin hubungan dengan lelaki lain. Tapi...bunda
berpikir keras, apa jadinya kalau bunda berhubungan dengan anak sendiri, itu
kan tabu...tapi bunda merasa nyaman bersamamu, hanya denganmu bunda sepertinya ingin,
bukan lelaki lain.
Dan bunda
juga butuh itu," kata bunda sambil terus mengocok lembut otongku yang udah
tegang max. Aku makin keenakan tak konsen apa yang diucapkan olehnya, tapi
ketika ia berlutut di hadapanku dan menciumi kepala penisku, aku baru yakin dan
ini bukan mimpi. Bunda mengoral penisku.
"Oh
bunda," kataku. "Bunda akan berikan sesuatu yang engkau tak pernah
sangka sebelumnya," kata bunda. Ia lalu menjilati kepala penisku. Lubang
kencingku dijilati seperti kucing. Kedua tangannya aktif sekali, yang satu
meremas-remas telurku yang satunya mengocok-ngocok penisku. Penisku yang sudah
tegang makin tegang saja. "Bunda,...bunda...enak sekali," kataku. Lidah
bunda menjelajah seluruh permukaan penisku yang tanpa rambut itu. Bunda menjilati
pinggiran kepala penisku, membuatku lemas saja. Lalu seluruh batangku
dijilatinya. Kemudian dimasukkanlah kepala penisku ke mulutnya. Ia kemudian
perlahan-lahan memaju mundurkan kepalanya. Penisku yang besar itu makin masuk
ke rongga mulutnya. Ia kemudian menghisapnya dengan kuat. Aku makin lemas.
Lemas keenakan. Bunda lalu mengusap-usap
perutku, sesekali meremas-remas pantatku, tanganku pun secara otomatis meremas
rambutnya. Kalau misalnya ini film bokep aku pasti sudah coli. Tapi ini tak
perlu coli karena ada yang bertugas mengocok penisku di bawah sana. Dengan
mulutnya dan oh...lidahnya menari-nari mengitari kepala penisku, aku
benar-benar keenakan.
"Bunda...oh...enak banget, udah bunda, bunda....Doni...kelu...aaaaarrrr.. AAAAHHHH!"
aku keluar. Spermaku tak bisa ditahan lagi. Bunda makin cepat memaju mundurkan
kepalanya, penisku seperti ingin meledak dan SRETTT CROOOTTT CROOOOTTT, entah
berapa kali aku menekan
penisku ke kerongkongannya sampai ia agak tersedak. Spermaku banyak sekali muncrat
di dalam mulutnya.
Bunda mendiamkan sebentar penisku hingga tenang dan tidak keluar lagi. Ia lalu menyedotnya
hingga spermanya tidak keluar lagi. Ia lalu mengeluarkan penisku. Ia
menengadahkan tangannya, kemudian ia keluarkan spermaku. Mungkin ada kalau 5
sendok makan. Karena pipi bunda sampai seperti menyimpan banyak air di mulutnya.
"Banyak
banget spermamu," Bunda lalu menciumi baunya.
"Baunya
bunda suka."
Bunda lalu
berdiri menyalakan shower. Membersikan mulut dan tangannya.
"Mandi
bareng yuk," kata bunda.
"I...iya,"
kataku.
Kami pun
mandi bersama. Pertama bunda menyabuni tubuhku.
Dari
dadaku, perutku,punggungku, kakiku dan penisku pun disabuni.
Penisku
tegang lagi. "Ih...masih ingin lagi,"
kata bunda
sambil menyentil penisku.
"Habis,
bunda seksi sih," kataku.
Bunda
tersenyum. "Nanti ya, habis ini."
Aku pun
bergantian menyabuni bunda.
Saat itu
mungkin aku bukan menyabuni, tapi membelainya. Aku jadi tidak malu lagi untuk
mencumbunya. Aku menggosok tubuhnya. Punggungnya aku sabuni, ketiaknya, dadanya
aku pijat-pijat, putingnya aku pelintir-pelintir, ia mencubitku.
"Anak Nakal! Ibu nanti jadi terangsang. Sebentar, sabar dulu,"
katanya. Aku tak peduli, shower aku
nyalakan untuk membersihkan sabun-sabun di tubuh
kami. Aku memanggut bibir bunda. Kemudian aku menetek kepada bunda, kuhisapu putingnya.
"Don,
di kamar bunda aja yuk," katanya.
"Mumpung
Vidia sama Nur belum pulang." Aku mengangguk.
Bunda
mengambil handuk dan membersihkan air di tubuhnya, aku pun melakukannya. Dan
agak mengejutkannya aku segera membopongnya.
"Eh...apa
ini?" ia terkejut.
"Doni,
ndak sabar lagi," kataku.
"Oh...anak
bunda, jiwa muda," katanya.
Kami
keluar dari kamar mandi, aku masih telanjang, demikian juga bunda. Kami lalu
masuk ke kamar bunda. Segera bunda aku letakkan di ranjang, kamar aku kunci.
Bunda segera mulutnya kupanggut, kuciumi lehernya, payudaranya pun aku hisap-hisap.
Kuremas, putingnya aku pelintir-pelintir, kuputar-putar, bunda menggelinjang.
Ia remas-remas rambutku. Kuhisap buah dadanya yang putih dan ranum itu hingga
membentuk cupangan. Cupangan demi cupangan membekas di buah dadanya.
"Nak...ohh....bunda terangsang banget," katanya.
"Bunda,
ohh..", aku menciumnya lagi.
Sekarang
aku turun ke perutnya, lalu ke tempat pribadinya. Aku tak tinggal
diam, segera aku ciumi, aku jilati, aku sapu memeknya yang basah sekali itu.
"Ohhhh....,
Donn.....i...itu....aahhh...," bunda menggelinjang.
Kakinya terbuka
aku memegangi pahanya. Kulahap habis itu memeknya, klitorisnya pun aku jilati,
hal itu membuatnya menggelinjang hebat. Nafas
Bunda mulai memburu. Ia meremas-remas rambutku, ketika aku menuju titik
sensitifnya ia semakin menekan kepalaku. Aku pun makin semakin menekan
lidahku, hal itu membuatnya bergetar hebat.
"Don...bunda...bunda keluar...aaahhhh.....ahhhh....ahhhhhhhh!!"
pinggul bunda bergetar. Sama seperti orgasme-orgasme sebelumnya. Aku pun segera
bangkit, melihat reaksi bunda. pahanya menekan pinggangku. Saat itulah penisku
sudah menegang, siap untuk masuk ke sarangnya.
"Bunda...bunda
siap?" tanyaku.
"Masukkan...masukkan!
Bunda sedang orgasme," katanya.
Aku pun
memposisikan penisku tepat di depan lubangnya, kugesek-gesek, bunda lalu
mengangkat kepalanya. Matanya memutih, saat itulah pinggulnya naik dan penisku
masuk begitu saja. BLESS!!! "Ohhhh.....!"
mulut bunda membentuk huruf O, menganga merasakan sesuatu yang selama ini ia
inginkan. Ia memelukku, dada kami beradu dan aku memanggutnya.
Bunda merebahkan dirinya lagi. Aku menindihnya. Aku peluk bundaku. "Bunda,
Doni masuk lagi. Masuk lagi ke tempat Doni lahir," kataku.
"Doni...ohh....iya,
iya,....sudah masuk, rasanya penuh....ohhh," kata bunda.
Aku lalu
menaik turunkan pantatku. Penisku otomatis menggesek-gesek rongga vaginanya
yang becek. Kami berpandangan, mata kami beradu. Pinggul bunda bergerak
kiri-kanan membuat penisku makin enak.
"Bunda, bunda...ohh....perjaka Doni buat bunda....ohh...enak
bunda....bunda
apain penis Doni?" tanyaku sambil melihat matanya. "Anakku, ohh....bunda enak banget,
kepingin keluar lagi, ohh....bunda ndak pernah keluar berkali-kali seperti
ini....ohh...aahhh....sshhh," bunda menatapku lekat-lekat. Kening kami
menempel. Bibir kami saling mengecup berkali-kali.
Tak hanya di situ saja, aku sesekali menghisap puting susunya. Keringat kami
setelah mandi keluar lagi. Tubuh bundaku yang seksi ini membuatku makin
bersemangat untuk menyetubuhinya. Bunda....aku ingin menghamilimu.
"Bunda...ohhh...keluar
....ahh...ahh...di mana?" tanyaku.
"Ohh....ahh..ahh, terserah Doni," kata bunda.
"Tapi...ohh...jangan
di dalam... di luar aja...bunda takut hamil....."
"Maaf
bunda, tak bisa, Doni ingin menghamili bunda. Bunda, Doni
sampai....Sperma perjaka Doni buat bunda.....ini...ini...!!"
"Jangan...jangan.....Doni....ahhh...aduh...bun
da juga keluar.....sama-sama...tapi...ahkhh...jangan di
dalam....ahhhhhhhhhhh!" bunda mengeluh panjang.
Aku mencium bunda bibir kami bertemu dan pantatku makin cepat bergoyang dan di akhirnya
menghujam sedalam-dalamnya ke rahim bunda. Spermaku memancar seperti semprotan
selang pemadam kebakaran. Kutumpahkan semua kepuasan ke dalam tempatku dulu
dilahirkan. Mata bunda memutih. Pantatnya bergetar hebat karena orgasme. Ia
mengunci pinggulku, aku menindihnya dan memeluk erat dirinya sambil menciumnya.
Entah berapa kali tembakan, yang jelas lebih dari sebelas. Karena saking
banyaknya orgasme itu berasa lama. Memek bunda berkedut-kedut
meremas-remas penisku, aku masih membiarkan penisku ada di dalam sana.
Butuh waktu sepuluh menit hingga penisku mengecil sendiri, dan kakinya
melemas. Aku pun kemudian bangkit. Bunda tampak lemas, ia seakan tak berdaya. Penisku
serasa ngilu. Aku melihat ke vaginanya. Tampak cairan putih menggenang di dalam
lubang vaginanya. Aku tersenyum melihatnya.
Aku
kemudian merebahkan diri di sebelah bunda. Kemudian bunda memelukku, kami pun
tidur terlelap. Siang hari kami terbangun. Aku dulun yang terbangun. Melihat
tubuh bundaku telanjang memelukku membuatku terangsang lagi. Aku menciumi
bibirnya. Bunda masih tertidur. Aku lalu menggeser badanku, kemudian bangkit.
Penisku sudah on
lagi, mungkin karena melihat tubuh bundaku. Aku kemudian membuka pantatnya mencari
lubang vaginanya. Kemudian segera saja aku masukkan. SLEB...bisa masuk! Masih
basah. Mungkin karena sebagian spermaku masih ada di dalam sana. Aku pun
menggoyang-goyang. Maju mundur. Posisiku berlutut sambil bertumpu kepada kedua
tanganku. Pinggulku mengebor pantatnya. Bunda membuka matanya, ia tersenyum
melihat ulahku.
"Dasar anak muda, ndak ada puasnya," katanya.
"Bunda...Doni
enak bunda....," kataku.
Bunda cuma
diam melihatku.
Aku
sesekali meremas toketnya.
Aku goyang
terus sambil kulihat wajahnya. Bunda memejamkan mata, mulutnya sedikit terbuka,
mengeluh pelan.
"Bunda, enak banget.....hhhmmmmhh....keluar...Doni keluar lagi
bunda...." kataku. "Pantat bunda enak banget."
"Doni...ahhh....aaaaahhh...bunda
juga...koq bisa ya??" kata bundaku.
Tangannya
menarik tanganku, aku berlutut sambil menghujamkan sekeras-kerasnya ke
memeknya. Aku pun keluar lagi. Tapi tak seperti tadi. Kali ini cuma lima kali
tembakan, tapi begitu terasa. Setelah itu aku mencabut penisku dan ambruk.
"Bunda, Doni cinta ama bunda," kataku.
"Cinta
karena nafsu, kamu bernafsu dengan bunda, makanya seperti ini,"
katanya. "Tapi bunda juga bukan?" kataku menyanggah.
Bunda
diam. "Bunda tidak bangun? Tidak buka toko?" tanyaku.
"Toko
tutup dulu, kemarin ibu bilang ke Mbak Juni untuk tutup dulu," kata
bunda.
"Bunda
ingin istirahat dulu. Badan bunda serasa sakit semua, sebab
sudah lama tidak bercinta lagi." Aku mengangguk.
"Kalau
begitu, Doni pergi dulu," kataku.
"Ke
mana?" tanyanya.
Aku
terdiam.
"Ke
mana?" tanyanya lagi.
"Bunda
merasa kehilanganku? Berarti bunda juga mencintaiku," kataku.
Ia
mencubit perutku. "Maunya," katanya. Kami berpanggutan sebentar untuk
beberapa lama sebelum kemudian aku meninggalkan kamar bunda tanpa baju.
Setelah itu, hubunganku dengan bunda berjalan sembunyi-sembunyi. Bunda sering dan
selalu melarangku untuk mengeluarkan spermaku di dalam rahimnya, tapi aku tak
peduli. Kalau ada kesempatan, saat itulah kami bercinta. Di dapur apalagi. Dan
itu pengalaman yang sangat mendebarkan. Bunda bertumpu kepada wastafel. Dan aku
menyodoknya dari belakang. Kami melakukan fast-sex karena saat itu Kak Vidia
dan Nuraini ada di rumah. Bahkan terkadang kami mencicil hubungan sex kami
ketika Kak Vidia dan Nuraini bolak-balik ke dapur.
Belum, bunda belum hamil. Ia masih menstruasi. Tapi nanti ada saatnya beliau hamil.
Karena aku yang memaksanya. Tapi itu nanti. Sekarang beralih ke Kak Vidia.
BAB 3
KAK VIDIA
*************
Sebagai seorang aktivis di kampus, kak Vidia selalu memakai jilbab lebar.
Bahkan terkadang ia curhat juga kepadaku. Karena saking baiknya terkadang aku masih
diperlakukan seperti anak kecil. Namun melihatku yang sangat berbakti kepada
bunda, hal itu membuatnya menjadi iri. Ia ingin bisa juga berbakti tapi karena
ia masih kuliah, ia pun menyadari bahwa ia tak bisa sepertiku. Makanya ia
sangat menghormatiku. Apapun yang aku inginkan pasti diturutinya. Seandainya
saja ia mau melepas keperawanannya untukku.
Well, jatah kloroformku masih banyak koq. Tapi kayaknya aku tak kan
menggunakannya lagi. Bukan untuk kak Vidia.
Bunda sekarang mulai rajin senam, padahal tubuhnya masih bagus lho. Buah
dadanya juga masih padat, kulitnya masih mulus. Tapi hal itu semata-mata ingin mengimbangiku
di ranjang aja katanya. Aku bebas menginginkan bundaku kapan saja.
Bagaimana
awal mula aku dengan Kak Vidia? Awalnya
adalah aku harus menemaninya naik gunung. Nah lho? Yup, karena ia adalah
seorang aktivis maka aku harus menemaninya. Muhrimnya bo'. Awalnya aku
menolak, tapi ia bilang, "Aku belum punya suami, dan kamu adikku!"
Yah, jadinya aku ikut deh. Acara naik gunung itu merupakan acara ekstra
kampus. Kami terpisah jadi beberapa group. Aku pun berkenalan dengan
teman-teman kakakku, terutama yang cewek dong. Mengetahui hal itu malah aku dijewer
ama kak Vidia. Tingkah polah kami memang kekanakan kalau bersama-sama. Hal itu
membuat hiburan tersendiri bagi teman-temannya. Karena tak biasanya kakak adik
seakrab itu.
Nah, ketika malam harinya setelah acara api unggun.
Kak Vidia
memanggilku.
Aku yang
sedang ngobrol dengan teman-temannya menghampirinya.
"Ada
apa kak?" tanyaku.
"Aduh,
kebelet pipis nih!" katanya.
"Anterin
dong."
"Waduh...."
kataku.
"Koq
waduh, kayak kita bukan saudara aja," katanya.
"Tolong
anterin! Masak aku minta anak cowok lain?"
"Iya
deh, iya deh," kataku.
Kami
berdua pun menjauh dari kemah. Agak jauhan dikit sih tapi itulah sialnya. Aku
lupa jalan. Kak Vidia membawa tissu. Kemudian ia bersembunyi di balik pohon.
Aku cuma bawa senter saja. Setelah beberapa saat kemudian, kak Vidia selesai.
"Udah,
balik yuk!" katanya.
"Yuk!"
kataku.
Nah, saat
itulah aku lupa arah.
"Sebentar
tadi kita ke kanan atau ke kiri?" tanyaku.
"Waduh,
aku ya mana tau? Kamu gimana sih?" tanyanya panik.
"Ya
udah, kita ke kanan aja," kataku.
Kami pun
ke kanan. Karena ini bukan jalan setapak, tapi rerumputan dan semak belukar,
kami pun bingung. Setelah lama berjalan, kami makin jauh masuk ke dalam hutan.
Perfect. Mana malam hari lagi.
"Lho, koq makin jauh ke hutan?" gumamku.
"GImana
sih? Tersesat kaaaan?????" katanya.
"Sebentar...balik
lagi yuk," kataku. Aku pun berbalik lagi. Kami
berputar-putar hingga tak tahu arah. Saat itulah aku pun makin sadar bahwa
kami makin tersesat.
"Bagus,
sekarang kita makin tersesat," kataku.
"Aduh...gimana
dong?" tanyanya.
"Aku
ndak bawa Handphone nih," kataku.
"Aku
juga, tapi di sini mana ada sinyal dodol!" katanya.
"Eh,
situkan yang suruh dianterin, mana aku tahu kalau kita nanti bakal
tersesat?" kataku.
"Wooooiii!!"
teriak kakakku.
"SSSTTTT!!"
kataku.
"Apa
sih? Biar ada orang yang denger tauk!" katanya.
"Bego
ya kamu? Kalau kamu teriak-teriak, siapa yang akan datang?
Kita ini
di hutan! Ingat itu!" kataku.
Kak Vidia
menangis. Ia memelukku.
"Koq
jadi begini???" tanyanya.
Ia
menangis tersedu-sedu, "Bunda, Vidia mau pulang."
"Udah
ah, koq nangis sih? Kita cari sungai saja. Biasanya kalau ada sungai
maka kita tinggal ikuti aja muaranya pasti akan ketemu peradaban," kataku.
Aku mencoba menghibur kak Vidia. Akhirnya ia berhenti menangis. Kami pun
berjalan lagi, membelah hutan, tanpa arah. Akhirnya kami menemukan suara yang deras.
AIR TERJUN!
Tapi
karena malam hari, kami tak tahu apapun dan bagaimana pemandangannya. Hanya
nyala senter saja yang bisa menerangi sekarang ini. Kemudian saat itulah aku
melihat sebuah gua.
Lho? Ada
gua? "Lihat, ada gua!" seruku.
"Kita
istirahat di situ saja dulu.
Besok kita
lanjutkan. Ini sudah malam dan dingin banget."
Kabut pun
makin tebal. Kak Vidia dan aku masuk ke gua itu.
Cukup
bersih. Gua itu ada di sebelah air terjun. Kak Vidia duduk di dalam gua, aku
mencari kayu bakar dan mencoba menyalakan api. Cukup susah payah aku
melakukannya sampai kemudian aku pun bisa menyalakannya. Untung saja aku
membawa korek api. Paling tidak malam ini jadi tak begitu dingin.
Aku duduk bersandar di dinding gua sambil menjaga api agar tetap hangat. Saat itulah
kak Vidia tampak menggigil. Sebenarnya aku juga menggigil. Aku pun mendekat ke
kakakku dan memeluknya. Kami pun berpelukan erat untuk mengusir dingin. Malam
makin larut. Api mulai menghangati ruangan gua.
"Aku
takut Don, ndak ketemu bunda lagi," katanya.
"Jangan
gitulah, besok kita pasti akan tahu jalan pulang.
Karena
percuma kalau sekarang kita paksa juga, ndak tau jalan. Kalau saja kita tahu
arah utara, mungkin kita bisa pulang, karena kalau terus ke utara kita akan
ketemu posko pintu masuk tadi," kataku. Kak Vidia mengangguk. Api mulai
mengecil, kayunya pun mulai habis. Aku makin erat memeluk kak Vidia. Kak Vidia
juga makin erat memelukku. Dan...apinya
padam. Hawa dingin mulai menusuk lagi.
"Kak, sebaiknya kak Vidia aku pangku saja," kataku.
"Ih,
ogah ah, Kenapa memangnya?" tanyanya.
"Biar
hangat, coba deh sini," kataku.
Kak Vidia
pun mengikutiku. Ia duduk di pangkuanku.
Trus
memelukku, "Begini?"
"Bukan,
buka baju kakak bagian atas!" kataku.
"Kamu
gila ya? Aku ini kakakmu jangan macam-macam!" katanya.
"Kita
ini darurat, aku janji deh ndak macam-macam. Ikuti saja!" kataku.
Kak Vidia
ragu. Ia berpikir. Sambil giginya gemertuk.
"Ya
udah deh, tapi ingat jangan macem-macem ya!?" katanya.
Ia membuka
kancing bajunya. Aku tak bisa melihatnya karena gelap.
Aku pun membuka
bajuku yang atas.
"Sudah,"
katanya.
"Peluk
aku," kataku.
Ia pun
memelukku.
"Eh,
tunggu!" kataku. "Branya dicopot juga dong!"
"Kamu
udah gila ya?"
"Kak,
kita perlu menghangatkan diri pakai tubuh kita, kakak mau mati
kedinginan di sini?" tanyaku.
Ia pun
akhirnya luluh juga. Dicopot pengait branya. Kemudian ia naikkan
branya, sehingga buah dadanya terekspos. Sayangnya gelap. Aku tak bisa jelas melihatnya.
Sementara yang di bawah sana tak bisa diajak kompromi. Langsung tegang.
"Sekarang
peluk aku!" kataku.
Dan kami
pun berpelukan, tanganku masuk ke dalam bajunya. Tangan kakakku juga masuk ke
dalam bajuku. Kami saling mendekap erat untuk memberikan kehangatan. Dadaku
beradu dengan buah dadanya. Aku bisa merasakan putingnya yang mengeras karena
dingin menekan dadaku. Dan, yang agak mengejutkan adalah selakangan kami saling
menempel. Tentu saja kakakku merasakan sesuatu di bawah sana.
"Dik,
jangan macem-macem ya, ingat aku kakakmu," katanya.
"Iya,
aku mengerti kak, tapi akukan juga lelaki normal," kataku.
Lama kami
berpelukan seperti itu. Dada kami mulai menghangat.
"Mulai
hangat dek," kata Kak Vidia.
"Iya,"
kataku.
"Kak
Vidia, maaf ya. Aku melakukan ini," kataku.
"Tidak
mengapa. Kakak ngerti koq," katanya.
Saat
itulah, entah kenapa aku menggosok-gosok punggung kakakku. Dia juga
demikian. Aku masih ingat warna pink puting kakakku. Setan pun datang. Aku
berdebar-debar. Kak Vidia bisa merasakan debaran jantungku. Dia juga demikian.
"Baru
kali ini kakak beginian dengan lelaki, rasanya nyaman," katanya.
"Kak,
boleh Doni memegang dada kakak?" tanyaku.
"Dek,
ingat aku kakakmu," katanya.
"Iya,
aku tahu, sebentar saja kak. Doni ndak pernah megang punya wanita,
kepengen aja. Gakpapa kan? Kita juga kan pernah mandi bersama dulu,"
kataku. "Tapi kan itu kita masih kecil," katanya.
"Boleh
ya kak, sebentar saja," kataku.
Kak Vidia
ragu. Ia takut membuatku marah akhirnya tak bisa menghangatkan diri lagi dan
bisa mati kedinginan. Ia pun bilang, "Iya, sebentar saja ya."
YeS
pikirku. Tanganku pun bergerak memegang buah dada yang sejak dulu ingin aku
pegang dari dulu. Pertama aku cuma memegang saja, selanjutnya, aku meraba,
mengusap, dan memijatnya lembut. Penisku makin tegang aja di bawah sana.
Putingnya yang berwarna pink itu aku pencet-pencet.
"Dek...udah...jangan....!"
katanya.
Aku terus
melakukannya, merempon istilahnya. Sambil sesekali
memelintir-melintir. Kak Vidia mulai gelisah. Kalau ia lepas pelukannya, maka
ia takut, kalau ia biarkan, maka aku akan bebas melakukan apapun kepada
tubuhnya. Dan dugaannya tak meleset. Kak Vidia lalu mengeluarkan tangannya dari
balik bajuku dan memeluk leherku.
"Jangan
dek....aku kakakmu!" rintihnya.
Tanganku
bergantian meremas buah dadanya. Kiri kanan. Sedangkan tangan kiriku mengusap-usap
pantatnya dengan memasukkannya ke dalam roknya dan CDnya. Ruangan gua makin
panas. Kak Vidia dilema. Ia cuma membiarkanku melakukan hal itu kepadanya. Aku
lalu berhadapan dengannya, aku tak tahu raut wajahnya seperti apa sekarang,
tapi aku tahu tempat bibirnya di mana. Bibirku kemudian menempel di bibirnya.
Kak Vidia makin pasrah. Ia membiarkan lidahku menari-nari di dalam mulutnya
menghisap lidahnya, menyapu langit-langitnya. French Kiss itu membuat Kak Vidia
klepek-klepek.
"Kak, aku cinta ama kakak," kataku.
"Dek
Doni..., jangan..hhhmmm," aku menciumnya lagi.
Aku lalu
turun ke dadanya, kuhisap putingnya. Kujilati. Manis sekali.
"Deeekk....oohhh...hhhmmm.."
Aku terus meremas, menciumi dan menyusu ke dadanya. Kak Vidia makin gelisah. Kalau
ia melepaskanku ia takut kedinginan. Akhirnya ia pun nekat, ia
mendorongku. Ia menjauh dariku.
"Adek, kenapa adek melakukan hal ini?" tanyaku.
Aku diam. Cukup
lama aku diam menunggu reaksinya. Kemudian aku merasakan ia meraba-raba dalam
gelap mencari kakiku. Ketika ia merasakan kakiku, ia pun memelukku.
"Maafkan kakak, karena salah kakak adek jadi begini," katanya. Aku
tak tinggal diam. Aku tak ingin melepaskannya lagi. Segera aku peluk dia,
kupangguti bibirnya. Ia gelapan. Aku baringkan dia di atas batu gua. Aku
kemudian menurunkan celana trainingnya, juga CDnya. Roknya aku naikkan.
Celananya sudah lepas dan aku melepaskan celanaku, aku segera turun ke sana dan
menghisap memek perawanya.
"Dek...jangaaan....aahhkk!" keluhnya. Ia meronta-ronta, tapi tak
ingin melepaskanku. Aku menjilati memeknya yang bersih itu, tak ada bau
kencing, bukti bahwa ia sangat bersih menjaga tempat privasinya. Aku sapu
lidahku di bibir vaginanya. Lalu aku jilat-jilat seperti kucing, kucolok-colok
di lubangnya. Dan yang terakhir aku hisap klitorisnya. Klitoris kakakku ini
lebih besar dari punya bunda. Aku hisap hingga pinggulnya terangkat.
"Deekk...enak...kakak enak..." katanya.
Aku
mengulangi lagi "memakan" daging kenyal itu. Kuhisap-hisap, dan
kutekan-tekan lubang itu dengan lidahku. Klitorisnya aku mainkan, kuhisap,
kujilat dan kupijat-pijat dengan bibirku. Kak Vidia menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Dek...kakak mau pipis....kakak mau pipis....maaf
dek....pipiiiiiiiissss!!"
kata kak Vidia. Benar saja, kak Vidia banjir. Ia orgasme. Aku mengisapnya.
Beberapa lendir itu kuminum. Agak hangat dan asin. Aku membersihkan bibirku.
Kak Vidia lemas di atas batu gua. Aku tersenyum. Kuposisikan penisku. Kuangkat
pantatnya. Penisku pun mulai masuk perlahan....perlahan...Kepalanya masuk, tapi
susah.
"AAhhkkk...deekk...sakit....jangan!" katanya. Tangannya meraba
memeknya dan mendorong perutku. Tapi tak begitu kuat. Aku dorong lagi.
Jemarinya menyentuh penisku. Memeknya berkedut-kedut, seolah-olah
menyedot-nyedot punyaku. Aku tarik lagi kemudian dorong, pelan-pelan. Tarik
dorong-tarik dorong. Setiap aku dorong tubuhnya bergetar, kudorong, bergetar
lagi dan...SREETTT...aku seperti merobek sesuatu dan tiba-tiba seluruh penisku
masuk semua.
"Adeeeekk.....oooohhh....," ia meraba penisku yang sudah masuk semua.
"Kenapa
adek melakukan ini? Kenapa adek rela memerawaniku?"
"Kak,
aku cinta ama kakak," kataku. Kemudian aku menggoyang.
Aku
menindih tubuhnya. Ruangan itu menjadi panas. PLOK PLOK PLOK, suara selakangan
kami beradu. Rasa dingin sudah tak ada artinya lagi. Yang ada adalah usaha
untuk meraih kenikmatan bersama.
Awalnya kak Vidia mengeluh sakit dan perih. Tapi lama kelamaan ia cuma
mengeluh nikmat. Ah dan uh keluar dari mulutnya. Pikiran kami cuma ada nafsu. Gua
itu menjadi saksi bisu bagaimana kedua kelamin kami bersatu. Aku menghisap putingnya
lagi. Putingnya sangat mengeras. Aku yakin ia sangat menggairahkan kalau aku
bisa melihatnya. Aku masih membayangkan mulusnya dan putihnya kulit kakakku
dari video-video yang aku simpan.
Pantatku terus bergoyang hingga aku tak tahu lagi kapan aku bertahan dengan posisi
seperti ini, tapi aku makin cepat menggoyangnya.
"Dek,
kakak mau keluar lagi. Kakak mau pipis," katanya.
"Kak,
aku juga udah di ujung. Keluar bareng yuk," kataku.
"Jangan
di dalam dek, plisss...jangan....," katanya.
"Ndak
bisa kak, enak banget soalnya. OOOHHH....AAAHH," kataku.
"Dek....kamu
brengseeekk....kakakmu sendiri dientot ....pejumu.. .pejumu... muncrat!!",
katanya. "Banyak kak, banyak
banget!" kataku. "OH....memek kakak enak, seret, penisku nagih
kak....keluar....ooooohhhh!"
"Deek...adeku yang ganteng...jadi bapak anakku...ini masa suburku dek, aku
hamil...ohhh...hamil deh...aaaahhkkk!" rancaunya. Satu, dua, tiga, empat, lima,....sepuluh kali
semprotan. Spermaku banyak banget memancar di rahimnya. Kami berpelukan erat
sekali. Dan akhirnya, karena kedinginan dan kelelahan, kami pun tertidur.
Sinar
matahari membangunkan kami. Gua menjadi hangat. Kak Vidia terbangun pertama
kali, disusul aku. Ia melihat vaginanya yang mengeluarkan lendir putih dan
merah darah. Darah perawannya. Kak Vidia menoleh ke arahku, lalu ia menamparku
dengan keras.
"Kenapa? Kenapa adek melakukan ini?" tanyanya. "Adek sudah janji
bukan?"
"Maafin
adek kak," kataku. "Doni khilaf"
"Enak
saja, khilaf. Kalau kakak hamil mau tanggung jawab?" tanyanya.
"Iya,
aku akan tanggung jawab," kataku.
"Lalu
bagaimana kalau sampai bunda tahu? Betapa malunya bunda," kata kakak sambil
menangis. Ia memeluk kakinya yang tak tertutup apapun itu.
Aku lalu memeluknya.
Ia tak menolakku. "Aku akan
bertanggung jawab," kataku. "Mulai sekarang Doni yng jadi suami kakak."
Kakakku diam. Ia cuma menangis. Tangisnya mulai berhenti ketika aku mengusap-usap
tubuhnya. Dan aku pun memanggutnya, kami berpanggutan lagi.
"Dek, sudah dek," katanya. "Kita pulang yuk!"
"Sekali
lagi kak," kataku.
"Adekku...suamiku,"
katanya.
Aku
menciumi bibirnya, kami lalu telanjang. Sinar matahari sudah masuk, kini
aku bisa melihat jelas tubuhnya tanpa sehelai benang pun. Aku menciumi dan
menjilati lehernya yang jenjang. Wangi tubuhnya aku hirup. Dadanya aku
cupangi, ketiaknya aku hisap hal itu membuatnya menggelinjang hebat. Kami
memberikan usapan dan ciuman, serta hisapan. Bibir merah muda kakakku pun menciumi
tubuhku, putingku, leherku, bibirku, semuanya. Bahkan penisku pun diciuminya. Aku
menuntunnya untuk menungging. Aku posisikan penisku tepat di bibir vaginanya,
aku dorong pelan. BLESS...masuklah semuanya. Aku lalu mulai menggoyangnya.
Kakakku merintih-rintih keenakan. Ia sepertinya tak terasa sakit lagi. Aku
menyodoknya sambil meremas-remas toketnya yang putingnya berwarna pink itu.
Cukup lama aku menyodoknya dari belakang. Pantatnya membentur-bentur
selakanganku. Aku pun meremas-remas pantatnya, sambil kubelai dengan kukuku
punggungnya.
"Ampun dek, ampun, jangan! ahh...ahh....oh..." keluhnya.
"Kak,
pantat kakak enak, memek kakak juga enak," kataku.
Aku terus
memompa keluar masuk. Sepertinya waktu itu sangat lama. Aku bisa menikmati
setiap centi penisku menggesek kulit rongga vagina kakakku. Dan aku terkadang
menghujam sedalam-dalamnya, vaginanya benar-benar menyedot-nyedot penisku. Aku
kemudian berhenti. Kak Vidia tampak lemas. Saat penisku dicabut ia menjerit
kecil, "Aww.."
Ia terkulai, kubalikkan tubuhnya. Kubantu ia untuk bangun. Kusuruh ia duduk di pangkuanku.
Sebelumnya aku memposisikan kemaluanku masuk lagi ke dalamnya. SLEB...SRETTT...lagi-lagi
rongga vaginanya menghisap dan meremas penisku. Oh...seperti inikah rasanya
perawan itu. Kami sekarang berhadap-hadapan. Tak ada rasa malu lagi. Ia masih
memakai kerudungnya, tapi bawahnya polos.
"Aku cinta ama kakak," kataku.
"Ini
cinta nafsu dek, ini ndak bener," katanya.
"Tapi
kakak suka kan?" tanyaku sambil menekan pantatku ke atas.
"Ohh....adekku
yang nakal, habis ini udah ya, kakak capek," katanya.
Aku lalu
merebahkan diri. Ia duduk di atasku. Di posisi ini ia mengangkat
pantatnya naik turun, sesekali ia gerakkan maju mundur. Buah dadanya aku
remas-remas, ia memegangi tanganku.
"Ohh...dek,
kakak hina sekarang.... sekarang kakak seperti pelacur....
ohh,...kakak malu," katanya.
"Engkau
pelacurku kak," kataku. "Oh...kak Vidia."
"Sebenarnya
aku tak mau, tapi penismu dek, ohhh....bikin ketagihan.
Kakak ingin
saja diperkosa kamu....hhhmmm...ohh....ahh," katanya.
"Terus
kak, goyang!" kataku. Kak Vidia menggoyang-goyangkan pantatnya, hingga
makin lama makin cepat.
"Dek, kakak mau sampai...mau sampai...samp...." ia menutup mulutnya dengan
kedua tangannya dan kedua pahanya menghimpit pinggangku. Aku merasakan sesuatu cairan
membasahi penisku. Ia lalu ambruk di atasku. Pinggulnya bergetar, merasakan
nikmatnya orgasme yang baru saja ia raih. Aku pun kemudian melepaskan
kerudungnya, tampaklah sesosok wajah yang cantik. Matanya jeli, bibirnya tipis
dan lembut. Rambutnya panjang disanggul. Aku pun melepaskan sanggul itu. Kini
rambutnya terurai. Kak Vidia diam menikmati sisa-sisa orgasme. Aku kemudian
berguling. Kini bergaya misionari.
Mata Kak Vidia masih terpejam. Aku kemudian mulai bekerja lagi. Aku sedikit
berjongkok, Pahanya aku naikkan hingga lututnya sampai ke samping kepalanya, dengan
posisi ini aku lalu memompa penisku naik turun. Kak Vidia pasrah, ia hanya
menjerit nikmat ketika penisku menggesek-gesek rongga kemaluannya.
"Aaahhkkk....deekk...nikmatt banget..,terusss....," katanya. Aku
pompa terus keluar masuk. Kemaluannya yang gundul tanpa rambut membuatku
makin terangsang saja. Pagi-pagi kami sudah mandi keringat. Aku bisa melihat peluh
sebesar jagung di keningnya. Bahkan tubuhku pun basah oleh keringat. Setelah
itu tak berapa lama kemudian aku merasa ingin keluar. Aku posisikan diriku
menindihnya, berbaring. Kupeluk dan kucium dia. Pantatku naik turun dengan
cepat.
"Kak, aku keluar....ohh....kakk...kakkk, penisku mau nembak lagi,"
kataku.
"Deekk...hamili
kakak dek,...ahhhkkkk....kakak pasrah...., tembak rahim kakak
ama pejuh angetmu!!" katanya.
"Kaaaakkk.....muncraaat!"
kataku.
CROOOOTTT!!...
CROOOTTT!! CROOOTT CROOOOTT CROOOOOTT CROOOT
Kedua bibir kami menyatu, rasanya kami semua melayang ke awan. Kakakku rela menerima
spermaku kali ini. Ia memelukku erat, kakinya mengapit dan mengunci pinggangku.
Spermaku terbenam semua di dalam vaginanya. Aku biarkan beberapa saat penisku
ada di sana. Meresapi kedutan-kedutan rongga kemaluan Kak Vidia. Hingga
kemudian penisku mengecil sendiri. Aku kemudian menariknya.
Tampak spermaku meleleh dari kemaluannya. Kak Vidia lemas. Ia mengatur
nafasnya, matanya terpejam pahanya terbuka. Aku lalu merebahkan diri di
sebelahnya.
***
Kami setelah itu membersihkan diri di air terjun. Tentu saja mandi keramas,
tapi tanpa shampoo. Dingin sekali airnya, setelah itu kami mengikuti arah
matahari, sehingga akhirnya sampailah kami di pos yang aku maksudkan.
Rombongan kami ternyata juga mencari kami. Kami kemudian bercerita bahwa kami tersesat
kemudian bermalam di gua. Insiden itu mengubah hidup kami berdua. Kami seperti
orang pacaran sekarang. Kak Vidia selalu manja kepadaku. Awalnya bunda tidak
curiga terhadap hal ini. Bahkan Kak Vidia sekarang berani untuk tidur di
kamarku, dan kami terkadang melakukannya lagi di kamarku.
Baiklah ini cerita Kak Vidia. Hubungan kami sangat rahasia sebenarnya. Aku dan bunda
masih melakukannya, juga dengan kak Vidia. Dan untunglah, kak Vidia juga masih
menstruasi. Tidak jadi hamil.
BAB 4
*********
NURAINI
Satu-satunya yang memergokiku bercinta dengan bunda adalah Nuraini. Saat itu aku
tak mengira kalau Nuraini akan pulang lebih awal. Aku dan ibuku sedang bercinta
hebat di atas kasur. Dan saat itu akulah yang sadar. Aku lupa menutup pintu,
ibuku membelakangi pintu dan posisiku saat itu memangkunya. Terlihat jelas
penisku masuk ke kemaluannya dan Nuraini terbelalak menyaksikan kami berdua. Ia
mematung sejenak, namun karena aku juga menatap matanya, ia pun segera pergi.
Segera setelah itu aku menggenjot bunda lebih cepat untuk orgasme. Setelah
selesai. Aku buru-buru mencabut penisku.
"Tumben cepet, ada apa?" tanyaku.
"Nuraini
melihat kita bunda," jawabku.
"Apa?"
bunda kaget sekali.
Ia segera
berpakaian. Aku juga. Dan saat itu tampak Nuraini diam saja
melintasi kamar kami. Aku dan bunda saling berpandangan.
"Nur!
Nur!" panggil bunda. Tapi Nuraini tak menoleh.
****
Malamnya Nuraini tampak membisu di depan tv. Aku dan bunda pun ada di sana. "Kenapa
bunda dan kakak melakukan hal itu?" tanyanya.
"Maafkan
bunda Nur, bunda melakukannya karena memang ini salah bunda. Karena bunda sudah
lama ditinggal ayahmu. Dan karena bunda takut untuk dekat dengan lelaki
lain," kata bunda.
"Tapi kenapa harus kak Doni?" tanyanya.
"Ya
karena bunda takut dengan lelaki lain, itulah sebabnya," jawab bunda.
Nuraini
menutup wajahnya.
"Terus
terang Nur malu bunda, malu. Kenapa bunda malah melakukan hal yang memalukan
itu bersama anak sendiri?" tanyanya.
"Nur, dengarlah....kakak melakukan ini karena suka sama suka. Bukan karena
paksaan dan juga karena kakak kasihan kepada bunda. Tahukah kamu bagaimana bunda
sangat merindukan ayah? Kalau misalnya bunda dengan lelaki lain yang tidak
jelas melakukannya apa kamu rela? Mau kamu bersama lelaki lain yang tidak jelas
asal-usulnya, rela kamu punya ayah baru yang tidak bisa membahagiakan
bunda?" tanyaku.
Nuraini diam. Ia menatapku. Ia berpikir sejenak.
"Tapi....
kenapa harus kakak?" tanyanya.
"Karena
kakak orang yang mendekati ayah. Kakaklah orang yang dibutuhkan oleh bunda dan
karena kakak selalu ada di samping bunda, makanya siapa lagi yang bisa
dipercaya oleh bunda? Kakak selalu ada di sisi Bunda, kakak tahu ini salah,
tapi apakah kamu tega dengan perasaan bunda?" tanyaku.
Nuraini terdiam. Ia melihat ke arah bundanya.
"Nur,
maafkan bunda," bunda memeluk Nuraini.
"Nur,
bisa memaafkan bunda. Asalkan Nur minta satu hal bunda," kata Nur.
"Apa
itu sayangku?" tanya bunda.
"Ijinkan
Nur bersama bunda menjadi suami kakak," kata Nur dengan lugu.
Kami berdua
terkejut.
"Nur,
itu tidak mungkin," kata bunda.
"Kamu
adiknya."
"Kalau
bunda boleh kenapa Nur tidak? Sebenarnya saya sudah lama mengagumi kakak
sendiri, mungkin Nur terkena sister complex, tetapi terus terang Nur kecewa
ketika melihat Kak Doni begituan ama bunda, cemburu Nur. Cemburu ama bunda,"
kata Nur sambil terisak.
Bunda terdiam. Ia pun bingung. Saat itulah Kak Vidia baru pulang dari kampus. Ketika
melihat kami semua berkumpul ia pun bingung.
"Ada apa?" tanya Kak Vidia.
"Baiklah, memang semuanya harus tahu apa yang terjadi karena kita adalah
keluarga," kataku. Kemudian aku menceritakan semuanya. Hubunganku dengan bunda,
dan bagaimana aku suka kepada kakakku sendiri. Kemudian juga Nur yang juga
suka. Ini benar-benar keluarga incest.
"Kita semua memang salah, ini sudah terlanjur," kata bunda.
"Maafkan bunda
yang tidak bisa mendidik kalian. Baiklah ini hanya jadi rahasia kita. Maukah
kalian menjaganya? Vidia? Doni? Nur?"
Kak Vidia tampak matanya berkaca-kaca.
"Mulai
sekarang, Doni adalah kepala rumah tangga.
Terserah
kepada dia ingin menggilir siapa. Bunda ijinkan dia menjadi suami kalian. Demi
keutuhan keluarga ini. Bagaimana? Kalian setuju?" tanya bunda.
Kak Vidia langsung memeluk bundanya, "Bunda, Vidia sangat bahagia
sekali." Nur juga memeluk bundanya. Aku terdiam. Bingung dengan keadaan
ini sekarang. "Doni, sekarang kamu
adalah suami kami. Perlakukanlah kami dengan baik. Di luar memang kita adalah
keluarga, tapi di dalam kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Jadilah kepala
keluarga yang baik. Malam ini bunda akan menyiapkan Nur untukmu, karena Nur
masih gadis. Vidia, tolong siapkan suamimu," kata bunda.
Kak Vidia mengangguk.
Aku
kemudian digandeng kak Vidia ke kamarnya. Di dalam kamarnya kak Vidia mencubit
pipiku. "Kalau sainganku bukan bunda dan adikku sendiri, maka aku pasti
akan marah habis-habisan kepadamu dek. Tega-teganya berselingkuh," kata
Vidia.
"Maafkan
aku," kataku.
Kak Vidia
menggeleng. "Kau tidak salah. Ibu memang sedang rindu kepada ayah, pantas
kalau beliau memilihmu. Karena kamu sangat mirip ayah. Entah kenapa, aku malah
senang. Sini copot bajunya, aku mandiin"
Kak Vidia cekikian. Dia kemudian melepaskan bajuku satu per satu. Lalu ia pun begitu.
Kami berdua masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya Kak Vidia. Baru
bulan kemarin kami membangun kamar mandi ini. Di dalam kamar mandi ini kami
membersihkan diri, tapi juga sebenarnya adalah saling membelai. Aku menciumnya
sambil memberikan sabun ke tubuhnya. Kak Vidia juga begitu, ia mengusap sabun
ke seluruh tubuhku, bahkan menggosok-gosok dadaku, perut, ketiakku, penisku
diurut-urut. Aku juga menyabuni buah dadanya, pantatnya. Ketika penisku yang
tegang itu menyentuh kemaluannya ia mencubit perutku.
"Simpan tenagamu buat Nur, kita lakukan ini besok saja ya. Ini nih, udah
besar nakal juga ternyata," ia meremas otongku. Aku mengangguk.
Air pun mengguyur tubuh kami, terasa wangi tubuhku. Setelah itu aku balik ke
kamarku, meninggalkan kak Vidia di kamarnya.Di sana aku memakai baju yang terbaik.
Entahlah, aku koq malah seperti pengantin. Di dalam kamarku aku menunggu. Entah
apa yang akan terjadi kemudian. Saat itulah pintu kamar di ketuk, Kak Vidia
sudah ganti baju. Ia lalu duduk di sebelahku.
"Malam
ini, engkau akan mengambil keperawanan Nur. Ada rasa tak rela sih, tapi karena
Nur adalah adikku juga maka aku nasehatkan kepadamu, tolong jangan sakiti dia
seperti engkau menyakitiku dulu," katanya.
"Apakah
dulu aku menyakiti kakak?" tanyaku.
"Bukan,
maksudku saat pertama kali masuk, aku sangat perih, perih sekali. Aku takut dia
nanti kaget dengan ukuranmu itu. Hati-hatilah, nikmatilah malam
pertama ini. Aku akan tunggu kamu besok, ok?" kak Vidia mengedipkan mata.
Kami lalu berciuman sebentar setelah itu ia meninggalkanku.
Tak berapa lama kemudian pintu diketuk lagi, Nur masuk diantar oleh bunda.
Alamak cantik sekali. Aku tak pernah melihat Nur secantik ini. Ia didandani
oleh bunda seperti bidadari. Ia masuk ke kamarku.
"Bunda tinggal ya," kata bunda. Lalu ia pergi.
Nur
kemudian duduk di sampingku.
"Ini
Nur? pangling kakak," kataku.
"Kak,
Nur masih tak tahu bimbinglah ya," katanya.
Aku
mengangkat wajahnya. Kukecup keningnya. Kedua kelopak matanya, hidungnya, pipinya,
lalu bibirnya. Saat itu Nur masih kaku. Tapi aku tuntun. Kubuka sedikit
mulutnya dan lidahku dan lidahnya sudah saling menghisap. Lipgloss yang ia
pakai terasa manis. Aku kemudian mengajak dia berdiri. Nur tak terlalu tinggi.
Ia setelingaku. Kulepas bajunya satu per satu. Ia pun melepas bajuku. Kini kami
berdua hanya memakai celana dalam. Kerudungnya aku lempar ke lantai. Kusuruh ia
berlutut.
"Buka celana dalamku ya," kataku.
Nur
melihat tonjolan besar di dalam sana. Ia penasaran dan ragu. Kemudian
perlahan ia menurunkannya. Sebatang daging keras, berurat, panjang dan besar tiba-tiba
keluar. Ia agak kaget. Entah karena ukurannya atau yang lain.
"Coba
pegang, ciumi dan rasakan," kataku.
Nur pun
melakukannya. Ia masih amatir. Terasa kaku bila memegang penisku. Ia ciumi
kepala penisku. Rasanya tak muat kalau penis ini masuk ke mulutnya yang mungil.
Kutuntun dia untuk mengurut penisku. Kemudian aku ajari untuk menjilatinya, Nur
tidak jijik, malah ia antusias, selalu bertanya, "Seperti ini? Apakah
seperti ini?"
Ia kutuntun untuk menghisap telurku, menjilati pangkal penisku, kemudian
memasukkan penisku ke mulutnya. Benar penisku tak cukup. Bahkan cuma kepalanya saja
yang bisa masuk ke mulutnya yang mungil. Maka dari itu ia berikan rangsangan
dengan memainkan lidah di ujung penisku, sambil mengocoknya. Enak sekali. Aku
nikmati sensasi mulutnya, lidahnya memberikan rangsangan yang luar biasa,
mungkin karena ia masih lugu ia melakukan apapun yang aku inginkan. Setelah
agak lama ia mengoral, aku menyuruhnya menyudahinya.
Nur aku suruh berdiri, kuciumi dia. Ia menyambut ciumanku, kemudian kuciumi dan
kuhisap lehernya, kujilati telinganya. Ia menggelinjang. Saat aku hisap lehernya,
kutinggalkan bekas di sana. Aku merasakan bulu kuduknya merinding. Kemudian aku
turun ke buah dadanya yang mirip bunda besarnya. Aku memang seakan tak percaya
ia masih kecil tapi buah dadanya besar. Kubuka pengait branya. Saat itulah
seolah-olah bra itu menahan luapan susu. Langsung buah dada itu seperti
meloncat. Bra itu pun aku buang. Kemudian aku beri lagi cupangan-cupangan di
buah dadanya yang putih, seputih susu. Lalu ia aku ajak untuk merebahkan diri
ke ranjang. Kuremas-remas buah dadanya,
kanan dan kiri. Kupenceti putingnya.
"Ohh....kaakk...," keluhnya. Aku menghisapnya, menghisap puting yang
berwarna pink kecoklatan itu. Kujilati, kuhisap lembut, kuat sambil kuremas.
Nur meremas-remas rambutku, meremas-remas kepalaku. Kurasakan bulu kuduknya
merinding lagi. Dan ketika aku jilati di bagian buah dada dan ketiaknya, ia
merintih hebat. Sepertinya itu titik hotspotnya. Kumainkan lidahku di sana.
"Kakk...jangan disitu, geli...Nur...Nur mau pipis...," katanya. Aku
tak peduli, ia mendorong tubuhku agar tidak melakukan hal itu di situ. Aku
tetap pada pendirianku, kujilati tempat itu pantatnya pun terangkat dan ia
meringkuk. "Nur pipis kak, Nur pipis," katanya. Aku menghentikan
aktivitasku. Kuraba kemaluannya. Becek, banjir lendir. Ia sudah orgasme hanya
dengan begitu saja? Aku lalu turun ke perutnya. Kuciumi perutnya, ketika
kuciumi tempat di bawah perutnya antara vagina dan perut, ia merinding lagi.
Kuteruskan sampai ke vaginanya, ia menghimpit kepalaku dengan
kedua pahanya.
"Kak, Nur pipis lagi," katanya. SERRR...SERRR, aku melihat cairan
bening kental menyemprot dari vaginanya. Ia sudah orgasme untuk kedua kali? Aku
menggeleng-geleng. Kuciumi pahanya, kujilati, kuhisap keharuman tubuhnya. Dan sepertinya
mau tak mau Nur harus siap sekarang.
"Kaak,... itunya Nur gatel banget,"
katanya.
"Nur,
kakak mau masukin, udah siap?" tanyaku.
"Siap
kak, masukin aja," katanya.
Aku dengan
perlahan memposisikan penisku untuk masuk. Lendir yang keluar dari kemaluannya
mempermudah posisi penisku untuk bisa masuk, sesenti dua senti. Nur meremas
sprei tempat tidurku. Tidak bisa masuk. Aku tekan tarik tekan tarik, hingga
kepala penisku masuk semua. Dan ketika aku dorong lagi ada sesuatu yang
mengganjal. Wajah Nur berubah. Ia memejamkan matanya kuat-kuat dan meringis.
Aku menciumi bibirnya untuk memberikan efek agar ia tak merasa sakit. Penisku
berkedut-kedut, ditambah rongga kemaluannya yang makin lama makin
meremas-remasku. Satu tekanan dan SREEETTT....Nur memelukku erat.
Ia mencakar punggungku dengan kukunya, aku menindihnya memeluknya sambil kucium
dia. Kedua pahanya mengapit pinggulku. Penisku diremas-remas oleh rongga yang
sempit. Memek Nur serasa vacum cleaner, menyedot-nyedot penisku, meremas-remas
seperti penggiling, ngilu rasanya tapi enak. Aku mendiamkannya sejenak
merasakan sensasi ini.
"Kak, Nur udah tidak perawan ya sekarang?" tanyanya.
Aku
mengangguk. Ia memelukku, "Nur bahagia banget bisa mempersembahkan
keperawanan Nur buat kakak." Aku lalu mendorong naik turun. Nur meringis
lagi. Awalnya ia kesakitan, setelah agak lama aku goyang secara teratur ia pun
tak sakit lagi, malah ikut menggoyangkan pantatnya.
"Kak, seperti inikah rasanya bercinta. Nur merasa enak sekali, penis kakak
serasa penuh," katanya.
"Nur,
kakak merasa enak juga. Memek Nur meremas-remas penis kakak," kataku.
"Kakak
suka?" tanyanya.
"Iya,
kakak suka," jawabku.
"Aku
cinta ama kakak," katanya.
"Aku
juga," kataku.
Aku pun
berpacu lagi, menuju puncak kenikmatan. Suara selakangan kami memenuhi kamarku.
CLEKK CLEEKK CLEEEK...becek sekali vagina Nur, membuat pelumas untuk bisa
penisku bergerak keluar masuk.
"Nur, kakak mau keluar," kataku. AKu sudah tak kuat lagi, rangsangan
memeknya terlalu kuat, aku seperti diremas-remas, apalagi Nur juga pinggulnya
ikut gerak. Sensasi ini tak bisa kutahan lagi untuk ditumpahkan. "Nur
ingin hamil kak, Nur ingin punya anak dari kakak," katanya.
"Nur...ohhh,"
"Kaaakkk....aahh...ahhh....aaahhhhh,"
Meledaklah spermaku di dalam rahimnya. Nur memelukku erat, penisku banjir oleh lendir.
Rahimnya kusemprot berkali-kali, entah belasan kali rasanya. Ngilu sekali,
apalagi aku benamkan penisku sedalam-dalamnya hingga mentok. Aku yakin itu
spermaku berhamburan mencari ovum. Di dalam sana penisku berkedut-kedut, menyeruak
memompa cairan-cairan kenikmatan mencari tempatnya. Membasahi rongga yang
dingin, menghangatkan rahim Nur. Nur mengapit pinggulku dengan kedua pahanya.
Dada kami bersatu, tubuh kami bersatu, hingga kemudian ia pun lemas.
Aku tak mencabut penisku dulu. Membiarkan semprotannya berhenti, aku tekan biar
semua spermaku habis dulu, setelah itu perlahan aku cabut. Nur meringis ketika
penis itu aku cabut. Seketika itu sebagian sperma ikut keluar bersama darah
perawan, bercampur menjadi satu.
Setelah itu kami tidur dalam satu selimut. Nur memelukku. Kami melewati malam yang
indah itu dan tak terasa pagi pun menjelang.
****
Aku terbangun, tak mendapati Nur. Tapi di meja kamarku aku bisa mencium aroma kopi.
Apakah itu yang membuat Nur? Aku kemudian bangun dan melihat spreiku ada bercak
darah. Aku pun berpakaian dan keluar kamar. Masih sepi, orang-orang belum
melakukan aktivitas. Nur
sepertinya mandi aku pun ke kamar mandi. Aku tak perlu mengetuk pintu,
langsung masuk. Ternyata benar. Ia mandi.
"Kakak?" ia tersenyum. Aku kemudian ikut mandi bersama. Kulepaskan
bajuku. Kami kemudian berpelukan di bawah shower. Berciuman, saling membelai.
Aku pun terangsang lagi. Ia kudorong ke dinding kamar mandi. Kaki kirinya aku
angkat, dan penisku aku masukkan ke memeknya. BLESS, lancar. Aku pun menggoyangnya.
Nuraini memejamkan matanya,aku menghisapi teteknya, pantatku menghujam ke
memeknya dengan irama
yang menggairahkan. Karena masih pagi mungkin, aku cepat sekali keluar.
Apalagi memeknya masih seret dan menyedot-nyedot. Spermaku pun keluar. Ia memelukku.
"Kakak ih, belum apa-apa udah langsung nyerang. Nur pipis lagi nih,"katanya.
"Kamu
koq gampang banget pipis sih?" tanyaku.
"Ndak
tau kak," katanya.
Penisku
aku cabut. "Sini aku bersihin," kata Nur.
Ia pun
menyabuni tubuhku. Hari itu adalah hari teraneh dan terbahagia dalam
hidupku.
Begitulah ceritaku terhadap keluarga-keluargaku. Menjadi suami dari ketiga
anggota keluarga sendiri itu tak mudah. Tapi walaupun begitu, tak ada satu
rasa cemburu. Bahkan ketika aku ngentot dengan Kak Vidia di ruang tamu
misalnya, bunda tahu tapi membiarkan. Atau ketika aku bercinta dengan bunda di dapur
misalnya, aku tak malu lagi atau sembunyi-sembunyi. Ketika Nur melihatnya ia
diam saja, memaklumi. Dan ketika Nur menjerit-jerit keenakan ketika kami
bercinta di sofa, Kak Vidia malah bilang agar jangan
kenceng-kenceng jeritnya.
Pengalaman yang aneh adalah ketika mereka bertiga mengoral penisku. Awalnya sih
cuma bercanda saja. "Ih kak Doni,
kepengen bercinta di mana aja. Di dapur, di sofa, di ruang tamu, di kamar
mandi. Dasar," kata Nur. "Iya
nih, mentang-mentang punya tiga istri," kata Kak Vidia. Saat itu bunda
sedang mengoralku. Aku duduk di sofa dan bunda berlutut di hadapanku. "Kalau
mau, ya silakan ikutan," kataku sambil tertawa. Nur dan Vidia
berpandangan, mereka berdua mengangguk. Lalu tiba-tiba mereka berada di dekat
bunda berlutut juga di hadapanku. Mereka membagi penisku. Menjilati bergantian,
mengoral bergantian. Kadang berebut telurku. Aku yang
mendapatkan perlakuan ini tentu saja mana tahan. Dan ketika spermaku keluar, mereka
saling berebut untuk menghisapnya dan menjilatinya sampai bersih.
Ohhh...nikmatnya.
BAB 5
**********
MBAK JUNI
Kembali ke masa sekarang. Ketika usaha kami sudah menjadi waralaba. Mbak Juni yang
selama ini membantu kami pun jabatannya menjadi manajer yang mengelola waralaba.
Seiring besarnya toko kami, maka kehidupan mbak Juni pun mulai berubah. Ia
boleh dibilang sekarang jadi orang berduit dan sangat loyal kepada kami. Ia
jugalah yang mengawal kesuksesan keluarga kami hingga sekarang waralaba kami
sudah ada seratus toko tersebar di seluruh daerah.
Kabar gembira adalah ketika Nuraini hamil, kami sekeluarga sangat senang.
Bahkan bunda sangat mewanti-wanti agar Nur jangan banyak pekerjaan yang
melelahkan. Nuraini tahun ini lulus SMA, setelah kami melakukan hubungan ini akhirnya
ia hamil juga. Mungkin karena ia banyak kegiatanlah yang membuat Nuraini tidak
hamil-hamil walaupun frekuensi hubungan intimku dengan Nur lebih banyak
daripada bunda dan Kak Vidia. Sebab Kak Vidia masih sibuk dengan kuliahnya dan
sekarang sedang mempersiapkan skripsi. Dan bunda juga sibuk dengan urusan
tokonya, sehingga jatah mereka diberikan kepada Nuraini. Dan alhasil Nuraini
sekarang hamil tiga bulan.
Aku makin
sayang dengan keluargaku. Aku pun sekarang berusaha tidak mengganggu kehamilan
Nur, bisa fatal kan kalau misalnya kehamilannya terganggu. Dan karena ketiganya
tak bisa aku ganggu, akibatnya aku kentang banget selama dua bulan ini. Bingung
melakukan pelampiasan. Kak Vidia menolakku dengan halus ketika aku sedang
kepingin. Ia sedang konsen skripsi dan itu sangat melelahkan, bunda juga
demikian, bertemu dengan banyak investor, distributor dan berbagai macam orang.
Aku juga mengurus toko sih. Menandatangani surat-surat, memeriksa stok,
menghitung faktur dan macem-macem. Dan di kantor pusat yang ada di toko utama kami
aku selalu bertemu dengan mbak Juni. Toko utama kami berdempetan dengan rumah.
Sudah banyak renovasi di sana-sini. Kami juga sudah punya banyak pegawai. Toko
buka tutup sudah ada yang mengurus. Sedangkan aku dan Mbak Juni mengurusi
hal-hal yang lain. Setiap malam manajer toko selalu memberikan data penjualan
hari itu, lalu paginya aku yang mengecek dan aku beri ACC.
Mbak Juni beda ruangan denganku. Tapi aku setiap hari selalu melihatnya. Masih ingat
dong pertama kali ia kerja di toko kami. Ia biasanya pakai T-Shirt dan jeans.
Sekarang setelah jabatannya sudah tinggi dan menjadi orang kepercayaan kami, ia
pakai blazer dan rok. Seperti pekerja kantoran.
Aku ada di kantor sampai malam. Beberapa kali Nur menelponku.
"Kak, kapan pulang? Udah malem nih, Nur sendirian di rumah," kata Nur
di
telepon. Padahal rumah sama kantor itu ya tinggal jalan saja sih. Karena letak
rumah kami ada di belakang toko. Sedangkan kantornya ada di depan toko.
"Iya, sebentar lagi," kataku.
"Masih
banyak data yang harus diaudit, bunda soalnya masih keluar kota."
"Biar
mbak Juni saja yang beresin," katanya.
"Ndak
bisa dong, bagiannya beda, tidur saja dulu. Udah malem ini," kataku.
"Kepengen
dipeluk," katanya.
"Iya
nanti aku peluk dan cium deh," kataku.
"Janji
ya?" katanya.
"Iya,
janji," kataku.
"MMuuacchh
suamiku, cepetan ya," katanya.
Aku balas,
"Muuacchh."
Kemudian
aku melanjutkan pekerjaanku, dan semuanya baru selesai pukul 23.00. Aku melihat
mbak Juni masih mengetik. Aku pun kemudian bangkit dan menghampirinya di
ruangannya yang hanya terpisah dengan kaca.
"Belum pulang mbak? Pulang aja udah malem lho.
Nanti
anaknya mencari-cari," kataku.
"Ndak
apa-apa mas, udah dijaga ama neneknya koq.
Tadi juga
udah bilang mungkin baru balik jam dua belas malem.
Tapi
kayaknya sampe pagi. Mumpung besok libur sih," katanya.
"Ngurusin
apa sih? Masih soal pajak?" tanyaku.
"Iya
nih mas, petugas pajak soalnya agak ruwet. Terlebih sekarang ada masalah waralaba
juga. Tambah ruwet lagi deh. Kukelarin agar besok senin tinggal lapor ke dinas
pajak," katanya.
Aku berdiri di belakangnya dan melihat layar monitornya. Tampak ia menyusun file-file
excel kemudian mencatat angka-angka. Aku memegang pundaknya dan menepuknya.
"Oke
deh, aku tinggal dulu kalau begitu," kataku.
"Sendirian
saja berani kan?"
"Kaya'
anak kecil aja mas, berani dong," katanya.
Aku kemudian beranjak dari tempat itu dan meninggalkan mbak Juni sendirian. Aku
keluar kantor dan pergi ke rumah. Aku kemudian masuk rumah, ke kamar mandi,
membersihkan diri dan masuk ke kamar adikku. Ia tampak sudah tertidur. Wajahnya
makin cantik saja kalau hamil. Aku cium perutnya, lalu keningnya, setelah itu
aku masuk ke selimutnya. Kupeluk dia. Nur terbangun. "Kakak? hmm," kami
berciuman lalu tertidur. Aku memeluknya.
Jam 03:00 aku dikejutkan dengan suara ponsel. Aku kemudian mengangkatnya. "Mas,
aku kaya'nya kehilangan kunci deh," kata suara di telepon. Karena masih mengantuk,
aku bingung suara siapa ini. Kemudian aku baru ingat setelah melihat nomor
teleponnya. Nomor kantor. mbak Juni?
"Kunci
apa mbak?" tanyaku.
"Maaf
ya kalau ganggu mas, kunci kantor. Tadi sepertinya sudah ada di tas,
tapi koq ndak ada, maaf mas kalau malam-malam ganggu," katanya.
"Ya
udah, aku ke sana deh, tunggu ya!" kataku.
"Iya
mas, maaf ganggu waktu istirahat," katanya.
"Tidak
apa-apa koq," kataku.
"Siapa
kak?" tanya Nur.
"Mbak
Juni, kuncinya hilang. Kakak ke kantor dulu ya," kataku.
"Belum
pulang mbak Juninya?" tanya Nur.
"Belum,
masih ngurusin pajak katanya tadi, ini mau pulang sepertinya," kataku.
"Biasanya yang ngurusin pajak bunda, tapi karena bunda ndak ada
pekerjaannya jadi dobel."
"Oh begitu, yaudah deh. Kalau ia mengantuk suruh tidur di kamar tamu aja
kak, kasihan kalau jam segini pulang. Jalanan sepi," kata Nur.
"Itukan
terserah orangnya," kataku. Aku kecup kening Nur lalu meninggalkannya
sambil membawa kunci kantor. Dingin banget malam ini. Aku berjalan sambil
mendekap tubuhku sendiri, sampai
kemudian aku melihat mbak Juni ada di depan kantor.
"Maaf
ya mas, mengganggu," katanya.
"Nggak
apa-apa," kataku.
Aku
kemudian mengunci kantor.
"Nanti
aku cari lagi deh kuncinya," kata mbak Juni.
"Nanti
biar aku urus, mungkin lupa kamunya. Oh iya mbak, udah malem nih,
nginep sini aja!" kataku.
"Ndak
ah mas, ntar dicari orang rumah," katanya.
"Katanya
sudah sama neneknya anaknya?"
"Iya,
cuma kan ya ndak enak juga belum ijin."
"Mbak
sudah ngantuk kan? Mendingan nginep di rumah aja, kalau keadaan ngantuk begini
nyetir mobil bahaya," kataku.
"Aku
ndak punya mobil mas," kata mbak Juni.
"Oh
iya, lupa. Kamu pakai sepeda motor," kataku. "Ya udah, nginep ajalah.
Nggak apa-apa koq. Aku ijinin. Emang ini resiko kalau pekerjaan dobel."
Mbak Juni agak ragu dan bingung.
"Atau
telepon dulu deh rumahnya, biar ndak ada yang khawatir," kataku.
Akhirnya
mbak Juni menelpon rumah. Ibunya akhirnya mengijinkan setelah bicara agak lama.
"Oke deh mas," katanya.
"Nah,
begitu. Yuk," ajakku.
Kami
kemudian masuk ke rumahku. Aku kemudian menunjukkan kamar tamu. Di dalam rumah
hangat tidak seperti di luar.
"Ini
kamar tamu, kalau ingin mandi dan bersih-bersih di dalam sudah ada kamar mandi,
langsung aja pakai. Kalau butuh apa-apa, aku ada di kamar atas, tinggal ketuk
pintu atau panggil saja," kataku.
"Makasih
mas," katanya.
Aku
sebenarnya sudah lama tak melakukan ini yaitu mengerjai orang lain. Pakai kamera
pengintai. Untungnya aku membawa gantungan kunci itu. Ketika aku menunjukkan
kamar mandi aku menaruhnya di tempat yang sangat strategis. Mbak Juni tak
menyadarinya bahwa aku sudah siap merekam. Entah kenapa aku jadi penasaran
dengan mbak Juni. Setelah itu aku
tinggalkan dia dan masuk ke kamar adikku. Aku pun tertidur.
***
Pagi hari aku bangun lebih dulu, mandi, olahraga dan membantu Nur dan Kak
Vidia memasak di dapur.
"Minggu
ini liburan kemana?" tanyaku kepada keduanya.
"Mau
di rumah aja ah kak," kata Nur.
"Tumben,
biasanya kamu semangat kalau diajak keluar," kata kak Vidia.
"Entahlah,
kali ini rasanya males buat ngapa-ngapain," kata Nur.
"Bawaan
oroknya kali," kataku.
Kak Vidia
mengelus-elus perut Nur, "Kakak jadi iri deh."
"Selesaikan
dulu itu skripsi baru mikir ini," kata Nur sambil menunjukkan
perutnya. "Huu,...kamu aja belum lulus sudah isi," kata Kak Vidia.
"Don, pokoknya kalau skripsi sudah selesai kakak bakal ambil jatahnya
Nur."
"Iya
iya, kakakku yang manis," aku mencubit pantatnya.
Ia memukul
tanganku.
Kami
tertawa.
"Oh
iya, mbak Juni mana?" tanya Nur.
"Belum
bangun kayaknya," jawabku. "Aku cek dulu deh."
Aku
akhirnya pergi ke kamarnya. Kuketuk pintunya, tak ada jawaban. Mungkin ia masih
tidur. Kupanggil-panggil, "Mbak?!" tak ada jawaban. Aku pun iseng
sambil tolah-toleh ke dapur kalau-kalau saudari-saudariku datang. Aku buka
pintu kamar yang tidak terkunci itu. Aku pun membuka sedikit pintunya. Saat
itulah betapa terkejutnya aku. Pemandangan ini tak pernah aku sangka
sebelumnya. Di hadapanku ada mbak Juni
dengan vaginanya yang berbulu itu terekspos. Ia membuka pahanya dan ada tangan kirinya
menyentuh vaginanya. Apa ia baru saja mastrubasi? Dan penisku pun langsung
tegang. Siapa yang tak tegang menyaksikan pemandangan indah ini? Aku pun punya
ide. Aku tutup kembali kamar itu lalu ke kamarku, kubongkar tempat simpanan
kloroformku. Kuambil sapu tangan dan kutuangkan disitu sedikit, sesuai dosis
yang kupakai ke bunda dulu.
Setelah itu aku simpan di saku celana. Aku pergi ke dapur untuk membuat
alasan. "Mbak Juni belum bangun-bangun, dikunci pula kamarnya, tapi kayaknya
ia sedang tidur, maklum pagi-pagi sekali ia baru tidur," kataku.
"Aku
mau olahraga dulu."
"Oh,
baiklah, habis olahraga sarapan ya kak," kata Nur.
"Iya
dong," kataku. Aku mencium pipi Nur, lalu Kak Vidia. Setelah itu aku
meninggalkan mereka. Aku kemudian buru-buru ke kamar tamu. Setelah itu aku
kunci kamar itu, kupersiapkan sapu tangan berkloroform.
Daan...kubekap mbak Juni. Ia memberontak sedikit, tapi kemudian ia lemas.
Yes...
Aku tak menduga kalau tubuh mbak Juni seindah ini. Ia cuma pakai bra saja
tidurnya. Aku lalu melepaskan kaitan branya. Buseet, toketnya gedhe juga.
Mirip ama toket bunda. Karena aku sudah bernafsu, segera aku hisapi toket itu. Saking
bernafsunya aku tak peduli lagi siapa mbak Juni. Aku sudah tak tahan lagi,
langsunglah aku masukkan penisku ke tempatnya. Pelan-pelan kudorong dan bless,
licin sekali. Mungkin karena mastrubasinya tadi. Aku goyang pinggangku. Aneh,
ia sudah punya anak, tapi masih seret juga ini memeknya. Walaupun berbulu dan
punyaku gundul, tapi rasanya ada sensasi tersendiri. kupeluk tubuh telanjang
mbak Juni kuhisap bibirnya.
"Ohh...mbak,...enak
banget," bisikku.
Aku
mungkin karena sudah lama tidak main, karena sangat bersemangat apalagi ini
memek baru, rasanya baru. Tubuh mbak Juni aku gerayangi, kuciumi lehernya, pundaknya,
sambil pantatku maju mundur menusuk-nusuk vaginanya sedalam-dalamnya. Kemudian
aku cabut punyaku, kubalikkan tubuhnya. Kuangkat pantatnya sedikit kuposisikan
penisku ke sarangnya, lalu blesss...aku pompa lagi. Pantatnya membiusku,
membuat suara yang aneh di dalam kamar ini.
"Mbak, pantat mbak enak lho, kalau aku sampe ngecret gimana?" kataku.
Sial aku
ndak kuat lagi, sebelum keluar aku cabut dulu punyaku. Kuatur
nafasku, penisku pun tak jadi merasa gatal ingin muncrat. Aku balikkan lagi
tubuhnya. Kuangkat kakinya dan kutekuk, kemudian aku sedikit berlutut,
kumasukkan lagi burungku. Ohh...enak dan hangat vaginanya. Aku goyang hingga terasa
lagi penisku mau meledak. "Mbaak....kukeluarin yah....keluar..ke...lu...
aaaarr!" aku tekan dalam-dalam penisku hingga mentok. Sperma hangat
langsung meluncur deras dari testisku. Membasahi dinding rahimnya, luar biasa.
Nikmat sekali, aku lalu ciumi bibir
mbak juni. Setelah itu aku terkulai di sebelahnya.
***
Aku lalu terbangun, mbak Juni menggeliyat, dan ia terkejut ketika melihatku
ada di sebelahnya tanpa busana. Kami berdua tanpa busana. Aku ternyata
tertidur beberapa lama di kamarnya, hingga tak tahu pengaruh obat bius itu
sudah habis dan mbak Juni terbangun.
"Mas Doni? Apa yang mas...?" Mbak Juni melihat ke vaginanya ada
cairan putih spermaku meleleh di sana. Aku langsung menutup mulutnya.
"Ssshhh....aku
bisa jelaskan asal jangan teriak. OK?" kataku.
Matanya
tampak berkaca-kaca. Ia mengangguk.
Aku lalu
melepaskan tanganku yang menutup mulutnya.
"Apa
yang mas lakuin? Kenapa? kenapa?" tanyanya.
"Maafkan
aku, aku khilaf. Sebab tadi ketika aku bangunin mbak Juni, ternyata
mbak Juni habis mastrubasi. Melihat mbak seperti itu aku jadi tergoda dan
melakukannya," kataku.
Kami pun
diam. Mbak Juni menghapus air matanya lalu menghempaskan diri ke atas ranjang.
Ia mendesah panjang.
"Mbak juga salah mas, harusnya mbak ndak begini. Ini semua karena mbak
sudah lama sekali tidak melakukan ini, selama ini yang jadi pelampiasan ya Cuma
mastrubasi," katanya.
"Maafin mbak ya."
Aku
menggeleng. "Mbak masih cantik pasti banyak yang suka."
"Ah
tidak juga, ketika ada pria yang mendekatiku aku selalu bilang aku sudah
tidak perawan lagi, karena sudah punya anak. Dan kebanyakan dari mereka mundur teratur,"
katanya.
"Tidak
mbak, punya mbak masih seret koq, masih enak," kataku.
"Jangan
menghiburku yang tidak-tidak mas," katanya.
"Laah,
kalau tidak mana mungkin aku tadi melakukan itu ke mbak?" tanyaku.
Mbak Juni
menoleh ke arahku. Aku lalu sambut dengan ciuman di bibir. Mbak Juni terkejut.
Kami berpanggutan, matanya terpejam, merasakan lidah lelaki lain yang bukan
suaminya setelah lama ia tak pernah merasakannya. Lidahku
menari-nari di mulutnya, menghisap, mencampurkan ludah, lalu saling menghisap lagi.
Tangannya lalu menyentuh penisku. Ia tampak kaget, ciuman kami berhenti.
"Mas, ini punya mas? Besar banget?" pujinya. Ia lalu mengocok pelan.
"Emang
punya suamimu seberapa?" tanyaku.
"Punya
suamiku sih separuh ini," jawabnya jujur. Ia tiba-tiba berada di atas.
Kemudian
ia posisikan penisku berada di mulut vaginanya. Ia lalu menekannya sehingga
penisku meluncur masuk ke dalam vaginanya. Meskipun begitu lancar masuk,terasa
vaginanya dengan erat mencengkram penisku.
"Ohhh....mbakk..." kataku.
"Masuk
mas, oohh...penuh rasanya. HHmmmmhh...," keluhnya. Ia pun menggoyangnya maju
mundur sambil sesekali mengangkat pantatnya.
"Mass....enak
mass..."
Posisi WOT
ini sangat menggairahkan. Mbak Juni menggoyang-goyangkan kepalanya, aku
memegangi toketnya yang menggantung indah itu. Pantatku pun ikut aku goyangkan
agar menambahkan rasa nikmat. Mbak Juni ini mirip banget seperti bintang film
porno yang aku lihat. Ia meliuk-liukkan kepalanya seolah-olah menikmati rasa
gesekan kelamin kami. Tapi ia cukup tenang, tak berisik, selalu mendesis
seperti ular ketika penisku menggesek rongga vaginanya. Sementara itu kemaluan
kami telah benar-benar becek dengan pelumasnya.
"Mbakk....punyaku diapain itu?" bisikku.
"Ini
namanya empot-empot mas, enak ya?? ohhh..." katanya.
"Punya
mas penuh banget, mbak Juni jadi nagih nih...."
Mbak Juni
terus melakukan empot-empot itu, aku terus bertahan. Cukup lama kami bercinta
dengan posisi WOT. Mbak Juni mulai kehabisan nafas, ia makin mempercepat
goyangannya.
"Mas,
mas udah mau keluar belum?" bisiknya mesra.
"Belum
mbak, mbak mau keluar?" tanyanya.
"He...eh..mas
kuat banget, padahal suami mbak dulu pasti teler kalau kena
jurus empot-empot ini," katanya.
"Mass...mas...mbak
mau keluar...mbaakkk pipiiiissss....!!!"
Mbak Juni ambruk menindih tubuhku, pantatnya menekan penisku. Ia memelukku danmeringkuk
seperti bayi di atas tubuhku. Ia mencium bibirku. Kami berpanggutan. Kemudian
ia berguling dan merebahkan diri. "Tuntasin
mas, mas kan belum keluar," katanya.
Aku tersenyum. Aku berada di atas. Kuposisikan penisku ke mulut vaginanya.
Kemudian kutekan. Ketika urat-urat penisku menggesek rongga vaginanya, mulut
mbak Juni membentuk
huruf O sambil menatap mataku. Kedua pahanya kini mengapit pinggangku.
"Enak mbak?" tanyaku.
"Enak
mas, mas enak banget.....," katanya.
Aku goyang
pinggulku. Kami sama-sama bergoyang, mbak Juni tetap memakai jurus empot-empotnya,
aku pun makin cepat menggoyang, agar spermaku bisa membasahi rahimnya lagi. Aku
terus berusaha. Mungkin karena tadi aku udah keluar sebelumnya sehingga untuk
memproduksi sperma lagi testisku butuh waktu. Karena itulah mbak Juni
benar-benar agak KO. Kepalanya menggeleng-geleng, ia pun mengulurkan kedua
tangannya melingkar di leherku.
"Maass...mbak mau keluar lagi...ohh...aahh..mbak ndak pernah bercinta
seperti ini. Sampai multiple orgasme," katanya.
"Mbak,
aku keluarrrrr...," kataku.
Saat
itulah mbak Juni agak aneh, ia menatapku.
Matanya
tampak menunjukkan keraguan, "Lho, aku lupa mas ini saat suburku.... nanti
bisa hamil."
"Tadi
aku sudah keluarin di dalem koq. Nanggung nih," kataku.
Mbak Juni
lalu memejamkan matanya.
Tampaknya
ia pasrah, "Terserah deh mas, hamil hamil deh."
Aku pun keluar. Spermaku masih banyak aja, sampai menyemprot berkali-kali di dalam
rahimnya. Aku pun kemudian terkulai di atas tubuh mbak Juni wajahku kudekatkan
ke puting susunya dan kuhisap lemas. Perlahan-lahan penisku keluar sendiri.
Entah kenapa, tiba-tiba mbak Juni memelukku. Kami pun berpelukan untuk beberapa
saat.
"Mas... maafin mbak Juni ya," katanya. "Gara-gara mbak, ini
semua terjadi."
"Trus
bagaimana?" tanyaku.
"Kalau
misalnya nanti hamil mbak akan terima koq, baik mas tak mau menikahiku ataupun
tidak. Mbak juga sebenarnya punya perasaan ama mas," katanya. "Sejak dulu
mbak sudah naksir sama mas. Dan entahlah, kenapa koq ya hari ini datang. Makanya
ketika tahu mas melakukannya ama mbak, mbak sedikit kaget. Tapi kemudian
sedikit senang, karena impian mbak selama ini jadi nyata. Bahkan mastrubasi
tadi juga bayangin mas. Dan ternyata mas sendiri yang masukin. Tapi sungguh
ndak menyangka kalau penis mas besar juga ya."
Aku tersenyum. Kami berciuman.
"Ijinkan
mbak tetap mencintai mas ya, walaupun mungkin nanti mas punya pacar atau
istri," katanya.
"Mas
tetap akan mencintai mbak. Kalau perlu nikah sama mbak aja deh sekalian," kataku.
Mbak Juni
menggeleng, "Jangan mas. Aku tak mau mas menikahiku karena kasihan. Lagipula
ku yakin mas tidak mencintaiku. Mas melakukan ini karena nafsu, bukan karena
cinta. Aku tak mau mas nanti malah menyakitiku ketika sudah jadi suami istri.
Seperti apa yang dilakukan oleh suamiku dulu, karena itulah kami dulu bercerai."
"Trus hubungan kita jadi apa dong?" tanyaku.
"Kita
jalani saja deh mas, kalau memang kita ada chemistry, maka kita lanjut,
kalau tidak ya berarti memang bukan jodoh," jawabnya.
"Baiklah,
kalau itu yang terbaik. Ngomong-ngomong, sebaiknya aku segera keluar deh,
daripada dicurigai nanti," kataku.
"Iya,
ayuk ah."
Kami pun
bangun. Aku segera berpakaian dan melihat keadaan, kuintip sebentar
ruangan kalau-kalau ada Nur atau kak Vidia ternyata sepi. Aku pun segera
keluar kamar tamu dan pergi ke ruang makan. Di sana ada Kak Vidia dan Nur
sedang makan.
"Kakak
koq lama sih? Kami sudah nunggu dari tadi lho. Ya udah ditinggal aja," kata
Nur.
"Oh
maaf Nur," kataku.
"Ya
udah, maka sana gih!" kata Kak Vidia.
***
Hubunganku dengan mbak Juni makin canggung setelah itu. Ketika di kantor, kami saling
melirik penuh arti. Dan setiap mata kami bertemu kami tersenyum. Minggu-minggu
berikutnya semua berjalan seperti biasa. Namun sebenarnya ada rasa aneh yang
kami rasakan setiap kali kami bersama. Ketika aku mendekat kepadanya memberikan
laporan, dan ketika kami bercanda ada rasa-rasa yang bergetar, demikian juga
yang dirasakan oleh mbak Juni.
Ia mengirimiku email, isinya seperti ini:
MAS DONI
TERSAYANG,
Sungguh
akhir-akhir ini perasaan mbak terasa kurang kalau tidak dekat dengan mas. Dan
merasa setiap hari adalah hari-hari terindah dalam kehidupanku adalah ketika
bertemu dengan mas. Maka dari itulah aku selalu kangen kalau pulang, walaupun
anakku sudah bisa memberikan perasaan yang lega ketika melihatnya, tapi entah
kenapa rasa ini masih ada.
Perasaan cintaku kepada mas makin besar dan aku harus mengakuinya. Aku tak bisa
berpisah dari mas. Apakah aku harus mencintai mas, ataukah tidak aku tidak tau.
Aku bingung sekarang. Aku takut kalau mas nanti malah kecewa ketika menjalin
hubungan denganku.
Peristiwa kecelakaan itu, aku berusaha melupakannya, tapi aku tak bisa. Rasa rinduku
makin besar. Rasa cintaku makin besar. Tolonglah aku mas. Apa yang harus aku
lakukan? Apakah aku harus mencintai mas? Aku bingung.
TTD
JUNI
Itulah isi emailnya. Aku pun bingung menjawabnya. Aku tak tahu kapan ia
mengirim emailnya kalau dilihat dari waktunya sih ketika bekerja. Jadi selama
bekerja ia benar-benar memikirkanku selama ini. Aku kemudian berusaha menjawab emailnya
semampuku.
MBAK JUNI TERSAYANG,
Aku tak tahu harus bilang apa. Mungkin memang benar, peristiwa itu mengubah cara
kita menyapa selama ini, mengubah juga apa yang kita rasakan selama ini. Kalau
mbak memang ingin agar aku menjadi kekasih mbak, aku pun siap. Bukan karena
nafsu, tapi benar-benar kekasih.
Kalau mbak memang ingin menjadikanku kekasih, aku akan menerima apapun yang ada
pada mbak Juni. Aku akan menerimanya, dan apakah mbak Juni mau menerima apapun
yang ada padaku?
TTD
DONI
***
Esoknya aku bekerja seperti biasa. Mbak Juni tampak serius kerjanya. Ketika
mau istirahat, aku lalu menghampiri mejanya. Mbak Juni mendongak, aku lalu
menariknya ia terkejut. Aku langsung mencium bibirnya yang lembut itu.
Keterkejutan mbak Juni membuatnya gemetar. Tapi setelah itu ia mengerti. Ia
pun menikmatinya. Beberapa saat kemudian aku melepaskannya.
"Mas...i..ini," katanya terbata-bata.
"Tak
perlu bicara, ini jawabannya. Aku suka kamu dan aku tak peduli kamu
siapa, kamu seperti apa, aku akan menerimamu," kataku.
"Mass..,"
mbak Juni memelukku.
Kami
berpelukan agak lama, sampai kemudian aku berbisik, "Jangan lama-lama, ntar
dilihat orang."
Kami pun
lalu salah tingkah dan tertawa.
Hubungaku
dengan mbak Juni setelah itu seperti orang pacaran. Mesra banget kalau di
kantor. Sementara ini hal ini tidak diketahui oleh semuanya. Perut Nur makin
besar, ini sudah menginjak bulan kelima dan bertepatan dengan kak Vidia selesai
wisuda. Ia senang banget lulus dengan hasil memuaskan. Bunda bangga sekali
dengan anak pertamanya ini. Di rumah Kak Vidia benar-benar manja banget
denganku. Ia menagih janjiku untuk selalu bersamanya sampai ia benar-benar
hamil. Yah, janji harus ditepati.
Aku benar-benar harus membagi waktu antara mbak Juni dan Kak Vidia. Kalau mbak Juni
butuh sesuatu ya aku harus ke tempatnya. Dan kalau kak Vidia butuh aku ya aku
harus ke tempatnya. Aku tak ingin mbak Juni curiga, dan aku tak mau yang lain
juga cemburu.
***
Aku duduk di tepi ranjang. Menyaksikan Kak Vidia yang tertidur lelap. Kami
baru saja main sampai beberapa ronde. Kak Vidia benar-benar cemburu dengan Nur.
Ia benar-benar ingin punya anak. Mungkin besok aku akan istirahat sebentar.
Saat ini aku terus berpikir tentang keadaanku. Aku sendiri bingung. Memang soal
harta aku sama sekali tak kekurangan, apakah sekarang ini aku butuh seorang
pendamping? Tapi kalau soal istri aku bisa memiliki siapa saja. Bahkan
saudari-saudariku dan bunda saja bisa aku dapatkan.
Aku sekarang galau. Malam itu aku tak bisa tidur. Aku akhirnya bersandar di
ranjang. Dan kak Vidia pun memelukku. Ia merasa nyaman. Sebenarnya juga punya rasa
tak ingin kehilangan aku.
Hubunganku dengan mbak Juni mulai panas. Di kantor aku tak malu-malu lagi untuk
mencium bibirnya. Misalnya hari ini. Mungkin karena bunda tidak ada maka aku
cuma berdua saja dengan mbak Juni. Saat itulah, aku agak iseng.
"Mbak, boleh nih kita sedikit panas," usulku.
"Panas
seperti apa? kompor?" tanyanya sambil ngikik.
Aku lalu
tarik lengannya dan langsung mencium bibirnya. Mbak Juni gelagapan menerima
seranganku. Aku meremas-remas toketnya. Ia mendorongku.
"Jangan dulu mas, ndak aman di sini. Ntar kalau Si Rendy masuk bahaya
lho," katanya. Rendy adalah manajer toko.
"Biarin
ajah," kataku.
"Ndak
ah," katanya.
"Trus
gimana nih?" tanyaku sambil menunjuk penisku yang sudah tegang.
"Sini
deh!" ia pun menarikku.
Ia
kemudian menarikku ke mejaku. Sesampainya di sana aku didorongnya hingga duduk
ke kursi. Ia pun merangkak ke bawah meja. Di bawah meja ia tersenyum kepadaku.
Kemudian dibukanya resleting celanaku. Kemudian ia mengusap-usap penisku yang
sudah tegang.
"Ini
ya yang ndak sabar?" tanyanya.
Aku
mengangguk. Ia lalu menarik sedikit celanaku hingga rudal berurat itu pun
keluar. Ia tersenyum dan menekan kepala penisku dengan jari telunjuknya, lalu menekan-nekan
lubang kencingku.
"Apaan sih mbak? Geli!" kataku.
"Biarin,
kamu nakal sih," ia malah bicara dengan penisku. Lalu ia mencium
dengan hidungnya, menghirup aroma penisku. "Aku suka baunya."
"Oh..mbak....,"
aku jadi horny.
"Mau
dipuasin?" tanyanya.
"I...iya,"
aku mengangguk.
Lidahnya
kini terjulur, lalu menyapu penisku dari buah dzakar sampai ke ujung. Aku
menahan nafas. Perlakuannya ini membuatku makin terangsang. Penisku langsung
lebih mengeras dari sebelumnya.
"Oww...enak
ya? sampai tegang gini," katanya sambil ketawa.
Lalu Ia
menciumi kepala penisku, menjilatinya, kemudian ia masukkan ke
mulutnya. Ia hisap sekuat tenaga, lalu ia kocok dengan mulutnya. Ohhh...nikmat sekali.
Aku terus menyaksikan perlakuannya kepada penisku, dan matanya terus melihatku.
Aku suka sekali kebinalan mbak Juni. Saat itulah aku dikejutkan dengan Rendy
yang datang ke mejaku.
"Maaf mas, kemarin aku belum ngasih laporan komputernya ngadat,"
katanya
tiba-tiba. Terus terang aku gelagapan. Untungnya ia tak bisa melihat Mbak Juni yang
ada di kolong meja. Karena mejaku tertutup.
"Oh...i..itu,
terus kamu sudah ngirim?" tanyaku.
"Belum
mas, mungkin harus dibenerin dulu itu komputernya," jawab Rendy.
Sialnya, mbak Juni menghisapi buah dzakarku sambil mengurut penisku hingga tegang
sekali. Lalu ia menjilati ujung kepalanya dengan lidahnya. Lidahnya menari-nari
memberikan stimulus yang membuatku lemas.
"Panggil teknisi saja deh....pp..Pak Udin gitu, tahu nomor teleponnya
kan?"
tanyaku.
"Iya mas, tahu. Berarti bagaimana kondisi pembukuannya? Didobel saja atau
bagaimana?" tanyanya.
"Nggak
apa-apa...," keringat dingin mengucur dari dahiku.
Mungkin di
bawah meja mbak Juni sangat senang bahkan ketawa menyaksikan salah tingkahku.
"Dobel
saja ndak apa-apa. Atau minta saran Pak Udin, ia lebih faham soal softwarenya."
"Oh
baik mas, mas ndak apa-apa? Koq kayaknya kurang enak badan?" tanyanya.
"NGgak apa-apa koq," jawabku sambil tersenyum. Padahal yang di bawah
ada apa-apa.
"Baik
mas, mari," kata Rendy. Ia meninggalkan mejaku dan keluar dari kantor.
Aku lalu
melihat ke arah mbak Juni, "Gila mbak, kalau ketahuan gimana?"
"Biarin,
biar orang-orang tahu kalau mas suka ama aku," katanya sambil ngikik. "Mungkin
bisa masuk koran mas, bos berbuat mesum dengan anak buahnya. hihihi..."
Ia melanjutkan oralnya. Aku hanya geleng-geleng. Saking gemesnya aku pun
meremas-remas dadanya. Tanganku masuk ke dalam kemejanya, lalu ke dalam branya mencari-cari
putingnya, lalu aku gesek-gesek dan pelintir-pelintir. Mbak Juni makin semangat
saja mengoralku. Penisku ia masukkan jauh ke mulutnya, aku keenakan, kemudian
ia mainkan kepalanya dengan lidahnya. Itu membuatku makin ndak bisa menahan
diri, rasanya ingin muncrat. Tapi dengan perilakuku merangsang puting susunya,
ia pun terkadang berhenti mengoral.
"Mas,
mas bikin mbak horny nih," katanya.
Aku lalu
mendorongnya, kemudian berdiri. Aku lalu menariknya agar berdiri,
kemudian aku angkat tubuhnya dan kududukkan di meja. Kemudian aku naikkan roknya,
kuturnkan celana dalamnya. Celanaku ku turunkan, penisku lalu kuposisikan di
depan mulut vaginanya yang merekah.
"Mas, nanti ada yang lihat," katanya.
"Aku
tak peduli, biar aja," balasku. Aku membuka kemejanya, kunaikkan branya, hingga
buah dadanya terekspos. Aku pun menyusu kepadanya sebentar, lalu pinggulku
menekan selakangannya. SLEEBBB....
"Ohh...masss...masuk,"
katanya.
Aku goyang
pinggulku menyodok kemaluannya. Mbak Juni memelukku dan kedua kakinya mengunci
pinggangku.
"Mbak,
enak banget," kataku.
"Ohh...kontol
mas gedhe banget, penuh.....hhmm.....," rancaunya.
Kami lalu
berciuman, berpanggutan, aku tetap menggoyang. Ada rasa takut
ketahuan, tapi juga ada rasa ingin memuaskan diri. Benar-benar kami ingin
merasakan luapan birahi kami yang sudah ditahan sejak kemarin. Aku juga tak tahu
kalau vaginanya sudah becek, karena rangsanganku kepada putingnya.
"Mas.....mass...agak cepet mas, aku mau sampe," katanya.
Aku turuti
dia, kupercepat goyanganku. Kakinya makin erat mengunci pinggangku, dan ia pun
kemudian menaikkan pantatnya sehingga serasa aku menggendongnya. Penisku
ditekan kuat dan ia memelukku dengan erat, ia menghirup nafasku dalam ciuman
panasnya. Ia sudah orgasme, selama sepuluh detik kami berpelukan ia kugendong
dan penisku masih menancap di sana. Lalu ia turun. Penisku tercabut begitu
saja. Tampak penisku penuh dengan lendir. Mbak Juni aku peluk lalu aku balikkan
tubuhnya. Ia mengerti keinginanku. Mbak Juni menunggingkan pantatnya. Aku lalu
memasukkan penisku ke vaginanya tanpa susah. Dan aku lalu mendorongnya.
"OHhhh...mbak, pantat mbak enak....," kataku.
"Ohh...sodok
aku mas, sodok...terus!" katanya.
Aku sodok
pantatnya meja kerjaku bergoyang-goyang karena mbak Juni bertumpu kepadanya.
Dadanya bergoyang-goyang menggantung. Ekspresi wajahnya bisa aku lihat di kaca
yang terpantul. Matanya terpejam nikmat, dan ia menggigit bibir bawahnya sambil
mendesis. Aku lalu memegang toketnya dan kuremas-remas.
"Masss...ohh...enak...terus
mas....terusss," katanya.
Aku dorong
lagi lebih kuat, mbak Juni pun kemudian tengkurap di atas mejaku. Buah dadanya
melekat di mejaku yang kebetulan di atasnya ada kaca. Aku terus menyodoknya
kuat-kuat hingga sepertinya testisku mau berproduksi lagi.
"Mbak...mbak...aku keluar mbak," kataku.
"Ayo
mas, keluar...keluar bareng!!
AAHHH
AHHHH...penis mas keras banget.... kerass... aduhhh... enakkkk!" katanya.
"Mbak
ini mbak, terima pejuhku," kataku.
CREETTT
CREETTT CRREEETT CREEETT!!
Spermaku
memancar dengan beberapa kali tembakan. Dan aku menekan kuat hingga mungkin
sampai ke rahimnya. Mbak Juni memejamkan mata dan tampak lemas. Kudiamkan
sejenak hingga seluruh spermaku keluar dan habis. Baru setelah itu perlahan-lahan
aku cabut.
Perlahan-lahan
mbak Juni bangkit dari mejaku. Ia tersenyum dengan nafas
terengah-engah. Kami tutup aktivitas kami dengan berciuman panas. Mbak Juni membetulkan
bajunya dan mengambil tissue yang ada di mejaku untuk membersihkan spermaku
yang meleleh ke pahanya.
"Udah ah, kerja lagi," ia mengedipkan matanya kepadaku.
"Kalau
mau tidur dulu karena capek silakan lho," candaku.
"Ndak
ah, kalau tidur nanti malah dikerjai lagi," katanya.
Aku
menciumnya lagi, setelah itu kami beraktivitas seperti biasa.
****
Kak Vidia sore itu sedikit beda. Aku juga heran. Ia tak banyak bicara. Bahkan
setiap kali aku tanya kenapa ia tak menjawab. Malam itu aku sendirian tidur di
kamar, karena Kak Vidia mengunci dirinya di kamar. Aku tak mengerti, namun
kemudian saat tengah malam aku dikejutkan dengan Kak Vidia yang tanpa busana masuk
ke selimutku.
"Kak?"
sapaku. "Ada apa sebenarnya?"
"Berjanjilah
kepadaku satu hal dek!" katanya.
"Ada
apa?" tanyaku.
"Kakak
sudah melihat semuanya, semua video yang ada di dalam komputermu sudah kakak
lihat," jawab Kak Vidia. "Aku tak tahu kalau adekku ini sangat
terobsesi kepada keluarganya sendiri sejak dulu."
"Trus,
apa pendapat kakak?" tanyaku.
"Aku
ingin kamu berjanji kepadaku satu hal," katanya.
"Jangan
pernah tinggalin kakak, bunda dan Nur. Kalau misalnya kamu nanti menikah, maka
pasanganmu itu harus tahu keadaan kita seperti apa. Aku tak mau ia nanti
tersakiti karena melihat keadaan kita yang sesungguhnya. Kak Vidia juga tahu
kamu suka ama mbak Juni, bahkan kakak tahu kalau kamu sudah begituan juga
dengan mbak Juni, tapi apa mbak Juni tahu keadaan kita? Memang mungkin ia bisa
mencintaimu dek, tapi itu karena ia tidak tahu apa yang terjadi dengan kita
sebenarnya. Aku takut, hal itu malah akan membuatnya kecewa dan membencimu,
membenci kita. Ia memang sudah baik dengan kita selama ini, tapi pikirkanlah
lagi hal ini."
Aku terdiam. Kak Vidia lalu memelukku. Benar apa yang dikatakan kak Vidia.
Mungkin sudah saatnya aku hapus saja semua gambar dan video itu. Kak Vidia masih
memelukku dan kepalanya disandarkan ke dadaku.
"Malam ini, adalah masa suburku dek," kata Kak Vidia. "Sudah
tiga tahun kita
beginian, tapi belum juga berhasil. Kali ini Kakak sangat berharap." Tangan
kak Vidia menelusup ke dalam celana kolorku. Ia lalu memainkan isinya.
Diurut-urutnya penisku, penisku pun otomatis menegang. Aku mendongakkan
wajahnya, lalu menatap wajahnya dalam-dalam. Kemudian aku cium bibirnya, kami berpanggutan,
tangan kiriku memainkan putingnya yang berwarna pink itu. Walaupun kami sering
bercinta tapi buah dadanya sama sekali tak kendor, malah makin menantang saja
tiap hari.
"Hamili aku dek," bisik kak Vidia. "Berikanlah benih-benihmu ke
rahimku. Aku
rela." Aku kemudian membaringkan tubuhnya telentang. Kemudian kuciumi
lehernya, kuhisap, kujilat. Permainanku kali ini lebih panas dari malam-malam
sebelumnya. Aku menciumi dadanya, kupijat, kuremas, dan bergantian aku cupangi kiri
dan kanan, kemudian kuhisap puting pinknya bergantian. Aku juga gigit-gigit
kecil dengan gemas. Hal itu memberikan rangsangan yang membuat Kak Vidia
mengangkat punggungnya.
"Ohh...dekkk...enak
dek," katanya.
Tangan
kiriku beralih ke vaginanya, Kugesek-gesekkan jari telunjukku, kucari
clitorisnya dan kugesek-gesek. Kak Vidia makin bergairah, ia memelukku, tangan kanannya
masih meremas-remas penisku, aku kemudian menciumi ketiaknya, kujilati dan itu
membuatnya menggelinjang lagi. Aku ciumi tubuhnya bagian samping, lalu aku
hisap. Ia menggelinjang lagi. Kutelusuri seluruh tubuhnya dengan bibirku,
kemudian ke pahanya, hingga bibirku dan bibir kemaluannya bertemu.
"Ohhh...papah...terusin yaa..enaaakk...," kata kak Vidia.
Aku jilati
bibir kemaluannya, kuciumi, lalu tepat di klitorisnya aku sapu
lidahku di sana. Ia mengangkat pantatnya sambil memekik tertahan. Ia
remas-remas rambutku, seiring aku menjilati rongga-rongga vaginanya. Saat
lidahku menari-nari di dinding vaginanya, ia mengapit kepalaku, terkadang
menjambak rambutku.
"Deek...udah dong,..masukin aja dek, kakak udah ndak tahan," katanya.
Aku mematuhinya. Kini aku siapkan diriku di atasnya. Pakaianku kulepaskan
semua, aku lalu mengangkat sedikit pahanya, lalu lututnya aku pegang dan
kutekan hingga berada di samping kepalanya, pantatnya sedikit terangkat dan
aku berlutut, penisku sudah siap di depan mulut kemaluannya. Satu hentakan dan penisku
masuk.
"Ooohh....iya dek...papah...hamilin mamah ya..," katanya.
Aku goyang
pinggangku. Kak Vidia memejamkan matanya, merasakan kenikmatan ini. Ia
mengusap-usap dadaku, untuk memberikan kepadaku kenikmatan juga. Aku resapi setiap
rangsangan pada urat-urat penisku yang diremas-remas oleh vaginanya. Rongga
kemaluan kakakku benar-benar membuatku seperti terbuai oleh obat bius. Aku
kemudian melebaran pahanya dan ambruk di atasnya, kupeluk dirinya. Pinggangku
tetang bergoyang kali ini lebih cepat. Kedua bibir kami pun bertemu, saling
menghisap. Cukup lama aku bertahan dengan posisi itu, hingga entah berapa menit
kemudian kak Vidia orgasme, ia menjerit keras ketika orgasme. Mungkin kalau
saja ada orang di luar kamar akan kedengaran.
Tapi aku belum orgasme, mungkin karena tadi siang bercinta dengan mbak Juni. Sehingga
produksi spermaku sedikit terhambat. Aku lalu membalikkan tubuhnya. Kak Vidia
mengerti, ia menungging. Aku pun menyodoknya dengan doggy style. Puas dengan
doggy style, aku lanjutkan dengan WOT. Kak VIdia tahu kalau aku suka dengan
buah dadanya. Maka dari itulah ia membiarkan tanganku meremas buah dadanya dan
mempermainkan putingnya. Kak Vidia orgasme lagi. Karena pada dasarnya wanita
lebih banyak menyerah kalau melakukan WOT. Kalau ingin cepat punya anak ada dua
macam gaya, yaitu doggy style bagi yang rahimnya sulit dibuahi, dan gaya
misionari bagi yang mudah dibuahi. Itu hanya mitos sih. Aku tak peduli, aku
kemudian pakai gaya misionari. Aku peluk kakakku dengan erat dan kugoyang
pantatku. Karena sepertinya sudah mentok ingin keluar.
"Kak...aku mau keluu....aaarrr....oohh...ini..ini..," kataku.
"Iya
pah, mamah udah mau keluar lagi," kata kak Vidia.
"Papah
ngecreeeettt....ohh...bunting dah kamu, bunting kamu kak Vidia,
oh...kakakku yang punya puting pink, tubuh semok, tubuh mulus, rasain pejuh
panasku!" kataku.
"OOhh...papah,
kak Vidia dientot adek sendiri....enakkk....kuterima
pah...penismu enakkk....aawwww!!" kak Vidia tampak matanya memutih, serasa
iamerasakan sperma hangatku membasahi ruang rahimnya. Penisku serasa ngilu sekali.
Baru kali ini aku bercinta seperti ini. Aku diamkan posisi ini beberapa saat.
Kemudian penisku mengecil sendiri, seluruh energiku rasanya habis,
tulang-tulangku rasanya mau copot.
Kak Vidia
kemudian mengambil bantal dan mengganjal pinggangnya.
"Kenapa
kak?" tanyaku.
"Ini
katanya biar cepat hamil," jawabnya.
Kami
kemudian tidur dalam satu selimut. Kupeluk dia hingga pagi menyapa.
***
Memang mungkin semestinya aku jujur kepada mbak Juni. Aku perlu waktu
memikirkan itu. File-file video dan gambar hasil keisenganku sudah aku hapus semuanya
semenjak hari itu. Mungkin sudah saatnya aku full mencintai semua keluargaku
dan mulai mencari pendamping hidup. Tapi tidak mudah seorang wanita mau
menerima keadaanku yang seperti ini.
Tiap kali bertemu dengan mbak Juni aku kini agak lain. Selalu terdiam. Atau
kadang pikiranku menerawang. Mbak Juni pun mencium ketidak beresan ini. Ia selalu
bertanya kepadaku ada apa, tapi aku menjawab aku belum bisa
mengatakannya sekarang.
Kuubah konsentrasiku kepada pekerjaan. Tapi tak bisa. Tiap hari aku bertemu mbak
Juni dan setiap ada kesempatan kami pasti bercinta. Baik ketika keluar kota, di
kantor atau bahkan kami menyewa kamar hotel untuk bermalam.
Kak Vidia pun hamil, ia mual-mual pada hari itu. Dan ia memberikan hasil
testpack-nya kepadaku. Betapa senangnya aku. Kak Vidia lebih senang lagi.
Sebentar lagi aku bakal jadi ayah dari dua orang anak. Tinggal bunda yang
belum. Padahal beliaulah orang yang pertama kali aku setubuhi. Tapi karena ia sering
keluar kota dan beberapa waktu ini sibuk untuk mengurus bisnis
waralabanya, akhirnya hubunganku dengan bunda libur sejenak.
Ketika aku ke kantor bertemu mbak Juni ia pun mengabariku sesuatu yang lebih mengejutkan
lagi. "Aku hamil mas." Aku sangat senang sekali bahkan hampir tak
percaya. "Tok cer ya?"
"Habis
kita sering begituan, ndak kenal tempat. Aku yakin ini jadinya waktu di
hotel kemarin itu," katanya. "Kalau hitunganku tak salah lho
ya."
Mungkin
sekarang saat yang tepat aku mengatakannya.
"Trus,
bagaimana hubungan kita selanjutnya? Mau serius?" tanyaku.
"Hmmm...gimana
ya, masa' atasan mengawini bawahan?" ia bertanya kepadaku dengan nada serius
campur bercanda.
"Terserah
kamunya, tapi kalau pun engkau tak mau aku tetap akan bertanggung jawab atas
anak itu," kataku.
"Tentu
aku mau serius," katanya.
"Baiklah,
cuma aku ingin cerita sedikit tentang diriku. Kalau kamu bisa
menerimaku, maka kita lanjut. Kalau tidak maka itu semua kembali kepada
dirimu," kataku.
Mbak Juni
serius mendengarkan ceritaku. Tentu saja ia sangat kaget mendengar penjelasanku
tentang masalah mother complex dan sister complex. Ia bahkan hampir saja tak
percaya terhadap apa yang terjadi. Saat itulah ia pun menangis. Ia tak percaya
aku adalah orang seperti itu.
"Inilah aku mbak, aku jujur kepadamu sekarang. Aku tak ingin menyimpannya
lagi. Kalau mbak menerimaku, maka kita lanjut dengan segala kekuranganku.
Kalau mbak tidak bisa menerimaku, maka aku bisa mengerti," kataku.
"Aku tak percaya aku bertemu dengan lelaki sepertimu, lalu kenapa kamu
melakukannya sama mbak? Aku tak bisa menerimanya, tapi....aku bingung, anak ini
bagaimana?" katanya.
"Aku tetap akan bertanggung jawab, mbak tidak perlu khawatir,"
kataku.
"Bukan
masalah itu, aku takut ketika ia bertanya kepadaku tentang seperti apa ayahnya,
apa yang bisa aku jawab?" tanyanya.
"Kita
akan lewati bersama mbak, aku sudah berjanji kepada diriku sendiri
apapun yang akan terjadi aku tetap akan menerima mbak, baik mbak menolakku atau
apapun aku akan selalu ada buat mbak," kataku.
Mbak Juni
menarik nafas panjang. "Aku perlu berfikir, sebab ini tak mudah
bagiku. Maaf mas, mungkin aku harus menyendiri dulu untuk sementara
waktu."
Itulah kata-kata terakhir yang aku dengar dari mbak Juni. Sebab setelah itu ia
tak masuk kantor lagi. Dan setelah beberapa minggu ia pun mengajukan surat pengunduran
diri. Sungguh aku terpukul sekali. Apalagi mbak Juni adalah orang kepercayaan
bunda sejak dulu. Ponselnya tidak aktif lagi, bahkan kontak BBMnya pun tidak
aktif. Ia bagai menghilang begitu saja.
Peristiwa itu pun aku ceritakan ke seluruh keluargaku. Bunda lalu menghiburku. Kak
Vidia juga, dan Nur. Mereka membesarkan hatiku bahwa sulit untuk mencari wanita
yang bisa menerima apa yang kita punyai sekarang.
BAB 6
*****************
TETANGGAKU DIAN
Aku mulai
membangun rumah sendiri, terlebih ketika Nur melahirkan anak
pertama kami yang imut dan lucu. Berjenis kelamin perempuan. Anaknya sangat montok.
Kami semua bahagia dan usia kehamilan Kak Vidia pun udah masuk ke empat bulan,
mulai kelihatan perutnya membuncit.
Aku bangun rumah sendiri untuk Kak Vidia, juga Nur. Walaupun tak begitu mewah seperti
rumah kami sekarang, tapi cukup untuk membangun rumah tangga di sini. Posisinya
juga tidak terlalu jauh, masih satu kota walaupun beda perumahan. Identitasku
sekarang kuubah, agar hubungan incest kami tak ketahuan. Kami membayar beberapa
orang pengurus catatan sipil untuk bisa memalsukan identitasku. Dan sekarang
aku pun punya tiga istri. Yang mana aku harus adil dalam membagi jatah.
Aku benar-benar ingin membahagiakan mereka semua. Terutama bunda. Jatah bunda sekarang
lebih banyak. Ini adalah inisiatif dari Nuraini dan kak Vidia. Mereka sepakat
untuk melakukannya. Mereka malah yang menyemangati bunda agar bisa menyusul
mereka.
"Rumah jadi sepi ya Don, semenjak kedua saudarimu ke rumah mereka
masing-masing," kata bunda.
"Ini
kan juga untuk membahagiakan bunda juga, kalau semuanya di sini bingung ngurus
cucu-cucunya bunda," kataku. Bunda memakai kerudung lebarnya dan ia sedang
duduk di sofa ruang tamu sambil
melihat halaman dari jendela. Walaupun sekarang usianya sudah kepala 4, tapi tubuhnya
masih sintal. Masih bagus, beliau sering melakukan perawatan tubuh, aku bisa
melihatnya sendiri. Ini adalah hari pertamaku membagi jatah ke bunda. Karena
aku dapat jatah 4 hari di rumah bunda.
"Masih belum ada kabar mengenai mbak Juni, Don?" tanya bunda.
"Belum ada, Doni sudah cari kemana-mana tapi tidak ketemu. Rumahnya yang
dulu pun sudah sepi tak ada barang-barang apapun. Dia seperti hilang ditelan
bumi," jawabku. "Aku menyesal sekali sepertinya."
"Kalau dihitung berarti usia kehamilannya hampir sama seperti Vidia,"
kata bunda. "Lebih muda dikit."
"Iya,"
kataku singkat.
"Tapi
jangan khawatir. Kalau ia mencintaimu, ia pasti akan mencarimu, atau
bahkan ia tak akan bisa melupakanmu. Ia cuma belum siap menerima keadaan ini. Kau
sendiri tahu kan? Ia masih mencintaimu bunda yakin karena bunda ini juga wanita,"
kata bunda menghiburku. "Bunda yakin ketika nanti anaknya lahir engkau
pasti akan diberi tahu, bahkan mungkin bunda yakin ia pasti akan menerimamu apa
adanya."
"Bagaimana
bunda bisa yakin?" tanyaku.
"Sebab,
Juni itu sudah suka kepadamu sejak lama. Bunda tahu itu, saat
melihatmu ia sering melamun dan senyum-senyum sendiri. Bahkan ketika kalian berhubungan
wajahnya lebih sumringah daripada sebelumnya. Ia memang janda muda, tapi ia
masih memiliki cinta. Dan ia baru saja menemukan cinta sejatinya," kata
bunda. "Sebagaimana bunda juga masih mencintai ayahmu sampai sekarang walaupun
sudah ditinggalkan. Dan sekarang bunda melihat sosok ayahmu pada dirimu. Bunda
makin cinta kepadamu."
Aku menghampiri bunda dan duduk di sebelahnya. Tanpa dikomando aku mencium
bibirnya. "Bunda tahu, apapun yang
bunda lakukan, tubuh bunda tetap menarik bagi Doni," kataku.
"Kamu
sudah kepingin?" tanyanya.
"Kalau
melihat bunda rasanya kepingin terus," jawabku.
Kami
berpanggutan lagi dengan hot. Lidah kami menari-nari saling menghisap. Aku
membuka kancing gamisnya, kulepas gamis itu, branya juga kulepas. Bunda menarik
T-Shirt-ku dan menurunkan celana trainingku.
"Isep dong bunda," kataku.
Aku
berdiri di hadapannya. Bunda duduk di sofa ia majukan wajahnya dan melahap penisku.
Ia mengulumnya dengan ganas. Ia jilati ujungnya, lalu ia kulum lagi, tangan
kirinya aktif meremas-remas testisku. Tangan kanannya mengusap-usap perutku,
lalu terkadang memijat-mijat batang penisku, mengurutnya dan mengocoknya
lembut.
"Ohhh...bunda....hhmmhhh...,"
Bunda masih memakai kerudungnya. Beliau agak aneh dengan fantasiku yang bercinta
dengannya tapi memakai kerudung. Tapi ia sama sekali tak masalah dengan itu.
Berkali-kali spermaku harus aku keluarkan di wajahnya di saat oral mengenai
kerudung hitamnya. Ia menganggap fantasi sex tiap lelaki berbeda. Ia pernah
bercerita kalau fantasi sex ayah dulu adalah ngentotin bunda di kebun atau di
alam terbuka. Bahkan katanya hamilnya anak pertama dulu, karena mereka berhubungan
intim di pegunungan. Pantas saja Kak Vidia suka banget hiking.
Sedangkan aku? Bunda menceritakan sesuatu yang tidak pernah diceritakan kepada Kak
Vidia maupun Nuraini. Yaitu ayah pernah menyukai keponakannya sendiri. Dan ia
jujur kepada bunda. Karena itulah bunda bersedih. Setiap bercinta selalu yang ada
pada bayangan ayah adalah keponakannya itu yang bernama Laura. Aku pernah
bertemu sepupuku itu tapi sudah lama, sekarang ia punya anak bernama Anisa. Dan
boleh dibilang ayah pernah sekali bercinta dengan keponakannya itu, tapi tidak
sampai hamil. Bunda terpukul dengan itu, namun ketika melihat bunda hamil
diriku, akhirnya ayah pun mengakui dirinya salah dan akhirnya mulai
menyayangiku seperti anaknya. Mungkin karena itulah sifatku seperti ini. Dan
secara tak disangka aku sangat mirip ayahku.
Hari ini aku tak mau menyia-nyiakan spermaku, aku ingin semua spermaku tumpah di
rahimnya. Kita punya banyak waktu hari ini. Aku ingin mengentot bunda sampe ngilu
penisku. Maka dari itulah, sebentar saja bundaku mengoralku. Aku sekarang sudah
menciumi seluruh tubuhnya. Kujilati dadanya, kuhisap kuat-kuat putingnya hingga
mengeras. Bunda mengeluh. Ku hisap pula klitorisnya kumainkan dan kugigit
gemas. Bunda makin tergelepar-gelepar seperti ular. Berkali-kali ia berusaha
mendorongku karena rangsanganku telalu membuatnya geli. Dan bunda pun orgasme
hingga menjambak rambutku kuat-kuat. Nyaris itu rambutku dicabut dari
tempatnya.
"Don...kamu bener-bener lain hari ini, rasanya nafsuin banget,"
katanya. Aku tersenyum. Aku kemudian melumat bibirnya. Punyaku pun langsung
kumasukkan sambil kutekan. Bunda kaget dan tersentak. Pinggulnya terangkat.
Saat itulah aku menggoyan tubuhnya, ku benamkan sedalam-dalamnya otongku hingga
mentok. Bunda mengeluh lagi. Kami berpelukan erat, kerudungnya masih menempel
dan aku menghisap lidahnya. Ia mencakari punggungku ketika kenikmatan demi
kenikmatan menjalar di selakangan kami.
"Don..enak...bunda keenakan... terusss... ssshhh.. .aahhh... hhmmmhh,"
katanya. Aku konsentrasi di bawah sana. Aku terus mengobok-obok vaginanya
hingga dia kayaknya hampir orgasme lagi, dahinya mengerut, alisnya menyatu dan
ia menatap mataku. Mulutnya membentuk huruf O.
"Bunda...ohhh mau keluar....," katanya.
"Bunda
keluar? keluar aja bunda," kataku. "Papah masih belum."
Bunda pun
mengapit pinggangku erat-erat. Pantatnya bergetar, kuku-kukunya
menggaruk punggungku, ia memelukku erat seakan tak ingin melepaskanku. Kutunggu
hingga bunda merasakan rilex sejenak dan pegangannya melemah. Kubalikkan
tubuhnya, kini ia menungging di sofa. Aku kemudian menghujamkan penisku ke vaginanya
dari belakang. Bunda bertumpu pada pinggiran sofa. Ia masih mengeluh ah dan
uh...saat kusodok ia mengimbangiku dengan memaju mundurkan pantatnya. Rongga
kemaluannya menggesek setiap syaraf kemaluanku, membuatku terbuai oleh ekstasi
persetubuhan yang panas. Pantatnya yang montok memberikan sensasi tersendiri
kepada area pribadiku. Testisku berkali-kali menghantam bibir vaginanya karena
aku menyodoknya sampai dalam. Yang aku suka dari ketiga keluargaku adalah
vagina mereka benar-benar bisa meremas penisku. Bunda juga demikian. Aku
meremas-remas toketnya ketika menusuknya. Sesekali ku remas juga bongkahan
pantatnya yang bahenol itu. Puas dengan doggy style, aku lalu berbaring.
Kami berhadapan. Pahanya kuangkat, penisku masuk lagi. Vagina bunda udah sangat
becek. Dada kami berhimpitan, terasa debaran jantung kami. Bunda sudah lelah,
ia hanya bisa menerima panggutanku saja dan mendesis pelan. Aku pelan-pelan
menggesek kemaluanku keluar masuk. Sambil aku mantapkan tusukanku, rasanya
kepala penisku geli sekali.
"Don, bunda rasanya ngilu banget, belum keluar juga?" tanya bunda.
"Ini
mau keluar bunda. Peluklah Doni. Peluk yang erat bunda," kataku.
"Ohh...papah,
keluarkan pejuh papa yang banyak yah buahin bunda," katanya. Pantatku
kugoyangkan agak cepat, kepala penisku sudah gatal ingin menyemburkan sperma.
Makin cepat-makin cepat, bunda pun memelukku 1erat sekali, dan kami pun orgasme
bersamaan lagi. Bunda melingkarkan kakinya ke pinggulku, aku menghujam penisku
dalam-dalam sampai mentok, dan semburan demi semburan cairan kental membasahi
rahimnya.
"Ohh...bunda udah lama tidak merasakan ini. Enak....enak banget...,"
katanya. Orgasme itu serasa sangat lama, penisku benar-benar ngilu. Kubiarkan
penisku di dalam kemaluannya, hingga mengecil sendiri. Kami pun tertidur di
sofa. Kelelahan. Senggama yang hebat. Hari itu kami tak pernah habiskan waktu
yang sia-sia. Bercinta, bercinta dan bercinta. Berbagai gaya kami coba. Kami
istirahat hanya untuk makan, tidur dan mandi. Kemudian bercinta lagi. Empat
hari yang tidak sia-sia. Hampir tiap hari kami tidak pakai baju. Dan hampir
tiap waktu kami hanya bicara dengan sentuhan, rayuan dan cumbuan.
****
Keesokan harinya aku ke tempat Nur. Ia sangat kangen denganku. Ia juga senang dengan
buah hati kami dan setiap hari bermain dengannya. Aku menyewa seorang pembantu
yang membantunya di rumah. Kebetulan ia juga adalah tetanggaku sendiri namanya
Dian.
Dian ini orangnya imut. Rambutnya seleher. Bibirnya tipis. Suaminya bekerja
sebagai buruh pabrik dan ia ini pengantin baru. Entah bagaimana cepat sekali
ia akrab dengan Nur. Bahkan sering aku dengar mereka ketawa ketiwi sendiri
kalau sedang ngerumpi. Pekerjaan Dian juga telaten. Semua pekerjaannya rapi dan
bersih. Semuanya OK, tapi ada satu yang tidak. Apa itu? Pakaiannya itu lho.
Kalau bekerja di rumah, ia selalu pakai baju lengan pendek dengan
ketiaknya yang bisa dilihat. Bagian atasnya sangat longgar sehingga kalau ia
membungkuk aku bisa melihat toketnya yang menggantung dan kulitnya yang putih. Ditambah
ia pakai hotpants. Dan ia tidak risih.
Bisa jadi pakaiannya itu agar ia mudah untuk bekerja. Mungkin Dian tidak tahu kalau
aku selalu melihatnya ketika bekerja, dan pelampiasanku, tentu saja ke Nur. Nur
hanya mengira aku memang lagi kepengen karena lama tidak menyentuhnya tapi
sebenarnya bukan itu sih. Satu atau dua
kali kuanggap wajar, tapi karena sudah berkali-kali akhirnya aku
kepingin juga ngentotin dia. Tapi bagaimana caranya? Aku sudah membuang
kloroformku dulu. Dan tak mungkin pakai cara itu. Dan sebenarnya peristiwa ini kebetulan
saja sih. Kebetulan inilah yang membuat Dian akhirnya takluk juga.
Suami Dian yang buruh pabrik itu sering pergi jam 5 sore pulang jam 5 pagi.
Jadi malam hari ia sering tidak di rumah. Pagi hari sampai sore selalu di
rumah, sedangkan pagi sampai sore Dian bekerja di rumah kami. Karena frekuensi jarang
ketemu inilah yang membuat kebutuhan Dian akan urusan ranjang kurang. Mereka
jarang main, kecuali di hari minggu. Ini kuketahui nanti.
Di RT kami kebetulan pak RT-nya mengadakan inisiatif untuk mengadakan ronda. Ronda
ini selalu digilir oleh bapak-bapak kampung. Namun sekali pun tidak ada jadwal
boleh koq siapa saja ikutan. Pos rondanya agak jauh sih dari rumah kami, ada di
ujung jalan.
"Mah,
papah mau ikutan ronda," kataku.
"Lho,
emang jadwalnya?" tanyanya.
"Hehehe,
nggak sih kebetulan kepengen nonton bola bareng di pos ronda. Jadi ya sekalian
saja ikutan ama bapak-bapak di sini biar akrab," alasanku. Aku lalu
melihat anakku yang sedang lucu-lucunya tampak bicara sendiri. Aku
lalu mengajaknya bicara sampai ketawa. Nur tampak senang sekali melihat polah tingkahku
yang bercanda dengan anakku.
"Udah ah pah, ntar malah ndak tidur-tidur dibecandain melulu," kata
Nur.
"Papah
gemes banget ama pipinya ini lho," aku lalu mencium anakku.
"Apa
sih sayang? Ikut papah yuk, nonton bola di pos kamling. Hehehe, ketawa
lagi." Nur lalu memelukku dan mencium pipiku. "Udah, berangkat
sana!" Ia mengusap-usap pipiku.
"Agak
nanti aja, masih jam 9 koq," kataku.
"Kalau
ndak berangkat sekarang ntar malah ndak tidur-tidur Si Laila," kata Nur sedikit
ngambek. "Dari tadi siang dibecandain melulu soalnya."
Aku lalu
bangkit dan mencium kening Nur. "Ya udah, berangkat dulu."
Aku mengusap
kepalanya.
"Pah,
mamah cinta kamu," kata Nur.
"Papah
juga koq," kami berpisah dengan berciuman bibir untuk sepuluh detik.
Aku selalu melakukannya kalau ingin pergi keluar rumah. Hal itu menambah
kemesraan kami. Dan pernah sih hal ini ketahuan ama Dian. Dan ia buru-buru
menyingkir. Aku pun pergi keluar rumah. Di pos kamling aku bertemu dengan
beberapa orang bapak-bapak yang juga tidak ada jadwal ronda tapi ikutan ronda.
Di perumahan ini memang belum ada satpamnya, makanya kami mengambil inisiatif
seperti ini. Pertandingan bolanya sih jam 2 malam. Dan kami sudah mengobrol
ngalor ngidul sampai jam 12. Entah kenapa waktu itu udara dingin banget,
sehingga aku lupa bawa sarung. Mau pulang dulu ambil sarung. "Awas pak
Doni, nanti kalau udah pulang takutnya ndak bisa balik lagi. Hawanya dingin
banget," kata salah satu bapak-bapak. "Kayaknya sih begitu,"
candaku. Kemudian disambung ketawa bapak-bapak yang lain. "Maklum pak, penganten baru ya seperti
itu," sahut yang lain.
Aku pun
segera menuju rumahku. Perumahan ini benar-benar sepi kalau malam. Ndak ada
satu pun penjual makanan yang lewat. Aku kemudian sudah sampai di rumah. Namun
tampak tetanggaku Dian sedang ada di luar rumah membawa senter dan menerangi
sekering listriknya di luar rumah. Lampu rumahnya mati. "Kenapa
mbak?" tanyaku.
"Ini
mas, listriknya mati, bingung nyalainnya gimana," jawabnya. Ini mungkin
kesempatannya. Pikirku.
Agak tak
jelas sih ia pakai baju apa, karena gelap.
"Boleh
saya bantu?" tanyaku.
Ia diam
sejenak. Mungkin berpikir panjang, karena aku bukan suaminya. Tapi
kemudian ia mempersilakan. Aku lalu meminta gunting dan obeng. Kulihat
kabel sekringnya putus. Kusuruh untuk mencabut seluruh peralatan listrik
kemudian aku mengambil kabel dan membetulkan listriknya. Setelah sekeringnya aku
betulkan di bawah sorot lampu senternya dan terus terang bau parfumnya sangat
menggoda, akhirnya listriknya bisa nyala lagi. Aku memperbaiki sekering di
dalam rumahnya, dan tentu saja karena hawanya dingin pintu tertutup.
"Makasih ya mas, malah merepotkan," katanya.
"Oh
tidak masalah," jawabku. Dan saat itulah aku terkejut karena tiba-tiba
tvnya nyala dan kulihat tampak ada adegan bokep. Rupanya ia lupa mencabut saklar
tv dan DVD-nya. Walaupun tidak bersuara otomatis kami berdua tahulah film apa
itu yang sedang diputar. Wajah Dian memerah, ditambah lagi di meja aku
menemukan sesuatu yang mirip penis. Dildo!?
Dian yang memakai sarung itu buru-buru mematikan dan mengambil dildonya lalu masuk
ke kamar. Aku tersenyum aja. Barangkali ia sedang mastrubasi sambil nonton film
itu kemudian lampunya mati. Tak berapa
lama kemudian ia keluar kamarnya. Wajahnya memerah, ia sepertinya
malu sekali. "Yang tadi maaf ya mas."
"Tidak
mengapa aku tahu koq kebutuhan wanita itu seperti apa," kataku.
"Maklum,
Mas Joko sering keluar malam, jadinya ya ini satu-satunya pelampiasan kalau
sedang sendiri," katanya sambil sedikit tertawa kecil.
"Tadi
sudah tuntas belum?" candaku.
Dian
bingung menjawab, lalu ia menggeleng.
"Trus
kalau belum apa yang dilakukan habis ini? Melanjutkan?" tanyaku.
Ia
mengangguk, sebentar kemudian menggeleng, sebentar mengangguk lagi. Ini kesempatan
bagiku, setan sudah menguasai otakku. Aku lalu mendekat dan memeluknya, ia
kaget dan menatap wajahku.
"Mas,
jangan mas. Bagaimana dengan mbak Nur?" tanyanya.
"Kamu
mau dituntaskan tidak?" tanyaku. "Ndak enak kalau main sendiri."
"Tapi
mas, a..aa..ku...," ia kaget ketika aku mencium keningnya. Kemudian
pipi, hidung dan bibirnya. Kami berciuman hot. Awalnya ia diam, lama kelamaan ia
memanggut juga. Ia menghisap mulutku dan ia sangat panas mainnya. Ia sangat ahli
dalam frenchkiss. Aku pun meraba dadanya yang ternyata tak memakai bra, aku
bisa merasakan putingnya mengeras. Sarungnya aku lepaskan hingga jatuh ke
lantai. Ia pun menarik kaosku ke atas dan menciumi dadaku yang bidang. Ia
mengusap-usap dadaku dan menciumi dadaku hingga ke perut, lalu ia buka celanaku.
Burungku langsung melompat keluar saat ia menurunkan celana dan CD-ku. Ia
berhenti sejenak.
"Pantas mbak Nur suka sama mas, ininya gedhe banget, aku sudah horni
banget mas, maaf ya mbak Nur," kata Dian. Ia pun melahap penisku, dikulum
dan disedot. Dimainkan kepala penisku. Mendapat perlakuan ini aku pun memegangi
kepalanya dan memaju mundurkan penisku. Dian sangat ahli sekali. Tidak butuh
waktu lama untukku bisa menarik bajunya ke atas, ia sekarang sudah tak memakai
baju lagi. kepalanya maju mundur sambil melirik ke arahku yang mengamatinya. Ia
bahkan terkadang melakukan deep throat. Yang membuatku makin melayang. Setelah
aku beri kode ia untuk berbaring di sofa ia pun menghentikan oralnya. Ia
menarikku kemudian terjadilah pergumulan di sofa. Aku memastikan kalau dadanya
ukurannya hampir sama seperti Nur, tapi lebih kecil sedikit dengan puting yang
sudah mengeras seperti kacang berwarna coklat.
"Ohh...mas...puasin aku mas," katanya. Tanpa dikomando aku sudah
menyusu kepadanya. Menghisap dan memainkan puting susunya sambil meremasnya
bergantian. Dian menggelinjang dan memeluk leherku. Tanganku yang lain sudah
mengobok-obok vaginanya. Kuusap-usap bibir memeknya, lalu jari tanganku leluasa
masuk ke dalam lubangnya yang udah basah, sisa-sia mastrubasinya tadi.
"Ohhh...mass...baru kali ini ada jemari lelaki lain masuk di sana,"
katanya. Aku gesek-gesek sambil kumainkan buah dadanya yang berwarna putih itu.
Kemudian aku naik ke lehernya, lalu menyusuri pipi dan kugigiti telinganya.
Hal itu membuatnya makin terangsang ia pun mengigiti telingaku. Aku lalu ke
bawah, dan kuciumi perutnya, selakangannya, pahanya, kemudian kulahap juga itu bibir
memeknya yang berwarna pink kecoklatan.
"Ahhkk...enak mas, enak...ahhkk terus..!!" katanya. Kuhisap dan
kuemuti bibir
memeknya, lalu lidahku menyapu sampai ke ujungnya dan kutemukan daging
menonjol. Klitorisnya itu bisa kurasakan dengan lidahku, ujung lidahku
merasakan asinnya lendir kewanitaannya yang terus memancar setiap kali aku mengusap-usap
klitorisnya. Pantat Dian terangkat dan ia terus-menerus
mendesis.
"Udah mas, udah...Dian mau keluar...mau keluar...jangan
digituin...geli...geli
mas...udahh...aduuuuhh....pipis deh...mas nakaaal..memek dian basah
deh....aaaahkk!" Dian menggelinjang hebat dan mengangkat pantatnya
tinggi-tinggi. Aku biarkan ia sejenak. Dian meringkuk seperti bayi. Sesekali pantatnya
maju mundur sendiri. Ia seperti ulat kesetrum. Matanya memejam erat, bibir
bawahnya digigit dan tangannya memeluk lututnya. Aku siapkan senjataku
sekarang. Ia tak kuijinkan berlama-lama menikmati orgasmenya. Aku lalu mengatur
posisi. Lututnya aku angkat sampai ke pundaknya, buah dadanya aku atur hingga
ia seperti menjepit dadanya sendiri. Dengan begitu memeknya terlihat jelas. Aku
bertumpu pada lututku, kemudian penisku cukup aku tekan sedikit dan masuk begitu
saja. Tapi...ada sesuatu yang aneh. Di dalam sana penisku seperti merobek
sesuatu. BRETT...!!
Mata Dian terbelalak. Ia menatapku agak berkaca-kaca, mulutnya ternganga. Ia melingkarkan
tangannya ke leherku.
"Mass...perih...,"
katanya.
"Lho,
kamu masih gadis?" tanyaku.
"Tidaklah
mas, sudah dipake koq," jawabku.
"Lha
trus ini?" tanyaku.
"Aku
tidak tahu, mas Joko penisnya kecil, ndak sampe penuh masuknya. Aku juga kaget
lihat penis mas segitu, ndak tau tapi aku kerasa perih," jawabnya.
Mungkinkah
penis suaminya ndak sampai merobek selaput daranya? Kalau iya, ini rejeki yang
langka. Aku lalu menggoyangnya pelan-pelan. Tarik, tekan, tarik, tekan. Biar ia
tak terlalu sakit dulu.
"Yang cepat aja mas, ndak apa-apa!" kata Dian.
Aku pun
mengikutinya. Kupompa agak cepat. Dian pun bereaksi. Ia mengeluh, menggelinjang.
Matanya terpejam, bibirnya menggairahkan sekali, berkali-kali aku menghisapnya.
Wajahnya meringis seperti kesakitan padahal ia terasa nikmat. Memeknya
benar-benar meremas-remasku dan menyedot-nyedot seperti vakum. Sepertinya Dian
ini benar-benar masih gadis, aku tak peduli. Hal ini membuatku makin kepingin
cepat keluar saja.
"Dian...keluar nih," kataku.
"He-eh
mas, keluarin aja...barengan yuk," katanya.
"Ohh...Dian...kamu
sexy sekali, mas kepengen ngentotin kamu
terus...keluar..kkellluuuaaarr!!" aku menjerit.
Dian pun
menjerit, "Maasss....aaahhkk!"
Spermaku
pun tumpah di rahimnya. Ia memelukku erat untuk beberapa saat hingga kemudian
ia lemas. Aku lalu menarik penisku. Saat itulah aku melihat sesuatu yang aneh.
Cairan sperma yang meleleh dari lubang memeknya bercampur bercak darah. Ia
beneran masih gadis ternyata. Lha trus? Sebesar apa sih penis suaminya sampai
ndak bisa menjebol milik istrinya sendiri??
Untuk beberapa saat kami terdiam. Dian sedang menikmati multiple orgasmenya. Tampak
wajah kepuasan terpancar dari wajahnya. "Mas,
makasih ya, udah nemenin aku malam ini," katanya. Ia pun kemudian
bangkit dan melihat bercak darah bercampur sperma di sofanya. Diambilnya
tissue lalu dibersihkannya noda itu.
"Koq bisa kamu masih perawan?" tanyaku.
Ia
kemudian memelukku sambil bercerita. Ceritanya sih ia dan suaminya sudah pacaran
lama. Dan setelah menikah ia baru tahu kalau penis suaminya kecil. Meskipun
kecil, mereka pun bisa koq terpuasi di ranjang. Malam pengantin mereka lewati
seperti layaknya suami istri. Memang awalnya sakit banget ketika penis suaminya
masuk. Tapi tidak seperti teman-teman wanitanya yang bercerita kalau malam
pengantin itu sakit ketika selaput daranya robek. Namun robeknya seperti apa
Dian tidak tahu. Yang jelas awal dimasuki memang perih, setelah itu ia
terbiasa. Namun entah kenapa ketika baru saja melakukan denganku rasanya perih
banget sampai merasa ada yang robek. Aku menduga suaminya memang tidak pernah
merobek selaput daranya. Ketika ia memberitahu ukuran penis suaminya aku pun
terkejut. Sangat kecil, seperti penisnya anak kecil. Dian memang heran karena
ketika ia lihat bokep sendiri bule-bule punya penis besar. Awalnya ia tak
protes, karena mungkin rata-rata orang Indonesia sama bule berbeda. Tapi ia
baru sadar ketika melihat penisku ternyata punya suaminya jauh lebih kecil. Ia
pun bercerita karena suaminya jarang dirumah ia seperti jablay.
"Oh begitu ceritanya, kenapa ndak dibawa ke dokter aja tuh, biar penis
suamimu gedhe?" tanyaku. "Orangnya kolot mas, ia biasa-biasa saja
punya penis sebesar itu. Seperti ndak ada beban," katanya. Dian kemudian
memain-mainkan penisku. "Aku jadi ketagihan ama punyamu mas, gimana
nih?"
Ia mengusap-usap kepala penisku dengan telunjuknya. Penisku otomatis berdiri
lagi. "Kalau mau, tiap ada
kesempatan boleh koq," jawabku.
"Maaf
ya mbak Nur, tapi penis suamimu emang menggoda, mmuuuacchh...," ia mencium
penisku. Aku remas dadanya lagi. Kami berpanggutan. Libido kami naik lagi. Kali
ini Dian jongkok di atas tubuhku. Ia duduk di atas penisku. Sengaja tak dimasukkan,
hanya digesek-gesek. Sepertinya ia sedang mengujiku. "Enak mas, kalau
diginikan?" tanyanya.
Aku yang bersandar disofa ini segera menyusu kepadanya. Kuremas-remas
pantatnya dan tanganku satunya mengarahkan penisku ke lubang memeknya. Dan SLEB....
"Aww...aww..mass...ohh...,"
keluhnya.
Pantat
Dian naik turun memompa penisku.
Aku tahu
pada posisi ini wanita lebih cepat keluarnya. Aku tetap sabar untuk bisa
memberikan kepuasan kepadanya. Buah dadanya naik turun, kadang-kadang
menampar-nampar bibirku. Aku jadi gemas sehingga memencet dan menghisap puting
susunya dengan mulutku. Ia kelonjotan dan makin beringas. Tak hanya naik turun,
ia juga memutar-mutar pantatnya.
"Mas, koq cepet keluar ya? Aduh...udah mau keluar lagi....aahhhhkk,"
Dian
menghentikan aktivitasnya. Ia benamkan penisku dalam-dalam ke rahimnya. Ia memelukku
erat seperti orgasmenya tadi. Perlahan-lahan aku mencabut senjataku. Kubimbing
Dian untuk menungging di sofa. Ia mengerti apa yang aku inginkan. Aku berdiri
dan pantatnya diangkat. Kubuka kakiku untuk menyesuaikan tingginya. Lalu
kuarahkan pionku menuju sarangnya. Dengan satu sentakan ia mengeluh dan
menengadahkan kepalanya.
Pantatnya kusodok berkali-kali. Sensasinya nikmat sekali. Sesekali aku meremas toketnya
yang bergerak naik turun seiring goyanganku itu. Rambut Dian sudah awut-awutan.
Tangannya bertumpu kepada sofa, sesekali sofa di ruang tamu itu terdorong
karena hentakanku.
"Mas, mentok mas, penis mas kerasa penuh," katanya.
"Memekmu
juga, rasanya enak," kataku.
"Aduhhh...enak
mas, mas...ahhh....ohh."
Aku
percepat goyanganku. PLOK PLOK PLOK PLOK, suara pantat Dian beradu dengan selakanganku.
Kepalanya menggeleng-geleng, ia tampak merasakan nikmat yang luar biasa.
"Mas...Dian
mau keluar lagi," katanya.
"Aduuh....enak
mas..masss...udah mas..Dian ndak kuat...Dian...keluar lagi."
Aku pun begitu, kurasa penisku udah siap menyemburkan laharnya lagi. Dan
benarlah. Kupercepat goyanganku, "Aku juga nih...mau keluar lagi."
Aku lalu
menarik kedua lengannya ke belakang dan pantatnya aku goyang. Makin lama makin
cepat dan keluarlah laharku. Dian pun menangkat wajahnya ke atas. Ia mendongak
dan matanya memutih. Penisku seperti disiram cairan hangat. Ia sudah orgasme.
Kami berbarengan, ia kemudian ambruk, penisku langsung keluar begitu saja
ketika ia ambruk ke atas sofa. Tampak leleran lendir panjang terbentuk ketika
kedua kelamin kami berpisah. Beberapa cairan spermaku sisa-sisanya masih menetes
dan jatuh di atas pantatnya. Aku juga lemes banget.
"Mas hebat, pantas mbak Nur sayang banget ama mas," katanya.
Aku
melihat jam dinding, sudah jam 2 pagi. Berarti kami cukup lama bercinta.
"Boleh
nih, pinjam kamar mandinya dulu," kataku. Ia mengiyakan. Aku lalu
membersihkan diriku. Biar ndak disangka macam-macam kalau balik ke pos ronda.
Setelah itu aku keluar kamar mandi tampak Dian sudah berpakaian dan membersikan
sisa-sisa sperma yang tumpah ke sofa. Ia juga menyemprotkan wewangian biar ndak
ketahuan suaminya kalau ada sperma tumpah di situ.
"Udah ya, mau balik," kataku.
"Ntar bapak-bapak curiga malahan."
"Iya,
mas. Makasih ya," katanya.
"Kalau
boleh, mas main lagi ya? Tapi jangan sampai mas Joko tahu."
"Iya
deh, bisa diatur," kataku.
Aku pun
mencium bibirnya sebelum keluar rumahnya.
Setelah
itu aku pulang sebentar mengambil jaket dan sarung. Nur tampak
tertidur sambil menjaga anakku. Aku mencium keningnya sebentar. "Koq udah
pulang mas?" tanya Nur tak curiga.
"Ngambil
jaket dan sarung. Dingin banget soalnya," kataku.
"Ohh...ya
udah," katanya.
Sekembalinya
ke pos ronda, bapak-bapak meledekku lagi.
"Nah iya kan, lama banget baliknya."
Kami pun
akhirnya nonton bareng sampe subuh. Lalu kembali ke rumah
masing-masing. Pagi itu aku tidur sampe siang. Untungnya istriku pengertian
banget karena mengira aku memang beneran nonton bareng ama bapak-bapak. Di kamar
aku terkapar karena kelelahan habis main sama Dian. Aku tahu paginya Dian sudah
ke rumahku untuk membantu-bantu istriku. Hanya saja, siangnya ada sesuatu yang
aneh. Penisku geli banget. Seperti ada sesuatu yang menggelitikinya. Aku kira itu
Nur. Mataku masih terpejam. Mungkin Nur sudah kangen karena beberapa waktu ini kita
memang tidak main. Semenjak setelah nifasnya selesai lebih tepatnya. Aku biarkan
saja. Penisku dikocok-kocok, lalu setelah itu diemut. Diputar-putarnya kepala
penisku dengan lidah. Setelah itu testisku disedot-sedot. Kemudian dijilatlah
dari pangkal hingga ujung. Kemudian batangnya disedot dan diciumi. Setelah itu
dimasukkan ke mulutnya hingga mentok. Aku bisa merasakan itu dari nafas
hidungnya yang hampir menyentuh perutku. Aku jadi bingung, Nur ndak mungkin
melakukan ini, sebab mulutnya terlalu kecil dan ia tak pernah melakukan deep
throat kecuali.....
Mataku lalu terbuka, aku melihat Dian tampak mengoral penisku.
"Dian?" aku terkejut.
"Udah
bangun mas? Enak nda?" tanyanya.
"I...iya,
Nur dimana?" tanyaku.
"Dia
sedang ke puskesmas, imunisasi katanya.
Takut
bangunin mas jadi dia pergi sendiri," katanya.
"Lha
trus kamu? Nanti ketahuan lho," kataku.
"Nggaklah,
mas. Aku tahu koq sudah kuatur. Aku kangen ini soalnya," katanya sambil
mengocok penisku.
"Tapi...,"
"Udah, deh. Pake toket aja ya?" katanya.
Ia lalu
membuka bajunya, kemudian branya, tampaknya buah dadanya menggantung bebas. Ia
lalu berbaring di atas kakiku dan memposisikan penisku dijepit oleh bukit
kembarnya. Ouuhh...nikmat. Penisku dipijat-pijat, ia sesekali menghisap dan
menciumnya. Penisku makin tegang dan mau muncrat.
"Dian, udah aku mau keluar...ooouuuhhhh....!!" aku menjerit tertahan.
Dian
malahan mempercepat kocokan toketnya. Maka menyemburlah air maniku. Tumpah semuanya
di dada dan sebagian ke lehernya. Ia tertawa menyaksikan ini. Setelah penisku lemas ia meratakan spermaku
di dadanya. Kemudian ia menghisap penisku dan menjilati sisa-sisa spermanya.
Penisku ngilu banget. "Udah ya,hihihi," ia cekikikan lalu
meninggalkanku yang ngerasain penis ngilu.
BAB 7
****************
TETANGGAKU ISTI
Sebenarnya hubunganku dengan Nur masih baik-baik saja. Dia adikku sendiri, dan aku
tak bisa meninggalkannya. Dian dan aku melakukannya sembunyi-sembunyi, tanpa
sepengetahuan Nur. Nur sangat mencintaiku, aku tahu itu. Kami pun masih berhubungan
seperti layaknya suami istri dan masih hot di atas ranjang. Tapi aku mengakui
kalau permainanku dengan Dian hanyalah atas dasar kebutuhan saja. Dian juga
tahu kalau aku sangat mencintai istriku dan sangat menghormati istriku.
"Mas, aku hamil," kata Dian.
"Hah?
Yang bener?" tanyaku. "Trus, suamimu bagaimana?"
"Dia
seneng banget, tapi aku jamin koq ini anak mas," katanya.
"Koq
kamu bisa yakin?" tanyaku.
"Jelas
dong, yang sudah menjebol keperawananku cuma mas, dan mas sering nyemprot di
rahimku. Jadi deh," katanya. "Tahu kalau aku hamil mas, dia seneng banget.
Dia sombong banget, sampe bilang, 'Aku perkasa juga'. Padahal dalam hati aku
ketawa."
Kami
berdua tertawa.
"Trus
gimana dong?" tanyaku.
"Jangan
khawatir, ini rahasia kita. Aku akan pelihara anak kita. Ya walaupun
nanti manggilnya bukan papa ke mas. Rahasia ini akan tetap kita jaga hingga
entah kapan. Aku suka sama mas, aku cinta, tapi aku masih harus menghormati suamiku,"
jawab Dian.
"Nanti
kalau anakku mirip denganku gimana?" tanyaku.
"Ndak
bakal deh, semoga aja ndak. Kalau mirip ya biarin," jelasnya sambil
ketawa.
"Tapi
biasanya anak mirip ibunya koq, kalau mirip ayahnya ya...ndak tau juga."
"Kalau
misalnya nanti suamimu tahu bagaimana?" tanyaku.
"Yah,
itu sudah nasib berarti. Masnya sendiri gimana, mau nerima aku?" tanyanya.
Aku terdiam sebentar, "Harus ijin istri dulu, dan kamu mau menerima aku apapun
kekuranganku."
Dian
tersenyum. "Susah juga ya, pastinya mbak Nur ndak bakal mau.
Soalnya ia
sangat cinta banget sama mas. Kalau misalnya ndak bisa pun tak mengapa. Aku bahagia
banget bisa punya anak dari mas. Aku jadi simpanan mas pun aku rela koq.
Sementara ini dijalanin dulu aja. Yah, semoga aku bisa dapat anak juga dari
suamiku. Masa' mas terus yang ngasih benih."
Aku tersenyum dan kami pun berpelukan.
"Untuk
terakhir kalinya, boleh dong mas bercinta denganku malam ini, please," rayunya.
"Aku
tak bisa mbak, aku harus ke rumah istriku yang satunya," kataku.
"Oh
iya, aku lupa kalau mas poligami," katanya.
"Istrinya
berjilbab semua ya, aku nggak. Pastinya susah kalau mereka semua menerima
aku."
"Siapa
tahu, semuanya tergantung dari mbak Dian koq," kataku.
"Mumpung
Nur, masih ke pasar. Kita bercinta cepat yuk mas, terus terang aku sudah horni
banget, gatel banget," katanya. Ternyata nafsu Dian ini besar
banget.
Saat itu kami berada di dapur. Aku buru-buru membuka resleting celanaku,
menurunkan celanaku dan Dian berpegangan di wastafel. Ia melihat ke jendela sambil
mengamati kalau-kalau ada yang masuk ke rumah. Jendela dapur kami ditutup oleh
korden tipis, kalau dari luar tak kelihatan tapi kalau dari dalam bisa melihat
keluar. Aku langsung menurunkan hot pants Dian, lalu kumasukkan penisku yang
sudah tegang juga. Disiram oleh pelumas Dian, penisku langsung on 100%. Aku pun
menyodoknya.
"Ohh...mass...enak banget. Ini yang Dian suka, berjanjilah mas jangan
lupakan aku!" katanya. "Tidak bakal Dian, ohh...enak banget
memekmu," kataku. "Kontol mas, enak banget, gurih...aahh...memekku
penuh rasanya," rancaunya.
Aku menggoyangkan pantatku maju mundur. Dian merem melek, sambil sesekali melihat
pagar rumah. Aku pun percepat goyanganku takut kalau Nur pulang. Dan Dian
melihat Nur sampai di pagar. "Mas, ada mbak Nur!" bisiknya. Aku
percepat goyanganku.
"Udah
mas, udah...! Ntar ketahuan!" bisik Dian.
Tanggung
penisku udah mau keluar, aku pun tuntaskan sekalian.
"Dikit
lagi, aku keluar. Ohhh....Diann...hhhmmmhhh,"
Kuremas
toketnya kuat-kuat saat spermaku menyembur keluar membasahi rahimnya. Pantatku
menghujam beberapa kali. Nur tampak disapa oleh tetangga kami, ia kemudian
meletakkan kresek belanjaannya di teras kemudian kembali ke luar rumah untuk berbicara
ama salah seorang ibu-ibu komplek.
Dian lega banget, aku mencabut penisku. Lahar putih spermaku mengalir ke
pahanya. Ia mencari-cari tissue dan membersihkannya kemudian kami berpakaian lagi.
Sex tercepat yang pernah aku lakukan. Ini adalah terakhir kalinya aku
bersenggama dengan Dian, karena setelah itu ia
lebih menjaga kehamilannya dan melayani suaminya. Hubungan kami setelah itu adalah
seperti tetangga biasa. Bahkan setelah anaknya lahir yang memang sedikit mirip
aku, tapi lebih banyak mirip ibunya, kami tak pernah melakukan hubungan itu
lagi. Suaminya makin sayang kepadanya dan sekarang berkat nasehatnya suaminya
mau terapi biar penisnya lebih besar lagi. Dan sampai saat itu ia tak pernah
curiga. Tak tahu nanti seperti apa.
Setelah hubungan panas kami di dapur itu. Aku pun kemudian pergi ke rumah Kak Vidia.
Sekarang ini sudah hampir lahiran. Aku menjadi suami siaga. Kak Vidia makin
merindukanku. Orang hamil besar biasanya lebih horni. Dan benar, setiap kali
aku berkunjung ke rumahnya, Kak Vidia pasti bercinta denganku. Apalagi aku suka
sekali sekarang susunya sudah keluar. Aku bisa menyusu kepadanya seperti bayi
sekarang. Dan ia sangat terangsang karena perlakuanku kepada putingnya itu. Ia
sampai bilang, "Kalau nanti dedeknya lahir, kayaknya papah bakal ada
saingan nih. Ini aja nyusunya kayak orok."
Sama seperti Nur, kak Vidia punya tetangga juga. Sudah punya anak satu.
Namanya Isti. Umurnya hampir sama seperti bunda. Anaknya udah kelas 4 SD. Suaminya
sendiri bekerja di sebuah perusahaan besi baja di luar kota. Pergi hari Senin,
pulang pasti hari sabtu. Dan mereka berkumpul hanya pada hari sabtu dan minggu.
Ada juga tetanggaku yang sering mengunjungi kami selain Isti, namanya Erna.
Pekerjannya adalah SPG di salah satu mall, walaupun berjilbab, tapi jilbab yang
dipakai masih terbilang sexy. Tapi itu ceritanya nanti.
Aku saat itu masih di toko ketika Kak Vidia sudah kontraksi, untunglah
tetangga kami bernama Bu Isti ini bisa membantu. Dipanggil taksi kemudian
pergi ke rumah sakit. Mendengar kabar itu aku segera pergi ke rumah sakit
bersama bunda. Tentu saja bunda sangat senang karena ia akan punya cucu. Ia pergi
dengan perut buncit, cikal bakal anakku, dan juga cucunya tentunya. Di rumah
sakit aku pun langsung masuk kamar bersalin dan mendampingi kak Vidia. Kami
bahagia sekali ketika sebuah kepala nongol, lalu disusul tubuhnya yang lain.
Kami bersyukur lahir normal tanpa cacat. Anaknya laki-laki. Aku kemudian
menamainya Zahir. Bunda bahagia sekali punya cucu baru. Nur juga bahagia, ia
kuberitahu ketika Kak Vidia lahiran. Ia langsung pergi ke rumah sakit. Wajah
anakku ini mirip denganku, bahkan Kak Vidia mengatakan, "Papah kecil."
"Setelah ini kita pake pembantu aja ya?" usulku ke Kak Vidia.
"Iya
deh mas, kalau bunda membantu juga ndak bakal bisa kayaknya ya bund?" kak Vidia
menoleh ke arah bunda. Tampak anakku sedang menggeliat-geliat mencari puting
susu istriku. Lalu ia pun menyusu.
"Bunda masih kuat koq, masa' sudah ngelahirin 3 orang anak cuma bantu gini
saja ndak kuat. Bunda udah biasa," katanya sambil mengedip ke arahku.
"Ya
sudah, kalau begitu kak Vidia tinggal di rumah bunda aja ya?" kataku.
"Trus,
rumahnya bagaimana?" tanya Kak Vidia.
"Ya
nggak apa-apa kan? Ditinggal sementara waktu, Kan ndak lama sampai nifasmu selesai
baru balik lagi ke rumah. Sementara ini kan kamu masih lemes," kataku.
"Iya
deh pah," kata kak Vidia. "Tetapi minta tolong dong, itu kayaknya ada
atap yang bocor. Papah bisa benerin nggak?"
"Di
sebelah mana?" tanyaku.
"Di
kamarnya dedek, yang udah kita siapkan itu. Coba deh dibenerin dulu, ntar dedek
kalau bocor kamarnya pas hujan kan kasihan," katanya.
"Iya,
iya, nanti aku cek," kataku.
"Haii
Zahir, lucunya. Tuh Laila, itu sepupu Laila, namanya Zahir," anakku
tampak matanya yang bulat mengamati Zahir sambil mengoceh entah bahasa apa. Kami
semua tersenyum melihat tingkah polah anak bayi ini. Bunda lalu mencium Laila
karena gemes.
Dua hari kemudian aku ke rumah Kak Vidia untuk benerin atap yang bocor. Aku menyewa
tukang untuk benerin. Saat itulah Bu Isti menyapaku.
"Gimana mas, lahirannya?" tanyanya.
"Cowok
bu," jawabku.
"Waahh..selamat
ya, namanya siapa?" tanyanya.
"Zahir
Putra Pratama," jawabku.
"Alhamdulillah
kalau begitu," katanya. "Mau renovasi mas? Koq ada tukang
segala?"
"Iya, atap bocor," tukasku.
"Mbak
Vidianya ke mana? Ke rumah orang tua?" tanyanya.
"Iya,
sementara tinggal di sana dulu," jawabku.
Aku pun
kemudian ngobrol ngalor ngidul ama tetanggaku ini. Mulai dari
pendidikan, keluarga hingga tempat tinggal. Bu Isti memang tak punya teman
untuk diajak bicara di rumah, makanya itu ia sering cerita sana-sini dengan
ibu-ibu tetangga yang lainnya.
Ternyata
atap bocor karena ada genteng yang retak serta talangnya bocor.
Kurogoh kocek untuk membeli apapun yang dibutuhkan oleh tukang. Udah siang hari
dan aku belum makan siang.
Bu Isti
menyapaku lagi, "Udah makan siang belum mas? Nih buat tukangnya." Ia membawa
nampan berisi gorengan dan kopi.
"Waduh
bu, merepotkan saja," kataku.
"Nggak
apa-apa, lagian kasihan tuh mas-mas tukangnya masa' ndak dikasih
minum?" tanyanya.
"Itu
udah ada di dalem," aku menunjuk satu dus minuman ringan dan beberapa potong
kue.
"Ini
tambahan, mas Doni kalau laper makan di rumahku gih," ajaknya.
"Gimana
ya?" aku agak ndak enak.
"Nggak
apa-apa," katanya.
Aku pun
mengangguk. Aku menerima nampannya lalu kuletakkan di meja di dalam rumah.
Sementara para tukang bekerja istirahat dulu sambil menikmati suguhan kami. Aku
pergi ke tetangga sebelah. Bu Isti langsung mempersilakan masuk. Anaknya tampak
sudah pulang dan sedang menonton tv. Anaknya seorang cewek namanya Luna.
Melihatku masuk ia tampak senang sekali.
"Om? Boleh ya main ke rumah Om seperti kemaren?" tanyanya.
"Ya...boleh-boleh
aja," jawabku. Ia suka menonton home theater yang aku punya di rumah.
Bahkan terkadang ia main ke rumahku cuma untuk menyetel film kesukaannya dengan
DVD. Karena tv-ku besar, makanya ia sangat suka sekali kalau nonton tv di
rumahku.
"Hush,...ndak
boleh seperti itu," kata Bu Isti.
"Ibu,
kan om bolehin," katanya.
"Iya
koq boleh, ndak apa-apa, tapi harus juga belajar ya? Ndak nonton terus," kataku.
"Agak nanti ya, soalnya rumah Om masih dibenerin."Ia setuju.
Aku pun akhirnya makan siang di rumah Bu Isti. Orangnya ramah dan masakannya juga
enak. Setelah kenyang aku pun akhirnya pulang. Pekerjaan tukang sudah selesai.
Malamnya Luna main ke rumahku. Ia pun akhirnya menyetel kaset DVD
yang ia bawa. Banyak banget. Bu Isti mengijinkan asal jangan lupa untuk
pulang. Aku masih di rumah itu sambil sesekali beres-beres dan bersih-bersih
rumah sampai malam. Dan itu si Luna betah saja nonton. Sampe akhirnya ia
tertidur di sofaku yang nyaman. Waduh aku bingung juga mau bangunin. Akhirnya
kubiarkan saja. Saat itu Bu Isti datang ke rumahku. Untuk mengajak Luna pulang.
"Udah tidur bu," kataku.
"Waduh
trus bagaimana mas?" tanyanya.
"Biarin
aja tidur di sini, sudah saya selimuti koq," kataku.
"Maaf
kalau merepotkan," katanya. "Ya sudah, aku tinggal dulu deh kalau
begitu, kalau nanti ia bangun suruh pulang ya mas?" Aku mengangguk.
Tapi
tampaknya Luna tak bangun-bangun juga, mungkin karena capek atau sofaku terlalu
nyaman. Dan sudah pukul 10 malam. Perumahan ini memang sepi kalau jam segini.
Bu Isti pun datang lagi. Aku saat itu masih membuka pintu dan duduk di teras. "Belum
bangun juga mas?" tanya Bu Isti.
"Belum
bu, kalau ndak keberatan Bu Isti tidur di sini saja," kataku
menawarkan.Ia agak ragu. "Tapi nanti dilihat tetangga ndak enak mas."
"Tetangga
yang mana bu, wong perumahan sepi seperti ini koq," kataku.
"Kalau
mbak Erna sih sekarang malah belum pulang dari mall. Saya juga ndak enak kalau bangunin
Luna."
"Ya
udah deh, makasih tawarannya," katanya.
Awalnya
aku tak ada niat untuk punya pikiran ngentotin dia.
Akhirnya
ia pun masuk rumahku. Karena sudah malam aku menutup pintu.
"Bu
Isti tidur di kamarku saja, saya mau tidur di bawah, maaf kalau cuma punya satu
tempat tidur. Soalnya yang satunya lagi tempat tidur bayi" kataku.
"Ndak mas, saya tidur di bawah aja dekat Luna," katanya.
"Jangan,
ntar kalau Bu Isti sakit saya yang bingung," kataku.
Bu Isti
kemudian terdiam sejenak. "Ya udah deh mas, gini aja kita tidur
seranjang tapi jangan berdempetan ya?"
"Wah,
nanti bisa berabe bu, takut saya," kataku.
"Saya
juga bingung, soalnya kebiasaan saya biasa ngelonin Luna dan takut tidur sendirian
di rumah, gimana ya?..." Bu Isti tampak khawatir.
Aku pun berpikir
keras. Hingga akhirnya. "Ya udah deh, kita tidur seranjang.
Tapi ndak berdempetan. Misalnya nanti kalau sampai kelewat batas, saya tak
tanggung jawab lho ya?"
"Emangnya
kelewat batas seperti apa mas?" katanya sambil tersenyum.
"Ya,
ibu tahu sendiri," jawabku. Bu Isti tertawa kecil. "Iya, iya, ibu
tahu koq. Mas Doni ini paling setia sama istrinya."
Akhirnya kami pun beneran tidur seranjang. Ada sesuatu yang unik. Sebelum
tidur Bu Isti melepaskan bra-nya ia bilang biar ndak sakit kalau tidur. Dan
kami pun tertidur saling membelakangi. Aku memang bisa tidur bahkan terlelap selama
beberapa jam, hingga kemudian hawa dingin mulai masuk melalui angin-angin yang
ada di kamar.
Secara tak sengaja aku dan Bu Isti berpelukan. Aku tak sadar dan dia tak
sadar. Wajah kami bertemu kedua tangan kami saling merangkul. Bibir kami pun bertemu
secara tak sengaja. Dan kami terbangun. Kami kaget dan saling
membelakangi lagi.
"Maaf,
mas," katanya.
"Maafkan
saya Bu, ndak sengaja," kataku.
"Saya
juga," katanya.
Setelah itu kami terdiam. Aku tahu kami sama-sama tidak bisa tidur setelah
itu. Sementara itu hawa dingin makin menusuk. Sialnya juga aku cuma punya satu selimut
dan itu sudah aku berikan ke Luna. Ia pasti hangat dengan selimutnya. Aku
menggigil.
"Mas,
maaf apakah mas ngidupin AC kamar? Tolong matiin dong!" katanya.
"Saya
ndak punya AC bu, ini memang hawanya dingin," kataku.
Kami
terdiam lagi.
"Mas
ndak punya selimut lagi?" tanyanya.
"Tidak
bu, udah dipakai oleh Luna," jawabku.
Kami
terdiam lama sekali, aku makin menggigil.
"Maaf,
ibu kedinginan. Mas Doni kedinginan juga kan? Kalau boleh kita berpelukan biar
hangat, sekali lagi maaf," katanya.
Akhirnya tanpa berpikir panjang lagi aku memeluknya dari belakang.
CESSSS...rasanya. Jantungku berdebar-debar. Dan aku bisa rasakan jantung Bu Isti
juga berdebar-debar.
"Saya
punya sarung bu, buat ibu kalau mau," kataku.
Kemudian
aku mengambil sarung dari lemari, Bu Isti bangun lalu menerimanya. "Tapi
buat mas apa?" tanyanya.
"Saya
ndak apa-apa," jawabku.
"Kita
satu sarung saja mas, dingin banget hari ini," katanya.
"Maklum
kita kan ada di kota M, makanya dingin apalagi ini pegunungan."
Aku pun
tak bisa berpikir panjang lagi, kami pun satu sarung. Saling
berpelukan. Tubuh Bu Isti masih bagus. Dadanya masih kencang, kulitnya juga masih
halus. Walaupun mungkin perutnya sedikit buncit. Aku memeluknya dari belakang,
Kami sudah pakai dua sarung. Sebagian menutupi kaki kami, sebagian lagi badan
kami. Sudah mulai hangat. Namun ternyata penisku tak bisa diajak kompromi.
Karena terus menekan pantat Bu Isti akhirnya tegang juga.
"Mas, ada yang keras," kata Bu Isti.
"Maaf
bu, saya juga lelaki. Wajar kalau begini," kataku.
"Iya,
saya tahu. Keras banget tapi," katanya.
"Mas
Doni sering main sama istrinya?"
"I..iya,
kenapa bu?"
"Pantes
saja, istrinya takluk begitu," jelasnya.
Entah
siapa yang memulai, kini mulutku yang ada di tengkuknya sekarang
menciuminya. "Bu Isti, maaf, tapi saya ndak tahan lagi bu. Saya kepengen
bisa menjinakkan senjata saya ini. Udah kepingin," kataku.
"Saya
ngerti koq mas, ibu juga kepengen," katanya. Ia lalu berbalik di dalam
sarung yang sempit ini. Kami lalu berciuman. Tangannya yang dingin kemudian menuju
ke penisku. Ia mengelus-elusnya dari luar kolor. "Besar ya mas?"
Kami berpanggutan, panase kali, aku tak sabar meremas-remas dadanya. Akhirnya Kami
duduk, kemudian saling melepas baju kami semuanya. Kemudian saling berpelukan
di dalam sarung lagi. Dada kami bersatu. Mulut kami berpanggutan dan kemaluan
kami pun bertemu. Tak kusangka Bu Isti ini sudah becek di bawah sana.
"Saya sudah becek dari tadi mas, mikirin kita seperti ini," kata Bu
Isti.
"ohh..masss...puasin ibu...ibu sudah lama ndak begituan sama suami." Penisku
langsung masuk begitu saja memeknya. Memeknya memang jarang dipakai, akibatnya
agak seret waktu digesek. Hawa dingin yang menusuk ini, kini sudah mulai
menghangat, karena pergumulan kami makin hot di atas ranjang. Kami saling
menciumi, ia menghisap leherku, aku juga. Kuhisap puting susunya menonjol itu
kuat-kuat. Dadanya masih kencang walaupun usianya sudah kepala 4. Aku
menekan-nekan pantatku, hingga Bu Isti terdorong ke tembok. Posisi ini ternyata
lebih cepat membuatku untuk ejakulasi. Demikian juga Bu Isti.
"Mas, Ibu mau keluar, soalnya geli banget," katanya. Mungkin juga
karena hawa dingin yang membuat tubuh kami menggigil, karena itu membuat
getaran-getaran tertentu yang merangsang testisku untuk cepat berproduksi. "Sama
bu, enak banget," kataku. Kami pun sama-sama keluar. Spermaku tumpah di
rahimnya. Kami kemudian berguling-guling di atas ranjang, dan aku menindihnya.
Bu Isti dan aku berpandangan sesaat. Kemudian kami berpanggutan lagi. Setelah
itu kami saling berpelukan erat untuk mengusir hawa dingin yang menusuk. Boro-boro untuk tidur. Kami malah saling
bicara.
Bu Isti terus terang kalau ketika pertama kali berkenalan sudah naksir aku,
tapi cuma dipendam saja. Ndak nyangka kalau berakhir di atas ranjang. Dan ia pun
cerita kalau karena frekuensi bertemu dengan suaminya jarang, makanya ia susah
mendapatkan kepuasan. Walaupun sudah lama hidup berumah tangga. Sessat kemudian
kami punya energi lagi dan melanjutkan gairah ini. Aku sodok sekarang ia dari
belakang sambil tetap berbaring di dalam sarung. Setelah orgasme lagi, aku
mengulanginya lagi dari atas. Rasanya aku seperti menghianati Kak Vidia, karena
bersenggama dengan orang lain di atas kasur kami.
Kami pun akhirnya tertidur kelelahan dan penisku serasa ngilu karena bercinta
sampai 5 ronde malam itu. Paginya Bu Isti bangun duluan. Karena aku mendapati
tidur sendirian dengan sarung. Aku bangun dan melihatnya berpakaian. "Sudah pagi mas, makasih ya
semalam," katanya. "Besok atau kapan-kapan diulang lagi. Ibu suka
dengan ketahanan mas di atas ranjang." Kemudian kami berpisah dengan
panggutan yang hot. Setelah itu ia membangunkan anaknya untuk pulang, karena
Luna masih sekolah hari ini.
BAB 8
*************
TETANGGAKU ERNA
Kak Vidia pun kembali ke rumah. Dan Zahir anakku yang masih kecil itu sangat menggemaskan.
Sama seperti Laila yang juga montok. Kak Vidia lebih
mencintaiku lagi. Kami lebih selalu bermanja-manja dengan kehadiran anak kami. Kami
pun menyewa pembantu, namun Bu Isti menawarkan dirinya untuk menjadi babysitter.
Karena kami sudah kenal baik, "tentu saja aku lebih baik lagi mengenal Bu
Isti" maka kami pun mempersilakannya. Setelah bayaran disepakati, apalagi
Bu Isti di rumah juga tak bekerja hanya menjaga Luna. Sehingga ketika pulang
sekolah, Luna langsung bermain dan menjaga anakku. Jadi punya teman main.
Sedangkan aku? Tentu saja harus menggilir istri-istriku yang lain. Jadi setiap
hari tidak di rumah Kak Vidia.
Aku setelah malam dengan Bu ISti itu tidak lagi main dengannya lagi walaupun sekali.
Aneh memang dan Bu Isti sendiri tak pernah mengajakku ataupun aku mengajaknya.
Tapi setiap kali kami bertemu selalu pandangan kami penuh arti. Mungkin karena
memang kita tidak punya kesempatan untuk melakukannya, sebab Kak Vidia selalu
di rumah.
Suatu hari ketika anakku sudah usia 2 bulan dan sudah bisa tengkurap, saat
itulah satu-satunya kesempatanku untuk bisa bertemu dengan Bu Isti dan
satu-satunya kesempatan. Pak Joko sakit. Kerja shift malam membuatnya sakit paru-paru
basah. Ia dirawat di rumah sakit untuk beberapa waktu sampai kondisinya
membaik. Otomatis Bu Isti untuk sementara waktu tak bisa menjadi baby sitter
anakku. Malah istriku yang jadi baby sitter untuk Luna, karena Bu Isti masih
menunggui suaminya di rumah sakit.
Suatu pagi aku akan berangkat ke toko. Saat itulah istriku minta tolong,
"Pah,
tolongin Bu Isti ya, berangkat ke rumah sakit, sekalian anterin anaknya ke
sekolah. Kasihan beliau udah banyak nolong kita."
"Oh,
iya, ndak masalah," kataku.
Bu Isti
pun diberitahu oleh istriku untuk barengan aja. Ia pun tidak menolak.
Sekolah Luna sebenarnya tidak jauh dari komplek. Lima menit saja sudah sampai dengan
mobilku. Kemudian Bu Isti pindah duduk di sebelahku. Saat itulah kami pun
ngobrol.
"Gimana
kabarnya bu?" tanyaku.
"Baik-baik
saja mas," jawabnya. "Masnya tanya kabar yang mana?"
"Suaminya
sekarang sakit, bagaimana pelampiasannya?" tanyaku. Ia pun
mencubitku.
"Masnya ini lho, koq ya ngeres aja. Ntar kubilangin istrinya lho kalau genit-genit
seperti ini," katanya.
Aku
mengemudikan mobilku melewati tempat yang agak sepi. "Ya, Bu Isti sendiri bagaimana
perasaannya setelah malam itu?"
Dia menarik nafas panjang. Aku menghentikan mobilku. Jauh dari keramaian.
Kanan kiri kami adalah perkebunan dan sawah. Jalanan ini 500meter ke depan barulah
ada pemukiman.
"Mas, sebenarnya aku agak besalah sama suamiku," katanya. "Tapi,
mas juga tak bisa aku lupakan. Karena tiap hari ketemu. Memang, ada rasa
kepengen kalau ketemu sama mas. Tapi, aku ndak enak sama istri mas."
"Trus, kita bagaimana Bu enaknya sekarang?" tanyaku. Bu Isti mengusap
pipiku. "Ibu masih mecintai suami ibu, tapi apau yang kita
lakukan kemarin, anggap saja sebagai kecelakaan. Ibu menyukainya, saya yakin kamu
juga demikian. Kita kubur saja ini sebagai kenangan. Aku tak enak kepada istrimu
dan menghancurkan rumah tangga kalian. Bagaimana?"
Aku terdiam dan menatap kesungguhan di matanya. Senyumannya menyungging. "Aku
ingin mengajak Ibu ke sebuah tempat, kalau boleh?" kataku. Bu Isti
bertanya, "Tempat apa?"
"Ada
aja, boleh ya?" tanyaku.
Bu Isti
agak ragu kemudian ia membolehkan. Aku punya tempat istirahat yang
baru saja aku beli setahun lalu. Tempat ini biasanya aku pakai kalau sedang
liburan. Tempatnya ada 1 jam perjalanan. Bu Isti tampak penasaran. Aku
merahasiakan tempat ini sampai kemudian kami sampai.
"Tempat apa ini mas?" tanyanya.
"Ini
rumah istirahatku," kataku.
"Kaya'
villa," gumamnya. "Ndak ada yang jaga?"
Aku menggeleng.
"Tidak ada. Sementara ini tidak ada. Masih kosong, tapi
perabot-perabotannya sudah ada."
"Trus,
tujuan kita ke sini buat apa?" tanyanya.
"Karena
kita ingin menyudahi semua ini, aku ingin seharian ini kau menjadi
wanitaku," kataku.
"Oh..mas,
trus nanti Luna gimana pulang sekolahnya? Aku juga harus menemani suamiku,"
katanya.
"Luna
kan pulangnya ke rumahku, biasanya juga kan pulang sendiri. Nanti
sebelum sore kita sudah balik kuantar ke rumah sakit. Bagaimana?" tanyaku.
Bu Isti
tersenyum. "Terserah deh mas."
Aku
kemudian menggandeng tangannya. Kubuka rumah itu. Kuncinya selalu ada di mobilku.
Begitu masuk, aku langsung memanggutnya, Bu Isti pun rasanya sudah tak tahan
lagi. Ia langsung menyambutku. Kami pun melucuti pakaian kami. Aku langsung
masuk ke kamar dan membopongnya ke tempat tidur. Setelah itu kami pun menghabiskan
waktu sebaik-baiknya untuk bercinta. Aku tak menyia-nyiakan spermaku,
kutumpahkan semuanya ke vaginanya. Berbagi gaya kami lakukan dan setelah itu
rasanya tulang kami rontok semua setelah itu. Tapi kami mengumpulkan tenaga
karena harus kembali lagi. Terus terang setelah bercinta hari itu, kami ada
perasaan sedih. Dan komitmen kami adalah tidak melakukan hal ini lagi setelah
ini.
Sorenya aku sudah kembali dan mengantarkan Bu Isti ke rumah sakit. Aku pun memberi
alasan bertemu teman, untuk urusan bisnis karena itu tak ke kantor. Bu Isti pun
memberi alasan mampir ke rumah temannya dulu untuk bantu-bantu karena ada
pengajian.
Hari itu aku tak ke mana-mana, langsung pulang ke rumah Nur karena jatah hari ini
ke tempatnya Nur. Aku langsung tidur dan istirahat, karena capek sekali. Untunglah
Nur memijitiku ketika aku tidur, sehingga capekku bisa terobati.
****
Hari minggu, aku ke mall. Karena saat itu sedang ada tamu artis, mall sangat
ramai. Para muda-mudi sudah standby di depan panggung dan menunggu artis pujaannya.
Kalau aku sih cuma belanja aja. Aku ke mall bersama bunda. Perutnya sudah
besar, mungkin bulan depan udah lahiran. Kami belanja untuk kebutuhan bayi.
"Capek sekali bunda pah," kata bunda kepadaku.
Aku
melihat ke sebuah stand pijat. "Mau pijit dulu bunda? Mumpung ada
tuh."
"Ide bagus, istirahat dulu ya pah. Papah jalan-jalan dulu deh beli
kebutuhan,
nanti temui bunda lagi di sini," katanya. Aku pun mengantarkan bunda ke
tempat pijit itu. Tempat pijat itu memakai kursi pijat dan tampaknya sedang
antri dari 5 kursi, masih dipakai. Bunda tak masalah, karena memang ia sudah
capek berjalan. Aku pun pamit dulu untuk belanja.
Aku pun berjalan-jalan berbelanja sendiri. Saat itu aku melintasi sebuah stand
kosmetik. Aku sepertinya kenal dengan seseorang.
"Lho,
mbak Erna?" sapaku.
"Eh,
pak Doni. Apa kabar pak?" sapanya balik.
Ia adalah tetanggaku di rumahnya Kak Vidia. Saat itulah aku cukup cuci mata
dengannya. Ia pakai rok pendek, setengah paha, ia memakai blazer, dan stocking berwarna
hitam. Rambutnya sebahu, bibirnya cukup sensual dan ia tersenyum manis
kepadaku.
"Sama
siapa pak? Koq sendirian?" tanyanya.
"Sama
istri, masih di stand pijat. Ini sedang belanja buat si kecil," kataku.
"Oh,
begitu. Ndak nyoba kosmetiknya pak? Buat nyonya?" tanyanya.
"Boleh
deh, coba apa aja yang ada?" tanyaku.
Kemudian
Erna menjelaskan segala hal tentang produknya. Bahkan aku pun disuruh untuk
mencoba pelembabnya. Kami juga kadang sesekali bercanda.
"Gimana
pak? Mau beli?" tanyanya.
"Wah,
gimana ya?" aku bingung juga. Namun aku teringat tentang SPG-SPG yang gatel
dan bisa diajak kencan. Apa mungkin Erna tetanggaku ini mau? Tapi kucoba aja
deh, namanya juga iseng.
"Mumpung
ada promo lho pak?" katanya.
"Aku
bisa saja sih beli, tapi mungkin ada tambahannya," kataku sambil
tersenyum.
"Tambahan apa?" tanyanya.
"Aku
ingin membayar lebih, itu kalau kamu mau sih," jawabku.
Erna
penasaran, "Bayar lebih gimana sih pak?"
"Mungkin
dengan kita kencan gitu," kataku dengan suara hampir tak terdengar. "Ih,
bapak genit. Kubilang ke istrinya tahu rasa lho," katanya.
"Yah, ini beneran koq. Aku bisa beli beberapa produkmu. Kamu untung dan
tentunya aku juga untung. Toh kita tak ada ruginya. Gimana?"
Erna
menggigit bibirnya, "Gimana ya...?"
"Udah
berapa lama kamu di sini? Daripada ndak laku lho. Kalau setuju besok
kita ketemuan di sini jam seginian," kataku.
Erna tak
menjawab. Aku pun lalu berjalan meninggalkannya.
Jual mahal
dikitlah.
"Pak,
pak tunggu!" panggil Erna.
Aku pun berhenti,
lalu menoleh kepadanya.
"I...iya
deh, beneran lho ya borong semua," katanya.
Aku
mengangguk. "Kamu tahu nomor teleponku kan?"
Ia
menggeleng. Kemudian aku memberikan nomor ponselku. Dan aku melanjutkan berbelanja
lagi. Aku meninggalkan Erna dengan wajah yang menerawang jauh. Entah apa yang
ada di pikirannya. Setelah berbelanja aku kembali ke tempat bunda. Ia sudah
selesai ternyata dan kami pun pulang.
Esok sorenya. Sesuai janjiku aku menunggu Erna di tempat parkir. Ia pun
menelponku. "Bapak di mana?" tanyanya di ponsel.
"Di
tempat parkir. Turun aja aku ada di pintu deket tangga koq," kataku.
Tak berapa
lama kemudian ia muncul. Kali ini bajunya agak lain. Masih pakai
blazer dan rok mini tapi warnanya merah. Dan ia tak pakai stocking.
"Bagaimana
suamimu?" tanyaku.
"Aku
udah ijin koq, nginap di rumah temen," jawabnya.
"Kalau
kamu tidak mau atau berubah pikiran, sekarang saja. Sebab aku tak mau ketika di
tengah jalan nanti kamu berubah pikiran," kataku.
Ia
menggeleng. "Aku siap koq pak."
"Ok,
ayo!" aku pun mengajaknya ke mobilku. Di dalam mobil aku mencoba untuk meraba
tangannya. Ia tak menolak. Bahkan tersenyum kepadaku.
"Kau
sudah pernah seperti ini sebelumnya?" tanyaku.
"Sejujurnya,
ini yang pertama pak," jawabnya.
"Yang
bener? Trus kenapa koq mau?" tanyaku.
"Lagi
kepepet pak," katanya.
"Panggil
saja mas, saya masih belum 30 tahun koq," kataku.
"I..iya
pak, eh mas..," katanya.
Aku
memancingnya lagi, "Sekarang kita sudah masuk mobil. Kalau misalnya engkau
berubah pikiran tidak mengapa."
Ia
menggeleng. "Tidak apa-apa mas."
Aku pun
kemudian mendekat kepadanya, ku sentuh wajahnya, kemudian aku tarik kepalanya
untuk mendekat kepadaku. Bibirku pun maju menyentuh bibirnya. Aku kemudian
menghisap bibirnya, mulutnya sedikit terbuka dan menerima lidahku masuk ke
mulutnya. kami pun saling menghisap. Untuk beberapa saat ciuman itu membuatku
yakin ia sudah siap.
"Aku ingin mengajakmu ke sebuah villa, jangan ke hotel," kataku.
Ia
mengangguk, "Terserah saja deh mas."
Mobilku
pun melaju meninggalkan kota menuju ke villa. Selama perjalanan, aku mengusap-usap
paha Erna. Ternyata ia tak memakai hotpants. Aku bisa langsung merasakan celana
dalamnya ketika merogoh ke dalam rok mininya. Aku menyetir mobil dengan tenang,
ketika aku tidak mengubah gigi kopling aku kembali mengusap-usap kemaluannya
dari luar celana dalamnya. Erna hanya menggigit bibir saja kuperlakukan seperti
itu. Terkadang ia bermain ponselnya mencoba menahan rangsangan yang aku
lakukan. Tapi sepertinya percuma, karena ia sesekali memejamkan mata, dan menggigit
bibirnya. Hingga kemudian ia bersandar di kursi menengadahkan kepalanya dan
memegang tanganku erat-erat.
"Udah mas, udah....," aku mengerti ia orgasme. Celana dalamnya becek
sekali. "Dilepas saja dong, becek tuh," kataku.
"Mas
sih, nakal banget!" katanya.
Aku
tersenyum. Ia pun segera melepas celana dalamnya dan membuangnya ke belakang
jok. Aku kemudian membuka resletingku. Penisku yang sudah tegang pun nongol.
"Nah,
kalau ini enaknya diapain?" tanyaku.
"Ih,
genit ya mas ini. Udah gedhe aja," katanya.
Ia
kemudian memegang benda itu. Diremas-remasnya, lalu dikocok-kocoknya.
"Gedhe banget mas, ntar kalau masuk sakit pastinya," katanya.
"Koq
bisa?" tanyaku. "Emang punya suamimu seberapa?"
"Hmm...sepertiganya
kayaknya," jawabnya. "Tapi itu aja udah enak koq mas."
Selama perjalanan itu penisku dikocok, diremas dan dibelai-belai. Dan sampai di
tujuan, kayaknya Erna cukup capek karena belum keluar-keluar penisku. "Mas
kuat juga ya, padahal suamiku dikocok gini aja keluar lho," katanya. Setelah
tiba, aku langsung mengajaknya masuk. Kubetulkan celanaku dan kuambil kunci
villa. Setelah masuk aku persilakan ia untuk masuk ke kamar. Kami tak perlu
dikomando. Aku sudah melepaskan bajuku. Bahkan ia kubantu untuk melepaskan
bajunya. Kami pun berciuman panas. Kupeluk Erna kubuka pakaian dalamnya, branya
kemudian aku lempar sehingga pakaian kami berserakan di lantai.
"Mas,
ohh...," desahnya.
Aku
melihat dadanya cukup besar. Kulitnya putih mulus aku langsung menghisap putingnya.
Kuhisapi lehernya, kujilati dan kuremas-rems dadanya. Aku kemudian berlutut,
penisku menantang di hadapannya. Ia mengerti tugasnya, langsung ia duduk dan
mengisap penisku. Penisku pun disentuh oleh bibirnya, lidahnya menjilati
kepalanya dan ia memasukkan penisku ke mulutnya, ia hisap dan lumuri dengan
ludahnya. Kemudian ia kocok dengan lembutnya. Testisku di remas-remasnya,
terkadang sesekali bibirnya menciumnya bergantian. Lalu disedotnya sebentar,
dan konsentrasi lagi mengulum batang penisku. Sensasi yang ditimbulkannya
sangat mebuatku geli.
"Erna...nikmat banget," kataku.
Tanganku
tak tingal diam. Aku memilin-milin putingnya sampai mengeras. Ia
terangsang ternyata. Aku lalu mendorongnya, ia pun berbaring. Aku kemudian menciumi
dadanya, perutnya lalu pergi ke bawah. Di sebuah tempat yang rambutnya tumbuh
melindungi tempat pribadinya. Aku kemudian menjilati bibir vaginanya. Erna
menggeliat sperti ulat. Ia memejamkan mata menerima rangsangan-rangsanganku di
rongga vaginanya. Klitorisnya aku sapu, beserta rambut kemaluannya. Ia
menggelinjang. Aku ulangi lagi dan aku kemudian menggigit-gigit gemas
klitorisnya.
"Maasss....aakhhh...jangan gitu dong...geli...aduhh
duuhh....duh...mass....!!"
Aku terus
ulangi dan ulangi hingga ia tak kuat lagi. Ditekannya kepalaku dan
pantatnya mengangkat, pahanya mengapitku dan ia berjinjit.
"Maasss....aaaaahhhhkkk,.. mas ganteng, aku jebol nih...!!" katanya.
"Aku
pipis mas...pipis..." Aku kemudian duduk, melihat polah tingkahnya yang
menggeliat-geliat seperti ulat kesetrum. Tubuhnya sangat mulus, walaupun sudah
bersuami dan punya anak. Pantatnya masih kelihatan montok, mulus. Aku lalu
membalikkannya untuk menungging.
"Aku
masuk lho ya, kepingin merasakan benda ini ndak?" tanyaku.
"Iya
mas, masukin. Pelan-pelan ya," katanya.
Aku lalu
perlahan masuk. Batang penisku yang sudah tegang dengan urat-uratnya itu
perlahan-lahan memasuki rongga asing, yang sama sekali asing baginya. Perlahan-lahan
daging itu menggelitik sebuah lubang yang sudah diberi pelumas agar mudah untuk
masuk. Aku pun masuk separuh, karena tampaknya masih seret. Dan aku tarik lagi,
lalu kudorong lagi, terus aku ulang seperti itu. Pantatnya benar-benar
menggairahkan. Aku meremas-remas pantatnya. Dan setiap aku hentakkan penisku ke
dalam, pantatnya pun menekan ke perutku.
"Nikmat sekali mbak," kataku. "Pasti suamimu puas banget ya
ngentotin kamu." Aku lalu mempercepat goyanganku. PLOK PLOK PLOK PLOK,
suara pantatnya beradi dengan selakanganku. Penisku makin masuk saja dan Erna
tampak keenakan. Ia terus mendesah, mendesis dan meraba-raba vaginanya yang
dimasuki penisku.
Aku kemudian menghujamkan penisku lebih dalam hingga mentok ke rahimnya. "Mas,...enak
banget kontolnya mas...," katanya.
Aku kemudian membalikkan badannya. Kutuntun ia untuk duduk di pangkuanku. Kami saling
beradapan. Kucium ia, lalu dadanya pun naik turun seiring tubuhnya yang naik
turun. AKu menghisapi buah dadanya, kuberi sebuah cupangan. Lalu aku hisap
putingnya. "Mas...aduh, koq dicupangi sih? ahh...hhh...ohh... enak mas,
iya dipilin-pilin gitu...eh-eh....mas...geli..," katanya. Kujilati bagian
di bawah ketiaknya. Ia menggelinjang dan memeluk tubuhku. Vaginanya terangkat
sedikit, pantatnya bergetar. Ia makin erat memelukku.
"Mas..aku keluar lagi..", katanya.
Aku
perlahan-lahan membaringkannya. Kemudian aku naik turunkan pantatku. Erna sangat
menggairahkan. Penisku terus mengobok-obok vaginanya. Memeknya tidak melakukan
empot-empot, tapi cukup seret. Mata kami beradu, mulut Erna menganga. Ia
melingkarkan lengannya ke leherku. Pahanya mengapit pinggangku.
"Erna, aku keluar nih," kataku.
"Iya
mas keluar aja, aku udah," katanya.
Penisku
seakan-akan mengumpulkan semua kekuatannya di ujung dan kuhujamkan penisku
sedalam-dalamnya ketika keluar. CROOT...CROOT CROOOOTT, muncratlah penisku
sebanyak-banyaknya ke rahimnya. Mata Erna memutar dan kami berciuman lama
sekali. Kami kemudian kelelahan dan istirahat sebentar.
Malam itu kami bercinta terus sampai pagi. Erna cukup kaget dengan staminaku. Kami
pun bermain hingga lima ronde dan baru selesai pukul 3 pagi. Saking lamanya
kemaluan kami benar-benar ngilu rasanya.
***
Erna dan aku tidur saling berpelukan. Aku terbangun terlebih dulu. Aku bisa
menilai Erna ini benar-benar sexy. Tubuhnya boleh dibilang sangat langsing,
tapi tidak kurus.
"Erna...udah
pagi nih," kataku.
"Bentar
mas, masih dingin," katanya sambil makin erat memelukku.
"Mandi
bareng yuk?!" ajakku.
"Tapi
masih dingin," katanya.
"Ada
air hangatnya koq," kataku.
"Ayo
deh," kata Erna. Ia segera bangun.
Kami
menuju kamar mandi, masih telanjang. Aku kemudian menyalakan air di bank mandi
dan keluar air panas. Di dalam kamar mandi ada cermin sehingga Erna bisa melihat
dirinya di sana. Sembari menunggu air bak mandi penuh, penisku tegang lagi
melihat tubuhnya, atau boleh dibilang kalau pagi memang seperti ini sih. Kami
pun berpanggutan lagi di dalam kamar mandi. Saling membelai dan memberikan
rangsangan. Aku mendorongnya hingga duduk di atas toilet, lalu kuhisap buah
dadanya, puting susunya pun kulahap dan kumainkan dengan lidahku.
"Ohh...mas,..pagi-pagi udah ngentot aja," katanya.
"Iya
nih, habis kamu seksi sih," jawabku.
"Sayang
cuma ini kesempatan kita ya."
"Kalau
mas mau, kapan pun bisa koq. Aku rela mas," katanya.
"Aku
kan cuma membayarmu untuk beli kosmetikmu," kataku.
"Tak
apa-apa mas, oh...kalau mas kepingin tinggal telpon aku aja atau kita
pakai kode khusus gitu, biar mbak Vidia ndak curiga," katanya.
Penisku ku
pasang di bibir memeknya, kemudian aku tekan. Memek Erna sudah becek. Dengan
leluasa aku keluar masukkan penisku.
"Aku
ketagihan ngentot ama mas," katanya.
"Baiklah,
ini jadi rahasia kita ya," kataku.
"Iya
mas, ohh...penis mas penuh banget. Aku pikir bisa-bisa robek memekku," katanya.
"Tapi nggak kan?" tukasku. "Lagian memekmu peret banget."
"Ohh...mass,"
desahnya.
Aku cukup
bermain satu ronde di kamar mandi. Dan aku percepat goyanganku. Aku pun keluar,
tapi tak sebanyak tadi malam. Mungkin habis produksi testisku. Setelah itu kami
mandi bareng, saling menggosok dan menyabuni. Kami juga sempat berbaring
sebentar di bak mandi dan bermanja-manjaan. Pukul 9.00 ia harus sudah balik ke
mall. Aku mengantarnya. Dan kami berjanji kalau ada kesempatan akan
mengulanginya lagi.
BAB 9
***********
VENUS PREGNANT
Perut Bunda makin membuncit. Hasil dari USG menyatakan bayinya sehat dan sepertinya
akan lahir bayi laki-laki. Sekalipun hamil ternyata bunda makin
lama makin menarik. Aku sebenarnya takut untuk bercinta dengan wanita hamil. Oleh
karena itulah aku tak pernah terlalu bersemangat bercinta dengan kak Vidia
ataupun Nur ketika hamil. Walaupun aku suka ketika mengisap tetek mereka yang
ada isinya. Namun pengalaman bunda melebihi pengalaman Kak Vidia dan Nur dalam
masalah bercinta ketika hamil. Bunda mengerti kebutuhanku, dan beliau tahu cara
untuk memenuhi kebutuhanku. Akan aku ceritakan pengalamanku ketika bunda hamil
anakku.
Usia kandungannya sudah hampir 7 bulan. Bunda juga ngidamnya ndak aneh-aneh seperti
Kak Vidia ataupun Nur. Ngidam yang paling sulit aku lakuin adalah Nur. Ia
kepengen banget untuk bisa makan bebek peking tapi dagingnya harus dimasak dengan
bumbu ayam betutu. Ribet kan? Tapi Nur punya alasan kayak enak kalau bebek
peking dibuat seperti itu. Ndak wajar, kubilang. Tapi begitulah, kata orang
Jawa kalau ngidam nda keturutan anaknya bakalan ngiler. Akhirnya aku masak
sendiri. Beli bebek peking trus setelah itu dimasak seperti ayam betutu. Dan
bisa diprediksi dapur berantakan. Kak Vidia ketawa kerasa diceritain masalah
itu. Bunda juga ikut-ikutan.
Kata beliau waktu hamil aku dulu ngidamnya ndak aneh-aneh, paling kepingin
buah sawo padahal tidak lagi musimnya. Ayah sampai kebingungan nyari, bahkan harus
ke daerah pelosok hanya dapat 1 kg sawo itu saja masih muda. Tapi bunda nikmat
banget makannya. Kak Vidia ngidamnya ndak terlalu, cuma agak aneh saja. Hampir
seluruh novel-novel percintaan diborong olehnya selama ngidam. Kalau biasanya
ngidam itu buah mangga atau apa, tapi Kak Vidia ini tidak. Malah ngidam buku.
Ndak cuma novel percintaan saja sih. Kalau ada buku lain yang sepertinya
menarik pasti juga dibeli. Katanya kalau nggak baca buku seharian rasanya ndak
enak banget kepengen marahan melulu.
Nah, bunda ndak aneh-aneh ngidamnya. Paling disuruh nyariin nasi padang pas jam
2 malam. Itu pun karena pas siangnya kami menikmati nasi padang. Entah kenapa
siang itu rasanya panas sekali. Saking panasnya bunda pun
menyalakan AC dengan suhu dingin. Bunda, duduk di sofa sambil mengelus-elus perutnya.
Aku rasanya tergoda sekali ingin mengelus-elus perutnya. Bunda hari itu hanya
pakai tank top dan celana legging. Sehingga perutnya kelihatan banget. Kayaknya
dadanya makin besar. Terus terang, aku sedikit membayangkan kalau misalnya
sekarang ini aku bercinta dengannya.
"Ndak ngantor pah?" tanyanya. Semenjak identitas kami sebagai suami
istri,
semuanya memanggilku dengan sebutan papah. Itu membuat hubungan kami tambah hot.
"Nggak mah, papah kepingin di rumah
saja," kataku kemudian menghampiri bunda yang duduk sambil mengelus-elus
perutnya.
Aku duduk
di sebelahnya. "Males keluar, panas banget."
"Iya,
panas banget. Mamah sampe nyalain AC," kata bunda.
Aku tahu
kalau bunda itu jarang banget nyalain AC, tapi hari ini panasnya benar-benar di
luar batas. Bunda tidak pakai kerudung tentunya. Wajahnya masih cantik, bodynya
masih bahenol. Tapi karena hamil ini lengannya sedikit gemuk. Pipinya sedikit chubby.
Tapi tetap hal itu membuatnya menarik.
"Pijitin mamah dong pah, pinggul mamah pegel," katanya. Aku kemudian
memasukkan tanganku ke belakang tubuhnya. Bunda menggeser tempat duduknya untuk
memberikan ruang gerak.
"Aduh
duh duh...," bunda mengaduh lalu tersenyum.
"Kenapa
mah?" tanyaku
"Ini,
oroknya gerak-gerak, lihat!" aku melihat perut mama tampak menonjol.
Sepertinya adik bayi sedang menendang. Kudekatkan wajahku, lalu kuciumi perut bunda
tepat di tonjolan kecil itu. Lalu tonjolan kecil itu menghilang.
"Sudah
bisa gerak ya sekarang?" tanyaku.
"Sering,
terutama pas ndak ada papahnya di rumah, hampir gerak tiap hari,"
jawab bunda. Tangan kiriku membelai-belai perutnya, tangan kananku tetap
memijiti pinggulnya di atas tulang ekor.
"Mah,
aku makin cinta ama mamah," kataku.
"Aku
juga pah," kata bunda. Aku lalu mencium bibirnya. "Kamu
kepingin?"
Aku
mengangguk. Lalu menciumnya lagi. Kami saling memanggut hot. Tangan kiriku sekarang
meremas-remas susunya. Aku bisa merasakan buah dada bunda mengeras. Tidak
seperti dulu. Mungkin sudah ada isinya.
"Ohh...mah...,"
desahku.
Bunda lalu
melepaskan tanktopnya. Bunda memang tak pakai bra, karena dari tadi aku
meremasi buah dadanya, aku langsung bisa merasakan kerasnya puting susu yang
kecoklatan itu. Begitu dadanya terekspos, perhatianku pun beralih ke dadanya.
Sesuatu yang aku suka yaitu ASI. Mulutku sudah mencaplok puting susunya,
kulumat, kujilati, kukulum dan kuhisap. Air susunya pun keluar. Rasanya agak
manis.
"Ohh...pahh...papah
netek," keluh bunda.
Juniorku
makin tegang aja. Kini serasa sesak celana pendek yang aku pakai.
Bunda membiarku menyusu kepadanya bergantian kiri dan kanan. Tangan kirinya mencari-cari
pionku yang sudah mengeras. Ketika menemukannya, tangannya pun menelusup ke
dalam celana pendekku. Kemudian kepalanya dipencet-pencet dan diputer-puter.
Ouugghh...enaknya.
Yang aku sukai dari bunda dalam bercinta adalah ia sudah berpengalaman. Ia juga
tahu titik-titik kelemahan lelaki. Jadi setiap bercinta dengan bunda,
pasti aku mendapatkan dua hal yaitu kepuasan bunda dan kepuasanku. Dengan tangannya
saja ia bisa memberikanku kepuasan seperti bersenggama. Sebab caranya memainkan
penisku dengan tangannya berbeda dari sekedar coli. Juga ketika oral. Bunda
sangat jago. Ketika bunda belum hamil dulu, benar-benar aku lemes dengan
perlakuannya kepada penisku. Bahkan bunda tak ragu-ragu untuk menelan seluruh
spermaku hingga kering. Dalam bercinta pun seperti itu, bunda
selalu berusaha memuaskan dirinya, baru kemudian mengimbangiku. Aku
dibimbingnya untuk memuaskan titik-titik sensitifnya sehingga percintaan kami sangat
panas dan sangat bergairah. Selalu dan selalu ingin diulang.
Kupuaskan menghisap air susu bunda. Tanganku sudah tidak memijat lagi
sekarang. Tangan kiriku masuk ke celananya dan mengelus-elus bibir
kemaluannya. Bunda mendesis dan mengeluh. Kusibak bibir vaginanya yang sudah mulai
basah. Perlahan-lahan jari tengahku mencari lubangnya. Dengan lancar jari
tengahku masuk dan menggesek-gesek lubangnya. Bunda menyandarkan kepalanya ke
sofa. "Paahh..ohh...iya itu pah, digesek-gesek," kata bunda. Beberapa
kali ia menggeliat ketika jari tengahku menyentuh klitorisnya. Sementara itu
bibirku masih di putingnya menyedot seluruh ASI yang ada. Aku tak peduli kalau misalnya
ASI-nya habis. Setelah yang kanan kulanjutkan yang kiri.
Tangan bunda berhenti mengocok penisku, kini ia menggenggam erat batangnya hingga
aku ngilu. Tanganku makin cepat keluar masuk di kemaluannya. "Pahh...mamah
mau nyampe, ooohh...iya begitu paahh... ooouuucchh!" pantat bunda terangkat
aku mengeluarkan tanganku dan bunda memeluk kepalaku hingga wajahku terbenam di
lautan toketnya. Tiga hentakan pinggul bunda naik ke atas. `1`ewwwwq APerutnya yang buncit itu makin membubung.
Lalu bunda lemas. Ia menutup
keningnya dengan lengan kanannya, sehinga aku bisa melihat ketiaknya yang
putih. Aku lalu menuju ke ketiaknya dan kujilati. Bunda kegelian dan
mendorongku, "Geli pah, jangan...!" Aku tak peduli kujilati dan
kuciumi keteknya sampai puas. Bunda makin berusaha mendorongku karena kegelian,
hingga kemudian ia tertawa. Ia mencubit pinggangku. "Aduh," aku
mengaduh. "Kamu ini dibilang geli koq, udah ah. Masukin dong, mamah udah
kepengen nih," katanya.
Bunda melepaskan sisa pakaiannya yang masi menempel. Tubuh wanita hamil itu agak
eksotis. Kulit perutnya halus, aku beberapa kali mengelusnya dulu dan kuciumi.
Bunda berbaring dibuka lebar kakinya. Aku bisa melihat liang senggamanya sudah
basah. Bunda menggeliat-geliat minta dimasukkan. Aku posisi agak berlutut. Aku
maju, kepala otongku udah ada di bibir memeknya yang lembut. Bunda tak sabar, ia
yang pertama majukan pantatnya. Langsung saja otongku masuk begitu saja.
"Ohh...pahhh....enak
paaaahhh," seru mamah.
Aku juga
merasakan hal yang sama. Penisku mengobok-obok memeknya sekarang. Tangannya
menggapai tanganku dan kami berpegangan. Wajah bunda mendongak, beliau
sepertinya ingin menggapai lagi kenikmatan untuk kedua kalinya setelah orgasme
tadi. Itulah sebabnya kini pinggulnya ikut bergoyang, kiri kanan. Dan kemudian
ketika beliau menggoyang ke kiri, kepala bunda menggeleng-geleng. Rambutnya
awut-awutan. Dan seperti biasa, memeknya dibuat seperti meremas-remas otongku.
Walaupun hamil, memek bunda tetap bisa memberikan pijatan-pijatan hangat yang
meremas batangku.
"Ohh...maaahh...hhmmmhh...memek mamah tetep enak, papah suka....."
"Pahh..nungging yuk!?" mamah mengusap-usap dadaku. Aku menghentikan
aktivitasku, kuusap-usap perut mamah yang buncit. Saat itu aku meraskan
sesuatu yang menendang. "Mah, dedeknya gerak," kataku.
Mamah
tersenyum. Ia pun merasakannya. Sepertinya anakku ini juga merasakan dia digoyang-goyang.
Mama pun bangkit, kemudian di sofa mama menungging. Pantatnya makin semok, aku
remas-remas bongkahan pantat itu dan kuhisapi dengan gemas. Aku menggerakkan
wajahku sampai mendekat ke duburnya. Lalu aku jilati bagian antara dubur dan
memeknya. "Ouchh...pah...geli...," katanya. Bunda memajumundurkan pantatnya, tampaknya ia
suka. Setiap kali lidahku menjilatinya, ia memajukan pantatnya.
"Udah pah, jangan mamah geli!" bunda membenamkan wajahnya ke sofa.
Walaupun ia bilang begitu tapi sepertinya merasakan nikmat.
Kenikmatan-kenikmatan bisa jadi sekarang sedang mengguyur mamah. Jilatanku
makin cepat dan menggelitik. Lidahku menelusup ke vaginanya. Dan dengan sapuan
buas lidahku menyapu klitoris, belahan memeknya sampai duburnya. Mama menggoyang-goyangkan
pantatnya lalu memajukan pantatnya.
"Pahh...mamah...mamah pipis paahh...!"
Aku kaget
ketika bunda mengeluarkan cairan menyemprotku. Semprotannya tak Cuma sekali dua
kali, tapi berkali-kali sampai ia lemas. Ternyata itu titik
sensitif bunda. Sofa kami jadi basah dengan squirtnya bunda. Aku kemudian memposisikan senjataku ke depan
mulut memeknya. Aku meraih buah
dadanya dan kuremasi gemas. Bersamaan dengan itu pantatku maju. Rudal coklat dengan
kepala pelurunya berwarna kemerahan mulai menerobos liang kewanitaan bunda.
Kulitnya sudah berkilat-kilat memantulkan cahaya karena terkena lendir senggama.
Kemudian gesekan-gesekan lembut mulai dilakukan. Penetrasi untuk kedua kalinya
ini sensasinya bikin kepala penisku gatal. Mungkin karena banyak squirt bunda
yang keluar. Atau mungkin karena memang aku sudah benar-benar horni. Setiap aku
menghujamkan penisku, aku selalu menghantamkan perutku ke pantat bunda. Dan
bunda setiap terkena hentakan menjerit.
"Aww...oohh...Aww...Awww...ppaahhh....te...rruuuss ...yang cepet
paahhh," kata bunda. Aku kemudian mulai mempercepat temponya. Maju mundur
dengan cepat. Terus aku pompa makin cepat, kepala bunda pun menggeleng-geleng.
"Paah...mamah keluar lagi pah...he-eh...pah....cepet gitu,
cepet...teruss...fuck me pah....fuck meee.....!" rancau bunda. Aku makin
percepat, suara benturan pantat dengan perutku memenuhi ruangan.
Memberikan kesan erotis. Tak pernah kubayangkan sebelumnya aku bakal bisa ngentotin
bundaku. Bunda yang selalu mendidikku sejak kecil. Ketika kecil aku yang
dimandikan olehnya sekarang kita biasa mandi bersama. Aku yang dulu menyusu
sekarang aku menyusu lagi. Dulu aku yang keluar dari lubang kecil ini sekarang
aku masuk lagi. Dulu dari rahim ini aku keluar sekarang aku sudah menabur
benihku di sana. Aku dulu tak pernah membayangkan bakal menjadi suami dari
bundaku. Bunda yang selalu meyayangiku. Kini kasih sayang itu lebih besar lagi,
tak hanya sekedar seorang anak, tapi lebih kepada suami, sebuah cinta yang tak
akan dimengerti oleh orang lain. Kami merengkuh birahi bersama
dan kedudukanku sekarang mengisi hatinya menggantikan ayah. Aku hampir orgasme bahkan mungkin beberapa
saat lagi benih-benih cintaku yang
kental akan menyemprot di dalam rahimnya. Aku ingin mengingat setiap memory bersama
bunda. Entah kenapa tapi sebelum orgasme aku ingin mengingat semuanya, mengingat
semuanya hingga aku yakin setiap waktu, setiap kesempatan, setiap kenangan.
Memory itu makin jelas. Bunda, aku butuh bunda, aku butuh bunda untuk birahiku.
"Pah....punya papah makin keras, enak pah...mamah dientot
papah...ohhh....suamiku....mamah keluar paahh...oohhh...punya papah sesek di dalam.....,"
bunda mengimbangi goyanganku. Ujung
penisku mulai gatel. Testisku sudah sesak, sepertinya sudah benar-benar tak
kuat lagi ingin mengeluarkan sperma. Benar kata bunda, punyaku udah benar-benar
tegang. Kubayangkan seluruh memory ketika aku orgasme ke dalam
rahimnya, ketika aku merasakan nikmatnya menyemprotkan spermaku ketika
melakukan titfuck kepadanya, atau ketika ia mau menerima semburan spermaku di mulutnya,
semua memory itu terkumpul untuk sebuah momen ini. Momenku menyemburkan seluruh
isi testisku.
"Bundaaa.....bundaku...kuentoooott.... terimalah buah cinta anakmu
ini!!!"
teriakku.
"Ohh....anakku
sayang, papahku....ohhhhhh!"
CROOTT
CROOTT CROOOOTT CROOOTTT CROOOTT
Banyak
sekali semburan spermaku. Aku tak bisa menghitungnya tapi
setiap punyaku berkedut maka setiap itu pula spermaku keluar. Bunda yang
tersirami sperma hangat itu mendongakkan kepalanya sambil menjerit, memanggil namaku.
Tubuhnya menegang, pantatnya bergetar hebat. Punyaku seperti diremas-remas. Aku
tak bisa membohongi diri kalau aku sebenarnya sangat mencintai bunda. Melebihi
Kak Vidia maupun Nur. Mungkin karena bunda adalah wanita pertama yang melepas
keperjakaanku. Wanita pertama yang menerima spermaku di rahimnya, wanita
pertama yang mau mengoralku dan keluar di dalam mulutnya. Mengingat itu semua
membuatku terus meledak dalam kedahsyatan orgasme yang tak pernah kurasakan
selama ini.
Bunda bertahan dalam posisi menungging. Punyaku masih di dalam, dan itu dalam keadaan
tegang, walaupun sudah menyusut sedikit. Perlahan-lahan aku mencabutnya. Aku
lalu duduk di sofa. Kuamati batangku yang terbungkus cairan putih, campuran
antara spermaku dan cairan kewanitaan bunda. Bunda masih menungging nafasnya
tampak tersengal-sengal. Butuh waktu sejenak untuk bunda bisa tenang rupanya.
Kulihat dari belahan memeknya tampak spermaku meleleh. Rupanya aku keluar
banyak sekali. Aku bisa melihat lubangnya penuh dengan cairan kental berwarna
putih. Bunda lalu perlahan-lahan mulai duduk. Tubuhnya disandarkan ke sofa. Aku
duduk di sampingnya. Kemudian bunda bersandar ke bahuku. Tangan kirinya
menggenggam tangan kananku.
"Pah...tadi... papah hebat sekali...bunda sampai ngerasa papah keluarnya
banyak banget," kata bunda.
"Iya
mah...papah mengingat-ingat semua peristiwa persenggamaan kita, itu
membuat papah bergairah dan bisa orgasme sedahsyat ini," kataku.
PReeettt!!
terdengar suara dari memek bunda.
"Apa
itu mah?" tanyaku.
"Hihihi,
sperma papah keluar, ditolak ama rahim, kan udah ada isinya," jawab
mamah sambil tertawa kecil. Bunda kemudian bangkit dan melihat sofa. Dari
tempatnya duduk, kulihat ada cairan kental berwarna putih di situ.
"Ini bersihinnya gimana ya? Kalau ada tamu masa' harus bilang kalau kita
maen di sini," kata bunda.
Aku
tertawa. "Beli sofa baru?"
"Pemborosan
ah, coba deh papah yang tanggung jawab bersihin.
Kan itu
punya papah, horni koq di ruang tamu," bunda menjulurkan lidahnya.
Melihat
beliau berdiri telanjang. Dadanya besar, perut besar, pantat montok
membuat aku tegang lagi. Gila nih otong. Ndak puas-puas. Otongku langsung
mengembang lagi.
"Wah,
udah kepingin lagi?" tanya bunda.
"Iya
nih mah, lihat mamah tanpa baju sehelai pun, membuat papah horni,"
jawabku.
"Tapi mamah capek pah," kata bunda, lalu berlutut di hadapanku. Buah
dadanya bertumpu di atas pahaku. "Pake oral aja yah?"
Aku mengangguk. Aku menggeser tubuhku untuk maju. Agar perut bundaku tidak menyentuh
pinggiran sofa. Lutut mamah ditekuk, jadi ia duduk di atas kakinya. Saat itu
terdengar suara lagi. PREEETTT..."Benih papah keluar lagi nih. Sebanyak
apa sih tadi keluarnya? Masa' sampe seliter?" canda bunda.
"Ndak tau mah, pokoknya setiap kedutan tadi keluar terus," jawabku.
"Apakah
bunda ini sebegitu membuat anak bunda yang sudah jadi suami bunda ini horni?"
tanya bunda. Bunda mulai beraksi. Aku duduk dipinggir sofa. Pahaku terbuka
lebar, jemari bunda mulai mengusap-usap pahaku lalu selakanganku. Bunda mulai
merangsang titik-titik sensitifku. Diciumnya seluruh bagian pahaku.
"Mamah, mamah memang sangat hebat kalau merangsangku," kataku. Bunda
konsentrasi menciumi dan menghisapi pahaku. Kemudian mulai mendekat ke batangku
yang sedang di pegangnya. Batangku dikocok lembut, bagian kepalanya dielus-elus
oleh telunjuknya. Wajahnya pun kemudian ke bagian buah zakarku. Menciumi apa
saja yang ada di sana. Senjataku makin mengeras dan on lagi. Bunda
mengejar-ngejar buah zakarku. Aku merintih-rintih keenakan dengan perlakuannya.
Kedua tanganku mengusapi tangannya yang melakukan kocokan lembut. Mulutnya lalu bergerak ke batangku sekarang. Dijilatinya
batangku yang masih ada campuran spermaku dan cairan kewanitaannya. Lidah Bunda
menari-nari di
batangku, hingga sampai ke ujung lubang kencing, lalu mulutnya dibuka dan
bibirnya maju untuk menghisap penisku. OOOuuwww.... Terlihat ujung bibirnya menutupi
lubang kencingku dan lidahnya menari-nari di lubang penisku. Sensasinya ndak
bisa dikatakan.
"Mah..mamah..mamah
apain itu? Enak banget?" tanyaku.
"Vidia
ama Nur ndak pernah giniin kamu?" tanyanya.
"Tidak pernah mah, aku selalu bebaskan cara mereka memuaskanku,"
jawabku. "Besok aku ajarin mereka biar tahu cara memuaskan suaminya
ini," kata bunda. Kembali lagi mempermainkan lubang kencingku. Lalu sesaat
kemudian mulutnya tiba melahap kepalanya lalu kembali lagi mempermainkan lubang
kencingku. Alamaakk...enak banget aku diperlakukan seperti itu. Lalu pinggiran
kepalaku yang cukup sensitif dijilatinya memutar. Dan tangannya mengocok
batangku dengan cepat sembari mengerjai kepalanya.
"Mahh...mahh...aduhhhh...nikmat banget mah...," kataku.
Bunda
mengulumnya sekarang, tapi lidahnya tetap mengerjai pinggiran kepalanya, melumeri
kepala penisku dengan lidahnya lalu menghisap kuat-kuat. Kemudian diulangnya
lagi. Sedangkan tangannya terus mengocok dengan cepat.
"Maahh...udah mah.., boleh dong papah ngerasain titfuck?" kataku
memohon. Bunda menghentikan aktivitasnya. Ia tersenyum mengetahui imajinasiku.
Diangkat buah dadanya. Rudalku yang sudah sangat tegang itu lalu kumajukan agar
bisa diapit oleh bukit kembarnya yang benar-benar montok. Bunda menggerakkan dadanya
naik turun. Ohhh....nikmat sekali. Wajah bunda menunduk dan setiap kepala
penisku mendekat ia menjilatnya. Pantatku pun tak mau diam, ikut naik turun.
Aku lalu ikut memegang toketnya yang biadab itu. Dadanya kumainkan naik turun
mengapit batangku. Otot-otot penisku makin mengeras, agaknya ingin keluar lagi.
"Kayaknya mau keluar ya pah?" tanya bunda.
"Koq
tahu mah?" tanyaku.
"Akukan
ibumu, jadi tahu semua tentang anaknya, apalagi kita telah jadi suami istri dan
selalu tahu bagaimana tegangnya kepunyaan suaminya ketika ingin menembak,"
jawabnya.
"Maahh....papah mau keluar mah...," kataku.
"Semprotin
aja pah," kata bunda.
"Ohh...maahh...keluar
di wajah mamah ya?" kataku.
Bunda
mengangguk, kemudian wajahnya mendekat. Penisku aku kocok dan
menyemprotlah spermaku ke wajahnya. Lima tembakan ke wajah bunda. Setelah 5 kali
tembakan, bunda memasukkan penisku ke mulutnya dan mengocoknya lembut. Sisa
spermaku keluar di mulutnya. Bunda menelan sisa-sisa yang keluar di penisku.
Kulihat keningnya, matanya, hidung dan pipinya terkena spermaku. Aku lemas di
atas sofa. Bunda kemudian menjilati spermaku yang ada di wajahnya. Ia masukkan
semua itu ke mulutnya dengan bantuan tangannya. Terlihat sangat rakus. Aku suka
pemandangan itu dan menyaksikannya hingga wajahnya bersih lagi. Bunda lalu
berdiri.
"Udah ah, ngeres mulu pikiran papah. Ingat lho mamah lagi hamil, cepet capek,"
katanya sambil meremas batangku.
"Aduh!"
kataku. Batangku ngilu rasanya. "Habis mamah seksi sih."
"Simpan
tenaga buat malam nanti ya pah, malam nanti dilanjut kalau masih
kepengen," katanya. "Sekarang bersihin tuh, sofa ama lantainya!"
Aku
tertawa kecil, "Iya iya mah."
Malam
harinya aku mengulanginya lagi dengan bunda di ranjang. Bunda
memperingatkanku agar jangan sering-sering ML, karena capek juga. Aku
mengerti kondisi beliau. Maka dari itu kalau ML aku selalu berakhir dipuaskan
dengan jurus oralnya atau titfuck. Satu yang aku sukai dengan bunda adalah
beliau cukup sabar dengan perlakuanku selama bercinta. Menerima seluruh
keinginanku, dan tahu bagaimana cara memuaskanku. Maka dari itulah, ketika setelah
oral aku minta oral lagi beliau tak menolak. Bahkan ketika beliau capek beliau
berbaring miring dan aku menggarapnya dari belakang. Beliau tetap bersabar
sambil terus menerima sodokanku. Akhirnya setelah puas 4 ronde. Aku tertidur di
dalam selimut sambil memeluk bunda dari belakang. Dalam rumah tangga kami
selalu harmonis. Walaupun aku harus membagi waktuku dengan kedua saudariku yang
lain. Itu karena aku selalu memberikan sentuhan. Baik itu sentuhan sekedar
mengelus tangannya, atau menciumnya. Atau sentuhan-sentuhan yang lain. Apabila
sentuhan itu makin hot, maka yang terjadi adalah dituntaskan di ranjang. Mereka
sangat mencintaiku, maka dari itulah kalau misalnya tahu ada wanita lain yang
aku sukai, mereka pasti akan bertanya siapa wanita itu? Apakah mau menerima
keadaanku ataukah tidak? Dan aku jujur ketika menyukai mbak Juni yang sekarang
entah ada dimana itu. Sedangkan yang main-main aku tak pernah menceritakannya
kepada semua istriku. Bukan berarti aku tidak jujur, tapi agar keluargaku tetap
utuh. Aku anggap itu semua Cuma variasi saja dalam berhubungan. Toh, kebanyakan
mereka yang telah berhubungan dengaku adalah menginginkan aku. Bukan
sebaliknya.
Bab 10
************
ANAK TETANGGAKU NAURA
Setelah pengalamanku dengan tetanggaku Erna. Aku pun jadi iseng. Penyakit
lamaku agaknya kumat. Aku sendiri lebih ngelirik ke para ABG. Aku pun browsing
di internet, mencari anak-anak ABG. Tapi semuanya tak menarik buatku. Aku
mencari yang imut dan berjilbab. Agaknya kenanganku dengan NUr ketika
memperawaninya tak bisa aku lupakan.
Saat itulah aku sedang jalan-jalan sendirian di sebuah taman. Terus terang,
pekerjaan, kemudian mengurusi bunda dan lain-lainnya membuatku stress dan
capek. Aku lalu kemudian duduk di sebuah bangku sambil menyaksikan
bintang-bintang di langit. Malam-malam begini di taman pasti lagi banyak para
ABG pacaran. Dan memang benar. Mereka lalu lalang. Cukup ramai. Saat itulah ada
seorang cewek yang tiba-tiba duduk di bangku. Aku cukup kaget, karena
sepertinya aku pernah melihat cewek ini tapi entah di mana.
Cewek ini sedang menangis. Ia mengusap air matanya dengan tissue. Aku
melihatnya berjilbab tapi bukan jilbab lebar seperti bunda, Kak Vidia, maupun
adikku Nur. "Kenapa non?" tanyaku.
Ia tak
menjawab.
"Diputus
pacar?" tanyaku lagi.
Ia
mengangguk. Owalah.
"Om,
bisa bantu saya om?" tanyanya kepadaku.
"Bantu
apaan?" tanyaku.
"Pura-pura
jadi pacarku," jawabnya.
"Aku
mau beri pelajaran ama dia. Plis ya om. Nanti aku bayar deh, berapapun om
minta. Sebentar aja koq."
"Aku
ndak mau ah, itu kan urusan pribadi koq aku ikut-ikutan? Ntar kalau biniku tahu
berabe," kataku.
"Ayolah
om, plisss...ndak bakal ketahuan koq. Aku ingin buktiin kalau aku juga bisa
punya pacar baru dan dia bukan satu-satunya lelaki di dunia ini," katanya.
Ia mengiba dan aku paling benci untuk menolaknya. "Oke deh, sebentar lho
ya? Tapi aku tak mau membayarmu. Ini kulakukan untuk menolongmu, tulus."
Ia pun tersenyum. Ia mengusap air matanya.
"Masih
kelihatan baru nangis ndak om?" tanyanya.
"Coba
cuci muka di situ, di pancuran taman," kataku.
Ia pun
segera pergi untuk cuci muka. Lalu setelah itu ia bersihkan pakai tissue. Ia
cukup cakep. Aku jadi teringat ketika Nur masih muda dulu, ketika masih
perawan. Ia pun menghampiriku lagi.
"Namaku
Naura om, om siapa namanya?" tanyanya.
"Doni,
panggil Mas aja deh," jawabku. "Usiaku baru 28 tahun."
Ia
tersenyum, "Tapi kelihatan tua, apa karena kumis tipisnya ya?"
Aku
tertawa. "Atau mungkin karena aku bawa mobil, punya istri dan punya
perusahaan besar. Biasa aku dipanggil pak. Tapi para tetanggaku banyak juga koq
yang manggil mas, karena memang aku masih muda."
"Ndak nyangka om...eh...mas masih muda, yuk om. Nemuin cowokku yang
bangsat itu," katanya. Aku pun digandengnya. Kami akhirnya berjalan
menyusuri taman yang cukup luas sih menurutku. Hingga sampai di sebuah sudut
pohon yang ada batunya. Tampak di sana ada dua sejoli yang sedang duduk
berduaan. Dan pemandangannya tak kalah menariknya. Tangan si cowok sudah masuk
ke bajunya si cewek. Melihat aku dan Naura datang, ia buru-buru mengeluarkan
tangannya dari sana.
"Heh, Andi! Nih lihat aku juga punya cowok, emangnya cuma kamu saja yang
bisa dapatin cewek semaumu. Aku juga bisa!" katanya.
Cowok itu
pun berdiri, "Oh, selamat deh kalau begitu. Ya udah habis ini kita ndak
usah ketemuan lagi. Aku udah muak ama kamu."
"Dasar cowok playboy. Bajingan, kurang ajar. Hei kamu, ntar kamu nyesel
hubungan sama dia. Dia tiap kota ceweknya beda!" Naura membentak-bentak.
"Urusan gue dong," kata si cewek.
"Pergi
yuk, percuma ngeladenin cewek murahan kayak dia!" kata si cowok.
Terus
terang, aku paling tidak suka kalau ada yang menghina seorang cewek baik-baik
disebut murahan. Aku langsung menarik kerah baju si Andi ini. Aku lalu memukul
perutnya. Ia mengaduh sambil memegangi perutnya. Ceweknya tampak panik melihat
aksiku.
"Kurang
ajar, loe bilang apa? Cewek murahan? Lo bilang Naura cewek murahan? Kurang ajar
banget lo ya? Habis manis sepah dibuang? Lo sendiri apa? Sekali lagi lo bilang
aneh-aneh ama Naura, gua habisi lu!" aku melotot ke arah matanya. Tampak
Si Andi ketakutan. Naura juga terkejut ia tak menyangka aku berbuat sejauh itu.
Aku lalu mendorong Andi hingga ia terjatuh.
Cewek Andi segera menolong. "Pergi yuk, pergi. Udah jangan
ditanggepin."
Andi lalu
berdiri dan meninggalkan kami. "Awas kalau lo sampai deketin Naura lagi,
gua hajar lo!" kataku. Naura cuma bengong. Ia seakan-akan tak percaya
terhadap sikapku. Aku lalu berbalik menghadapnya. Naura diam. "Kenapa?"
tanyaku.
"Eh..ee..enggak
om...eh, mas. Cuma kaya'nya terlalu jauh deh kalau sampai begitu," kata
Naura.
"Cowok
kayak gitu harus dikasih pelajaran. Bagiku wanita baik-baik seperti kamu
dikatakan murahan ya ndak bener juga kan?" kataku.
"Makasih
mas," katanya.
"Ya
udah, aku mau pergi kalau begitu. Udah ya membantunya," kataku.
"Tunggu!"
katanya. "Bagaimana aku ngucapin terima kasih?"
"Ah,
ndak usah, aku tulus koq membantu orang," kataku. "Aku masih sayang
istriku, ndak mau kena apa-apa nantinya."
Aku pun
meninggalkan Naura setelah itu. Tapi ternyata di luar dugaan ia mengikutiku.
Aku pun bingung sekarang.
"Lho,
kenapa? Ndak pulang?" tanyaku.
"Sebenarnya
aku lari dari rumah mas, cuma untuk ketemu ama dia," jawabnya.
"Trus?"
Naura pun bercerita kalau ia lari dari rumah karena hubungannya ama Andi tidak
disetujui. Naura telah berkorban segalanya. Ponselnya dijual untuk biaya kuliah
Andi. Bahkan mereka pun tinggal di kontrakan yang sama. Naura lari dari rumah
dan tinggal di kontrakan Andi. Maka dari itulah ketika tahu Andi punya cewek
lain ia sangat terpukul. "Tinggal satu kontrakan? Apa kalian sudah
melakukan itu?" tanyaku. Naura
mengangguk pelan.
"Sekarang
Naura bingung mau pulang mas. Papa dan mama pasti malu."
"Kamu
tinggal di mana?" tanyaku.
Naura
memberitahukan alamatnya. Dan ternyata rumahnya satu komplek denganku. Ia
tetangganya Nur. Itulah sebabnya aku sepertinya pernah tahu dia. Ia anak Pak
Rusdi, seorang General Manajer perusahaan telekomunikasi swasta. Ia memang
terkenal punya anak cewek yang cakep. Ternyata ini anaknya. "Ya amplop,
kamu anaknya Pak Rusdi?" kataku.
"I..iya
mas, mas kenal?" tanyanya.
"Ya
kenallah, dia tetanggaku," jawabku.
"Oh
my god, berarti mas ini tetanggaku dong. Koq ndak pernah tahu?" tanyanya sambil
ketawa.
"Makanya
aku pernah ngelihat kamu di mana gitu, eh ternyata," kataku.
"Dunia
memang sempit ternyata," katanya.
"Ya
udah, trus sekarang gimana?" tanyaku.
"Pak
Rusdi itu orangnya baik lho. Sayang kalau kebaikannya kamu abaikan. Pulang saja
dan minta maaf. Kamu pasti dimaafkan."
Ia pun diam. Dan tiba-tiba merangkulku. Naura menangis lagi.
"Tapi
aku masih takut untuk pulang mas, bawa aku kemana gitu deh, asal jangan
pulang," katanya.
"Lha,
terus istriku gimana?" tanyaku.
"Mau
aku bawa ke mana kamu?"
"Aku
juga bingung mas," jawabnya.
"Kalau
tinggal di rumahku, nanti pasti akan ada pertanyaan dari istriku. Ini siapa,
dari mana, koq bisa ketemu, hubungannya apa? Nah, berabe kan?" kataku.
"Aku tak punya teman lagi mas, plis..aku sudah korbankan segalanya buat si
Andi itu. Ternyata ini yang aku dapatkan. Ia cuma pingin hartaku aja,"
katanya.
Aku pun terdiam. Gila ini bocah, toketnya padet banget nempel dipunggung. Bikin
aku greng aja. Pikiran ngeresku pun mulai muncul lagi. Tidak, tidak, aku tak
mau terburu-buru. Kalau memang jadi ya jadi tapi jangan terlalu cepat dong.
"Oke deh, aku akan bantu. Aku punya villa kosong. Engkau boleh tinggal di
sana. Cuma ada syaratnya, engkau tak boleh lama-lama tinggal di sana. Nanti
anggota keluargaku curiga. Para pekerjanya masih libur. Jadi bener-bener
kosong. Cuma ada satpam aja sih yang berjaga di gerbang masuk. Tidak mengurusi
villa. Jadi kalau misalnya ada yang tinggal di villa mereka nggak bakal
mengganggu kecuali darurat. Kau bisa tinggal di sana, tapi paling lama cuma
seminggu. Dan setelah seminggu aku ingin kau harus pulang dan minta maaf ke
orang tuamu. Bagaimana?"
Naura melepaskan pelukannya. Ia jadi sumringah. "Beneran mas?"
"Iya
bener, kamu bisa tinggal di sana," kataku.
Akhirnya
aku mengantarkan Naura untuk pergi ke Villa. Aku menyapa penjaga gerbang dan
mengatakan bahwa temanku mau nginap di Villa ini untuk seminggu. Setelah itu
aku masuk ke Villa.
"Kamu
ndak ada baju?" tanyaku.
"Kutinggalkan
semua di rumahnya Andi," jawab Naura.
"Wah,
susah nih. Di lemari ada baju-baju istriku. Coba kamu lihat. Kalau misalnya pas
ya selamat deh," kataku.
"Sekali
lagi makasih mas. Mas sudah tulus banget bantu aku," katanya.
"Iya,
iya. Aku tinggal dulu ya. Jaga baik-baik villa ini," kataku.
"Mas...,"
panggilnya setelah aku berbalik. Aku menoleh lagi ke arahnya.
"Ada
apa lagi?" tanyaku.
"Anu...kalau
mas ndak keberatan, jangan bilang ke orang tuaku ya," katanya
mengiba.
"Iya, aku tak akan bilang," kataku.
"Makasih
mas," katanya.
AKu pun
meninggalkannya.
***
Sudah 3 hari aku meninggalkan Naura di villa itu. Aku disibukkan oleh
pekerjaanku. Dua hari lembur terus. Membuatku capek. Bunda pun mengusulkan agar
aku istirahat saja. Ke mana gitu. Kak Vidia juga mengusulkanku demikian. Nur
juga yang paling khawatir. Ia sempat menangis melihat kondisiku yang sedikit
stress. Maklum Nur tidak pernah pacaran. Akulah satu-satunya lelaki yang sangat
spesial baginya, maka dari itulah ia sangat mengkhawatirkanku. Kak Vidia
sebenarnya juga demikian, tapi ia lebih marah-marah ke aku dan sewot. Aku tahu
ia peduli, bahkan ia sempat mentoyorku karena kecapekan.
Mereka
bertiga berkumpul di rumah bunda. Karena bunda mendekati masa-masa lahiran.
Maka dari itu mereka ingin menjaga bunda di saat-saat aku sedang tidak bisa di
sana. Sebenarnya sama aja sih ketika Kak Vidia atau Nur lahiran, semuanya
berkumpul. Hanya saja ini spesial karena mereka tahu aku sangat sayang kepada
bunda. Dan mereka semua tahu bunda itu wanita yang sangat spesial bagiku. Maka
dari itulah mereka ingin memberikan perhatian yang lebih.
"Istirahat dululah mas, masa' sampai lembur tiga hari gitu?" Nur
menasehatiku. Matanya tampak sembab.
"Nur
sampai nangis semaleman, mikirin papah," kata Kak Vidia.
"Yah,
mau bagaimana lagi. Ngurusin pajak ini ribetnya bukan main. Kayaknya kita butuh
akuntan deh. Sayang mbak Juni ndak ada, padahal selama ini dia yang
ngurusin," kataku.
Kak Vidia
lalu duduk di sebelahku. "Sudah, ndak usah mikirin mbak Juni lagi. Ntar
malah tambah sakit. Kalau ia cinta sama papah, ia pasti akan datang. Kami semua
tahu koq perasaan papah ke mbak Juni. Kalau misalnya ia jadi istri keempat kami
rela, asalkan papah senang. Tapi mbak Juninya sendiri yang tak mau menerima
kita."
"Iya,
pah, kami bertiga ikhlas koq. Apapun keputusan papah," kata bunda sambil
tersenyum.
"Sementara biar Antok saja deh yang mengurusi. Aku ingin istirahat dulu
selama seminggu di villa," kataku. "Toh pembukuannya sudah
selesai."
"Nah,
begitu," kata Nur. "Aku senang kalau papah begini."
Aku
mencium kening Nur. Ia suka dan menciumku balik. "Tapi telpon ya kalau
bunda udah pembukaan, aku ndak mau melewati masa-masa anakku lahir."
"Tenang
aja pah, pasti kami telepon koq," kata Nur.
AKhirnya
aku pun pergi ke Villa. Untuk sesaat, aku lupa kalau di dalam Villa ada Naura.
Karena aku masih ingat pekerjaanku dan juga menunggu kelahiran anakku. Pak
Satpam penjaga menyapaku. Mobilku pun masuk ke halaman villa yang mana cukup
luas. Butuh beberapa menit untuk sampai tepat di depan villa. Aku lalu keluar
dari mobil dan mengambil tas di bagasi yang berisi baju-bajuku.
Aku lalu
masuk begitu saja ke villa yang tidak dikunci. Aku tidak begitu perhatian
dengan detail villa ini sebenarnya, walaupun kata pengurusnya beberapa kali
mengganti perabotnya karena dimakan rayap. Foto-foto keluarga terpampang di
ruang tengah begitu aku masuk. Mejanya berdebu, berarti tidak ada orang yang
membersihkannya ya iyalah, para pengurusnya masih libur koq. Aku kemudian naik
ke lantai atas, ke kamarku. Sungguh aku lupa kalau aku mempersilakan Naura
tinggal di villa ini. Karena urusan pekerjaan buyar semua hal-hal sedetail ini.
Aku pun merasa aneh ketika melihat pintu kamar terbuka.
Saat
itulah aku kaget bukan main. Tas yang aku bawa pun terjatuh. Aku terbengong
menyaksikan pemandangan ini. Naura tergeletak di atas ranjang. Sprei ranjang
itu acak-acakan. Aku mencium bau yang aneh, seperti bau kemaluan wanita. Tangan
kanannya berada di buah dadanya sepertinya ia baru saja meremas buah dada itu,
tangan kirinya dijepit oleh kedua pahanya. Dan ia tak berbusana sehelai pun.
Sebagai lelaki normal aku pun terangsang. Penisku langsung bereaksi.
Gila anak
ini, mastrubasi di atas kamarku. Dan aku sangat terkejut tak jauh dari tempat
ia berbaring ada fotoku. Ia tak menyadari aku ada di kamar. Langsung deh
seluruh pikiranku tentang pekerjaan hilang semuanya, yang ada adalah,
"ngentotin dia"
Aku
langsung membuka bajuku satu persatu. Hingga telanjang. Aku lalu naik ke
ranjang. AKu mendengar dengkuran halusnya. Dadanya benar-benar masih kencang.
Montok. Putingnya kecil pink kecoklatan. Aku lalu berada di atasnya. Ku buka
kakinya, ia tak terbangun. Aku lalu tarik tangannya yang basah dengan lendir
itu. Kubuka pahanya lebar lebar. Kemudian ku tindih dia. Kulit kami bertemu.
Mendapatkan sensasi sentuhan itu Naura membuka sedikit matanya.
"Ohh...mas
Doni...entotin Naura mas," katanya. Ia mungkin masih mengira bermimpi. Aku
kemudian menciumi bibirnya. Saat itulah ia kaget. Matanya terbuka
semuanya. "Mm..mmass??? Apa yang
mas lakukan?" tanyanya. "Udah, ndak usah dipikirkan. Dinikmati
saja," kataku. Naura sebentar bingung. Tapi tak lama kemudian ia mengerti,
bahwa sekarang orang yang diimpikannya sudah ada di atas tubuhnya. Bibirnya
kemudian menyambutku dengan kecupan lembut. Kurasakan bibir itu masih lembut,
aku bisa rasakan lipgloss yang ia pakai. Lidah kami bertemu dan berpanggut.
Kami saling menghisap ludah dan bermain lidah. Lalu aku menciumi lehernya,
kuberi cupangan-cupangan di sana. Kemudian turun ke belahan dadanya yang
menggoda. Ku hisap, kuciumi dan kujilati buah dadanya. Kuremas dan kuhisapi
pentilnya yang mungil itu.
"Ohh...mass...aku tadi mastrubasi sambil bayangin beginian ama mas,
sekarang jadi nyata....ohh...terus mas...terus...," katanya. Aku jilati dadanya, kulingkari putingnya
dengan lidahku, lalu kucolok-colok dengan ujung lidahku. Lalu kuhisap kuat. Hal
itu membuatnya menggelinjang. Aku melakukan itu bergantian. Tangannya
memelukku, menikmati kegelian rangsangan ini. Aku lalu turun, ke perutnya dan
kemudian aku melihat memeknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Ia terkejut
ketika lidahku menari-nari di sana. Membasahi rongga kenikmatan dan
menyedot-nyedot klitorisnya.
Pantat Naura terangkat, beberapa kali ketika klitorisnya kumainkan kedua
pahanya mengapitku. Kuciumi pahanya yang mulus itu. Kuberikan rangsangan ke
selakangannya, membuat setiap rangsangan itu adalah sebuah pelukan dan erangan
yang kluar dari mulutnya. Bibir bawahnya digigit dengan giginya yang putih.
Matanya memutih menikmati setiap sensasi rangsangan yang aku berikan. Ia sudah
becek sekali di bawah sana. Aku lalu kembali ke atas. Perutnya aku ciumi,
kujilati, lalu ke dadanya lagi, kemudian ke lehernya. Kemudian kami berciuman
penuh nafsu, aku lalu menciumi pipinya dan telinganya ku gigiti. Naura
mendesah. Ia pun aktif, kini ia yang menciumiku, menggigiti telingaku, kemudian
menghisap leherku, menciumi dadaku. Ia mendorongku untuk berbaring ke
sampingnya.
Naura tak tinggal diam, ia terus menciumi seluruh tubuhku, menjilatinya.
Kemudian ia memegang penisku. Diurut dan dipijatnya penis tersebut. Ia lalu
berbisik ke telingaku, "Penis mas gedhe banget, punya Andi ndak ada
apa-apanya."
Aku tersenyum. "Diisep dong!"
Ia
tersenyum, kemudian menciumi kepala penisku. Dijilatinya kepalanya, lalu ia
membuka mulutnya dan memasukkan penisku ke mulutnya. Ia hisap-hisap dan
kocok.Enak sekali. Kepalanya naik turun dan tangannya mengocok penisku.
Walaupun tak seenak apa yang dilakukan bunda, tapi it's OK-lah, mungkin ia
belajar dari bokep amatir.
"Kamu
sering nonton bokep ya?" tanyaku.
Ia
mengangguk. Naura lalu menciumi testisku, kemudian menjilatinya, ia juga
menjilat bagian bawah testisku. Membuat penisku makin tegang aja. Darah
berdesir ke kepalaku.
"Udah Naura, masukin aja, aku ingin merasakan memekmu," kataku. Ia
lalu duduk di atasku. Ia angkat pantatnya dan menyesuaikan kepala penisku di
lubang memeknya. Ia gesek-gesek, lalu ditekannya ke bawah.
"OOOuuwww....maaasss...hhhmmmhh...," desahnya. Penisku meluncur ke
dalam memeknya. Memeknya meremas-remas penisku. Sepertinya kaget dengan
ukurannya. "Itunya mas penuh, sampai mentok ke rahimku."
Kedua telapak tangan kami saling berpegangan. Ia berjongkok dan bergerak naik
turun. Buah dadanya naik turun seperti pohon pepaya. Penisku mendapatkan
sensasi yang sangat nikmat. Naura kebingungan dengan posisinya karena penisku
terlalu panjang dan besar. Karena itu gerakan apapun yang ia lakukan baik
diputar, digesek, dikocok, naik turun atau sekedar diam, selalu memberikan efek
nikmat yang luar biasa. Gesekan demi gesekan kulit kemaluan kami menimbulkan
suara kecipak yang menggairahkan. "Mas, Naura ndak kuat. Mau pipis
lagi," katanya.
"Barengan
dong, sebentar," kataku. Aku lalu duduk. Kuhisap lagi teteknya
sebentar, kemudian aku membaringkannya. "Nah begini dong. Aku ingin
ngentotin kamu pake gaya ini."
Aku
kemudian memeluknya. Dan sekali lagi pantatku naik turun memompanya. "Ndak
mas, Naura ndak kuat, mau pipis," katanya.
"Sebentar
lagi sayang, aku percepat ya," kataku. "Biar bisa keluar
bareng."
Naura memejamkan mata. Kedua tangannya melingkar di leherku, dan ia menggigit
bibirnya. Sepertinya ia sudah tak tahan lagi. Vaginanya benar-benar banjir.
Suara gesekan kemaluan kamilah yang menghiasi ruangan ini. Benar-benar nikmat
memeknya. Walau sudah ndak perawan lagi sih. Agak sayang sebenarnya. Aku
percepat goyanganku. Penisku pun mau menembak. Tiga hari ndak main, spermaku
sangat matang. Kalau Naura sedang subur, bisa hamil dia sekarng ini.
"Naura...keluar
aku..keluaaarrrr," kataku.
"Aku
juga mas.....aaaahhkkk....," katanya.
Kujambak
rambutnya yang panjang berombak itu. Matanya memutih, mulutnya menganga. Aku
dipeluknya erat, kedua pahanya mengapitku dan pantatnya naik ke atas menekan
penisku. Dan semburan air maniku yang tak terhitung membasahi rahimnya. Ia
meraba pantatku dan menekannya seolah-olah tak ingin penisku lepas begitu saja
dari sana. Sekali, dua kali, tiga kali, entah berapa kali spermaku menyembur.
Setelah gelombang orgasme dahsyat itu reda. Naura lemas. Aku kemudian mencabut
penisku pelan-pelan. Dan ketika sudah berpisah kedua kemaluan kami, tampak
wajah Naura memberikan rasa puas.
AKu lalu
tidur miring di sampingnya. Tangan kiriku memegang toketnya. Tampak dadanya
naik turun karena nafasnya berat. Ia terengah-engah. Tangan kanannya menutupi
keningnya.
"Mas...ini
tadi ML terhebat yang pernah aku rasakan," katanya.
"Oh
ya?" tanyaku.
"Iya,
Andi ndak pernah seperti ini kalau bercinta. Ia tak pernah bisa membuatku
orgasme sampe berkali-kali kayak tadi," katanya.
"Lagian
punya mas juga gedhe."
Aku masih
meremas-remas toketnya. "Dada kamu indah banget. Dan memek kamu masih enak
koq." Di depan wajahku tampak ketiak putih Naura. Aku jadi bernafsu ingin
menciumnya. kuciumlah ketiak putih tanpa bulu itu.
"Ahh..mas...ih
geli," katanya sembari menghindar.
Tapi
tangan kiriku menahan tubuhnya untuk tidak lari. Akibatnya Naura menerima saja.
Aku tersenyum.
"Geli
mas," katanya sambil cemberut.
"Kamu
ini cantik ya, aku baru tahu kamu ketika tak pake jilbab cantik seperti ini.
Bodoh itu si Andi ninggalin kamu," kataku.
"Mas,
kalau aku nanti hamil gimana?" tanyanya. "Aku lupa ndak minum pil
hari ini. Lagian biasanya aku ngelakuin Andi pake kondom. Ini pertama kalinya
aku ngelakin ama orang lain ndak pake kondom lagi."
"Perasaanmu
gimana?" tanyaku.
"Seneng
sih, dari kemarin entah kenapa di pikiranku hanya ada mas. Bahkan sampe mastrubasi
mikirin mas," katanya.
"Kalau
kamu senang, berarti ndak masalah kan?" tanyaku. "Kalau pun nanti
kamu hamil pun ndak masalah. Aku akan melamarmu ke ayahmu. Hanya saja satu
syarat. Engkau mau menerima seluruh keadaanku."
"Menerima
keadaan mas? Siapa yang ndak bakal nerima? Mas udah kaya, mungkin uang ndak
masalah lagi. Aku pasti mau dong," katanya.
"Bukan
itu sih masalahnya," kataku.
"Trus
apa?" tanyanya.
"Aku
belum bisa cerita. Biarin aku menikmati ini dulu," kataku.
Aku menciumi bibirnya. Gairah kami pun kembali naik dan mengulangi lagi
pergumulan ini. Kali ini kami melakukannya dari samping. Naura membelakangiku
dan aku menyodoknya dari belakang. Pantatnya pun membuatku nikmat saat
menyodok. Seharian itu aku habiskan hanya untuk ngentot dan ngentot. Setelah makan malam, kami ngentot lagi.
Esoknya juga. Bahkan selama 4 hari penuh kami seperti pasangan penganten baru.
Mandi bareng, kami ngentot. Di dapur setelah makan dan cuci piring kami
ngentot. Bahkan kami jarang pake pakaian. Toh setelah dipakai kami pasti buka
baju lagi. Penetrasi demi penetrasi aku lakukan tiap hari. Istrihat kami hanya
tidur dan makan.
Ada kejadian yang aku tak akan lupa, yaitu saat menelpon keluargaku di rumah
terutama Nur. Ia yang paling khawatir terhadapku, aku bilang aku baik-baik saja
dan istirahat di rumah. Saat itu aku menyodok pantat Naura di ruang tamu sambil
ia tertatih-tatih berjalan. Rasanya penisku tak ingin lepas dari memeknya.
Mendapat perlakuan itu Naura sangat bergairah, ia ngikik tapi tertahan dan menutup
mulutnya sampai aku selesai menelpon. Baru ia tertawa lepas. Aku lalu
melanjutkannya menyodok pantatnya sedang ia berpegangan di sofa. Saat mau
keluar aku suruh dia untuk berlutut. Aku ingin keluar di mulutnya. Naura pun
membuka mulutnya dan kuarahkan penisku di mulutnya. Keluarlah spermaku dan ia
tampung di sana. Lalu ia menelannya.
Sampai pada hari kelima ia sudah siap untuk pulang. Kemudian saat itulah aku
bercerita tentang keadaanku. Betapa kagetnya Naura. Ia seakan-akan tak percaya
terhadap apa yang aku ceritakan. Aku sudah menduga, tak banyak orang yang akan
mau menerima keadaanku yang sesungguhnya. Aku pun udah siap Naura akan
menolakku.
"Mas,
aku tak menyangka kalau seperti itu," kata Naura.
"Memang
benar, ini berat bagiku juga bagi semua orang. Dan aku sudah siap koq kalau
kamu tidak mau menerimaku," kataku.
Naura
terdiam sebentar. "Maaf mas, aku hanya ingin berterima kasih saja kepada
mas atas peristiwa kemarin. Kalau sampai sejauh itu, aku bingung jawabnya. Dan
juga harus menerima mas yang seperti ini. Tapi aku yakin mas kemarin nolong aku
tulus, maaf ya mas."
"Tidak
mengapa," kataku.
Kami pun
balik lagi. Rasanya hubunganku dengan Naura ini juga singkat. Ndak bakal
bertahan lama. Aku mengantarnya sampai muka gang. Takut kalau ditanyai macem-macem.
"Kejadian
ini, jangan diceritakan ke siapa-siapa ya mas?" bujuknya.
"Aku
tak mau nanti jadi sesuatu di komplek ini."
"Iyalah,
bodoh apa aku bilang-bilang. Ini rahasia kita," kataku.
Demikianlah
hubunganku yang singkat dengan Naura. Sekalipun setelah itu kami bertemu lagi,
ada pandangan-pandangan aneh antara kami. Dan terus terang terkadang ia berkata
kepadaku ia rindu dengan peristiwa di Villa itu. Ingin sekali rasanya mengulang
saat itu. Naura pun kemudian berkata bahwa kalau aku kepingin bercinta dengan
dia, kapan pun dia siap, tetapi kalau untuk serius dia tidak mau. Anggap saja
kita melakukannya suka sama suka dan karena kebutuhan.
BAB 11
************
KEPONAKANKU ANISA
Bunda akhirnya lahiran. Anaknya cowok. Bunda sangat senang sekali. Bahkan
anaknya sangat mirip aku. Aku seperti yang lainnya juga menunggu proses
lahiran. Mulai dari muncul kepalanya hingga keluar semua. Kukecup kening bunda.
Ia benar-benar wanita yang hebat. Nama anak kami kunamai Pandu.
"Habis ini bakal rebutan ama papahnya nih," kataku. Bunda ketawa.
"Papahnya
ngalah dulu ya?" katanya sambil menciumku.
Kebahagiaan
keluarga kami bertambah. Kemudian yang tidak disangka pun datang. Sepupuku yang
pernah tidur dengan ayahku, Laura. Aku memang cuma sekali bertemu dengannya,
mendengar bunda lahiran ia pun datang ke rumah sakit menjenguk. Ketika
melihatku ia sangat kaget. Ia kira aku adalah ayahku. Tapi ketika melihat bunda
ia pun jadi mengerti kalau aku bukan ayah.
Tampak seorang gadis yang kira-kira masih SMA bersama Laura.
"Bibi,
apa kabar?" sapanya.
"La..Laura?"
bunda tampak terkejut.
"Kudengar
bibi lahiran, makanya aku ke sini. Anak siapa? Anak dia?"
"Mau
apa kamu ke sini?" tampak bunda kesal dengannya. Pastilah, orang yang
pernah merebut cinta bunda koq.
"Ternyata
kita sama aja ya, suka ama keluarga sendiri. Tidak ayah tidak anak sama
saja," kata Laura dengan senyum sinis. "Untung dulu ayahmu ndak
pernah ngehamilin aku, sekarang aku sudah punya anak dari orang lain. Tapi aku
ke sini cuma ingin memberikan pernyataan menang. Kutukanku berhasil
bukan?"
Aku juga rasanya agak marah ama Laura.
"Apa
maumu?" tanyaku.
"Tidak
ada koq, aku cuma ingin mengucapkan selamat aja tidak lebih. Oh iya, kenalkan
anakku Anisa," katanya sambil menunjuk Anisa yang baru saja masuk. Bunda
menitikkan air mata.
"Sebaiknya
kamu pergi aja deh!" kataku.
"Kalau
ingin membalasku silakan saja, tapi toh kata-kataku benar bukan? Like father
like son. Untungnya paman itu anak tunggal, coba kalau ndak, aku tidak tau apa
yang akan terjadi ama kalian semua," kata Laura.
Sialan ini
cewek. Kepengen aku kerjai aja. Ketika aku melihat ke arah Anisa alamaak cakep
banget. Wajahnya mirip para personel Cherrybelle. Mulus dan bening. Aku tak
tahu kalau Laura punya anak secantik ini.
Setelah
memanas-manasi bunda, Laura pun pergi. Bunda sangat bersedih. Rupanya Laura
mendendam kepadanya. Aku sangat sedih dengan apa yang terjadi kepada bunda. Dan
aku punya rencana jahat. Sangat jahat, bahkan ia tak akan pernah melupakan
seumur hidupnya.
***
Anisa duduk di bangku SMK. Ia adalah seorang blasteran. Ayahnya orang Kaukasia,
pantas saja cakep. Hari ini aku ingin melakukan pembalasan. Aku sengaja
mengikuti Anisa dari sejak pulang sekolah, tujuanku hanya satu, yaitu buntingin
dia sama Laura. Biar itu si Laura bunuh diri sekalian deh. Karena ia sudah
membuat bunda menangis semaleman.
Anisa
jalan ama temen-temennya, kemudian dia ngemall, aku tetap ikuti dia. Hingga aku
membuat sekenario. Aku secara tak sengaja bertemu dengannya di mall.
"Lho,
Anisa?" sapaku.
Ia
kebingungan. "Siapa ya?"
"Aku
Doni pamanmu," jawabku.
"Oh,
yang kemarin. Maafin mama ya om," katanya.
"Aku
ndak tau ada apa di antara kalian sampai-sampai mama kayak gitu."
"Iya,
aku bisa mengerti koq, sendirian aja?" tanyaku.
"Iya
nih, sedang cari-cari buku," katanya.
"Oh, kebetulan
aku juga sedang cari buku," aku berbohong.
"Sama-sama
yuk?"
Ia
tersenyum dan mengiyakan. Kami kemudian berjalan-jalan, sesekali bergurau.
Kemudian setelah kami mendapatkan buku yang dicari, kemudian kami pun pulang,
ia kuantar pulang. Aku memohon kepadanya agar tidak menceritakan pertemuan kita
ke ibunya, nanti malah berabe. Ia pun setuju dan kami berjanji untuk ketemu
lagi, saling tukar nomor hape.
Aku dan Anisa sering bertemu. Aku mulai mendekati Anisa, seperti merayunya,
memberikan dia hadiah, dan kejutan-kejutan yang ia tak pernah sangka
sebelumnya. Intinya semua sikap itu aku berikan kepada Anisa, hingga aku ingin
ia takluk kepadaku. Dari ketika mengajak dia jalan, awalnya dia enggan untuk ku
gandeng, kemudian setelah itu kami tidak enggan lagi. Bahkan Anisa lebih aktif
untuk menggandeng tanganku setiap jalan.
Anisa termasuk gadis yang sedikit pemalu sebenarnya. Semenjak aku dekat
dengannya dan memberikan kejutan-kejutan, ia pun sudah tidak malu-malu lagi.
Katanya ia sangat nyaman kalau dekat denganku. Walaupun kami tak resmi bilang
pacaran, tapi kami sudah sangat dekat, mendekati orang pacaran.
***
Hal yang mengejutkanku pun datang. Bunda sakit. Terkena stroke. Tentu saja aku
kaget, bagaimana anak kami? Kubisa melihat wajah bunda yang sendu. Selama
semingu aku menungguinya di rumah sakit. Beliau tidak sadarkan diri selama
seminggu ini. Padahal beliau baru kurang dari sebulan ini lahiran. Ditambah
tidak mendapatkan asupan makanan karena tidak sadarkan diri, bunda harus
transfusi darah. Sebenarnya dokter tahu kalau aku hubungan incest dengan bunda
tapi aku telah mengatakan kepadanya untuk merahasiakan ini. Ia pun mengerti dan
aku bersyukur karena itu. Dengan darahku bunda yang mengalami pendarahan bisa
tertolong.
Akulah yang setiap hari menjagai selang infusnya. Aku juga yang setiap hari
membersihkan dia kalau sedang buang air. Aku juga yang setiap hari menyeka
tubuhnya. Kak Vidia menawarkan diri untuk menjaga bunda, tapi aku tolak. Aku
lebih memilih agar anakku saja dijaga. Hampir tiap hari Kak Vidia dan Nur
datang ke rumah sakit menjenguk kami berdua. Mereka mungkin bisa merasakan
capeknya diriku. Mataku pun mulai sembab. Tiap malam aku selalu disampingnya,
bahkan sampai lupa makan.
"Pah, papah jangan begitu dong. Masa' sampai lupa makan?" Nur
marah-marah kepadaku. "Aku tahu papah lebih sayang kepada bunda, tapi
ingat kondisi juga, jangan sampai kami semua lebih sedih lagi!"
Kak Vidia pun ikutan marah, "Malu-maluin papah sampe jatuh tadi di lorong
gara-gara lupa makan. Kalau papah sakit juga, kami bagaimana?"
"Iya,
aku minta maaf," kataku. "Aku sangat khawatir kondisi bunda sehingga
nggak tau lagi harus bagaimana."
Kak Vidia
lalu mencium keningku, lalu menggosok-gosok bekas ciumannya. "Aku tahu koq
papah sangaaaaat cinta ama bunda. Bahkan, mamah bisa tahu setiap kali bercinta
ama mamah, papah pasti ingat bunda. Tapi itu tak membuat mamah marah. Mamah
akan lakukan apapun untuk kalian berdua."
"Kak Vid," aku pun memeluknya. "Makasih ya."
Nur juga
memelukku untuk membesarkan hatiku. Ia pun berbisik, "Optimis saja mamah
pasti sembuh."
Akhirnya
setelah kejadian itu, setiap pagi Nur datang ke rumah sakit, sorenya kak Vidia.
Sudah 2 minggu bunda di rumah sakit. Untung sekali kami punya asuransi, jadi
dokter akan berusaha sebaik-baiknya untuk menolong bunda. Terlebih kami punya
fasilitas asuransi gold dengan premi yang besar, sehingga penanganan bunda
nantinya bisa maksimal. Selama menunggui bunda aku selalu memegang tangannya
yang lembut. Sambil sesekali aku kecup keningnya. Aku perlu mempersiapkan
tissue dan menyeka bibirnya berkali-kali ketika busa keluar. Entah kenapa koq
rasanya sekarang aku jadi anak yang tidak durhaka, padahal selama ini aku
berbuat yang sangat buruk kepada bunda. Menyetubuhi ibu sendiri itu dosa,
sungguh hal itu sekarang aku rasakan. Apakah ini cobaan ataukah ini siksaan?
Aku sudah lama juga tidak sholat. Sekali-kali saja aku sholat, kalau ingat,
kalau nggak ya nggak. Akhirnya entah siapa yang menggerakkanku. Malam itu aku
pun jadi religius. Aku sholat malam dan berdo'a hingga subuh. Melihat bunda
seperti ini pun aku tak tega. Akhirnya aku berdo'a, "Tuhan, kalau misalnya
kematian lebih baik bagi bundaku, aku rela. Asalkan jangan engkau perlihatkan
kepadaku ia menderita sakit seperti ini. Kami sadar kami lakukan banyak hal yang
salah, tapi....apa yang bisa aku lakukan sekarang?"
Malam itu
pun aku menangis mengharap kesembuhan bundaku. Pagi sudah memunculkan mentari
dari ufuk timur. Dan aku masih di kamar bunda menanti-nanti suster atau dokter
yang mengecek dan mengontrol kondisi bunda. Setelah mereka selesai mengecek,
aku sholat lagi. Entah kenapa akhir-akhir ini aku banyak sholat. Ketika Kak
Vidia menjengukku dan bunda, dia menyaksikanku bersujud, ia pun duduk menantiku
selesai. Setelah itu aku bangkit menghampirinya. Dia menitikkan air mata dan
memelukku. Kami menangis.
Perasaanku hari itu tak enak. Rasanya aku harus ada di dekatnya. Tak cuma aku
tapi juga Kak Vidia dan Nur pun begitu. Mereka ada di kamar bunda dan
berdekatan denganku. Saat itulah bunda membuka matanya. Aku tak bisa menahan
haru akhirnya bunda siuman. Aku segera memanggil suster ketika tahu bunda sudah
siuman. Bunda tak bicara, mereka hanya melihat kami.
"Bunda, bunda sudah siuman?" tanyaku gembira.
Semuanya
gembira, namun ketika dokter hadir semuanya jadi cemas. Dokter memeriksa bunda.
Melihat matanya dan mengecek tekanan darahnya. Ia pun menggeleng.
"Kenapa dok?" tanyaku.
"Maafkan
saya pak, kayaknya istri anda tidak bisa ditolong," jawabnya.
"Tapi
dok, dia siuman dia membuka matanya!" kataku.
"Iya,
tapi itu pengaruh pembuluh darahnya sudah pecah di otak. Sehingga merangsang
syaraf mata di otak, dan akibatnya ia bisa membuka matanya. Tapi ia tak bisa
apa-apa. Tapi sekarang ini ia mendengar kalian semua. Yang bisa saya katakan
adalah waktunya tak banyak, ucapkanlah kata-kata terakhir karena ia akan
menghadap sang kuasa sebentar lagi," kata dokter sambil memegang pundakku
kuat-kuat.
Tubuhku
gemetar. Aku melihat bunda membuka matanya tapi ternyata justru ini saat-saat
terakhirnya. Aku bersedih, sangat bersedih. Aku pun berkali-kali berkata,
"Maafkan aku, maafkan aku bunda maafkan aku."
Kak Vidia dan Nur ikut bersedih. Aku pun merasakannya, ketika tangan bunda
mendadak dingin dan kemudian seluruh tubuhnya mendingin. Matanya kini menutup
dan sebuah senyuman menyungging di bibirnya, seperti ia hendak ingin bicara.
Tapi ternyata nyawanya telah pergi. Bunda telah tiada hari itu. Kak Vidia dan
Nur bersedih, mereka menangis tanpa henti.
Aku berdiri di depan nisan bunda. Kak Vidia dan Nur ada di belakangku. Kak Vidia
mengajakku untuk pergi, tapi rasanya aku tak bisa meninggalkan bunda di dalam
kuburannya. Aku pun meremas tanah kuburannya. Orang yang aku cintai pergi lagi.
Tapi yang ini pergi untuk selamanya. Tak ada lagi orang yang mau memelukku
dengan hangat, tak ada lagi yang selalu menyanjungku, tak ada lagi bunda. Saat
itulah aku teringat Laura. Bunda pasti perasaannya tertekan dengan kata-kata
Laura. Sebab setelah itu aku bisa melihat bunda berubah. Aku pun punya satu
tujuan. Yaitu kuhancurkan hidupnya. Aku kemudian berdiri dan kuajak Kak Vidia
dan Nur pergi. Aku pun merancang rencana balas dendamku.
Perusahaanku makin besar. Aku pun bekerja sama dengan investor asing untuk bisa
memperluas bisnisku ke luar negeri. Untuk sesaat, aku bisa melupakan bunda
dengan kesibukanku. Dan hubunganku dengan Anisa tetap jalan selama setahun ini.
Dan kami malah lebih tepatnya seperti seseorang yang pacaran. Aku pun mulai
melakukan hal yang gila. Kami pun mulai berani kencan itu pun sembunyi-sembunyi
agar tak ketahuan sepupuku Laura.
Pada malam minggu kami kencan untuk nonton. Kami pun sempat terlibat
pembicaraan. Padahal itu minggu-minggu akan ujian nasional. Ya, Anisa mau
lulus. "Kalau misalnya Anisa nanti lulus, aku akan ajak ke luar negeri.
Terserah deh mau pilih yang mana," kataku.
"Serius? Tapi ndak ah. Ntar diapa-apain sama paklik," katanya sambil
ngikik.
"Yah,
yaudah kalau tak mau. Aku bisa sendiri koq," kataku.
"Ya
udah deh, sebenarnya aku ndak mau ke luar negeri. Maunya di dalam negeri saja,"
katanya.
"OK,
tak masalah," kataku.
Waktu pun
bergulir. Setelah kelulusan aku pun mengajak Anisa selama seminggu untuk pergi
liburan jalan-jalan di Indonesia. Sebenarnya hal ini adalah ideku untuk bisa
tidur sama Anisa. Tujuan awal kami adalah pantai Losari. Kami satu pesawat, bahkan
semenjak di pesawat kami asyik sendiri. Ngobrol ngalor ngidul dan aku pun mulai
berani untuk pegang tangan bahkan tanpa dikomando, bibir kami menyatu begitu
saja. Setelah itu kami diam, tapi tangan kami makin erat menyatu.
Semenjak
turun pesawat kami seperti orang pacaran. Kemana-mana nempel terus, bahkan
ketika sampai di hotel dan check in, kami memesan one room, one bed. Awalnya
aku pesan 2 kamar, tapi ia menolak. Aku pun keheranan. Aku sih OK OK aja. Saat
masuk kamar itulah aku tahu kenapa. "Mas, Anisa kepingin berduaan saja ama
mas," kata Anisa.
"Kamu
kenapa Nis?" tanyaku.
"Aku
suka ama mas. Sewaktu mas mengajakku liburan aku sudah siap koq mas melakukan
ini," katanya.
"Melakukan
apa?" tanyaku memancing.
"Aku
sudah tahu semua tentang mas dari mamah. Dan aku tahu mas berusaha mendekatiku
selama ini. Mungkin mas kesepian karena selama ini hanya berhubungan dengan
keluarga mas saja. Apalagi bibi sudah meninggal. Mas, perasaanku setiap ketemu
mas selalu berdebar-debar. Aku selalu membayangkan mas, aku selalu ingat mas.
Tiap makan ingat ama mas, tiap belajar ingat ama mas. Tahu nggak sih kalau aku
sangat suka ama mas?" kata-kata Anisa itu tak pernah kuduga sebelumnya.
Aku saja tidak merencanakan kalau ia akan seperti ini. Jadi rencanaku lebih cepat
dari jadwal.
Aku memegang dagunya lalu mengangkatnya, "Mas juga punya perasaan yang
sama ana Nisa." Kami lalu berciuman dan berpelukan. Anisa memelukku erat
sekali, seakan-akan tak mau melepaskanku. Dari dadanya aku bisa merasakan
debaran jantungnya. Anisa lebih pendek dari aku sebahu, sehingga ketika ciuman
ia perlu berjinjit. Setelah berciuman ia tersenyum kepadaku.
"Hari ini, maukah mas memberikanku sesuatu yang tak terlupakan?" tanyanya.
"Apa itu?" tanyaku.
"Aku
ingin memberikan keperawananku kepada mas," jawabnya.
"Waduh,
ntar ibumu nanti bagaimana kalau tahu?" tanyaku.
Ia
menggeleng. "Aku tak peduli ama mamah. Obsesi mamah cuma kepingin kaya
saja, aku saja di rumah dicuekin. Plis mas, aku ingin merasakan robeknya
keperawananku!"
Aku takjub
dengannya. Kuambil nafas sebentar. Ini bakal jadi hubungan sedarahku lagi. Aku
belai rambutnya. "Baiklah kalau itu maumu, tapi kita lakukan nanti
ya," kataku. Aku ingin melihat kesungguhannya dulu. Siapa tahu dia cuma
main-main. "OK," katanya.
Wajah Anisa tampak cerah. Kami berdua mengeluarkan isi koper, kemudian ganti
baju. Saat itulah aku melihat Anisa membuka bajunya, ia ganti baju tanpa risih
kepadaku. Aku bengong.
"Koq
bengong?" tanyanya. "Kesengsem?"
Aku
tertawa. Kemudian aku juga mencopot bajuku, kami berdua telanjang di kamar.
Anisa gantian yang bengong. Ia menelan ludah.
"Kenapa
Nis?" tanyaku.
"Tidak
apa-apa mas, boleh aku peluk mas?" tanyanya.
Aku diam
saja, lalu mengangguk. Ia pun maju dan memelukku. Kulit kami pun bersentuhan
memberikan rasa horny. Saat puting susunya menempel di dadaku darahku berdesir
ke ubun-ubun. Sialan, bau parfumnya menusuk hidungku dan menggoda, penisku pun
mulai tegang.
"Mas,
tolong jangan pergi ya, pliiss. Aku suka sama mas, tolong jangan tinggalin aku.
Aku rela pergi dari rumah, aku rela ninggalin mamah asalkan bisa bersama
mas," katanya. Tangannya melingkar ke punggungku. Ia tampak nyaman
bersandar di dadaku. Gilaaaa...aku bisa nafsu ama dia sekarang. Dan akhirnya OK
deh, let's go.
Aku lalu menatap wajahnya. Kami berciuman lagi. Tapi kali ini lebih hot. Lidah
kami saling menghisap, melumat, bertukar ludah dan lidahku sudah menjelajahi
rongga mulutnya. Merasakan rasa permen yang ia makan tadi ketika di dalam
pesawat.
"Koq kepengen sekarang mas? Katanya nanti?" tanyanya.
"Kamu
kepengen sekarang apa nanti?" tanyaku.
"Terserah
mas sih," katanya.
"Ada
bidadari secantik ini di hadapanku masa' aku diam saja?" tanyaku. Lalu aku
mencium lehernya, kuhisap, kujilat dan kucupangi. Ada tiga cupangan di sana dan
itu membuat Anisa merinding.
"Ohh...maasss..hhhmmmhh...,"
desahnya.
Aku
kemudian mengajaknya berbaring. Karena ia masih perawan, aku tak mau
terburu-buru. Kunikmati pelan-pelan dulu tubuhnya. Aku tak mau menyia-nyiakan
tubuh yang belum pernah terjamah lelaki mana pun ini. Aku menciumi pipinya,
hidungnya, kelopak matanya, keningnya, dan kujilati wajahnya. Aku lalu
mengigiti daun telinganya, beralih ke leher kirinya kuberi cupangan lagi. Aku
bisa merasakan bulu kuduknya merinding.
"Mas...ohhh,"
desahnya.
Tangan
kananku pun aktif meremasi toketnya yang ndak terlalu besar sih, mungkin karena
masih ABG. Putingnya yang kemerahan aku pelintir-pelintir. Aku lalu menciumi
buah dadanya, kuhisapi hingga bercupang, kemudian aku hisapi juga putingnya,
kujilati dan kumainkan.
"Ohh...terus
mas...Nisa suka mas gituin, rengkuh kenikmatan dari tubuh Nisa. Jadiin Nisa
istri mas," katanya merancau.
Aku kini
konsentrasi untuk menciumi seluruh tubuhnya. Kuberikan stimulus-stimulus yang
bisa merangsangnya. Akhirnya aku tahu titik-titik sensitifnya sekarang, yaitu
di bawah ketiak, perut bagian bawah dekat dengan memeknya, pinggangnya dan
jempol kakinya. Setiap kali aku mencium atau menghisap tempat itu ia
menggelinjang hebat. Apalagi ketika jempol kakinya aku hisap, ia meronta-ronta
untuk dilepaskan. Aku makin kesetanan mengemut jempol kakinya ia pun orgasme
tanpa aku apa-apain. Cuma ngisep jempol kakinya. Ternyata apa yang aku lakukan
bisa merangsangnya seperti itu. Beda dengan Kak Vidia maupun Nur, walaupun itu
juga titik sensitifnya tapi tak sebegitunya juga. Aku jadi yakin kalau
sepertinya Anisa sudah horni dari tadi.
"Mas,
masukin dong mas.... pliiiss Nisa udah geli, udah kepingin merasakannya.
Kumohon maasss....," Nisa mengeluh. Pinggulnya sekarang bergerak kiri
kanan, aku bisa mencium bau cairan kewanitaannya yang memabukkan. Aku lalu
menciumi pahanya, kakinya kuangkat sedikit agar bisa kubuka dan melingkar di
pinggangku. Wajah Anisa tampak pasrah, ia memejamkan mata. Badanku maju
menindihnya. Penisku sudah berada tepat di mulut memeknya. Aku gesek-gesek dulu
kepala penisku, pelan-pelan kugesek. Rasa kenikmatan langsung menyebar ke
seluruh tubuhku dan naik ke ubun-ubun. Rasa ini mirip ketika aku memerawani
Nur.
"Maass...oohhh..geli
mas...," katanya.
Aku
kemudian mendorong sedikit kepala penisku. Susah, memang cairan pelumasnya
banyak, tapi kepala penisku yang cukup besar itu begitu susah masuk. Apa karena
dia masih ABG? Pinggangku pun maju mundur dengan pelan-pelan. Kepala penisku
geli sekali, berkali-kali cairan kewanitaannya keluar membuat kepala penisku
gatel. Susah sekali untuk bisa masuk, maklum tentunya karena tak pernah
dimasuki. Anisa memelukku. Dan makin erat ketika aku makin menekan ke dalam.
Untuk mengurangi rasa sakit aku merangsang dirinya pada bagian tubuh yang lain
seperti leher dan dada. Kuhisap-hisap teteknya, kemudian ketika ia sakit lagi,
kuhisap lehernya. Ketika mendorong dan ia meringis kesakitan aku tahan
sebentar. Kutarik lalu kudorong lagi. Penisku berkedut-kedut, bahkan vaginanya
pun makin meremas-remas batangku. Permukaan penisku mulai disirami oleh cairan
pelumasnya. Dan serasa makin gatel ingin terus masuk.
"Sakit Nis?" tanyaku.
"He..eh...sakit,
tapi teruskan saja mas, aku ingin menjadikan hari ini sebagai
hari yang tidak terlupakan," katanya.
Dan aku
agak menghentakkan pantatku. Hal itu membuat ia kaget, seketika itu juga
batangku bisa masuk semua hingga penuh. Di dalam memeknya yang hangat dan
berkedut-kedut itu penisku benar-benar merasakan kehangatan. Anisa mencium
bibirku, aku tak pernah tahu bagaimana rasa sakitnya ketika keperawanan
dirobek. Tapi rasa sakit itu cuma sebentar. Tergantung dari perlakuan pihak
laki-lakinya. Terkadang ada yang sampai brutal. Sudah tahu pasangannya sakit
tapi diterobos terus hingga itu menjadikan sebuah mimpi buruk. Bahkan sampai
berminggu-minggu rasa sakitnya belum hilang. Untunglah aku tidak pernah
melakukan hal itu kepada siapapun. Baik kepada Kak Vidia ataupun Nur. Mereka
menikmati percintaan yang aku berikan kepada mereka.
Kak Vidia
sudah memendam perasaan kepadaku ketika aku memerawaninya di gua waktu itu. Dan
setelah keperawanannya lepas, ia tak merasakan sakit lagi setelah itu. Itu
merupakan sebuah perasaan psikologis yang ada pada diri seorang wanita. Ketika
ia harus menerima cinta dan kerelaan, maka secara psikologis, ia merasakan
dirinya tercabik untuk pertama kalinya. Dan ketika kerelaan itu dibarengi
dengan rasa nyaman ketika berhubungan hal itu membuat dirinya rileks, membuat
percintaan yang hangat tanpa takut ketika keperawanan telah direnggut oleh
orang yang ia cintai.
Sekarang
aku tak perlu ragu lagi menggagahi Anisa. Ia sekarang pasrah. Aku bisa
merasakan sekarang pinggulnya ikut mencari kenikmatan bersamaan dengan goyangan
pantatku. Tangan Anisa menekan pantatku, seolah-olah adalah instruksi agar aku
lebih dalam lagi menghujamkan senjataku. Aku pun makin bersemangat untuk
menggenjot. Bulir-bulir keringat sebesar jagung bisa keluar dari kamar hotel
ber-AC ini. Tubuh kami sekarang sedang dibakar oleh bara api asmara. Panggutan
demi panggutan, remasan demi remasan membuat kami mabuk kepayang. Setiap
gerakan pinggul kami membuat sensasi kenikmatan birahi yang tak bisa diucapkan
lagi dengan kata-kata.
Anisa menikmati sensasi setiap gesekan kulit kelamin kami. Matanya terpejam dan
menyipit. Ia meringis, mengeluh, mendesah, ia berusaha mencari-cari bibirku
untuk diciumi. Setelah itu ia kembali menjerit. Desahan-demi-desahan membuat ia
mabuk. Ia sudah tak ingat lagi akan dunia ini. Baginya menuju kepuasan adalah
sebuah perjuangan yang maha dahsyat. Pinggul Anisa bergoyang-goyang seperti
goyangan penyanyi dangdut, berusaha memancingku agar cepat orgasme. Senjataku
yang ada di dalam sana makin enak saja dengan perlakuannya. Kupompa makin cepat
keluar masuk.
"Aduh Nis...kamu apain punyaku???" kataku.
"Yang
penting enak mas...enaakk...ooohh...jangan berhenti...terus...!!" katanya.
"Nis, maaf aku ndak kuat lagi...," kataku.
"Massss....oohhh
keras banget Nisa ngerasa mau pipis juga!" katanya.
"Niss...nisss.....nyemprot
NIIIS!!!" kataku menghentak-hentakkan pinggulku dan kuhujamkan ke dalam,
aku ndak kuat lagi ingin mengeluarkan benih-benihku. Aku tak peduli ia orgasme
atau tidak. Tapi rasanya kami keluar bersamaan, karena kurasakan ia memelukku
erat dan kakinya melingkar di pinggangku. Aku menindih Anisa yang sedang
terlena karena air mani hangat sekarang membasahi rahimnya.
Anisa
memejamkan mata. Di ciuminya wajahku. Bibirku pun mendekat ke bibirnya,
mencari-cari bibirnya. Kami berpanggutan, nafas kami memburu karena baru saja
melakukan aktivitas yang setara naik turun tangga 3 kali. Perlahan-lahan
kucabut burungku dari sarangnya. Kubangkit sejenak melihat hasil perbuatanku.
Aku melihat bercak darah di kepala penisku. Dan cairan sperma di vagina Anisa
meluber keluar bercampur warna merah. Aku lalu berbaring di samping Anisa.
"Mandi yuk?" ajakku.
"Sebentar
mas, Anisa masih capek," jawabnya. "Tunggu sebentar ya sayang. Mas
hebat banget. Aku sering diceritain kalau selaput dara ketika robek itu sakit,
tapi ketika mas melakukannya tadi Nisa hanya merasa perih di awalnya setelah
itu tidak."
"Nis,
boleh om tanya?" tanyaku.
"Apa
mas?" tanyanya.
"Kalau
misalnya kamu hamil, gimana?" tanyaku.
Nisa
membuka matanya dan menoleh ke arahku. Ia mengangguk, "Tidak apa-apa mas.
Kalau sampai hamil Nisa siap. Mas juga jangan pergi ya? Nikahi Nisa, Nisa rela
berbagi ama mbak Vidia ataupun ama mbak Nur."
"Tidak semudah itu Nis, aku ingin bercerita kepadamu sesuatu,"
kataku. Nisa lalu mendengarkanku dengan seksama rahasia keluarga kami. Apa
hubungan Laura ibunya Anisa dengan ayahku dan semuanya. Dan aku menceritakan
bagaimana perlakuan Laura kepadanya. Nisa pun menitikkan air mata. Ia
sepertinya faham akan kesedihanku. Lalu memelukku.
"Tidak
apa-apa mas, ini semua salah mamah. Aku mengerti bagaimana perasaannya bibi,
aku mengerti," katanya.
"Aku
ingin menghamilimu Nis, aku ingin memberikan hukuman kepada Laura. Kamu
bersedia kan? Aku ingin menghamilimu," kataku.
Anisa
tersenyum dan menciumku, "Aku bersedia, entot aku sepuasmu mas. Hamili
aku, hamili aku sesukamu. Aku suka kalau punya anak dari mas. Kalau misalnya
itu bisa menghukum mamah Nisa akan sangat senang."
"Satu hal lagi," kataku.
"Apa
mas?"
"Aku
ingin membalas mamamu dengan cara yang lain, aku ingin dia merasakan penderitaan,"
kataku.
"Mas
mau apain mamah?" tanyanya. "Jangan sakiti mamah!"
"Aku
bukan orang bodoh yang mau menyakiti dia sampai mati. Tidak, aku ingin dia
tunduk kepadaku. Dan memohon ampun. Aku tak mungkin membunuh dia," kataku.
"Aku ingin kau bekerja sama denganku. Maukan?"
"Janji
mas ndak bakal nyakitin mamah?" tanyanya.
"Kalau
nyakitin iya, tapi ndak sampai melukainya, dan aku janji," kataku.
"Apapun
deh kata suamiku," Anisa memelukku.
"Mandi
yuk?!" ajakku. Anisa mengangguk. Kami kemudian bangkit dan menuju kamar
mandi.
Liburan itu ibaratnya kami berbulan madu. Bagaimana tidak? Kami terus-menerus
bercinta hari itu. Anisa rela aku hamili, maka dari itulah aku tak
menyia-nyiakan spermaku begitu saja. Aku pasti semprotkan ke rahimnya. Selain
itu ndak maulah aku sia-siakan liburan selain jalan-jalan. Maka kami pun
jalan-jalan di tepi pantai dan menikmati keindahannya. Anisa dan aku seperti
orang yang dimabuk cinta, kami bermanjaan dan kemana-mana bergandengan tangan.
Kemudian tibalah hari di mana kami harus pulang.
"Mas, ini sprei bekas darahnya gimana?" tanya Anisa. "Kata
mas-masnya disuruh beli, karena dianggap merusak properti hotel."
"Lho,
koq bisa?" kami berdua tertawa. "Bawa juga ndak mungkin kan?"
"Trus
gimana? Aku juga ndak mungkin bawa," katanya.
"Kita
paketkan saja deh, buat kenang-kenangan," kataku.
"Mas,
aku akan mengingat saat-saat ini. Aku tak akan lupakan liburan ini bersama
mas," katanya. "Walaupun sedikit kita lebih lama di sini."
"Iya,
aku juga. Sesampainya di rumah. Aku akan melakukan rencanaku kepada
mamahmu," kataku. "Sebagaimana yang aku katakan kemarin."
"Aku mengerti mas, aku tak sabar menunggu saat kita bersama
nantinya," kata Anisa.
BAB 12
***********
PEMBALASAN UNTUK LAURA
Kejujuran kepada Kak Vidia dan Nur tentang Anisa membuat keduanya sedikit
cemburu. Mereka ngambek. Mereka tak rela kalau anak dari musuh bunda malah
ingin aku nikahi. Tapi aku meyakinkan kalau aku melakukan ini untuk membalas
Laura dan aku berjanji akan melakukannya. "Pah, ini gila pah. Aku tak
setuju papah menjalin hubungan dengan anaknya si pelacur itu. Tidak mamah ndak
setuju," kata Kak Vidia. "Kalau Kak Vidia tidak setuju, Nur apalagi.
Apa papah lupa perbuatannya ke bunda? Nur sangat bersedih kalau sampai papah
menikah dengannya," kata Nur.
"Tunggu
dulu, aku ingin jelaskan semuanya dulu, kalian jangan sewot begitu dong,"
kataku. "Jujur selama ini aku diam pah dan sabar ketika papah lebih
mencintai bunda daripada kami, tapi kalau sampai papah melakukan hal itu juga
kepada cewek itu, mamah ndak rela," kata Kak Vidia. "Kalau sampai
papah menikah dengannya, jangan sampai ia menyentuhkan kakinya ke rumah kita.
Mamah ndak rela. Mamah ndak mau melihat wajahnya."
"Mamah
juga begitu, ndak suka. Papah lebih baik menghamili tetangga kita Bu Dian itu
daripada harus menikah dengan Anisa itu!" kata Nur sewot. Oh iya, ia tidak
tahu kalau aku sudah meniduri Dian, tetanggaku sendiri. "Pokoknya mamah
ndak setuju."
"Dengarkan
dulu, semua ini aku lakukan untuk membalas perbuatan Laura. Aku ingin
menghukumnya dan Anisa tahu hal ini. Ia pun mendukungku!" kataku. Semuanya
diam. Kak Vidia menoleh ke arahku. Nur pun demikian. Mereka agak kaget dengan
kalimatku. "Membalas si pelacur
itu?" Kak Vidia tak mengerti. "Ya, aku akan membalasnya terhadap apa
yang dilakukannya terhadap bunda. Aku akan buat dia menyesal seumur
hidupnya," kataku.
"Caranya?" tanya Nur. "Aku sudah melakukannya, aku menghamili
Anisa," jawabku. "Apaa???" mereka semua kaget. Kak Vidia lemes,
ia pun duduk di samping Nur. Nur menutupi wajahnya. Ia tak percaya terhadap apa
yang barusan terjadi. Rasanya dunia sudah hampir kiamat pikirnya. "Ini baru tahap pertama aku
menghancurkan kehidupan mereka. Aku masih terus melakukannya, kuharap kalian
mau membantuku," kataku.
"Tapi...tapi kenapa harus menghamili cewek itu?" Nur seakan-akan tak
percaya. "Apakah tak ada cara lain? Aku...tak percaya papah mau melakukan
hal itu dengannya." "Aku telah menceritakan keadaan kita kepadanya
dan dia rela menerimaku apa adanya. Ia rela menerima kalian sebagai saudara,
Laura akan menderita setelah ini aku yakin itu," kataku. "Aku akan tetap
melakukan rencana ini, tanpa kalian setujui atau tidak."
Setelah itu aku pun pergi. Aku tak tahu bagaimana perasaan Nur dan Kak Vidia
setelah itu. Aku seperti mengkhianati cinta mereka dengan melakukan hal itu
bersama Anisa. Tapi mau bagaimana lagi, ia ternyata mau juga denganku dan
tergila-gila kepadaku. Aku sudah rencanakan semuanya. Aku ingin Laura merasakan
penyesalannya seumur hidup.
***
Laura sebenarnya mengetahui kedekatan Anisa denganku. Ia juga sering memergoki
Anisa BBM-an denganku. Bahkan ketika membaca buku harian anaknya sedang dekat
dengan seseorang maka kemudian Laura mulai curiga, siapakah pria yang mendekati
anaknya itu. Rasa penasaran Laura pun makin menjadi ketika anaknya pergi
liburan ke luar pulau. Anisa beralasan liburan dengan teman-temannya. Tapi sebagai
naluri seorang ibu, ia tak akan mungkin percaya begitu saja. Akhirnya, setelah
pulang dari liburan itu Laura mencerca anaknya dengan banyak pertanyaan.
Terjadi perang mulut hebat antara dia dengan Anisa, ketika Laura mengetahui
bahwa anaknya dekat denganku.
Akhirnya pertengkaran itu membuat Anisa harus dikurung di kamar tidak boleh
keluar menemui siapapun. Suaminya menasehati Anisa bahwa terlalu keras
menghukum anaknya. Laura lagi-lagi melakukan pembelaan bahwa apa yang
dilakukannya sudah benar. Suaminya pun akhirnya tak bisa berbuat apa-apa.
Mungkin dia tipe suami yang mematuhi apa kata istrinya.
Laura ini lebih tua dari aku, kurang lebih usia kami terpaut 14 tahun. Usiaku
sekarang adalah 25 tahun, Jadi sekarang usianya sudah 39. Tapi ia masih terlihat
kencang dan cantik. Kulitnya putih, matanya agak sipit, bahkan ia sempat
dianggap sebagai keturunan Chinese. Namun ia itu pribumi tulen. Perawatan
tubuhnyalah yang membuatnya seperti itu.
Aku kemudian mengetahui bahwa Anisa dikurung di kamarnya. Kutelepon Laura agar
jangan menghukum Anisa karena ini adalah urusan antara aku dan dia. Aku sempat
adu mulut dengannya. Ia mungkin tipe wanita yang harus mendapatkan apa yang ia
maui dan ingin menang sendiri. Namun aku tak bisa menang melawannya dalam adu mulut.
Alasan apapun yang aku utarakan pasti ia mentahkan. Akhirnya aku tutup
teleponnya. Aku kemudian menghubungi salah seorang pesuruh yang bisa aku suruh
apapun. Pembalasan harus segera dilaksanakan.
Seminggu setelah itu, ketika Laura bersama suaminya jalan-jalan ke mall, mereka
mengunjungi sebuah stand. Stand itu sedang ada promo yang digelar oleh salah
satu produk. Dan ia kemudian coba-coba untuk dapat peruntungan, dan akhirnya ia
mendapatkan hadiah jalan-jalan ke Bangkok. Betapa bahagianya si Laura ini. Ia
dapatkan tiket plus uang saku. Hanya saja tiket itu untuk satu orang saja. Ia
sangat senang dan di hadiahnya itu tertulis bahwa tiket tersebut bisa digunakan
kapanpun sampai setahun. Apabila telah lewat setahun maka hangus.
Siapa yang tak senang mendapatkan liburan itu? Laura pun merencanakan
liburannya. Ia minta ijin suaminya untuk pergi. Suaminya memperbolehkan dan
berjanji akan mengirimkan foto-foto dari Bangkok. Namun ternyata
keberangkatannya harus bersama rombongan dari tim pemberi hadiah, maka dari itu
Laura tidak menaruh curiga terhadap hal ini. Ia ikuti saja, ketika diajak makan
bersama kru sebelum berangkat pun ia diam ikut saja tak menaruh curiga. Dan
akhirnya ketika di mobil menuju bandara ia tak ingat apapun. Ia hanya ingat
rasanya mengantuk dan lelah.
Butuh waktu lama mempersiapkan ini semua. Aku menyewa orang satu kru sebuah
produk minuman ringan. Aku tahu kebiasaan Laura yang sering pergi ke mall.
Maklum suaminya tajir. Dan ia sangat suka promo sebagaimana kebanyakan wanita
lainnya. Dan aku tak kebingungan menyiapkan ini semua. Orang-orang suruhanku
kebanyakan adalah teman-teman gengku dulu. Dan mereka sangat senang kuberikan
pekerjaan seperti ini. Tak sia-sia kalau dulu pernah bergaul dengan anak
berandal. Rencana jahat ini pun sukses. Bahkan aku merencanakan yang lebih
jahat lagi dan itu sudah kusiapkan.
Laura sekarang tak berdaya. Dia berada di atas ranjang. Ia berada di sebuah
rumah yang aku beli beberapa waktu lalu. Rumah itu cukup jauh dari keramaian.
Aku tak pernah memperkosa orang sebelumnya, yah, kalau misalnya apa yang
kulakukan dengan bunda atau ke kak Vidia dianggap memperkosa, bisa aja sih.
Tapi mereka toh juga mencintaiku. Tapi ini tidak. Ia sangat benci aku. Tubuh
Laura terikat, tangannya di belakang terikat erat oleh tali plastik yang sering
dipakai untuk packing kardus. Kakinya pun terikat. Aku tak perlu menunggu dia
siuman. Aku akan biarkan dia di sana seharian sambil aku awasi dia melalui
kamera pengawas yang ada di kamarnya. Dinding-dinding kuberi wallpaper sehingga
kalau misalnya ia berteriak suaranya tak akan keluar. Perfect. Dan sisanya,
sudah aku siapkan kejutan untuknya.
***
Laura terbangun keesokan harinya karena memang obat bius yang diberikan ke
makanannya cukup tinggi dosisnya. Ia sedikit pusing. Ketika tahu tangan dan
kakinya terikat ia pun berteriak minta tolong. Tapi tak akan ada yang
mendengarkan suaranya. AKu saat itu ada di kantor mengawasinya dari komputerku.
Aku senyum-senyum sendiri. Hari itu aku konsen dengan pekerjaan.
Hari itu juga aku sempat makan malam bersama seluruh keluargaku di rumah bunda
yang sekarang sepi. Makan malam kami luar biasa nikmat. Aku juga sampai
kenyang. Anak-anakku sudah mulai ngoceh sendiri dan menirukan orang bicara. Aku
sangat bahagia melihatnya. Kedua istriku tak tahu apa yang aku rencanakan. Dan
memang aku rahasiakan dulu.
"Aku besok ingin keluar kota beberapa hari, ada orang yang ingin bekerja
sama dengan waralaba kita, katanya mau buka untuk beberapa outlet,"
kataku.
"Wah,
pengusaha gedhe ya pah?" tanya Nur.
"Iya,
ya semoga lancar," kataku.
"Semoga
saja, iya kan Zahir?" Kak Vidia yang memangku anaknya mengajaknya bicara
juga. Zahir memelototkan matanya sambil bergumam bahasa bayi. Ia sudah bisa
merangkak. Aku menikmati untuk sejenak suasana ini. Karena aku jarang sekali
mendapatkan suasana seperti ini di rumah. Terlebih lagi, setelah ini mungkin
aku akan kembali melakukan hal yang sangat jahat kepada orang lain.
Malam harinya setelah menidurkan anak-anak kami. Aku masuk ke kamar Kak Vidia.
Nur mengetuk pintu. Ia juga masuk ke kamarnya Kak Vidia. Mereka berdua memakai
baju tidur. Dan aku agak kaget juga kenapa Nur ikutan masuk. Lalu pintu kamar
ditutup. Sepertinya mereka ingin bicara denganku.
"Pah,
kami sudah merundingkan sesuatu," kata Nur.
"Merundingkan
apa?" tanyaku.
"Terus
terang kami tak mau papah menikah dengan wanita lain. Terlebih lagi ia anak si
rubah betina itu. Terus terang hati kami sakit pah," kata Nur.
"Biar
pun bunda adalah orang yang papah cintai, tapi sesungguhnya Kak Vidialah orang
yang sangat mencintai papah. Dia sudah banyak berkorban buat papah. Mulai dari
rela diperistri oleh papah, rela tidak meniti karirnya, rela juga aku menjadi
istri papah. Namun tadi kak Vidia mengatakan sesuatu hal yang tidak pernah Nur
bayangkan sebelumnya." Aku menyimak.
"Sebaiknya Kak Vidia sendiri yang bicara," kata Nur.
"Aku
akan menghormati segala keputusan suamiku, kalau papah ingin menikahinya, mamah
ndak masalah. Karena mamah kasihan ama anak yang dikandungnya itu. Itu juga
adalah keluarga kita juga. Aku pasrah pah, tapi kalau ia memang mencintai papah
juga, maka ia harus bersaing dengan kita. Malam ini kami akan menggempur papah,
hingga papah nggak akan pernah lupa kepada kami selamanya," kata Kak
Vidia.
Aku tak tahu apa maksudnya, tetapi ketika Kak Vidia dan Nur kemudian maju lalu
memelukku aku jadi mengerti bahwa mereka akan menyerangku malam ini. Aku segera
dirubuhkan ke atas ranjang. Nur segera melucuti pakaianku, ternyata mereka
berdua tak memakai daleman. Dua tubuh bidadari yang mulus sekarang terpampang
dihadanku tanpa sehelai benang pun yang menutupi. Rambut mereka terurai, dua
saudari yang wajahnya hampir mirip itu kini ada di atasku. Kaosku pun ditarik
oleh mereka. Aku sudah tak berbusana dalam hitungan detik. Nur langsung ke
perutku menciumi perutku, menghisapnya, lalu menuju ke bawah pusarku. Aku lupa
belum mencukur rambutku, tapi itu tak masalah bagi Nur. Ia sudah menyapukan
lidahnya di sana. Dan senjataku yang masih tidur langsung menegang dengan
perlakuannya itu. Tak ada sedetik kemudian kepala rudalku sudah ada di dalam
mulutnya. Kak Vidia menyerangku dari atas. Dihisapinya leherku, dan jemari
tangannya menggelitiki putingku. Ouuwwhh...
"Kalian??..." aku tak bisa berkata-kata ketika sebuah ciuman ganas
langsung mendarat di bibirku. Mulut Kak Vidia serasa panas. Nafasnya memburu
menghisap lidahku.
"Pah, kami benar-benar akan bikin papah puas. Akan bikin papah kering
malam ini," kata Kak Vidia. Ia kemudian menduduki perutku dan menciumiku.
Dadanya yang montok itu kini diarahkan ke wajahku, kemudian ia geser kiri kanan
sehingga aku seperti ditampar oleh dua kantung susu itu. Aku mencoba menangkap
putingnya, tapi ia selalu menghindar. Kak Vidia menggodaku.
Aku terangsang hebat dari atas dan bawah. Nur menjilati kepala penisku dengan
gaya lidah yang aku tak pernah merasakannya sebelum ini dari dia? Apakah bunda
mengajarinya? Aku bisa rasakan ia mengulum penisku, menyedotnya, sedangkan
kulit penisku ditekan sampai ke pangkal, lalu lidahnya menari-nari di pinggiran
kepalanya. Owwhh.... apalagi Kak Vidia menggelitiki putingku dengan jemarinya,
dengan kedua buah dadanya menyapu wajahku. Nur kemudian mengocok rudalku dengan
cepat. Tidak, aku bisa jebol kalau mendapat serangan mendadak seperti ini.
"Sebentar dong, aku ndak bisa nafas nih....bisa jebol nanti..??"
kataku. Tapi itu tak dihiraukan oleh mereka berdua, kini kak Vidia beranjak
turun, kemudian menciumi dadaku, putingku dijilatinya, kemudian pinggangku. Aku
sangat geli, geli atas bawah. Nur sangat jago dalam mempermainkan lidahnya aku
bisa merasakan sekarang lidahnya sudha ada di bawah pelerku. Menjilati area di
antara zakar dan duburku. Lalu buah zakarku disapu dengan lidahnya dan
dihisap-hisap. Maaakkk...., itu ia lakukan sambil mengocok batangku. Tanganku
ditindih oleh Kak Vidia dengan kedua tangannya. Aku seperti orang yang
diperkosa, dipaksa menikmati apa yang mereka lakukan. Aku tak diberi kesempatan
untuk bisa menyentuh mereka berdua.
"Sudah dong, pliss aku...mau keluar nihhh!!!" kataku.
Benarlah,
aku pun mau keluar. Penisku menegang maksimal.
Kocokan
Nur makin kencang.
Dan...aku
akan keluar....
"Aku
keluaarrrr....!!!" seruku.
Nur
langsung berhenti. Tangannya tetap menggenggam penisku. Batangku
berkedut-kedut, tangan kiri Nur meremas zakarku. Pinggangku tiba-tiba digigit
oleh Kak Vidia. Puncak orgasmeku tiba-tiba buyar sudah. Beneran nih, mereka
ingin menyiksaku. Aku benar-benar ingin keluar tapi tertahan dan tidak jadi.
"Udah dong jangan siksa aku!" ku memohon. Tapi rasanya percuma. Kini
gantian. Kak Vidia turun ke bawah, Nur naik ke atas. Nur langsung memanggut
bibirku. Dadanya menempel di dadaku, membuat darahku berdesir. Kak Vidia
memainkan lubang kencingku yang sekarang keluar cairan sedikit berwarna bening
dengan lidahnya sebentar. Ia lalu menciumi kepalanya dan mengusap-usapnya
dibibirnya lalu di pipi. Aku lalu merasakan kehangatan ketika penisku masuk ke
mulutnya. Ia menghisapnya kuat-kuat sambil kepalanya naik turun. Tak hanya
begitu, buah pelerku diremas-remas dan pangkal penisku ditekan, sensasinya
bikin aku kelonjotan.
Apalagi Nur yang walaupun sudah beranak satu tapi wajahnya masih imut ini,
menciumi wajahku, leherku dan memberikan cupangan-cupangan hangat di leherku.
Ia melakukan hal yang sama dengan Kak Vidia, mengerjaiku. Mereka berdua
melakukan hal yang serupa hanya berganti posisi.
"Gimana pah? Aku yakin Anisa ndak pernah beginiin papah kan?" tanya
Nur. Aku cuma mengangguk. Rangsangan demi rangsangan yang mereka lakukan
benar-benar memabukkan aku. Penisku makin tegang dan terus disiksa oleh Kak
Vidia. Sebentar-sebentar toketnya yang paling aku suka itu menjepit batangku.
Batangku berkedut-kedut sampai ketika nyaris keluar, pahaku ditindih oleh tubuh
kak Vidia dan lagi-lagi ia meremas buah zakarku. Nur pun demikian, ketika tahu
aku mau keluar ia mencubit pinggangku. Akhirnya ndak jadi lagi. Sepertinya
mereka benar-benar ingin mengosongkan isi testisku.
Saat aku tak bisa apa-apa itulah. Kemudian Kak Vidia memposisikan tubuhnya di
atas selakanganku. Ia gesek-gesekkan penisku di bibir vaginanya yang sudah
basah. Sementara itu Nur memposisikan pantatnya di depan wajahku. "Pah,
jilatin mamah ya!" kata Nur. Aku pun mengikutinya. Kujulurkan lidahku
untuk menari-nari di bibir vaginanya. Sementara itu Kak Vidia sudah memasukkan
batangku yang super tegang ke dalam memeknya.
Aku tak pedulikan rasa asin-asin gurih dan bau buritnya. Karena otakku sudah
benar-benar terkontaminasi oleh resapan rangsangan-rangsangan yang diberikan
oleh gesekan kemaluan Kak Vidia. Nur berpegangan kepada tangan Kak Vidia dan
mereka berciuman hot. Tanganku berada di paha Nur, lidahku terus memberikan
rangsangan-rangsangan ke klitorisnya. Nur mendesah dan melenguh menerima
perlakuanku, ketika lidahku menyentuh titik-titik sensitif di klitorisnya,
pantatnya diangkat-angkat.
"Ohh..iya pah...enak...mamah mau keluar....terus
pahh,...teruuusss...!!," kicau Nur. Memeknya makin banjir. Kak Vidia makin
cepat memompa keluar masuk batangku.
"Pah...mamah juga nih...penis papah enak banget....!" kata Kak Vidia.
Aku pun ikut menggoyangkan pantatku. Pantat Kak Vidia tiba-tiba menekan penisku
dalam-dalam. Ia mendongak ke atas, pahanya menutup mengapit pinggangku. Jemari
tangannya menyatu dengan jemari Nur. Nur pun demikian ia juga menekan pantatnya
ke wajahku sambil ia menggoyang-goyang sendiri membuatku tak bisa bernafas. Ia
pun keluar. Bersamaan dengan Kak Vidia yang ambruk. Mereka kemudian terkapar di
sampingku. Kak Vidia tampak sedang menikmati sisa-sisa orgasmenya.
"Pah, papah enak?" tanya Kak Vidia sambil mendekap dan menciumi
pipiku.
"Sekarang
gantian yah!" kataku. Kak Vidia tertawa kecil, aku kemudian menciumnya dan
bangkit dari posisiku. Aku memiringkan Kak Vidia sehingga Nur berhadapan
dengannya. Nur beringsut maju dan mendekat ke kak Vidia mereka lalu berciuman,
aku ada di atas tubuh Kak Vidia dan menyiapkn senjataku yang sudah siap untuk
mengocok memek Kak Vidia. Sebelum beraksi aku menyusu sebentar, kuciumi dan
kuhisapi puting susunya yang menggemaskan itu. Kemudian dengan satu sodokan
batangku sudah amblas masuk ke sarangnya. Kak Vidia memejamkan mata menikmati
sensasi gesekan kulit kemaluan kami.
Nur kemudian menciumi dada kakaknya dan menjilati puting kakaknya. Aku
ibaratnya disuguhi pemandangan lesbi yang merangsang dengan menyodokkan penisku
ke rahim Kak Vidia. Tangan Kak Vidia menggapaiku dan ku pegang dengan tangan
kanannku. Tangan sebelah kiri meremas-remas pantatnya. Dari kedua tubuh
saudariku ini, aku paling suka tubuh montoknya Kak Vidia. Maka dari itulah
sebenarnya frekuensiku bercinta antara Kak Vidia dan Nur lebih lama Kak Vidia.
Setiap berdekatan dengan Kak Vidia pasti kepingin ngentot. Parfumnya
benar-benar menggodaku, mirip parfumnya bunda. Oleh karena itulah Kak Vidia
adalah istriku yang paling kucintai daripada Nur. Namun Nur punya kelebihan
selain Kak Vidia. Tubuh Nur itu kecil, dan memeknya lebih sempit daripada Kak
Vidia. Dan ia paling ngikut terhadap apa yang aku inginkan. Hanya saja kali ini
aku mendapatkan surprize dari mereka.
"Ohh...Kaaakkk...enak kak?" kataku.
"Iya....enak
deek.....ooowwhhh," kata Kak Vidia.
Ranjang
kami bergetar seiring goyanganku. Pantat Kak Vidia benar-benar memabukkanku.
Selakanganku serasa nikmat dan ingin selalu membenturkannya ke sana. Penisku
makin keras saja menusuk-nusuk. Kak Vidia menggeleng-geleng nikmat.
"Dek...ohh...Kakak keluar...keluar...lagi...," katanya.
"Aku belum
kak...," kataku.
"Ohh...udah...deek...hhhmmmhh...aaaaaahhhkkk!!
" jeritnya.
Aku lalu
mempercepat goyanganku. Posisiku yang berlutut ini kubuat senyaman mungkin agar
jangan sampai mengganggu kenikmatan kami berdua. Kulihat penisku yang keluar
masuk itu telah mengkilat terkena cairan pelumas dari liang kenikmatan Kak
Vidia. Kak Vidia sudah keluar pastinya. Kedua tangannya memegang tanganku
erat-erat, ia hanya pasrah menunggu aku keluar. Aku makin percepat goyanganku
dan aku hampir meledak. Lubang kencingku serasa gatal, sesuatu akan keluar dari
sana. Sepertinya ini adalah orgasmeku yang paling hebat, karena aku harus
menahan dua orgasme sebelumnya.
"Kak Vidiaku yang seksi....mau keluar di mana?" tanyaku.
"Terserah
deh...," katanya. "Hamilin aku lagi pah....aku ingin punya banyak
anak darimu, aku ndak mau kalah dari Anisa...."
Aku lalu
melentangkan tubuh Kak Vidia. Posisinya yang miring aku lentangkan. Dan Ia
menerima goyanganku lagi tanpa mencabut penisku. Buah dadanya yang naik turun
itu dihisap-hisap dan dicupangi oleh Nur. Nur melakukan aktivitas itu sambil
memuaskan dirinya sendiri. Tangannya juga mengocok-kocok memeknya yang banjir
tadi.
"Ohh....Vidia...vidia.....ohh.... aku keluar lagi. Banyak...banyak
banget......tubuhmu seksi, nagih banget. Jadilah ibu dari anak-anakku
lagi...ohh...kakak...ahhhkkh....aaaakkhh!" rancauku di saat-saat ledakan
dahsyat spermaku sudah di ujung. Tak butuh waktu lama untuk penisku
menyemburkan benih-benih anakku ke rahimnya. Benar apa yang kuduga. Orgasme
yang ditahan tadi mengakibatkan aku menyemprot sangat banyak. Aku menindih kak
Vidia sambil mendekapnya erat. Sementara itu kedua kakinya melingkar di
pinggangku rasanya tak ingin melepaskan aku. Kami berciuman sangat panjang dan
lama sambil saling menghisap ludah masing-masing.
Kedutan penisku rasanya tak berhenti. Entah berapa kali, tapi sangat banyak dan
lama. Kak Vidia lemas. Ia dilanda orgasme lagi ketika aku semprot barusan. Maka
dari itu ia lama memelukku dan pantatnya bergetar. Aku melepaskan ciumanku dan
mencabut penisku yang menyusut sedikit. Lendir kami yang bersatu mengakibatkan
penisku seperti menarik benang putih terjulur panjang keluar dari memeknya.
Sebagian spermaku keluar ketika aku cabut penisku. Kak Vidia memejamkan mata,
menikmati sisa-sisa orgasme.
Nur yang menungguku ia sudah siap. Penisku masih On, walaupu sudah menyusut
sediki, tapi masih bisalah untuk main lagi. Aku langsung menyuruh Nur untuk
menungging. Aku tak beri kesempatan Nur untuk mengatur posisi, begitu ia
nungging langsung aku sodok masuk ke lubangnya yang licin.
"Aaahhkkh...Kaaak...enak kak!" kata Nur.
Kupegang
kedua lengannya dan aku bergoyang menyodok bokongnya yang cukup berisi. Aku
seperti menarik tali kekang kuda dengan posisi seperti ini. Rasanya nikmat
banget memeknya Nur ini. Walaupun ia sudah beranak, tapi memeknya masih sempit
dan masih bisa mengerjaiku. Bagian tubuh Nur yang kusukai adalah memeknya,
karena imut dan belahannya berwarna kemerahan. Disamping itu ia yang paling
rajin merawat bagian tubuhnya yang paling sensitif itu.
"Nuurr...memekmu
enak banget," kataku.
"Kaak....ohhh...kakakku
ngentotin aku lagi...enak...terus kak," katanya.
"Nuurr...ohh...!"
kataku.
Aku terus
bergoyang dengan kecepatan yang terus aku tambah setiap menitnya. Seolah-olah
aku sudah bisa menebak bahwa menit demi menit, detik demi detik adalah waktu
yang bisa aku manfaatkan untuk menghajar memeknya. Aku makin keras ngentotin
dia. Penisku penuh masuk ke dalam rahimnya. Nur menggeleng-geleng dan terus
menjerit nikmat.
"Kaak...hamilin Nur juga yah!" pintanya.
"Iya
dong...aa...ku...akan hamilin ka....muu," kataku.
"Kak
keluar yuk, Nur ndak kuat lagi," katanya.
"Iya,
keluar bareng yak," kataku.
Goyanganku
makin cepat demikian juga Nur yang memaju mundurkan pantatnya. Aku lalu
menekannya kuat-kuat saat maniku menyembur. Aku memegang toketnya dan meremas
kuat-kuat. Aku lalu menindihnya jadi Nur dalam keadaan tengkurap karena
pegangannya lepas, dan aku berada di atasnya merasakan penisku berkedut-kedut
menyiramkan cairan sperma. Butuh beberapa saat agar penisku berhenti menyembur.
Aku lalu berbaring di antara mereka. Kak Vidia dan Nur beringsut mendekatiku
dan mereka berdua memelukku.
"Pah...papah hebat malam ini, Mamah kewalahan," kata Kak Vidia.
"Iya,
papah nafsu banget ama mamah," kataku.
"Kalau
aku?" tanya Nur, tampaknya ia agak cemburu.
"Iya,
aku juga nafsu. Memekmu nafsuin banget," kataku.
Setelah
itu kami semua saling berciuman dan terlelap dalam pelukan.
***
Setelah bertempur threesome malam harinya. Kami dibangunkan oleh tangisan
anak-anak kami. Segera mereka berdua menyusui anak-anakku, tanpa memakai baju
dulu. Aku kemudian mandi dan bersiap untuk berangkat. Yang sebenarnya aku
mempersiapkan diri untuk menemui Laura. Setelah sarapan dan berciuman hot
dengan kedua istriku, aku pun pergi.
Siangnya aku sampai di rumah kosong itu. Mobil aku masukkan ke pagar. Tampak
tiga orang yang kusuruh menjaga, sedang berjaga-jaga sambil nonton tv di ruang
tamu. Mereka adalah teman-teman gengku. Bejo, Tanto dan Parto. Mereka dulu
adalah teman SMAku. Profesi mereka beragam. Bejo adalah seorang sekuriti di
salah satu bank swasta sekarang. Ia meminta cuti untuk membantuku. Tanto adalah
seorang anggota kepolisian. Ia mau membantuku untuk membalaskan dendam ini.
Sekalipun ia polisi kenakalannya pas remaja belum pernah ia tinggalkan, makanya
aku sangat berani dan mau saja melakukan ini. Yang terakhir Parto. Ia adalah
seorang pelaut. Badan mereka tegap-tegap dan kekar. Mereka kubayar mahal untuk
menjaga Laura dan melancarkan rencanaku.
"Siang bos!?" seru Bejo.
"Halah,
pake panggil bos segala, kita kan fren, iya ndak?" kataku.
Mereka
semua tertawa.
"Bagaimana
keadaannya?" tanyaku.
"Tenang
aja, ndak kami sentuh sedikit pun," kata Tanto.
"Semuanya
sudah diatur."
"Bagus,
kalian akan dapatkan bagian kalian nanti," kataku.
"Cepetan
digarap Bro! Udah ndak sabar nih," kata Parto.
"Belom
dapat jatah dari istri lo?" tanyaku.
Parto
meringis, "Belum, hehehehe..."
Kami semua
bilang, "Huuuu...."
"Tenang
saja, aku akan kasih ke kalian nanti, sabar dikit!" kataku.
"Tenang
saja, bro. Selama ini kita fren. Lo sekarang bosnya, jadi kami ngikut saja.
Ndak dikasih juga ndak masalah, bayaran elu bisa buat kita makan setahun,"
kata Parto disambung dengan tawanya.
"Oke, aku mau masuk dulu," kataku. Aku kemudian naik ke tangga. Laura
ada di lantai atas. Di lantai atas ada 3 kamar. Aku lalu masuk ke sebuah kamar.
Kamar itu kosong, tapi sudah ada tempat tidur dan lemari. Koper yang aku bawa
langsung aku letakkan begitu saja di kamar itu. Aku kemudian mencuci muka di
wastafel. Aku sudah siap untuk bertemu dengan orang yang kubenci itu. Ia ada di
kamar sebelah. Kemudian, aku pun beranjak meninggalkan kamar dan masuk ke kamar
tempat Laura berada.
Ketika aku masuk, kudapati tubuh seorang wanita yang terikat. Ia masih memakai
baju terakhirnya tapi wajahnya sangat awut-awutan. Aku ambil sebuah kursi dan
kemudian duduk. Kuambil sebatang rokok GG Mild yang tinggal sebatang dari dalam
kotak rokok yang ada di sakuku. Sebenarnya aku sudah tidak merokok sejak lama,
tapi kali ini aku ingin merasakannya sekali saja. Ku taruh batang nikotin itu
ke mulutku dan kunyalakan apinya dengan korek api. Suara korek api yang
kunyalakan itu membuat Laura yang sedari tadi tak sadar, kemudian terbangun.
Kunikmati ekspresi wajahnya yang melihatku. Ia terbelalak. "K..kau...kurang
ajar! Bangsat! Lepaskan aku!" ia meronta-ronta dan semua sumpah serapah
keluar dari mulutnya.
"Teriak saja, ndak bakal ada yang dengar," kataku.
"LEpasin!
cepet lepasin!" katanya.
Dengan
tenang aku taruh rokokku di sebuah asbak yang berada di atas buffet. Aku
perlahan-lahan melepaskan seluruh pakaianku.
"Mau apa kau? Lepasin! Dasar anak penyuka ibunya sendiri!" umpatnya
lagi. Aku makin benci kepadanya. Aku menikmati saat dia mengumpat-umpat diriku.
Hingga kemudian aku telanjang. Kudekati Laura yang meronta-ronta. Kemudian aku
tampar wajahnya sekuat-kuatnya. Laura pun diam. Aku bisa melihat pipinya
berwarna merah akibat tamparanku. Kuambil cutter untuk melepaskan tangan dan
kakinya.
Laura agak
bingung mungkin dengan perlakuanku. "Lo mau apa?"
"Emangnya
aku mau apa?" tanyaku.
"Lo
mau ngontolin gue kan? Aku tak sudi!" katanya.
"Dengar,
lo di sini ada pada kekuasaanku. Lo tak bisa ngapa-ngapain. Mau kabur? Kabur
kemana? Kamar ini terkunci. Dan di luar sana ada preman-preman yang menjaga.
Sekali elu keluar tanpa ijinku, elu mati. Mau bunuh diri? Saat ini anakmu dalam
bahaya, apa kamu mau mengorbankan anakmu?" dengan ancamanku itu. Raut muka
Laura berubah. Ia menjadi sangat takut.
"Lepasin
aku kumohon....Don..kumohon, lepasin aku. Lepasin Anisa, kumohon lepasin dia.
Dia tak bersalah," katanya.
"Lo
tahu kenapa lo ada di sini?" tanyaku.
Laura diam. Ia berpikir keras. Tapi karena rasa takutnya, ia tak bisa berpikir.
"Tahu
ndak?" tanyaku.
Ia
menggeleng. "Kepingin tahu?" tanyaku.
Ia
mengangguk.
"Isep
otongku dulu, baru akan kukasih tau," kataku.
"Apa?
Aku tidak sudi" katanya.
"Ya
terserah sih, ingat engkau dan anakmu ada pada kekuasaanku, dan bagaimana kau
bisa keluar dari sini kalau tak melakukan ini?" tanyaku.
Laura
mulai bimbang. Tangan Laura memang sudah bebas. Tapi ia masih berbaring. Aku
kemudian perlahan-lahan membuka seluruh bajunya. Kancing bajunya aku lepaskan
satu-satu. Ia benar-benar takut, bibirnya gemetar. Saat aku turunkan roknya ia
masih diam. Kulepaskan seluruh bajunya hingga tertinggal celana dalamnya. Aku
lalu menindihnya dengan cara menduduki perutnya. Laura tampaknya pasrah.
Kulitnya yang putih, mulus sepertinya selalu melakukan perawatan. Aku tak
melihat lemak di perutnya. Penisku sudah mulai menegang.
"Ayo isep!" kataku. Buah pelerku menempel di atas buah dadanya dan
penisku mulai maju ke arah mulutnya. Laura agak ragu, kemudian membuka
mulutnya. Ia memasukkan penisku ke mulutnya. Ia mulai menghisapnya, tapi agak
kasar. "Bangsat, kamu bosan hidup? Ingat saat ini kau berada di mana!?
Isep seperti kamu ngisep suamimu!" kataku.
Laura pun akhirnya menjilati kepala penisku. Dihisapnya kepala penisku, lalu ia
mengulumnya. Kemudian ia memasukkan ke dalam mulutnya, mengemutnya dan
menggelitikinya dengan lidahnya. Ohhh..nikmat sekali. Entah kenapa aku bisa
merasakan nikmat dari pelacur ini.
"Tanganmu jangan diem aja, aktif juga!" bentakku.
Tangannya
pun mulai membelai perutku, lalu membantu mengocok-kocok batangku. Kupegang
kepalanya dan aku menggerakkan pinggulku maju mundur. Laura gelapan. Beberapa
kali penisku yang panjang itu menyodok tenggorokannya hingga ia tersedak.
Berkali-kali ia menahan agar jangan sampai terlalu dalam aku menyodok penisku.
Kupercepat goyangan pantatku dan kulakukan deepthroat. Hingga ia hampir muntah.
Lalu kucabut. Ia terbatuk-batuk. Antara bibir dan kepala penisku ada benang
lendir yang panjang.
"Sialan, enak juga mulutmu," kataku.
Laura
diam. Ia beberapa kali menelan ludah dan terbatuk-batuk. Aku kemudian berbaring
di sebelahnya. Laura tatapannya kosong. Ia lalu menoleh ke arahku.
"Aku
sudah melakukannya, sekarang katakan, kenapa kau melakukan ini?" tanyanya.
"Aku ingin balas dendam kepadamu. Karena kau telah membuat bundaku
meninggal. Dan itu adalah luka yang tak akan bisa terhapus begitu saja,"
jawabku. Terbelalaklah mata Laura. Ia sama sekali tak mengira aku akan
melakukannya.
"Doni..Doni
maafkan aku, maafkan aku," katanya.
"Aku
bisa memaafkan kamu, asalkan satu hal," kataku. Tanganku kutaruh di
dadanya yang cukup montok untuk orang seumuran dia. Kemudian putingnya aku
jepit agak keras, hal itu membuatnya sedikit begidik.
"Apa itu?" tanyanya.
"Kau
jadi pelayanku seumur hidup ....," kataku berhenti sejenak.
Mata Laura
berkaca-kaca ia sadar ia tak akan bebas dari tempat ini.
"Atau....kau
mau memenuhi 3 syarat dariku," kataku. "Pertama, kau bolehkan aku
menikah dengan anakmu. Kedua, aku ingin kau meminta maaf kepada kedua istriku,
Ketiga, aku ingin menghamilimu dan kau pergi selamanya dari hadapanku jangan
menemuiku, jangan menemui anakmu, jangan menemui siapapun dari kami."
Laura lalu
bangun dan menutup wajahnya. Ia menangis. Rambutnya yang lurus itu tampak makin
awut-awutan. "Bagaimana?" tanyaku.
"Aku
tidak mau," kata Laura. "Apa tidak ada cara lain? Aku akan minta maaf
kepada kalian semua.
Aku minta
maaf, ku akan bersujud kepada kalian semua."
"Enak
saja," kataku.
"Kau
sudah membuat bunda menderita lalu kau seenaknya saja minta maaf?"
Laura lalu
berdiri dan berjalan ke kursi sofa yang ada di kamar. Ia berkali-kali menutupi
wajahnya, mengusap lali kembali berdiri. Melihatnya berjalan berlenggak-lenggok
saja membuat penisku berdiri. Pantes ayah dulu nafsu banget ama orang ini.
Pantatnya bergeal-geol, berjalan kesana-kemari. Ia tampak berpikir keras.
"Tiga syarat? Ataukah kau mau menjadi pelayanku seumur hidup?"
tanyaku.
"Baiklah,
aku akan jadi pelayanmu seumur hidup!" jawabnya.
Ia lalu
menghampiriku dan berlutut di hadapanku. "Kumohon lepaskan aku."
"Melepaskanmu?
Yang benar saja. Jadi pelayanku maka kau tak bisa aku lepaskan!" kataku.
"Kumohon
aku akan oral lagi penismu, aku akan hisap dan berikan oral terbaik, tapi
kumohon lepaskan aku. Aku tak akan mungkin hamil anakmu.
Kumohon,
aku masih mencintai keluargaku.
Donnnn....lepaskan
aku," Laura menangis meraung-raung.
"Aku tak peduli, itu syaratku. Kau harus pilih!" kataku.
"B..baik...baik,
aku akan jadi pelayanmu," katanya.
"Deal?"
tanyaku.
Ia
mengangguk.
"Ingat, aturan kau menjadi pelayanku, kau tak akan bisa bebas dan harus
melayaniku baik kau bisa atau pun tidak. Mengerti?" tanyaku.
Laura
mengangguk.
"Dasar
perek, padahal kalau kalu pilih yang pilihan satunya hidupmu tidak akan
menderita," kataku.
Aku lalu
bangun, kemudian aku tarik dia. Tinggi Laura adalah setelingaku. Dada kami
bertemu. Terus terang Laura tampak menahan diri untuk tidak terangsang. Tapi
aku berusaha bersabar. Kemudian ku sosor saja bibirnya. Bibir yang dulu mungkin
sudah pernah dinikmati oleh ayahku ketika berselingkuh dengan keponakannya
sendiri. Sepupuku ini cukup menggoda sebenarnya. Aku coba untuk menikmatinya
saja. Ku hisap lidahnya. Awalnya Laura diam saja. Ia pasif. Aku pun mulai aktif
meremas buah dadanya, putingnya aku pilin-pilin. Hal itu membuat ia akhirnya
mau tak mau harus mengimbangi hisapanku. Tanganku yang lain mulai aktif
membelai pinggulnya, kemudian dengan kasar aku tarik CD-nya hingga robek.
Kini Laura tak punya CD lagi. Rambut memeknya ternyata bersih dan mulus. Aku
tak menyangka ia begitu sangat merawat bagian pribadinya itu. Aku makin gemas
akhirnya kuremas lalu kumasukkan jari tengahku ke bibir vaginanya. Mendapatkan
perlakuan itu, sontak ia melotot dan makin memelukku. Ia memejamkan mata
berusaha menahan agar tak takluk olehku tapi sia-sia. Tubuhnya menyerah pasrah.
Ia memundurkan pantatnya tapi aku terus kejar, ku gesek-gesek klitorisnya, lalu
kukocok vaginanya dengan cepat.
"Oh...Don..., aaahhkk, jangan!....maaf,...jangan pliiissss!" ia
memohon.
Aku makin
cepat mengocoknya. Detik demi detik tak kubiarkan memeknya beristirahat dari
kocokanku. Tanganku sudah seperti mesin mobil yang melakukan pembakaran. Makin
banjir saja itu memek Laura, dan ia makin erat melingkarkan tangannya ke
leherku. Pantatnya yang tadi mundur sekarang maju. Tubuhnya melengkung, matanya
terpejam dan mulutnya menganga.
"Don...sudah....aku mau keluar...aku...keluaaaarr!!" Laura menjerit
sekeras-kerasnya. Dari memeknya ia squirt! Menyemprot berkali-kali. Aku lihat
cairan bening menyembur. Cairannya sebagian mengenai tanganku dan sisanya
berceceran di lantai.
Laura mau
ambruk, aku pun menangkapnya. Langsung ia kusosor lagi. Kuciumi, kuhisapi
lehernya hingga bercupang, kemudian aku dorong dia ke tempat tidur. Ia sudah
pasrah. Pikirannya sekarang hanya ada birahi. Aku bisa merasakan dari tatapan
matanya yang pasrah. Ia mulai reaktif dengan ciumanku. Laura mulai mau memegang
penisku yang menegang, sedangkan aku menyusu kepadanya. Kuhisap puting susunya
sekuat tenaga. Laura menggelinjang, kumainkan lidahku di sana, lalu kuhisap
lagi dengan kuat. Laura meringis, entah nikmat entah kesakitan. Kuberi juga
cupangan-cupangan di buah dadanya yang cukup montok itu. Dadanya yang putih
kini ada bekas-bekas cupangan. Saking kuatnya Laura memelukku dan tangan yang
satunya meremas penisku dengan kuat. Sampai ngilu rasanya. Saat aku membuka
kakinya, ia melihatku. Mata kami beradu. Ada rasa penyesalan di dalam tatapan
matanya itu.
Ia pasti
tegang sekarang, tangannya masih meremas-remas penisku. Aku lalu tuntun ia
untuk pasrah. Tangannya sekarang ke atas. Ketiaknya yang putih terlihat. Makin
membuatku terangsang saja ini cewek. Kemudian aku gesek-gesek penisku di
belahan vaginanya, sesekali klitorisnya kusentuh dengan ujung penisku.
"Ohhh...Donn....pelan-pelan!" kata Laura.
"Kamu
suka dientot olehku Laura?" tanyaku.
Laura
diam. Ia tak menjawab. Ia hanya menggigit bibir bawahnya. Aku memukul
pantatnya, sehingga ia kaget. "Ii..iyaa...aku suka dientot olehmu."
"Kontolku
sama kontol suamimu lebih besar mana?" tanyaku.
"Besar...besar
kontolmu," katanya.
"Beneran?"
tanyaku.
"I...iya...beneraan.
Aooww...Aduh...Don, jangan permainkan aku. Kalau kau mau masukin, ya masukin
saja. Puaskan dirimu. Aku siap...aaahkkk...," katanya.
"Puaskan
diriku? Yang benar saja," kataku.
Aku lalu
lebih cepat menggesek-gesekkan kepala penisku di bibir vaginanya sampai ke
klitorisnya. Ia menggeliat-geliat dan memegangi tanganku untuk menghentikan
aktivitas itu.
"Jangan...jangan...kalau kau teruskan aku keluar lagi!" katanya.
Aku makin percepat gesekan-gesekanku di bibir vaginanya. Ia pun mengapit
pinggangku. Memaksa pinggangku maju dan BLESS. Saat Laura orgasme, saat itu
pula penisku masuk. Ouucchh....licin sekali. Vagina Laura meremas-remas, Laura
pun terbelalak. Ia kaget entah karena ukurannya entah karena efek syarafnya
yang secara langsung mengejutkannya. Mungkin juga keduanya. Mata kami sekarang
beradu. Kami saling berpandangan. Laura melirik ke bawah. Penisku benar-benar
habis ditelan oleh liang senggamanya.
"Don....ayo
lakukan, jangan diam saja!" kata Laura.
"Lakukan
apa?" tanyaku.
"Ngentot,
entotin aku, entotin aku!" katanya.
"Entot
pake apa?"
"Entot
pake kontol, kontolmu...ohhh...gedhe...hhmmm...tolong jangan siksa aku!
Pliiss!" katanya.
Aku tertawa penuh kemenangan.
"Dasar
lonte kamu Laura!" kataku.
"Dulu
ayahku pernah nyicipin kamu,
sekarang
anaknya pun masuk ke sini juga."
Aku lalu memaju mundurkan pinggangku. Laura tampak merasa nikmat. Ia meremas
sprei ranjang. Setiap kali aku hentakkan penisku, buah dadanya pun naik turun.
Sungguh pemandangan yang tidak biasa. Sekali lagi anggota keluargaku sendiri
aku gagahi. Aku bertumpu kepada kedua tanganku dan bergaya misionari melesakkan
batang berototku ke dalam ruang lunak, lembab, basah dan cukup seret. Setiap
goyangan kunikmati buah dadanya dengan hiasan cupangan itu naik turun. Pentil
Laura berwarna coklat kemerahan, sekarang benda multifungsi itu mulai mengeras.
Aku cukup lama dengan gaya misionari, mungkin karena malamnya aku bermain
threesome dengan saudari-saudariku.
Kucabut
batangku, kemudian aku suruh dia nungging. Langsung ia kusodok lagi. Pantatnya
cukup bahenol dan bisa bikin penisku ereksi maksimal di dalam memeknya. Aku
goyang lagi. Kurasakan sensasinya. Dalam bercinta kali ini aku tak berfantasi
apapun. Aku ingin benar-benar bisa menikmati memeknya dan membuatnya tersiksa.
Laura sebenarnya sudah orgasme lagi. Berkali-kali mungkin sekarang memeknya
sedang ngilu-ngilunya.
"Don sudah, sudah! Memekku ngilu, aku.... tak.... kuat lagi....kalau kau
giniin terus....sss!" katanya.
"Bentar yah, habis ini ku keluarin!" kataku.
Aku cepatkan goyanganku. Aku remas buah dadanya dan kuhujamkan kuat-kuat
penisku hingga mentok. Penisku serasa gatal sekali. Tapi belum juga keluar. Aku
cabut lagi penisku dari posisi doggy style. Aku kemudian duduk di ranjang.
Kutarik tubuhnya, dan kubalik. Laura pasrah, menurut dan tubuhnya seperti tak
bertenaga lagi. Kini Laura berhadapan denganku. Ia kupangku, penisku masuk lagi
ke sarangnya. BLESS...Laura tersentak. Lagi-lagi ia kaget dengan seranganku.
Kini kami berusaha lagi mereguh kenikmatan-kenikmatan yang tak bisa dibayangkan
lagi dengan kata-kata. Aku menaik turunkan tubuh Laura yang sudah tak
bertenaga. Pantatku kugoyangkan ke atas. Laura menyandarkan dagunya ke
pundakku. Sisa-sisa tenaganya digunakannya untuk memelukku.
"Ohh....Laura...enak banget memekmu," kataku.
"Udah...Don...aku tak kuat lagi," katanya.
Aku sesekali berhenti sejenak untuk mengenyot puting susunya. Lalu aku menaik
turunkan lagi tubuhnya. Makin lama, Laura mulai mempunyai tenaga lagi walaupun
lemah, ia berjongkok dan naik turunkan pantatnya. Masih dengan memelukku ia pun
mengeluh keras ketika penisku keluar masuk. Laura kehabisan nafas. Aku bisa
rasakan nafasnya memburu, jantungnya berdegup kencang. Ia benar-benar becek,
bahkan penisku pun bermandikan lendir. Aku kemudian membaringkannya. Penisku
kucabut. Kuambil tissue yang ada di meja dekat ranjang. Kubersihkan lendir-lendir
yang ada di batangku, agar lebih nikmat lagi nantinya kalau masuk. Begitupun
Laura, kukeringkan bibir vaginanya yang becek. Entah berapa tissue kuambil.
Laura sudah tak ada energi lagi sepertinya. Iyalah, dia belum makan dari
kemaren, gimana ada energi buat ngesex? Emang sengaja ia tak kuberi makan biar
tak ada perlawanan yang berarti. Aku dengan agak sedikit kasar kembali
menghujamkan penisku dengan gaya misionary.
"Ugghh...," Laura mengeluh. Tangannya menempel di dadaku. Aku lalu
bergoyang lagi. Kali ini aku sudah rasakan penisku mau meledak sepertinya.
Kembali rangsangan-rangsangan itu kunikmati. Benar-benar akibat pertempuran
kemarin testisku kering, makanya aku keluar agak lama dari biasanya. Kini aku
sudah benar-benar seperti orang kesetanan, pantatku maju mundur seperti drill.
Aku peluk Laura, dengan lemah ia pun memelukku.
"Ohh...ahh...aahhh...ahhh...Laura kontolku ngilu banget, mau keluar
nih," kataku.
"I..i..yyaaa....Don...keluarin saja," katanya.
Penisku pun menyemburkan sperma. Orgasme itu benar-benar membuat kepalaku
plong. Laura hanya mendongak sedikit, kemudian kembali lemas. Spermaku
kubenamkan dalam-dalam ke rahimnya. Setelah kuyakin tak keluar sperma lagi,
kucabut perlahan. Kunikmati hasil kerja kerasku di memeknya, kulihat spermaku
meleleh keluar. Laura udah tak berdaya lagi. Nafasnya mulai teratur setelah
pertempuran kami. Aku kemudian keluar kamar sebentar. Aku kemudian turun ke
dapur. Melihatku tanpa pakaian, tampak ketiga orang yang menunggu di bawah
bengong melihatku.
"Gimana bro? Mantab?" tanya Bejo.
"Iya, bentar ye. Mau cari makanan dulu, kayaknya dia kelaparan,"
kataku.
"Oh pizza masih banyak di dapur, kami beli banyak tadi," ujar Tanto.
Aku ke dapur melihat kulkas. Mengambil sebotol air mineral dan mengambil sekotak
pizza. Kemudian kubergegas naik lagi ke atas. Aku masuk lagi ke dalam kamar.
Tampak Laura sudah mulai mengumpulkan kekuatannya. Ia berjalan menuju kamar
mandi yang ada di dalam kamar itu. Ia membersihkan tubuhnya sebentar. Aku
menunggu dia sambil minum air dan makan pizza. Setelah lima menit di kamar
mandi Laura pun kembali lagi. Ia tampak mencuci mukanya dan membersihkan
memeknya. Tubuhnya kini terbungkus handuk.
"Kau dari kemarin belum makan bukan? Makan aja!" kataku.
Laura duduk di ranjang. Ia agak ragu mengambil pizzanya.
"Ndak usah takut, ndak aku racunin koq. Tenang aja, kau tak akan aku
bunuh. Ndak ada gunanya," kataku.
Laura makan dengan lahap. Ia habiskan kurang lebih tiga potong pizza. Kemudian
ia minum air putih lumayan banyak. Perutnya kini sudah kenyang. Aku cukup lama
diam menyaksikan dia makan. Aku lalu ke kamar mandi membersihkan tubuhku yang
lengket dengan keringat hasil pertempuran tadi. Kemudian setelah selesai aku
keluar kamar mandi. Laura masih terbengong dengan tatapan mata kosong.
Aku kemudian memakai pakaianku. Laura hanya menatapku saja. Ia dalam kondisi
yang aneh sekarang. Ia baru saja diperkosa oleh sepupunya dan sangat
menikmatinya.
"Ingat, kau jadi budakku sekarang. Karena jadi budakku maka kau harus
patuh. Kau tak boleh keluar dari kamar ini! Mengerti?"
Laura mengangguk.
"Bagus," kataku. "Option yang lainnya masih terbuka lho. Aku mau
jalan-jalan dulu. Mau refreshing, sementara itu...aku ingin kau mau melayani
tiga orang lagi."
Wajah Laura berubah.
"A...apa kau bilang?"